Di tengah pesatnya pembangunan dan tantangan perubahan iklim global, pengetahuan tradisional mengenai batas dan resiliensi ekosistem menjadi semakin relevan. Di Nusantara, konsep mengenai batas bukan hanya dipahami sebagai garis statis atau pemisah kaku, melainkan sebagai zona dinamis, lentur, dan saling terhubung. Konsep inilah yang dikenal secara mendalam dalam beberapa tradisi maritim sebagai Jelijih.
Jelijih bukanlah sekadar kata, melainkan sebuah kerangka pemahaman holistik yang mencakup ekologi, arsitektur, dan filosofi hidup. Secara etimologis, akar kata jelijih sering diasosiasikan dengan 'batas pinggiran', 'tepi yang menahan', atau 'anyaman yang melindungi'. Dalam konteks pesisir, jelijih adalah zona interaksi kritis—garis tempat air asin bertemu daratan, tempat ombak memecah, dan tempat kehidupan memulai adaptasi terhadap dualitas lingkungan yang ekstrem.
Pemahaman modern sering kali gagal menangkap dinamika yang terkandung dalam jelijih. Ketika kita melihat pantai sebagai batas tunggal, masyarakat adat melihatnya sebagai sebuah lapisan, sebuah transisi yang kaya akan fungsi dan peran. Artikel ini akan membedah jelijih dari berbagai dimensi, menunjukkan bagaimana kebijaksanaan purba ini dapat menawarkan solusi bagi tantangan keberlanjutan masa kini, terutama dalam menghadapi kenaikan permukaan air laut dan erosi pantai yang masif.
Dalam ilmu lingkungan, jelijih setara dengan ekoton, tetapi dengan dimensi kearifan lokal yang jauh lebih dalam. Ini adalah area buffer atau penyangga alam. Di sinilah terletak hutan bakau (mangrove), padang lamun, atau formasi terumbu karang yang dangkal. Fungsi utama jelijih di sini adalah:
Kegagalan memahami jelijih sebagai zona integral, dan bukan sebagai area yang dapat dikorbankan untuk reklamasi atau pembangunan, telah menyebabkan kerentanan struktural di banyak wilayah pesisir. Resiliensi sejati terletak pada kekuatan lapisan penyangga ini. Semakin kuat dan alami jelijih suatu kawasan, semakin rendah risiko bencana alam yang ditanggung oleh komunitas di belakangnya.
Struktur jelijih yang ideal sering digambarkan sebagai sebuah gradient—transisi perlahan dari air terbuka, melalui terumbu karang, padang lamun, zona intertidal, hutan bakau, hingga akhirnya ke vegetasi daratan. Keanekaragaman hayati dalam gradient ini adalah indikator utama kesehatan dan kekuatan jelijih tersebut.
*Ilustrasi konseptual zona Jelijih sebagai penyangga lentur antara darat dan laut.
Seiring berjalannya waktu, terutama dengan masuknya paradigma pembangunan ala Barat yang cenderung linier dan kaku, pemahaman terhadap jelijih mulai terkikis. Pesisir seringkali dilihat sebagai lahan kosong yang siap diubah menjadi beton atau tanggul keras. Konsekuensi dari pengabaian ini sangatlah nyata:
Oleh karena itu, restorasi dan integrasi konsep jelijih bukan hanya tugas lingkungan, tetapi juga imperatif ekonomi dan budaya. Ini adalah panggilan kembali pada kebijaksanaan yang mengakui bahwa batas terkuat adalah batas yang paling lentur dan paling terjalin dengan alam.
Pencarian akan makna jelijih membawa kita pada jaringan bahasa Nusantara yang kaya. Meskipun nama spesifiknya mungkin berbeda, konsep dasar tentang batas yang 'diikat' atau 'dianyam' ditemukan dalam banyak dialek. Di beberapa wilayah, istilah serupa merujuk pada anyaman bambu yang digunakan sebagai pagar penahan tanah, atau jaring-jaring akar yang menahan sedimen lumpur. Inti dari semua interpretasi linguistik ini adalah:
Studi mendalam mengenai terminologi lokal menunjukkan bahwa masyarakat pesisir telah lama memiliki matriks pengetahuan yang canggih mengenai pengelolaan transisi lingkungan ini. Mereka tidak hanya melihat batas saat air pasang, tetapi juga saat surut, memahami ritme harian dan bulanan yang mendefinisikan batas hidup yang sesungguhnya. Filosofi jelijih mendikte bahwa intervensi manusia di zona ini harus selalu bersifat adaptif dan berkelanjutan, bukan dominatif.
Untuk memahami sepenuhnya konsep jelijih, kita harus menyelam ke dalam ekosistemnya. Jelijih adalah panggung utama bagi pertahanan pesisir alami. Kekuatannya berasal dari kompleksitas biologis dan geologis yang beroperasi sebagai satu kesatuan sistem penyangga dinamis. Komponen utama jelijih ekologis mencakup tiga habitat krusial yang saling bergantung.
Hutan bakau adalah perwujudan fisik terbaik dari konsep jelijih. Dengan struktur akar pneumatofor yang unik, hutan bakau berfungsi sebagai benteng yang hidup. Peran mereka dalam meredam gelombang sangat vital; setiap 100 meter kerapatan bakau dapat mereduksi tinggi gelombang sebesar 40-70%, menjadikannya pertahanan yang tak tertandingi dibandingkan struktur buatan.
Keberagaman spesies bakau menghasilkan berbagai jenis akar yang masing-masing memainkan peran khusus dalam memperkuat jelijih:
Kombinasi dari sistem akar ini menciptakan matriks tiga dimensi yang sangat efektif. Kekuatan jelijih bukanlah pada satu individu pohon, melainkan pada kerumitan dan kerapatan jalinan akar kolektif ini. Ketika matriks ini diganggu, misalnya melalui penebangan yang tidak selektif atau perubahan hidrologi, kekuatan jelijih akan runtuh, dan erosi menjadi tak terhindarkan.
Jelijih meluas hingga ke bawah permukaan air. Padang lamun (seagrass beds) dan terumbu karang yang dangkal membentuk lini pertahanan pertama yang meredam energi gelombang sebelum mencapai zona intertidal bakau. Tanpa komponen sub-tidal ini, energi yang menghantam bakau akan terlalu besar untuk ditangani, menyebabkan kerusakan sistemik.
Pengetahuan tradisional mengenai jelijih sering kali mengintegrasikan pengelolaan ketiga habitat ini. Komunitas nelayan, misalnya, secara implisit menghormati area padang lamun karena mereka tahu bahwa kerusakan di sana berarti hilangnya sumber makanan bagi banyak spesies ikan komersial, yang pada gilirannya akan mengurangi kekuatan ekologis batas pantai mereka.
Di era krisis iklim, jelijih harus dipandang sebagai infrastruktur hijau (green infrastructure) vital. Kenaikan permukaan air laut (KPA) dan peningkatan frekuensi badai memerlukan respons yang adaptif. Struktur kaku gagal karena mereka tidak bisa tumbuh atau menyesuaikan diri, tetapi jelijih yang berbasis bakau memiliki mekanisme adaptasi intrinsik.
Melalui proses sedimentasi yang dipercepat oleh jaringan akar, hutan bakau mampu menaikkan ketinggian tanah di bawahnya (akresi) sejalan dengan KPA, selama pasokan sedimen memadai. Ini berarti, jelijih yang sehat tidak hanya menahan garis pantai saat ini, tetapi secara aktif membangun lahan baru ke arah laut, menyesuaikan diri dengan perubahan hidrologi. Ini adalah contoh tertinggi dari resiliensi, di mana sistem bereaksi terhadap tekanan dengan menjadi lebih kuat.
Pengelolaan jelijih di masa depan harus fokus pada:
Konsep jelijih mengajarkan bahwa pertahanan terbaik melawan laut yang naik bukanlah pagar yang tinggi, melainkan landasan yang mampu ikut naik bersamanya.
Resiliensi jelijih juga didukung oleh ekologi mikro. Zona ini adalah rumah bagi ribuan invertebrata yang perannya sering luput dari perhatian, namun sangat krusial bagi integritas sistem.
Ketika pembangunan manusia memusatkan perhatian hanya pada struktur makro (pohon bakau), mereka mengabaikan fakta bahwa ekosistem jelijih didukung oleh jaringan interaksi mikro ini. Perusakan habitat mikro ini, misalnya melalui pembuangan limbah beracun, dapat melumpuhkan seluruh sistem pertahanan, meskipun pohon bakau terlihat masih berdiri teguh.
Filosofi batas yang lentur tidak hanya diterapkan pada ekologi, tetapi juga termanifestasi dalam praktik arsitektur dan tata ruang permukiman tradisional di Nusantara. Jelijih arsitektural adalah tentang membangun ‘bersama’ alam, bukan ‘melawan’ alam, sebuah prinsip yang sangat berbeda dari praktik pembangunan modern di pesisir.
Arsitektur rumah panggung (rumah kolong) yang umum di komunitas pesisir dan sungai adalah wujud nyata dari penghormatan terhadap konsep jelijih. Rumah panggung menciptakan ‘jelijih’ buatan di bawah struktur utamanya. Kolong (ruang bawah) berfungsi sebagai zona transisi, mirip dengan zona intertidal:
Keputusan untuk mengangkat rumah ke atas adalah pengakuan bahwa batas air tidak statis, melainkan bergerak dan dinamis. Arsitektur jelijih menerima pergerakan air sebagai keniscayaan, bukan sebagai ancaman yang harus diisolasi.
Penggunaan material yang sesuai dengan lingkungan jelijih adalah kunci. Masyarakat tradisional secara intuitif memilih bahan yang tahan terhadap salinitas tinggi, kelembaban ekstrem, dan aktivitas biologis (seperti rayap laut). Kayu-kayu keras seperti Ulin (Ironwood) sering dipilih untuk tiang pancang, bukan hanya karena kekuatannya, tetapi juga karena kemampuannya untuk berinteraksi dengan air asin tanpa membusuk dengan cepat.
Teknik pengikatan dan penyambungan dalam arsitektur tradisional juga mencerminkan filosofi lentur. Sambungan seringkali dibuat tanpa paku atau baut logam yang rentan terhadap korosi di lingkungan jelijih. Sebaliknya, mereka menggunakan pasak kayu atau sistem sambungan yang memungkinkan pergerakan dan sedikit goyangan saat terjadi gempa atau hantaman angin kencang.
Konstruksi yang kaku akan patah ketika dihantam kekuatan jelijih (air dan angin). Konstruksi yang lentur, yang dibangun dengan sadar akan batas dinamis, akan bergoyang, menyerap energi, dan tetap berdiri. Inilah esensi arsitektur resiliensi.
Tata ruang permukiman yang menghormati jelijih biasanya menghindari pembangunan padat tepat di garis pantai. Ada zona penyangga yang disengaja antara laut dan perumahan utama, sering kali ditanami kembali dengan bakau atau tanaman pantai yang mampu menahan angin dan ombak.
Permukiman tradisional sering disusun memanjang mengikuti kontur daratan, bukan memotongnya secara tegak lurus. Hal ini memastikan akses yang merata ke sumber daya jelijih dan meminimalkan dampak buruk dari satu titik tunggal. Desa-desa nelayan sering menempatkan area publik (tempat pelelangan, dermaga) di zona jelijih terluar, yang dirancang untuk menerima kerusakan ringan dan mudah diperbaiki, sementara rumah tinggal inti dilindungi lebih jauh ke daratan.
Beberapa komunitas maritim membangun jembatan atau dermaga yang sepenuhnya fleksibel, seringkali menggunakan rakit kayu atau ponton yang diikat ke dasar laut dengan tali atau rantai yang lentur. Ini adalah adaptasi langsung dari jelijih: alih-alih mencoba menaklukkan pasang surut dengan struktur beton permanen yang mahal, mereka membangun struktur yang ‘menunggangi’ pasang surut tersebut. Fleksibilitas ini memastikan struktur tetap fungsional tanpa mengalami stres material yang tinggi, sebuah prinsip yang bertentangan dengan desain rekayasa sipil modern yang cenderung mengutamakan kekakuan absolut.
*Prinsip Jelijih dalam konstruksi: Menggunakan sambungan yang lentur agar struktur dapat menyerap tekanan air.
Salah satu tantangan terbesar di zona jelijih adalah pengelolaan air tawar karena intrusi air laut yang tinggi. Masyarakat tradisional mengembangkan sistem pengelolaan air yang canggih yang juga merupakan manifestasi dari jelijih hidrologi.
Ini menunjukkan bahwa jelijih tidak hanya mengatur interaksi dengan lautan, tetapi juga mengatur batas antara air asin dan air tawar di bawah tanah. Ketelitian dalam menentukan batas ini adalah yang membedakan komunitas pesisir yang makmur dari yang rentan.
Melampaui wujud fisik dan ekologis, jelijih adalah sebuah filosofi hidup. Ia mengajarkan tentang pengakuan terhadap batasan, pentingnya lentur, dan keniscayaan perubahan. Filosofi ini telah membentuk pandangan dunia masyarakat Nusantara tentang hubungan mereka dengan alam, sumber daya, dan bahkan interaksi sosial.
Jelijih eksis sebagai jembatan antara dua dunia yang bertentangan: air asin yang keras dan daratan yang stabil. Filosofi yang muncul dari sini adalah prinsip dualitas atau keseimbangan. Masyarakat yang hidup di jelijih harus menguasai keterampilan berlayar (dunia air) dan keterampilan bercocok tanam (dunia darat).
Di banyak komunitas adat, zona jelijih (bakau, padang lamun, terumbu karang) dikelola berdasarkan sistem hak ulayat yang ketat, atau aturan adat yang menjamin keberlanjutan. Wilayah ini dianggap sebagai ‘halaman depan’ komunitas, milik bersama, yang tidak boleh dikuasai secara individual.
Sistem hukum adat sering kali memberikan sanksi berat bagi siapa pun yang secara sengaja merusak jelijih, seperti menebang bakau tanpa izin atau membuang limbah. Sanksi ini bukan hanya hukuman, tetapi tindakan restoratif yang memaksa pelanggar untuk memahami nilai ekologis dari batas yang mereka rusak. Mereka dipaksa menanam kembali, membersihkan, atau bahkan membayar denda berupa hasil laut yang didapat dari jelijih yang sehat.
Sanksi ini mencerminkan pemahaman bahwa kerusakan pada jelijih adalah kerusakan pada pertahanan dan sumber kehidupan kolektif. Kerangka berpikir ini sangat kontras dengan hukum modern yang sering kali menganggap kerusakan lingkungan sebagai ‘pelanggaran’ administratif semata, tanpa menempatkannya dalam konteks kehilangan perlindungan bencana.
*Jelijih sebagai zona interaksi dan penyangga yang melindungi inti (komunitas/daratan).
Pengetahuan tentang jelijih diwariskan melalui praktik nyata. Anak-anak di komunitas pesisir belajar mengidentifikasi jenis-jenis bakau yang paling baik untuk menahan gelombang, mengetahui waktu optimal pasang surut untuk menangkap kepiting di akar-akar, dan memahami kapan waktunya menanam agar bibit tidak hanyut oleh air pasang tertinggi.
Ini adalah sistem pedagogi berbasis lingkungan, di mana alam sendiri menjadi guru utama. Ini mengajarkan tanggung jawab—bahwa kelangsungan hidup komunitas secara langsung bergantung pada kesehatan batas jelijih. Ini menumbuhkan rasa kepemilikan dan koneksi yang mendalam, sebuah ikatan yang sering hilang dalam masyarakat yang terindustrialisasi.
Konsep batas yang lentur juga meluas ke ranah sosial. Jelijih sosial adalah kemampuan komunitas untuk menyerap tekanan (ekonomi, migrasi, konflik) tanpa kehilangan identitas atau integritas strukturalnya. Masyarakat yang hidup di batas fisik yang keras (seperti pesisir) seringkali mengembangkan batas sosial yang kuat namun inklusif.
Kebijaksanaan jelijih kini diadopsi oleh para ilmuwan dan perencana modern yang mencari solusi berkelanjutan untuk masalah pesisir global. Restorasi jelijih bukan hanya tentang menanam pohon bakau, tetapi tentang mengembalikan fungsi hidrologi dan ekologis dari zona transisi secara keseluruhan.
Konsep jelijih sangat selaras dengan pendekatan rekayasa pesisir yang dikenal sebagai ‘Building with Nature’ (BwN) atau ‘Nature-Based Solutions’ (NBS). Alih-alih mengandalkan tanggul beton (Grey Infrastructure), BwN menggunakan infrastruktur hijau yang meniru fungsi alam.
Banyak proyek restorasi jelijih di Indonesia berfokus pada pembongkaran tanggul buatan yang telah memutus aliran air asin ke zona bakau. Dengan membiarkan air pasang kembali menggenangi area bakau yang terdegradasi, kita mengaktifkan kembali proses alamiah sedimentasi dan regenerasi.
Salah satu teknik yang terinspirasi dari jelijih adalah penggunaan 'Pemecah Gelombang Lunak' (Brushwood Fences). Ini adalah struktur anyaman bambu atau ranting yang ditempatkan di air dangkal di depan bakau. Mereka berfungsi untuk:
Pendekatan ini sangat efektif karena bersifat adaptif dan berkelanjutan, jauh lebih murah dan lebih ramah lingkungan dibandingkan pengecoran beton masif.
Pengelolaan jelijih yang sehat dapat menghasilkan manfaat ekonomi berkelanjutan. Ekowisata berbasis jelijih berfokus pada pengalaman yang menghargai zona transisi, bukan hanya menggunakannya sebagai latar belakang.
Transformasi ekonomi ini mengubah pandangan masyarakat dari 'bakau adalah penghalang yang harus dibuka' menjadi 'bakau adalah aset yang harus dilindungi'.
Meskipun filosofi jelijih menawarkan solusi yang kuat, penerapannya dihadapkan pada hambatan modern:
Oleh karena itu, reintroduksi jelijih harus didukung oleh kebijakan yang mengikat, pengakuan hukum terhadap hak-hak adat di zona pesisir, dan program pendidikan yang menempatkan kembali nilai batas lentur di pusat perencanaan pembangunan.
Pengembangan yang mengintegrasikan jelijih harus berdiri di atas lima pilar utama untuk menjamin keberhasilan jangka panjang:
Pengalaman menunjukkan bahwa proyek restorasi yang gagal sering kali hanya fokus pada penanaman tanpa memperhatikan faktor hidrologi dan kearifan lokal. Jelijih mengajarkan bahwa kesuksesan datang dari integrasi semua elemen ini.
Jelijih adalah lebih dari sekadar warisan ekologis atau teknik konstruksi; ia adalah cetak biru untuk resiliensi di masa depan. Di hadapan ancaman nyata dari perubahan iklim, pengetahuan tentang batas yang lentur, yang mampu menyerap dan beradaptasi dengan tekanan, adalah aset yang paling berharga.
Filosofi ini mengajarkan kerendahan hati: bahwa manusia hanyalah bagian dari batas, bukan penguasanya. Kekuatan terbesar kita terletak pada kemampuan untuk berinteraksi, bukan mendominasi. Ketika kita merusak jelijih, kita tidak hanya kehilangan pohon atau biota; kita kehilangan garis pertahanan terakhir kita, baik secara fisik maupun spiritual. Kita menghilangkan pelajaran mendasar bahwa hidup di kepulauan membutuhkan negosiasi yang konstan dan hormat dengan laut, sebuah raksasa yang tidak pernah diam.
Restorasi jelijih di Indonesia harus menjadi gerakan nasional yang melibatkan tidak hanya ilmuwan dan pemerintah, tetapi setiap individu yang tinggal di pesisir atau yang memanfaatkan sumber daya pesisir. Ini adalah tugas kolektif untuk memulihkan, merawat, dan menghormati zona transisi ini—zona yang telah menopang kehidupan di Nusantara selama ribuan tahun.
Jelijih menjanjikan masa depan yang lebih aman, lebih makmur, dan lebih seimbang. Ini adalah masa depan di mana pembangunan tidak melenyapkan alam, tetapi menari bersama ritme pasang surutnya. Dengan mengintegrasikan kembali kearifan jelijih, kita tidak hanya membangun kembali pantai, tetapi juga membangun kembali hubungan yang harmonis dan berkelanjutan dengan lingkungan maritim kita.
Kini, konsep-konsep serupa dengan jelijih—yang menekankan batas lentur dan infrastruktur hijau—sedang dikembangkan di seluruh dunia. Penting bagi Indonesia untuk memposisikan jelijih sebagai kontribusi unik Nusantara terhadap solusi iklim global. Dengan membangun jaringan komunitas yang berbagi praktik terbaik dalam pengelolaan bakau, terumbu karang, dan padang lamun, kita dapat mempercepat pembelajaran dan adaptasi. Platform digital dapat digunakan untuk mendokumentasikan pengetahuan lokal yang terkait dengan jelijih, menciptakan bank data yang mengaitkan tradisi dengan ilmu pengetahuan modern.
Kesadaran bahwa masalah erosi pantai di satu pulau terhubung dengan pengelolaan hulu di pulau lain juga harus diperkuat. Jelijih mengajarkan interkoneksi; oleh karena itu, solusi yang diterapkan harus melintasi batas-batas administratif dan ekologis. Ini menuntut kerjasama antar-pemerintah daerah, akademisi, dan masyarakat adat dalam skala regional yang lebih luas.
Batas fisik jelijih, yang terdiri dari lumpur, akar, dan air, mungkin terlihat sederhana. Namun, ia mewakili kerumitan tertinggi dari adaptasi ekologis. Warisan sejati dari jelijih adalah penegasan bahwa kekuatan sejati berada dalam kemampuan untuk memberikan ruang, untuk melentur di bawah tekanan, dan untuk tumbuh melalui interaksi, bukan isolasi. Melestarikan jelijih berarti melestarikan identitas maritim bangsa, memastikan bahwa generasi mendatang dapat menikmati batas pantai yang aman, produktif, dan penuh kehidupan.
Setiap tindakan restoratif—setiap bibit bakau yang ditanam, setiap tanggul kaku yang dibongkar, setiap kebijakan yang mengakui nilai ekologis di atas nilai komersial murni—adalah investasi langsung pada ketahanan komunitas di masa depan. Jelijih adalah janji bahwa harmoni antara manusia dan laut adalah mungkin, asalkan kita mau mendengarkan kebijaksanaan yang telah terukir di sepanjang garis pantai Nusantara.
Kontemplasi mendalam mengenai makna jelijih membawa kita pada refleksi tentang keberanian dan kesabaran. Dibutuhkan keberanian untuk menahan diri dari intervensi yang merusak, dan kesabaran untuk menunggu sistem alami membangun kembali pertahanannya. Proyek-proyek rekayasa sering menjanjikan hasil dalam hitungan bulan, tetapi jelijih alamiah bekerja dalam skala dekade, bahkan abad. Kesabaran ini adalah komponen filosofis yang harus ditanamkan dalam setiap perencana kota dan pembuat kebijakan. Mereka harus berani melihat jauh melampaui masa jabatan mereka dan berinvestasi pada resiliensi yang diturunkan, bukan pada struktur yang bersifat sementara dan rentan.
Dalam konteks modern, di mana laju perubahan begitu cepat, jelijih menawarkan jangkar stabilitas. Ia mengingatkan kita bahwa ada batas-batas alami yang tidak dapat dilanggar tanpa konsekuensi fatal. Batas termal samudra, batas penyerapan karbon oleh bakau, batas beban sedimen yang dapat ditahan oleh akar—semua ini adalah manifestasi dari jelijih yang lebih besar, yang membatasi kemampuan planet kita untuk menyerap dampak antropogenik. Keberlanjutan sejati terletak pada pengakuan dan penghormatan aktif terhadap batas-batas ini.
Penerapan konsep jelijih secara luas memerlukan perubahan paradigma dalam pendidikan, mulai dari sekolah dasar hingga universitas. Ilmu kelautan, arsitektur, dan sosiologi harus diajarkan dengan lensa holistik jelijih, mengintegrasikan pengetahuan adat dengan metodologi ilmiah. Jika seorang arsitek merancang bangunan di pesisir tanpa memahami dinamika sedimen yang dibawa oleh jelijih, kegagalan struktural hanyalah masalah waktu. Jika seorang perencana kota gagal menghitung potensi migrasi hutan bakau ke pedalaman, mereka telah memvonis mati infrastruktur hijau tersebut dalam menghadapi kenaikan permukaan air laut.
Maka dari itu, Jelijih bukan hanya menjadi kajian masa lalu, melainkan imperatif masa depan. Ia adalah warisan yang harus kita rawat, sebuah kebijaksanaan yang harus kita gunakan untuk membangun dunia yang lebih aman dan lebih harmonis di kepulauan tropis yang rentan ini. Melalui pemulihan dan penghormatan terhadap Jelijih, kita tidak hanya melindungi pantai, tetapi juga mewujudkan makna sejati dari resiliensi dan keberlanjutan.
--- Melentur di Batas, Teguh di Jiwa ---