Jegang: Seni Bela Diri Tradisional Korea yang Perkasa

Pengantar ke Dunia Jegang

Dalam khazanah seni bela diri dunia, Korea Selatan dikenal kaya akan tradisi dan disiplin yang telah diwariskan dari generasi ke generasi. Di antara nama-nama besar seperti Taekwondo dan Hapkido, terdapat pula warisan yang lebih jarang terekspos namun tak kalah mendalam filosofi dan kekuatannya, yaitu Jegang. Jegang bukan sekadar serangkaian gerakan fisik; ia adalah manifestasi dari perjalanan spiritual, disiplin mental, dan kekuatan tubuh yang terpadu harmonis. Artikel ini akan menyelami lebih jauh tentang Jegang, mengungkapkan sejarahnya yang kaya, filosofi yang mendasarinya, teknik-teknik yang membedakannya, serta relevansinya di zaman modern.

Nama "Jegang" sendiri berasal dari gabungan dua suku kata dalam bahasa Korea: 'Je' (제) yang dapat diartikan sebagai "mengatur", "mengendalikan", atau "membatasi", dan 'Gang' (강) yang berarti "kuat", "perkasa", atau "sungai" (yang menyimbolkan kekuatan tak terhentikan). Jadi, secara harfiah, Jegang dapat diinterpretasikan sebagai "Mengendalikan Kekuatan" atau "Kekuatan yang Terkendali". Interpretasi ini sangat sesuai dengan esensi seni bela diri ini, di mana kekuatan fisik harus selalu sejalan dengan kontrol diri, keseimbangan, dan kebijaksanaan.

Bagi banyak praktisi, Jegang lebih dari sekadar metode pertahanan diri. Ini adalah jalan hidup, sebuah latihan yang membentuk karakter, menajamkan pikiran, dan memperkuat jiwa. Melalui disiplin ketat, praktisi Jegang belajar untuk mengatasi tantangan internal dan eksternal, menemukan ketenangan di tengah badai, dan mengembangkan potensi diri yang maksimal. Mari kita mulai perjalanan ini untuk mengungkap tirai yang menutupi keagungan seni bela diri Jegang.

제강
Simbolisasi Jegang: Perpaduan Kekuatan, Keseimbangan, dan Kontrol.

Sejarah dan Evolusi Jegang: Dari Medan Perang hingga Dojang

Sejarah Jegang berakar kuat dalam sejarah Korea yang panjang dan berliku, ditandai oleh perang, invasi, dan perjuangan untuk kedaulatan. Seperti banyak seni bela diri tradisional lainnya, Jegang tidak lahir dari satu momen atau satu individu, melainkan berkembang secara organik seiring kebutuhan militer dan pertahanan diri masyarakat Korea kuno.

Asal-usul Legendaris dan Periode Awal

Meskipun catatan tertulis yang spesifik mengenai "Jegang" dengan nama tersebut mungkin langka pada masa-masa paling awal, akar-akarnya dapat ditelusuri kembali ke periode Tiga Kerajaan Korea (Goguryeo, Baekje, dan Silla) sekitar abad ke-1 hingga ke-7 Masehi. Pada masa itu, seni bertarung tanpa senjata, atau *subak*, dan seni pedang (*gumdo*) sangat penting bagi para prajurit Hwarang dari Silla, atau prajurit *Sonbae* dari Goguryeo. Prinsip-prinsip awal Jegang, seperti keseimbangan, kekuatan inti, dan kecepatan, kemungkinan besar sudah dipraktikkan dalam bentuk primitif oleh para kesatria ini. Mereka melatih tubuh dan pikiran untuk menjadi instrumen perang yang efektif, sekaligus menginternalisasi nilai-nilai kehormatan dan pengorbanan.

Legenda menceritakan tentang para pertapa di gunung-gunung yang mengembangkan gerakan-gerakan meniru hewan atau fenomena alam untuk pertahanan diri dan kesehatan. Gerakan-gerakan ini kemudian disistematisasi dan diajarkan kepada para prajurit, menjadi cikal bakal dari jurus-jurus Jegang modern. Filosofi yang mengutamakan harmoni dengan alam dan pemanfaatan kekuatan lawan sering kali dikaitkan dengan periode ini, menunjukkan bahwa aspek spiritual dan filosofis sudah ada sejak awal.

Periode Goryeo dan Joseon: Konsolidasi dan Perkembangan

Pada masa Dinasti Goryeo (918–1392), seni bela diri terus berkembang pesat. *Subak* menjadi sangat populer, bahkan sering dipertunjukkan dalam festival istana dan sebagai bagian dari rekrutmen militer. Inilah periode di mana banyak teknik dasar Jegang mungkin mulai dikodifikasi dan diajarkan secara lebih formal. Struktur kurikulum, meskipun belum sekompleks sekarang, mulai terbentuk, dengan fokus pada pertarungan jarak dekat, tendangan, dan kuncian. Keterampilan ini sangat vital dalam peperangan era tersebut, di mana pertempuran tangan kosong sering kali menentukan hasil.

Dinasti Joseon (1392–1897) membawa perubahan besar. Meskipun Konfusianisme mendominasi dan seni bela diri kadang kurang diprioritaskan dibandingkan sastra dan birokrasi, kebutuhan akan pertahanan tetap ada. Ada periode di mana seni bela diri militer kembali digalakkan, terutama saat menghadapi invasi seperti invasi Jepang di akhir abad ke-16. Manual militer seperti *Muye Dobo Tongji* (yang mendokumentasikan berbagai bentuk seni bela diri Korea) mungkin memuat gerakan atau prinsip yang sangat mirip dengan Jegang, meskipun tidak secara eksplisit dengan nama tersebut. Pada masa ini, Jegang kemungkinan besar berkembang di kalangan militer atau secara diam-diam di antara masyarakat sebagai bentuk pertahanan diri dan cara menjaga warisan budaya di bawah tekanan. Keterampilan seperti pertarungan dengan senjata (misalnya, tombak dan pedang) juga sering diajarkan bersama teknik tangan kosong, membentuk prajurit yang serbaguna.

Masa Kolonial Jepang dan Pelestarian

Periode paling menantang bagi Jegang, dan semua seni bela diri tradisional Korea, adalah masa pendudukan Jepang (1910–1945). Jepang melarang praktik seni bela diri Korea, memaksa mereka untuk bersembunyi atau punah. Namun, justru di bawah tekanan inilah semangat pelestarian berkobar. Para master Jegang terpaksa berlatih dan mengajar secara rahasia, seringkali menyamarkannya sebagai tarian atau olahraga tradisional biasa. Banyak teknik dan filosofi diwariskan secara lisan atau melalui latihan pribadi yang intens antara guru dan murid terpilih.

Masa ini juga menyaksikan banyak master Korea bermigrasi atau berinteraksi dengan seni bela diri Jepang dan Tiongkok. Meskipun Jegang mempertahankan identitas intinya, ada kemungkinan terjadi pertukaran atau penyesuaian yang memengaruhi evolusinya. Namun, yang paling penting adalah bahwa semangat Jegang, sebagai simbol ketahanan dan identitas Korea, tetap hidup dan menolak untuk padam.

Kebangkitan Pasca-Kemerdekaan dan Modernisasi

Setelah kemerdekaan Korea pada tahun 1945 dan berakhirnya Perang Korea pada tahun 1953, terjadi gelombang kebangkitan seni bela diri tradisional. Banyak master yang selamat dari masa kolonial mulai mengajarkan seni mereka secara terbuka lagi. Jegang adalah salah satu dari seni-seni ini yang muncul kembali dari bayang-bayang. Berbeda dengan Taekwondo yang mengalami standarisasi dan globalisasi yang cepat, Jegang tetap mempertahankan sifatnya yang lebih tradisional dan esoteris.

Pada paruh kedua abad ke-20 hingga kini, para master Jegang telah berupaya untuk mengorganisir, mendokumentasikan, dan mengajarkan seni ini kepada generasi baru. Tantangannya adalah menyeimbangkan tradisi dengan relevansi modern. Mereka berusaha mempertahankan kedalaman filosofis dan ketatnya disiplin, sambil membuat Jegang dapat diakses dan dipahami oleh dunia yang semakin modern. Meskipun tidak sepopuler Taekwondo secara global, Jegang tetap menjadi bagian penting dari warisan budaya Korea, dilestarikan di sekolah-sekolah dan dojang tertentu, serta oleh praktisi yang menghargai keaslian dan kedalaman filosofisnya.

Filosofi dan Prinsip Mendasar Jegang: Lebih dari Sekadar Pertarungan

Jantung dari Jegang tidak terletak pada kekuatan pukulan atau kecepatan tendangan, melainkan pada filosofi yang membimbing setiap gerakan dan setiap aspek kehidupan praktisinya. Jegang adalah seni yang sangat menekankan integrasi antara tubuh, pikiran, dan semangat, berakar pada prinsip-prinsip Timur yang mendalam.

Harmoni (조화 - Jo-hwa) dan Keseimbangan (균형 - Gyun-hyeong)

Prinsip sentral Jegang adalah pencarian harmoni dan keseimbangan, baik dalam gerakan fisik maupun dalam kehidupan. Dalam pertarungan, ini berarti tidak hanya menyerang tetapi juga bertahan, tidak hanya menggunakan kekuatan tetapi juga memanfaatkannya. Praktisi belajar untuk bergerak selaras dengan lawan, tidak melawan arus tetapi membelokkannya. Keseimbangan bukan hanya fisik (tetap tegak saat menendang), tetapi juga mental (tetap tenang dalam situasi sulit) dan emosional (mengendalikan kemarahan atau ketakutan). Harmoni dengan alam juga ditekankan, mendorong praktisi untuk memahami siklus alami dan menerapkannya pada gerakan tubuh mereka.

Keseimbangan dalam konteks Jegang juga merujuk pada integrasi antara *yin* dan *yang*, atau aspek keras dan lembut, kekuatan dan kelenturan. Sebuah serangan Jegang mungkin dimulai dengan kekuatan yang meledak-ledak (yang), tetapi diakhiri dengan kontrol yang lembut dan mengalir (yin) untuk meminimalkan cedera atau memanfaatkan momentum lawan. Keseimbangan ini mencerminkan filosofi hidup yang lebih luas, di mana individu harus menemukan titik tengah antara agresi dan pasivitas, antara kerja keras dan istirahat.

Disiplin (절제 - Jeol-je) dan Rasa Hormat (존경 - Jon-gyeong)

Jegang menuntut disiplin yang tinggi. Disiplin ini bukan hanya tentang mematuhi aturan dojang, tetapi juga tentang komitmen terhadap latihan yang konsisten, kesabaran dalam menghadapi kesulitan, dan kontrol diri dalam segala situasi. Melalui disiplin, praktisi mengembangkan ketahanan mental, fisik, dan spiritual. Disiplin juga meluas pada etika, di mana setiap praktisi diharapkan menjaga perilaku yang terhormat, baik di dalam maupun di luar lingkungan latihan.

Rasa hormat adalah pilar fundamental. Hormat kepada guru (사범님 - Sabeomnim), kepada sesama praktisi, kepada tradisi seni bela diri itu sendiri, dan bahkan kepada lawan. Sebelum dan sesudah setiap latihan atau pertarungan, busur penghormatan (경례 - Gyeongnye) dilakukan sebagai simbol kerendahan hati dan penghargaan. Rasa hormat ini menumbuhkan lingkungan belajar yang positif, mengajarkan kerendahan hati, dan mencegah penyalahgunaan kekuatan yang telah dipelajari. Ini adalah pengingat bahwa kekuatan tanpa rasa hormat adalah kehancuran.

Kekuatan Internal (기 - Gi/Qi) dan Fokus Mental (정신 집중 - Jeongsin Jipjung)

Banyak seni bela diri Asia, termasuk Jegang, sangat menekankan pengembangan kekuatan internal, atau *Gi* (sering juga ditulis *Ki*). Gi adalah energi vital yang mengalir dalam tubuh, dan praktisi Jegang berusaha untuk mengarahkan dan memfokuskan energi ini untuk meningkatkan kekuatan, kecepatan, dan daya tahan. Latihan pernapasan (호흡 - Hohap) dan meditasi adalah bagian integral untuk mengembangkan *Gi*, memungkinkan praktisi untuk melepaskan kekuatan yang jauh melampaui kekuatan otot semata.

Fokus mental, atau *Jeongsin Jipjung*, adalah kunci untuk mengaktifkan *Gi*. Ini melibatkan konsentrasi penuh pada saat ini, menghilangkan gangguan eksternal dan internal. Dalam pertarungan, fokus mental memungkinkan praktisi untuk membaca gerakan lawan, bereaksi dengan cepat dan tepat, serta mempertahankan ketenangan di bawah tekanan. Di luar pertarungan, fokus mental membantu dalam meningkatkan kinerja dalam segala aspek kehidupan dan mencapai kejernihan pikiran.

Kesederhanaan (간결함 - Gangyeolham) dan Efisiensi (효율성 - Hyoyulseong)

Meskipun gerakan Jegang terlihat anggun, esensinya adalah kesederhanaan dan efisiensi. Setiap gerakan memiliki tujuan yang jelas dan dirancang untuk mencapai hasil maksimal dengan upaya minimal. Tidak ada gerakan sia-sia atau hiasan yang tidak perlu. Prinsip ini mengajarkan praktisi untuk mencari solusi paling langsung dan efektif dalam setiap situasi, baik dalam pertahanan diri maupun dalam pemecahan masalah sehari-hari. Ini juga mencerminkan filosofi hidup yang menghargai esensi daripada kemewahan, dan tindakan yang bermakna daripada kesibukan yang tidak produktif.

Harmoni Keseimbangan
Filosofi inti Jegang: Mencapai harmoni dan keseimbangan melalui disiplin.

Teknik Dasar Jegang: Arsenal Gerakan yang Kuat dan Elegan

Jegang memiliki repertoar teknik yang kaya, mencakup kuda-kuda kokoh, pukulan eksplosif, tendangan presisi, tangkisan responsif, dan bahkan kuncian atau jatuhan. Setiap teknik diajarkan dengan penekanan pada bentuk yang benar, kekuatan inti, dan pemahaman tentang tujuan strategisnya. Berikut adalah gambaran umum tentang beberapa kategori teknik dasar dalam Jegang:

1. Kuda-kuda (서기 - Seogi)

Kuda-kuda adalah fondasi dari semua gerakan Jegang. Kuda-kuda yang kuat dan stabil memastikan keseimbangan, memungkinkan transfer kekuatan yang efisien, dan mempersiapkan praktisi untuk menyerang atau bertahan.

2. Pukulan (지르기 - Jireugi)

Pukulan dalam Jegang berfokus pada kekuatan inti, rotasi pinggul, dan kecepatan untuk menghasilkan dampak maksimal.

3. Tendangan (차기 - Chagi)

Tendangan adalah ciri khas banyak seni bela diri Korea, dan Jegang memiliki berbagai macam tendangan yang kuat dan akurat.

4. Tangkisan (막기 - Makki) dan Blok

Tangkisan dirancang untuk mengalihkan atau menetralisir serangan lawan, menjaga praktisi tetap aman dan siap untuk serangan balik.

5. Jurus/Bentuk (품새 - Poomsae atau 형 - Hyeong)

Poomsae (atau Hyeong) adalah serangkaian gerakan yang telah ditentukan sebelumnya, mensimulasikan pertarungan melawan beberapa lawan imajiner. Ini adalah inti dari latihan Jegang, menggabungkan semua teknik dasar dalam urutan yang mengalir dan berirama.

6. Teknik Tambahan (Kuncian, Jatuhan, Pertahanan Diri)

Selain teknik dasar, Jegang juga mencakup aspek-aspek lain dari pertahanan diri:

기술
Representasi teknik Jegang yang beragam dan dinamis.

Latihan dan Pelatihan Jegang: Perjalanan Menuju Kesempurnaan

Latihan Jegang adalah proses yang holistik dan berkelanjutan, dirancang untuk mengembangkan kekuatan fisik, ketajaman mental, dan kedalaman spiritual. Sebuah sesi latihan tipikal di dojang Jegang (tempat latihan) biasanya mengikuti struktur yang teratur dan progresif.

Pemanasan (준비운동 - Junbi Undong) dan Peregangan (스트레칭 - Seuteureching)

Setiap sesi latihan dimulai dengan pemanasan menyeluruh untuk mempersiapkan tubuh. Ini meliputi lari ringan, jumping jacks, dan gerakan kardio lainnya untuk meningkatkan detak jantung dan suhu tubuh. Peregangan dinamis dan statis kemudian dilakukan untuk meningkatkan fleksibilitas, jangkauan gerak, dan mencegah cedera. Fleksibilitas sangat penting dalam Jegang, terutama untuk tendangan tinggi dan gerakan menghindari serangan.

Latihan Fisik dan Kondisi (체력 훈련 - Chaeryeok Hunryeon)

Praktisi Jegang menjalani latihan fisik intensif untuk membangun kekuatan, stamina, dan daya tahan. Ini termasuk:

Latihan Teknik Dasar (기본 기술 훈련 - Gibon Gisul Hunryeon)

Ini adalah inti dari latihan Jegang, di mana praktisi mengulang-ulang teknik dasar hingga menjadi refleks:

Jurus/Bentuk (품새/형 훈련 - Poomsae/Hyeong Hunryeon)

Latihan poomsae adalah sesi penting untuk mengintegrasikan semua teknik dalam konteks yang lebih kompleks. Praktisi melakukan serangkaian gerakan yang telah ditentukan dengan presisi, fokus, dan kontrol pernapasan. Setiap poomsae harus dilakukan dengan pemahaman mendalam tentang setiap gerakan, seolah-olah sedang menghadapi lawan sungguhan. Ini mengembangkan memori otot, koordinasi, dan pemahaman strategis.

Latihan Berpasangan (대련 - Daeryeon) dan Pertahanan Diri (호신술 - Hosinsul)

Setelah menguasai dasar-dasar, praktisi beralih ke latihan dengan pasangan. Ini bisa berupa:

Meditasi dan Pernapasan (명상과 호흡 - Myeongsanggwa Hohap)

Sesi latihan sering diakhiri dengan meditasi singkat dan latihan pernapasan untuk menenangkan pikiran, memulihkan energi, dan memperkuat koneksi pikiran-tubuh. Ini adalah waktu untuk refleksi, untuk menginternalisasi pelajaran dari latihan, dan untuk mengembangkan kekuatan internal (Gi).

Latihan Jegang bersifat progresif, dengan praktisi maju melalui tingkatan (sabuk) yang berbeda, mulai dari sabuk putih hingga hitam, dengan setiap tingkatan membutuhkan penguasaan teknik dan filosofi yang lebih mendalam. Proses ini menekankan bahwa Jegang adalah perjalanan seumur hidup, bukan tujuan akhir.

Manfaat Jegang: Transformasi Holistik Tubuh dan Jiwa

Praktik Jegang menawarkan segudang manfaat yang melampaui sekadar kemampuan bertarung. Ini adalah disiplin yang secara holistik meningkatkan kualitas hidup praktisinya, baik secara fisik, mental, maupun spiritual.

Manfaat Fisik

Manfaat Mental dan Emosional

Manfaat Sosial dan Spiritual

Singkatnya, Jegang bukan hanya tentang belajar bagaimana bertarung; ini adalah tentang belajar bagaimana menjalani hidup dengan kekuatan, martabat, dan ketenangan. Ini adalah investasi dalam diri sendiri yang memberikan dividen seumur hidup.

Kekuatan Kesehatan
Berbagai manfaat Jegang: Fisik, Mental, dan Spiritual.

Jegang dalam Konteks Budaya Korea dan Masa Depannya

Jegang, meskipun tidak sepopuler Taekwondo di panggung internasional, memegang tempat yang signifikan dalam mozaik budaya Korea. Ia adalah salah satu penjaga tradisi seni bela diri yang lebih kuno, mewakili aspek yang mungkin kurang ditekankan dalam bentuk-bentuk yang lebih modern dan berkompetisi.

Perbandingan dengan Seni Bela Diri Korea Lain

Dibandingkan dengan Taekwondo, yang telah menjadi olahraga Olimpiade dan dikenal karena tendangannya yang spektakuler dan cepat, Jegang cenderung menekankan fondasi yang lebih dalam dan filosofis. Jika Taekwondo adalah tentang kecepatan dan kekuatan eksplosif untuk memenangkan poin, Jegang lebih fokus pada kontrol diri, efisiensi gerakan, dan pengembangan energi internal (*Gi*) yang mendalam. Jegang mungkin tidak memiliki turnamen global sebesar Taekwondo, tetapi ia menawarkan jalur yang lebih meditatif dan terinternalisasi bagi para praktisinya.

Dibandingkan dengan Hapkido, yang merupakan seni bela diri sintetis yang menggabungkan berbagai teknik kuncian, lemparan, dan serangan dari berbagai sumber, Jegang cenderung memiliki garis keturunan yang lebih murni dari seni bela diri Korea kuno. Meskipun Jegang juga memiliki kuncian dan jatuhan, penekanannya pada pukulan, tendangan, dan kuda-kuda kokoh mungkin lebih dominan dalam kurikulum intinya.

Jegang berdiri sebagai salah satu representasi otentik dari seni bela diri Korea yang lebih tradisional, yang melestarikan pendekatan holistik terhadap pengembangan diri, bukan hanya sebagai teknik bertarung.

Peran dalam Warisan Budaya

Jegang, seperti halnya banyak bentuk seni tradisional lainnya, adalah jendela ke masa lalu Korea. Setiap kuda-kuda, setiap jurus, setiap prinsip mencerminkan nilai-nilai yang dihargai oleh masyarakat Korea selama berabad-abad: disiplin, ketahanan, kehormatan, dan pencarian harmoni. Melalui Jegang, generasi muda dapat terhubung dengan akar budaya mereka, belajar tentang sejarah dan filosofi yang membentuk identitas bangsa. Keberadaannya membantu menjaga keragaman warisan seni bela diri Korea, memastikan bahwa aspek-aspek yang lebih mendalam dan tradisional tidak hilang dalam arus modernisasi.

Meskipun mungkin tidak sering muncul di drama atau film populer sepopuler Taekwondo, cerita dan esensi Jegang dapat ditemukan dalam narasi yang lebih luas tentang kesatria Korea, perjuangan mereka, dan pencarian keunggulan pribadi. Ia berfungsi sebagai pengingat akan kedalaman spiritual dan kekuatan batin yang selalu ada dalam jiwa Korea.

Masa Depan Jegang: Tantangan dan Peluang

Masa depan Jegang, seperti banyak seni tradisional lainnya, menghadapi tantangan yang unik.

Namun, ada juga peluang besar:

Dengan dedikasi para master dan dukungan komunitas, Jegang dapat terus berkembang sebagai seni bela diri yang perkasa dan bermakna, menawarkan jalur transformasi diri yang unik bagi mereka yang bersedia menempuh jalannya.

Kesimpulan: Esensi Kekuatan yang Terkendali

Dari pembahasan yang mendalam ini, jelas bahwa Jegang adalah lebih dari sekadar serangkaian gerakan; ia adalah sebuah warisan budaya yang hidup, sebuah disiplin yang menggembleng tubuh, pikiran, dan jiwa. Dengan akar sejarah yang terentang ribuan tahun, Jegang telah bertahan melalui berbagai cobaan, termasuk masa penjajahan yang keras, untuk tetap menjadi sumber kebijaksanaan dan kekuatan bagi mereka yang memilih untuk mempelajarinya.

Filosofi intinya—yang berpusat pada harmoni, keseimbangan, disiplin, rasa hormat, dan pengembangan kekuatan internal—memberikan kerangka kerja yang tidak hanya relevan di dojang, tetapi juga dalam menghadapi tantangan kehidupan sehari-hari. Setiap kuda-kuda yang kokoh, setiap pukulan yang eksplosif namun terkontrol, setiap tendangan yang presisi, adalah manifestasi dari prinsip-prinsip ini, diajarkan dengan ketelitian dan dedikasi.

Latihan Jegang adalah perjalanan yang transformatif, membangun kekuatan fisik, ketajaman mental, kepercayaan diri, dan kedamaian batin. Manfaatnya menyentuh setiap aspek keberadaan, membentuk individu yang tidak hanya mampu membela diri, tetapi juga yang lebih berdisiplin, lebih fokus, dan lebih menghargai kehidupan.

Meskipun mungkin tidak sepopuler beberapa seni bela diri Korea lainnya, Jegang memegang peranan krusial sebagai penjaga tradisi dan representasi dari kedalaman filosofis yang seringkali terabaikan di era modern. Masa depannya bergantung pada komitmen para praktisinya untuk melestarikan esensinya sambil tetap relevan dengan dunia yang terus berubah.

Pada akhirnya, Jegang adalah tentang kekuatan yang terkendali—kekuatan untuk menyerang, untuk bertahan, untuk bertumbuh, tetapi selalu di bawah kendali kebijaksanaan dan rasa hormat. Ini adalah seni yang perkasa, bukan hanya karena kemampuannya dalam pertarungan, tetapi karena kemampuannya untuk membentuk manusia menjadi versi terbaik dari diri mereka sendiri. Mempelajari Jegang adalah merangkul sebuah jalan kuno menuju penguasaan diri dan pencerahan.