Candi Jabung: Mahakarya Majapahit di Bumi Probolinggo

Ilustrasi Candi Jabung Siluet artistik Candi Jabung, menampilkan struktur utama berupa candi bata merah dengan ornamen khas Majapahit dan stupa di puncaknya, berdiri megah di latar belakang langit cerah.
Ilustrasi Candi Jabung, peninggalan megah Kerajaan Majapahit.

Candi Jabung, sebuah mahakarya arsitektur kuno yang tersembunyi di tengah hamparan hijau Probolinggo, Jawa Timur, bukan sekadar tumpukan batu bata merah. Ia adalah saksi bisu kejayaan sebuah peradaban agung, Kerajaan Majapahit, yang pernah menguasai Nusantara dengan gemilang. Berdiri megah namun tenang di Desa Jabung, Kecamatan Paiton, Kabupaten Probolinggo, candi ini memancarkan aura historis dan spiritual yang kuat, mengundang setiap penjelajah untuk menelusuri kisah-kisah masa lalu yang terukir pada setiap detailnya.

Dengan kekayaan sejarah, keunikan arsitektur, dan filosofi mendalam yang terkandung di dalamnya, Candi Jabung menawarkan lebih dari sekadar pemandangan eksotis. Ia adalah jendela menuju masa lalu, tempat kita dapat merenungkan kebesaran leluhur dan memahami akar kebudayaan bangsa. Artikel ini akan membawa Anda dalam perjalanan mendalam menelusuri setiap aspek Candi Jabung, dari sejarah pendiriannya yang epik hingga detail-detail arsitekturalnya yang memukau, serta nilai-nilai spiritual yang masih relevan hingga kini. Mari kita menyelami keajaiban Candi Jabung, sebuah permata yang tak lekang oleh waktu.

Sejarah Candi Jabung: Jejak Kejayaan Majapahit

Sejarah Candi Jabung tak bisa dilepaskan dari narasi besar Kerajaan Majapahit, salah satu imperium terbesar di Asia Tenggara. Candi ini diyakini dibangun pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk, sang raja terbesar Majapahit, pada abad ke-14 Masehi. Lebih tepatnya, berdasarkan catatan dalam kitab Nagarakretagama yang ditulis oleh Mpu Prapanca pada tahun 1365 Masehi, Candi Jabung disebut sebagai Bajung, salah satu bangunan suci yang dikunjungi Raja Hayam Wuruk dalam perjalanan kelilingnya di Jawa Timur.

Periode Pendirian dan Fungsi Awal

Dalam Nagarakretagama Pupuh 39.1.5, disebutkan bahwa Raja Hayam Wuruk mengunjungi Bajung, yang oleh para ahli sejarah diidentifikasi sebagai Candi Jabung. Kunjungan ini berlangsung pada tahun 1359 Masehi, menunjukkan bahwa candi tersebut sudah berdiri kokoh dan memiliki peran penting dalam tatanan keagamaan dan politik Majapahit saat itu. Secara umum, candi-candi di era Majapahit memiliki beberapa fungsi utama:

Candi Jabung, dengan keunikan arsitekturnya yang dipengaruhi ajaran Buddha aliran Tantrayana, diduga kuat memiliki fungsi sebagai tempat pemujaan bagi umat Buddha. Namun, beberapa elemen arsitektur dan ikonografi juga menunjukkan adanya sinkretisme dengan kepercayaan Hindu, sebuah praktik yang lazim terjadi di era Majapahit.

Konteks Sosial dan Keagamaan Majapahit

Majapahit dikenal sebagai kerajaan yang mampu menyelaraskan dua agama besar, Hindu dan Buddha, dalam satu kerangka negara. Semboyan Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa (Berbeda-beda tetapi tetap satu jua, tak ada agama yang mendua) lahir dari masa ini. Candi Jabung menjadi salah satu bukti nyata dari toleransi dan sinkretisme keagamaan yang luar biasa tersebut. Arsitekturnya, yang didominasi oleh bata merah, adalah ciri khas candi-candi Jawa Timur yang berbeda dengan candi-candi Jawa Tengah yang umumnya terbuat dari batu andesit.

Kehadiran Candi Jabung di wilayah Probolinggo juga menunjukkan pentingnya daerah pesisir utara Jawa Timur dalam jaringan perdagangan dan politik Majapahit. Jalur perdagangan melalui laut sangat vital bagi kemakmuran Majapahit, dan wilayah Probolinggo yang strategis mungkin menjadi salah satu pusat aktivitas ekonomi dan spiritual.

Penemuan Kembali dan Restorasi

Seperti banyak situs kuno lainnya, Candi Jabung sempat terkubur dan terlupakan selama berabad-abad setelah keruntuhan Majapahit. Penemuan kembali dan upaya restorasi baru dimulai pada awal abad ke-20 oleh pemerintah kolonial Belanda, dan kemudian dilanjutkan secara intensif oleh pemerintah Indonesia setelah kemerdekaan. Proses restorasi merupakan pekerjaan yang sangat kompleks dan memakan waktu lama, mengingat bahan dasar candi yang berupa bata merah memerlukan penanganan khusus.

Bata-bata yang lapuk harus diganti dengan bata baru yang dibuat dengan komposisi dan teknik serupa dengan bata asli. Fragmen-fragmen yang berserakan harus disatukan kembali seperti menyusun teka-teki raksasa. Upaya ini memastikan bahwa Candi Jabung yang kita lihat sekarang adalah hasil dari dedikasi tinggi para arkeolog dan konservator untuk menjaga warisan budaya bangsa.

Arsitektur Megah Candi Jabung: Detail yang Memukau

Candi Jabung berdiri di atas lahan persegi panjang, menghadap ke arah barat. Seluruh bangunan candi terbuat dari susunan bata merah berkualitas tinggi, sebuah ciri khas arsitektur Majapahit yang sangat berbeda dengan candi-candi di Jawa Tengah yang lebih banyak menggunakan batu andesit. Penggunaan bata merah ini bukan tanpa alasan; material ini lebih mudah didapat di wilayah Jawa Timur dan memungkinkan teknik konstruksi yang berbeda, menghasilkan detail ukiran yang halus meskipun pada material bata.

Struktur Utama Candi

Secara umum, struktur Candi Jabung mengikuti pola candi Buddha yang terdiri dari tiga bagian utama, melambangkan tiga alam dalam kosmologi Buddha:

  1. Kaki Candi (Kamadhatu): Bagian dasar yang melambangkan alam nafsu, tempat manusia masih terikat pada keinginan duniawi.
  2. Tubuh Candi (Rupadhatu): Bagian tengah yang melambangkan alam bentuk, tempat manusia mulai meninggalkan nafsu namun masih terikat pada bentuk dan materi.
  3. Atap Candi (Arupadhatu): Bagian paling atas yang melambangkan alam tanpa bentuk, tempat kesempurnaan dan nirwana dicapai.

1. Kaki Candi

Kaki Candi Jabung berbentuk bujur sangkar dengan denah dasar berukuran sekitar 13,10 x 9,75 meter. Bagian ini memiliki tinggi sekitar 3,50 meter. Pada bagian kaki candi terdapat hiasan panel-panel yang mengelilingi seluruh sisinya. Panel-panel ini memuat relief-relief yang sangat menarik, meskipun beberapa di antaranya sudah aus termakan usia.

2. Tubuh Candi

Tubuh Candi Jabung berdiri tegak di atas kaki candi dengan tinggi sekitar 7 meter. Bagian ini merupakan ruang utama atau garbhagriha, tempat arca induk diletakkan. Pada keempat sisi tubuh candi terdapat relung-relung atau ceruk yang dulunya mungkin berisi arca-arca pendamping atau stupa-stupa kecil. Relung utama, yang berfungsi sebagai pintu masuk ke dalam bilik candi, berada di sisi barat.

3. Atap Candi

Atap Candi Jabung adalah bagian yang paling unik dan paling banyak direkonstruksi. Bagian ini berbentuk kubus yang semakin mengecil ke atas, dihiasi dengan stupa-stupa kecil di setiap tingkatannya. Bentuk atap seperti ini sering dihubungkan dengan ajaran Buddha Tantrayana, di mana stupa adalah simbol dari Buddha dan pencerahan.

Material dan Teknik Pembangunan

Penggunaan bata merah sebagai material utama Candi Jabung menunjukkan kemahiran arsitek dan pekerja pada masa Majapahit dalam mengolah material lokal. Bata merah ini dibuat dari tanah liat pilihan yang dibakar pada suhu tinggi, menghasilkan bata yang kuat dan tahan lama. Teknik penyusunan bata tanpa semen, hanya menggunakan sistem pengunci dan mungkin adukan kapur atau getah tumbuhan tertentu, merupakan bukti kecanggihan teknologi bangunan kuno.

Teknik pengukiran relief pada bata juga memerlukan keahlian khusus. Tidak seperti batu andesit yang dapat dipahat dengan detail, bata merah cenderung rapuh. Namun, para seniman Majapahit mampu menciptakan relief-relief yang halus dan ekspresif pada material ini, menunjukkan penguasaan teknik yang luar biasa.

Simbolisme dan Filosofi di Balik Candi Jabung

Setiap detail pada Candi Jabung, dari bentuk keseluruhan hingga relief terkecil, mengandung makna simbolis dan filosofis yang mendalam, mencerminkan pandangan dunia masyarakat Majapahit yang kaya akan spiritualitas.

Kosmologi Tiga Alam

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, pembagian candi menjadi kaki, tubuh, dan atap merepresentasikan tiga alam dalam kosmologi Buddha (dan juga Hindu):

Perjalanan dari kaki candi menuju atap adalah sebuah metafora bagi perjalanan spiritual manusia menuju pencerahan, dari keterikatan duniawi menuju kebebasan mutlak.

Sinkretisme Hindu-Buddha

Candi Jabung adalah contoh nyata dari sinkretisme agama yang sangat kuat di Majapahit. Meskipun secara umum diidentifikasi sebagai candi Buddha Tantrayana, adanya relief seperti Kumbhakarna (tokoh Hindu) dan kemungkinan adanya pengaruh Shiva-Buddha (penyatuan Siwa dan Buddha sebagai entitas tunggal) menunjukkan bahwa batas-batas antara kedua agama ini sangat cair di era Majapahit. Ini bukan hanya bentuk toleransi, tetapi juga upaya untuk mencapai keharmonisan spiritual yang lebih tinggi, di mana esensi kedua agama dianggap sama.

Sinkretisme ini juga tercermin dalam berbagai ornamen dan motif yang digunakan. Motif Kala-Makara, misalnya, ditemukan baik pada candi Hindu maupun Buddha. Penggunaan bunga teratai (padma) sebagai simbol kemurnian dan pencerahan juga bersifat universal dalam tradisi spiritual India dan Nusantara.

Simbol Kesejahteraan dan Perlindungan

Keberadaan candi-candi di Majapahit juga berfungsi sebagai simbol kesejahteraan dan perlindungan bagi kerajaan dan rakyatnya. Dengan membangun candi yang megah dan mengadakannya sebagai tempat peribadatan yang aktif, diyakini bahwa para dewa akan memberikan berkah dan menjaga stabilitas kerajaan. Relief-relief yang menggambarkan makhluk penjaga atau penolak bala juga memperkuat fungsi perlindungan ini.

Penempatan candi di lokasi yang strategis, seperti Candi Jabung yang berada di jalur pesisir, juga bisa memiliki makna simbolis sebagai "penjaga" atau "pelindung" gerbang masuk ke wilayah inti kerajaan atau jalur perdagangan penting.

Perbandingan Candi Jabung dengan Candi Sezaman

Meskipun memiliki keunikan tersendiri, Candi Jabung juga merupakan bagian dari tradisi arsitektur candi Jawa Timur. Membandingkannya dengan candi-candi sezaman memberikan pemahaman lebih dalam tentang posisinya dalam perkembangan seni dan arsitektur Majapahit.

Ciri Khas Candi Jawa Timur

Candi-candi di Jawa Timur, termasuk Jabung, memiliki beberapa ciri khas yang membedakannya dari candi-candi di Jawa Tengah (seperti Borobudur, Prambanan):

  1. Material Bata Merah: Dominasi penggunaan bata merah sebagai bahan bangunan utama. Hal ini menciptakan tekstur dan warna yang khas.
  2. Bentuk Ramping dan Tinggi: Candi-candi Jawa Timur cenderung lebih ramping dan menjulang tinggi, dengan bagian kaki candi yang lebih pendek dibandingkan tubuhnya, menciptakan kesan vertikalitas yang kuat.
  3. Relief yang Cenderung Wayang: Gaya relief pada candi Jawa Timur lebih ekspresif, dinamis, dan cenderung mendekati gaya wayang kulit, dengan penggambaran manusia yang ramping dan proporsi yang tidak selalu realistis.
  4. Arah Hadap Barat: Banyak candi Jawa Timur, termasuk Jabung dan Pari, menghadap ke barat. Ini berbeda dengan candi-candi Jawa Tengah yang umumnya menghadap ke timur. Arah hadap barat sering diinterpretasikan sebagai arah kematian atau dunia fana, yang mungkin terkait dengan fungsi pendharmaan.
  5. Sinkretisme Agama yang Kuat: Candi-candi Jawa Timur seringkali menunjukkan perpaduan yang lebih jelas antara elemen Hindu dan Buddha, sejalan dengan filosofi Majapahit.

Candi Jabung dan Candi Pari

Candi Pari, yang terletak tidak jauh dari Candi Jabung (di Sidoarjo), sering disebut-sebut memiliki kemiripan yang cukup dekat. Keduanya sama-sama dibangun dari bata merah, memiliki denah bujur sangkar, dan beratap bertingkat. Candi Pari juga disebutkan dalam Nagarakretagama, didirikan pada tahun 1359 Masehi, sama dengan periode kunjungan Raja Hayam Wuruk ke Candi Jabung. Kemiripan ini menguatkan dugaan bahwa kedua candi dibangun pada era yang sama dengan langgam arsitektur yang serumpun, mungkin oleh tim arsitek yang sama atau berdasarkan pedoman arsitektur kerajaan yang serupa.

Candi Jabung dan Candi Penataran

Candi Penataran di Blitar, kompleks candi terbesar di Jawa Timur, juga merupakan peninggalan Majapahit. Meskipun sama-sama terbuat dari bata merah, Penataran memiliki skala yang jauh lebih besar dan kompleksitas yang lebih tinggi dengan banyak bangunan terpisah. Penataran adalah candi Hindu Siwa, sementara Jabung cenderung Buddha Tantrayana. Namun, keduanya mencerminkan kemegahan Majapahit dan kecanggihan teknik bata merah dalam arsitektur.

Perbandingan ini menunjukkan bahwa Candi Jabung adalah bagian integral dari lanskap arsitektur Majapahit yang beragam, namun tetap mempertahankan identitas dan keunikannya sendiri, terutama dalam kombinasi bentuk atap stupa dan relief Kumbhakarna.

Penelitian dan Konservasi Candi Jabung

Sejak penemuannya kembali, Candi Jabung telah menjadi objek penelitian yang menarik bagi para arkeolog, sejarawan, dan ahli konservasi. Upaya untuk memahami, melestarikan, dan melindungi situs ini terus dilakukan.

Upaya Penelitian Arkeologi

Penelitian arkeologi di Candi Jabung telah mengungkap banyak informasi tentang sejarah, fungsi, dan arsitektur candi. Penggalian dan studi permukaan telah menemukan berbagai artefak, fragmen relief, dan sisa-sisa bangunan yang memberikan petunjuk tentang kehidupan di sekitar candi pada masa lalu. Analisis terhadap material bata juga memberikan wawasan tentang teknologi pembuatan bata kuno.

Para ahli terus mempelajari inskripsi atau catatan sejarah yang mungkin terkait dengan Candi Jabung untuk memastikan identitas tokoh yang didharmakan atau peristiwa penting yang melatarbelakangi pembangunannya. Perbandingan dengan candi-candi lain dan teks kuno seperti Nagarakretagama adalah bagian integral dari proses penelitian ini.

Program Konservasi dan Restorasi

Candi Jabung, yang terbuat dari bata merah, sangat rentan terhadap pelapukan akibat cuaca ekstrem, pertumbuhan lumut dan mikroorganisme, serta kerusakan akibat ulah manusia. Oleh karena itu, program konservasi dan restorasi menjadi sangat krusial. Tugas ini umumnya diemban oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Timur, yang bertanggung jawab atas pelestarian situs-situs arkeologi di wilayah tersebut.

Proses restorasi Candi Jabung telah dilakukan dalam beberapa tahapan, dimulai sejak zaman kolonial Belanda hingga kini. Tahapan tersebut meliputi:

Tantangan utama dalam konservasi Candi Jabung adalah sifat bata merah yang relatif rapuh dan mudah tererosi dibandingkan batu andesit. Oleh karena itu, pemeliharaan rutin dan pengawasan lingkungan sangat penting untuk menjaga kelestarian candi ini.

Peran Masyarakat Lokal

Masyarakat di sekitar Candi Jabung juga memiliki peran penting dalam pelestarian situs ini. Kesadaran akan pentingnya warisan budaya dan partisipasi dalam menjaga kebersihan serta keamanan situs sangat membantu upaya konservasi. Beberapa masyarakat lokal bahkan terlibat dalam pengelolaan pariwisata, menjadi pemandu, atau menjaga area sekitar candi.

Edukasi kepada masyarakat, terutama generasi muda, tentang nilai-nilai sejarah dan budaya Candi Jabung adalah kunci untuk memastikan bahwa situs ini akan terus lestari di masa mendatang.

Candi Jabung sebagai Daya Tarik Wisata dan Edukasi

Sebagai salah satu situs peninggalan Majapahit yang relatif terawat, Candi Jabung memiliki potensi besar sebagai daya tarik wisata budaya dan pusat edukasi sejarah.

Destinasi Wisata Sejarah

Candi Jabung menawarkan pengalaman yang unik bagi para wisatawan yang tertarik dengan sejarah dan kebudayaan Indonesia. Berada jauh dari hiruk pikuk kota, suasana di sekitar candi sangat tenang dan asri, dikelilingi oleh persawahan dan perkampungan. Pengunjung dapat menikmati keindahan arsitektur candi, merenungkan sejarahnya, dan merasakan aura spiritual yang tenang.

Meskipun tidak sebesar Borobudur atau Prambanan, Candi Jabung memiliki daya tarik tersendiri dengan keunikan bata merahnya dan cerita-cerita Majapahit yang melekat padanya. Ini adalah tempat yang ideal bagi mereka yang mencari pengalaman wisata yang lebih personal dan mendalam.

Fasilitas di sekitar candi terus dikembangkan untuk kenyamanan pengunjung, termasuk area parkir, toilet, dan terkadang warung-warung kecil yang menjual makanan dan minuman lokal. Papan informasi yang memadai juga disediakan untuk memberikan konteks sejarah dan arsitektur candi kepada pengunjung.

Pusat Pembelajaran Sejarah dan Arkeologi

Lebih dari sekadar objek wisata, Candi Jabung adalah laboratorium hidup untuk pembelajaran sejarah dan arkeologi. Bagi pelajar, mahasiswa, dan peneliti, situs ini menyediakan sumber daya otentik untuk memahami peradaban Majapahit.

Pengembangan materi edukasi seperti brosur, panduan, atau aplikasi interaktif dapat lebih meningkatkan nilai pendidikan Candi Jabung. Pemandu lokal yang terlatih juga berperan penting dalam menyampaikan cerita dan makna di balik setiap detail candi.

Tantangan dan Masa Depan Candi Jabung

Meskipun telah banyak upaya dilakukan, Candi Jabung masih menghadapi berbagai tantangan dalam pelestarian dan pengembangannya, namun juga memiliki prospek cerah untuk masa depan.

Tantangan Pelestarian

Prospek Pengembangan Pariwisata Berkelanjutan

Masa depan Candi Jabung sangat bergantung pada pengembangan pariwisata yang berkelanjutan, yang menyeimbangkan antara promosi wisata dan pelestarian situs.

Dengan perencanaan yang matang dan kolaborasi antara pemerintah, akademisi, masyarakat, dan sektor swasta, Candi Jabung dapat terus berkembang sebagai destinasi wisata budaya yang menarik dan pusat edukasi yang berharga, sekaligus memastikan kelestariannya untuk generasi mendatang.

Detail Tambahan dan Unsur Kultural

Untuk melengkapi gambaran tentang Candi Jabung, ada beberapa detail tambahan dan unsur kultural yang menarik untuk diulas, yang memperkaya pemahaman kita tentang situs ini dan konteksnya dalam kebudayaan Jawa kuno.

Legenda Lokal dan Mitos

Di sekitar Candi Jabung, seperti banyak situs kuno lainnya di Indonesia, berkembang berbagai legenda dan mitos yang diwariskan secara turun-temurun oleh masyarakat lokal. Meskipun mungkin tidak selalu memiliki dasar historis yang kuat, legenda ini menambah dimensi mistis dan spiritual pada candi tersebut.

Legenda-legenda ini penting untuk dipahami karena mereka membentuk hubungan emosional antara masyarakat dengan situs, mendorong mereka untuk ikut menjaga dan menghormati warisan leluhur.

Candi Jabung dalam Perspektif Astrologi dan Kosmologi Jawa

Penempatan candi-candi kuno di Jawa seringkali tidak acak. Ada pertimbangan-pertimbangan astrologis dan kosmologis yang mendalam, seperti orientasi terhadap gunung suci, arah mata angin, atau posisi benda langit tertentu.

Penelitian lebih lanjut mengenai aspek ini dapat mengungkap lapisan makna yang lebih dalam tentang bagaimana masyarakat Majapahit memandang hubungan antara manusia, alam, dan kosmos.

Pengaruh Candi Jabung terhadap Seni dan Kerajinan Lokal

Candi Jabung, sebagai ikon budaya di Probolinggo, secara tidak langsung juga memberikan inspirasi bagi seni dan kerajinan lokal. Motif-motif relief atau bentuk arsitektur candi bisa diadaptasi menjadi:

Pengembangan produk-produk kerajinan yang terinspirasi oleh Candi Jabung tidak hanya melestarikan nilai estetika candi, tetapi juga mendukung ekonomi kreatif masyarakat sekitar.

Candi Jabung dalam Sastra dan Penulisan Modern

Selain dalam Nagarakretagama, Candi Jabung juga dapat menjadi sumber inspirasi bagi sastra dan penulisan modern. Para penulis dapat mengangkat kisah-kisah di balik candi, menggali tema-tema sejarah, cinta, spiritualitas, atau perjuangan dalam konteks Majapahit. Novel sejarah, puisi, atau bahkan skenario film dapat menghidupkan kembali pesona Candi Jabung di mata publik yang lebih luas.

Melalui berbagai media ini, Candi Jabung tidak hanya akan dikenal sebagai situs fisik, tetapi juga sebagai sumber narasi yang tak ada habisnya, menghubungkan masa lalu dengan masa kini dan masa depan.

Dengan semua aspek ini, Candi Jabung bukan hanya monumen bisu, melainkan sebuah entitas hidup yang terus berbicara tentang warisan tak ternilai dari peradaban masa lalu, menginspirasi, dan mendidik kita semua.

Kesimpulan: Cahaya Abadi dari Candi Jabung

Candi Jabung, dengan segala keagungan dan misterinya, adalah sebuah manifestasi nyata dari puncak peradaban Kerajaan Majapahit. Ia adalah simfoni arsitektur bata merah yang memukau, di mana setiap ukiran dan setiap sudut bangunan menyimpan cerita tentang kepercayaan, filosofi, dan kehidupan masyarakat pada abad ke-14 Masehi.

Dari sejarah pendiriannya yang erat kaitannya dengan Raja Hayam Wuruk dan Nagarakretagama, hingga detail-detail arsitekturalnya yang unik dengan perpaduan ciri khas Hindu dan Buddha, Candi Jabung berdiri sebagai simbol toleransi dan kearifan lokal yang luar biasa. Kaki candi yang sarat relief, tubuh candi yang dahulu memayungi arca suci, hingga atapnya yang bertingkat dengan stupa-stupa kecil, semuanya melambangkan perjalanan spiritual manusia menuju pencerahan.

Upaya konservasi dan penelitian yang terus-menerus dilakukan oleh para ahli dan pemerintah adalah bukti komitmen untuk menjaga mahakarya ini agar tidak lekang oleh zaman. Namun, kelestarian Candi Jabung juga sangat bergantung pada kesadaran dan partisipasi kita semua, baik sebagai masyarakat lokal, wisatawan, maupun generasi penerus bangsa.

Sebagai daya tarik wisata, Candi Jabung menawarkan lebih dari sekadar pemandangan, ia menawarkan pengalaman mendalam akan sejarah dan spiritualitas. Sebagai pusat edukasi, ia adalah guru bisu yang mengajarkan kita tentang kejayaan masa lalu, kearifan leluhur, dan pentingnya melestarikan warisan budaya.

Candi Jabung adalah cahaya abadi dari Majapahit, terus memancarkan pesonanya di bumi Probolinggo, mengingatkan kita akan kebesaran masa lalu dan menginspirasi kita untuk terus menjaga kekayaan budaya bangsa. Mari bersama-sama kita lestarikan Candi Jabung, agar generasi mendatang dapat terus belajar dan merasakan keajaiban warisan tak ternilai ini.