Menjelajahi konflik, efisiensi, dan kompleksitas pengaturan peran ganda dalam sistem birokrasi dan korporasi.
Praktik jabatan rangkap, atau yang sering disebut sebagai peran ganda, adalah sebuah fenomena manajerial dan struktural yang telah lama menjadi subjek perdebatan sengit dalam lingkup tata kelola pemerintahan (governance), bisnis, maupun akademisi. Secara definitif, jabatan rangkap merujuk pada situasi di mana seseorang memegang dua atau lebih posisi formal yang membutuhkan alokasi waktu, tanggung jawab, dan kewenangan yang signifikan secara bersamaan. Fenomena ini tidak hanya menyentuh aspek efisiensi dan produktivitas, tetapi juga masuk jauh ke dalam ranah etika publik, integritas, dan potensi terjadinya konflik kepentingan.
Pemahaman mengenai jabatan rangkap memerlukan pemilahan yang jelas berdasarkan sektor di mana praktik tersebut terjadi. Dalam konteks Indonesia, perdebatan utama sering kali berpusat pada tiga spektrum utama. Pertama, jabatan rangkap di sektor publik murni, misalnya seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) yang juga menjabat posisi struktural lain yang diatur dalam undang-undang yang berbeda. Kedua, jabatan rangkap antara sektor publik dan sektor swasta, yang paling menonjol adalah rangkap jabatan sebagai pejabat negara atau birokrat tingkat tinggi yang sekaligus menduduki posisi dewan komisaris atau direksi di Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau anak perusahaannya. Ketiga, rangkap jabatan dalam sektor swasta murni, yang meskipun lebih fleksibel, tetap memerlukan perhatian terkait tata kelola perusahaan yang baik (GCG) dan potensi kerugian bagi pemegang saham.
Penting untuk dicatat bahwa batasan yang kabur antara sektor publik dan BUMN sering kali menjadi sumber utama kontroversi. BUMN, meskipun berbadan hukum swasta, memiliki modal negara dan menjalankan fungsi pelayanan publik atau fungsi strategis nasional. Oleh karena itu, etika yang melekat pada pengelola BUMN harus setara dengan standar integritas pejabat publik, yang secara inheren membatasi ruang gerak mereka untuk mengambil posisi tambahan yang dapat mengalihkan fokus atau memunculkan bias keputusan.
Jantung dari setiap kritik terhadap praktik jabatan rangkap adalah isu konflik kepentingan (conflict of interest). Konflik kepentingan muncul ketika individu yang memegang dua posisi memiliki kepentingan yang berbeda, dan keputusan yang diambil di satu posisi dapat memengaruhi atau dipengaruhi oleh posisi lainnya. Konflik ini dapat diklasifikasikan menjadi beberapa jenis, yang masing-masing memiliki dampak destruktif berbeda terhadap tata kelola:
Tingginya potensi konflik kepentingan ini menuntut regulasi yang ketat dan transparan. Tanpa batasan yang jelas, jabatan rangkap dapat menjadi pintu masuk bagi praktik korupsi terselubung atau kolusi, di mana kekuasaan dan akses informasi digunakan untuk kepentingan pribadi atau kelompok, bukan untuk optimalisasi organisasi.
Perdebatan mengenai jabatan rangkap jarang sekali hitam-putih; terdapat argumen yang kuat dari kedua belah pihak, masing-masing berakar pada prinsip tata kelola, efisiensi, atau integritas.
Para pendukung praktik jabatan rangkap sering kali berargumen bahwa dalam kondisi tertentu, peran ganda dapat meningkatkan efisiensi dan kualitas pengambilan keputusan, terutama ketika kekurangan sumber daya manusia yang berkualitas menjadi kendala utama. Argumentasi utama meliputi:
Di negara berkembang atau di sektor-sektor spesialis yang memiliki keterbatasan talenta, seseorang yang memiliki keahlian unik—misalnya, di bidang teknologi nuklir, keuangan syariah kompleks, atau strategi pertahanan siber—mungkin menjadi individu terbaik untuk mengisi dua posisi krusial secara bersamaan. Dengan demikian, institusi dapat menghindari waktu dan biaya pencarian tenaga ahli baru, sementara memastikan bahwa keputusan strategis diambil oleh pihak yang paling kompeten. Ini adalah justifikasi yang sangat kuat, terutama di sektor BUMN strategis yang membutuhkan kombinasi keahlian teknis dan kemampuan manajerial tingkat tinggi.
Ketika dua institusi memiliki hubungan kerja yang erat atau memiliki tujuan yang saling melengkapi (misalnya, bank pembangunan dan badan regulasi kredit), menempatkan individu yang sama pada posisi kepemimpinan di keduanya dapat menciptakan jalur komunikasi yang efisien. Hal ini memungkinkan sinergi yang lebih cepat, mengurangi friksi birokrasi, dan memastikan bahwa kedua lembaga bergerak seirama menuju tujuan nasional atau korporasi yang sama. Jabatan rangkap dalam konteks ini berfungsi sebagai jembatan struktural.
Meskipun kontroversial, pada beberapa kasus, menggabungkan dua peran menjadi satu dapat dilihat sebagai penghematan anggaran gaji dan tunjangan, terutama jika salah satu peran tersebut bersifat paruh waktu atau konsultatif. Namun, argumentasi ini sering dibantah karena potensi kerugian akibat konflik waktu jauh melampaui penghematan gaji yang diperoleh.
Kelompok yang menentang secara fundamental berpegang pada prinsip integritas, akuntabilitas, dan tata kelola yang baik. Bagi mereka, potensi risiko yang ditimbulkan oleh rangkap jabatan jauh lebih besar daripada keuntungan efisiensi yang dijanjikan.
Ketika seseorang memegang dua posisi, sering kali terjadi kesulitan dalam menentukan siapa yang bertanggung jawab penuh atas kegagalan di salah satu sektor. Jabatan rangkap dapat mengaburkan garis akuntabilitas, mempersulit proses pengawasan internal maupun eksternal. Apabila individu tersebut berada di dua posisi yang seharusnya saling mengawasi (misalnya, anggota DPR merangkap komisaris), fungsi checks and balances menjadi lumpuh total.
Setiap jabatan kepemimpinan membutuhkan waktu dan energi yang substansial. Secara realistis, tidak mungkin bagi seseorang untuk mencurahkan 100% fokus pada dua peran yang kompleks. Dampaknya adalah keputusan yang terburu-buru, analisis yang dangkal, dan delegasi yang berlebihan, yang semuanya berujung pada penurunan kinerja organisasi secara keseluruhan. Konsep fiduciary duty menuntut dedikasi penuh; jabatan rangkap secara inheren melanggar prinsip ini.
Jabatan rangkap menciptakan konsentrasi kekuasaan di tangan segelintir elite. Hal ini tidak hanya berpotensi disalahgunakan, tetapi juga menghambat peluang regenerasi dan distribusi kepemimpinan. Jika individu yang sama mengisi semua posisi penting, talenta baru tidak mendapatkan ruang untuk berkembang, dan sistem menjadi bergantung pada beberapa orang saja, meningkatkan risiko kegagalan sistemik jika individu tersebut tidak dapat menjalankan tugasnya.
Regulasi mengenai jabatan rangkap di Indonesia tersebar di berbagai undang-undang dan peraturan sektoral, mencerminkan kerumitan birokrasi dan perbedaan kebutuhan antarlembaga. Namun, inkonsistensi dan celah hukum sering kali dimanfaatkan untuk melegitimasi praktik yang secara etika meragukan.
Secara umum, regulasi mengenai PNS dan Pejabat Negara (Presiden, Menteri, Anggota Legislatif, Hakim) cenderung sangat ketat. Undang-Undang tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) dan Undang-Undang yang mengatur Pejabat Negara menetapkan larangan tegas terhadap jabatan rangkap yang dapat menimbulkan konflik kepentingan atau mengganggu pelaksanaan tugas utama.
Para menteri dan pejabat setingkat menteri, berdasarkan peraturan perundang-undangan, dilarang merangkap jabatan sebagai pimpinan atau pegawai di perusahaan swasta, BUMN, atau BUMD, serta jabatan di lembaga negara lainnya, kecuali diatur lain secara eksplisit oleh undang-undang. Larangan ini bertujuan melindungi independensi kabinet dan memastikan fokus penuh pada mandat pemerintahan.
Pengecualian sering terjadi pada jabatan rangkap di bidang pendidikan atau riset, di mana seorang profesional diizinkan menjadi dosen atau peneliti paruh waktu. Namun, bahkan pengecualian ini harus diatur sedemikian rupa agar tidak mengganggu jam kerja utama dan tidak menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan akademik sekunder tersebut.
Sektor BUMN adalah arena utama perdebatan jabatan rangkap. Posisi Dewan Komisaris (Dewan Pengawas) sering kali diisi oleh pejabat negara, anggota DPR, atau staf ahli kementerian, yang seharusnya memiliki fungsi pengawasan dan bukan eksekutif. Justifikasi penempatan ini sering kali didasarkan pada kebutuhan penguatan sinergi antara kebijakan pemerintah dan operasional perusahaan. Akan tetapi, praktik ini memunculkan tiga masalah regulasi utama:
Ketika pejabat kementerian (regulator) menjabat sebagai komisaris di BUMN (yang diatur), terjadi dualisme fungsi. Bagaimana mungkin kementerian dapat mengawasi secara objektif performa BUMN jika perwakilan mereka duduk di dewan pengawasnya? Hal ini merusak independensi pengawasan dan menciptakan ilusi akuntabilitas. Keputusan pengawasan cenderung lunak karena adanya kepentingan personal yang terjalin.
Meskipun ada upaya regulasi, seperti Peraturan Menteri BUMN yang membatasi jumlah maksimal rangkap jabatan dalam satu klaster BUMN, implementasinya sering kali menghadapi tantangan. Definisi 'rangkap jabatan' itu sendiri dapat diperdebatkan. Apakah jabatan di anak perusahaan BUMN dihitung sebagai rangkap jabatan? Celah-celah interpretasi ini menjadi jalan pintas bagi para elite untuk tetap mempertahankan posisinya.
Jabatan rangkap yang paling sensitif adalah keterlibatan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di dewan komisaris BUMN. Secara etika, fungsi DPR adalah mengawasi eksekutif (termasuk BUMN), sementara sebagai komisaris, mereka adalah bagian dari struktur yang diawasi. Ini merupakan konflik peran institusional yang fundamental, yang secara nyata merusak prinsip pemisahan kekuasaan dan checks and balances. Meskipun beberapa pihak mengklaimnya sebagai cara untuk memperkuat pengawasan legislatif, pada praktiknya, hal ini seringkali digunakan sebagai alat politik atau insentif finansial.
Melampaui isu etika individual dan regulasi kelembagaan, praktik jabatan rangkap memiliki dampak yang luas terhadap stabilitas ekonomi makro, efektivitas birokrasi, dan bahkan kesehatan mental para pelakunya.
Organisasi yang dipimpin oleh individu yang perhatiannya terbagi cenderung memiliki respons yang lambat terhadap perubahan pasar atau kebijakan. Kurangnya fokus manajerial puncak mengakibatkan terhambatnya inovasi dan ketidakmampuan beradaptasi. Jabatan rangkap sering kali menciptakan kepemimpinan yang bersifat "reaktif" daripada "proaktif," karena energi habis hanya untuk mengelola dua agenda yang berbeda, bukan untuk merencanakan masa depan yang disruptif.
Dalam birokrasi publik, rangkap jabatan dapat menyebabkan proses pengambilan keputusan menjadi sangat terpusat. Ketika satu orang memegang kunci di beberapa pintu, proses perizinan atau persetujuan harus menunggu jadwal individu tersebut, menyebabkan bottleneck atau hambatan yang signifikan. Hal ini berkontribusi pada reputasi birokrasi yang lambat dan tidak responsif terhadap kebutuhan masyarakat.
Meskipun individu yang memegang jabatan rangkap sering digambarkan sebagai sosok 'superhuman' dengan kapasitas kerja tak terbatas, realitas psikologisnya jauh lebih kompleks. Beban kerja ganda dapat menyebabkan:
Mengingat bahwa pembatasan total mungkin sulit diterapkan dalam semua konteks, terutama di mana keahlian langka dibutuhkan, solusi yang paling pragmatis adalah menciptakan mekanisme mitigasi risiko dan kerangka kerja yang sangat transparan.
Langkah pertama dalam mitigasi konflik adalah mewajibkan transparansi penuh. Setiap individu yang memegang lebih dari satu posisi, bahkan yang bersifat non-eksekutif (seperti dewan penasihat), harus secara publik mengungkapkan:
Pengungkapan ini memungkinkan publik, pemegang saham, dan badan pengawas untuk secara cepat mengidentifikasi potensi konflik kepentingan dan memberikan tekanan moral atau hukum jika terjadi penyalahgunaan wewenang. Transparansi berfungsi sebagai alat pencegahan yang efektif.
Regulasi harus secara tegas memisahkan fungsi regulator dan fungsi operator. Seseorang yang berfungsi sebagai regulator (misalnya di Otoritas Jasa Keuangan, Kementerian Keuangan) tidak boleh merangkap jabatan di entitas yang diregulasi. Demikian pula, fungsi pengawas (Komisaris) harus dipisahkan dari fungsi manajerial (Direksi) dan fungsi legislatif (DPR). Prinsip ini harus menjadi landasan tak tergoyahkan dalam revisi undang-undang terkait.
Daripada melarang semua bentuk jabatan rangkap secara kaku, sistem dapat mengadopsi ‘Pengujian Materialitas Konflik’. Jabatan rangkap hanya diizinkan jika secara objektif dapat dibuktikan bahwa kedua posisi tersebut tidak memiliki potensi konflik finansial, regulasi, atau loyalitas yang signifikan. Pengujian ini harus dilakukan oleh komite independen (misalnya Komite Etik atau Komite Nominasi dan Remunerasi yang independen).
Di tingkat korporasi (khususnya BUMN), Komite Nominasi dan Remunerasi (KNR) harus diperkuat dan diisi oleh anggota yang benar-benar independen dari struktur kekuasaan pemerintah atau manajemen utama. KNR inilah yang bertanggung jawab untuk mengevaluasi secara ketat riwayat jabatan calon anggota dewan, memastikan tidak ada rangkap jabatan yang merugikan perusahaan atau menciptakan konflik institusional. KNR harus memiliki kekuatan untuk menolak nominasi yang melanggar prinsip tata kelola yang baik.
Untuk memahami kedalaman masalah jabatan rangkap di Indonesia, perlu dilakukan analisis terperinci terhadap sektor-sektor kunci yang paling sering terpengaruh oleh isu ini, yaitu BUMN dan lembaga legislatif.
BUMN, yang mengelola aset triliunan Rupiah milik negara, berada pada persimpangan antara tujuan profit dan pelayanan publik. Ketika jabatan komisaris diisi oleh pejabat kementerian atau partai politik, fungsi pengawasan menjadi bias. Pejabat publik yang merangkap jabatan komisaris di BUMN strategis seringkali menerima kompensasi yang sangat besar, terkadang melebihi gaji pokok mereka sebagai pejabat negara, menciptakan motivasi finansial yang kuat untuk mempertahankan posisi ganda tersebut.
Jabatan komisaris di BUMN sering dijadikan 'posisi parkir' atau insentif politik bagi pendukung kekuasaan atau pihak yang dianggap berjasa. Penunjukan berbasis politik ini mengabaikan prinsip meritokrasi dan kompetensi. Akibatnya, alih-alih mengawasi kinerja dan memastikan tata kelola yang baik, komisaris politik seringkali berfungsi sebagai perpanjangan tangan kepentingan politik tertentu, yang dapat memengaruhi keputusan investasi, pengadaan, atau restrukturisasi BUMN, bertentangan dengan kepentingan perusahaan itu sendiri.
Banyak studi kasus menunjukkan korelasi negatif antara tingkat rangkap jabatan oleh pejabat publik di BUMN dengan efisiensi operasional BUMN tersebut. Ketika dewan pengawas kehilangan independensi, manajemen eksekutif (direksi) menjadi kurang tertekan untuk berkinerja optimal, karena mereka tahu bahwa keputusan buruk mereka mungkin tidak akan dikritik keras oleh dewan komisaris yang terikat secara politik. Ini pada akhirnya merugikan negara sebagai pemegang saham utama dan membebani masyarakat yang seharusnya dilayani oleh BUMN yang efisien.
Dalam sistem demokrasi yang sehat, lembaga legislatif memiliki peran krusial dalam mengawasi eksekutif. Ketika anggota DPR atau DPRD merangkap jabatan di struktur eksekutif atau BUMN, integritas proses legislasi dan pengawasan terancam parah.
Seorang anggota DPR yang juga menjadi komisaris BUMN memiliki kekuatan tawar-menawar yang luar biasa dalam proses penganggaran atau persetujuan proyek BUMN tersebut di parlemen. Ada insentif yang jelas bagi anggota tersebut untuk meloloskan kebijakan yang menguntungkan BUMN tempat mereka bekerja, bahkan jika kebijakan itu tidak optimal bagi negara secara keseluruhan. Ini menciptakan praktik patronase dan melumpuhkan fungsi pengawasan parlemen.
Tugas legislasi, penganggaran, dan pengawasan adalah pekerjaan penuh waktu yang kompleks. Anggota legislatif yang mengalihkan fokusnya ke jabatan lain, apalagi yang membutuhkan perjalanan dan rapat eksekutif, secara otomatis mengurangi waktu dan kualitas yang didedikasikan untuk tugas konstitusional utama mereka, yaitu mewakili rakyat dan membuat undang-undang yang baik.
Di luar kerangka hukum, perdebatan mengenai jabatan rangkap juga harus disorot dari dimensi etika pengabdian publik (public service ethos) dan tugas fidusia yang melandasinya. Ini adalah fondasi filosofis mengapa praktik ini harus dihindari, terlepas dari ada atau tidaknya larangan hukum eksplisit.
Tugas fidusia adalah kewajiban hukum dan etika untuk bertindak demi kepentingan terbaik pihak lain (principal), dalam hal ini, entitas yang diwakili atau publik secara luas. Jabatan rangkap secara filosofis mencederai tugas fidusia karena secara esensi memaksakan loyalitas ganda.
Keputusan yang diambil oleh individu dengan loyalitas ganda rentan terhadap bias. Bahkan jika individu tersebut mengklaim dapat memisahkan kepentingannya, keraguan publik (public perception) saja sudah cukup untuk merusak legitimasi keputusan tersebut. Integritas tidak hanya tentang bebas dari konflik, tetapi juga tentang penampilan bebas dari konflik (appearance of conflict).
Filosofi pengabdian publik menuntut dedikasi waktu, energi, dan pikiran yang tak terbagi. Ketika dedikasi ini terpecah, yang dikorbankan bukanlah sekadar waktu luang, melainkan kualitas pemikiran strategis yang krusial untuk keberhasilan institusi. Jabatan rangkap mengajarkan bahwa kualitas dapat dikorbankan demi akumulasi kekuasaan atau keuntungan, yang merupakan antitesis dari etika kepemimpinan yang bertanggung jawab.
Banyak negara maju telah menerapkan batasan yang sangat ketat terhadap jabatan rangkap, terutama antara sektor publik dan korporasi, serta antar lembaga pengawas dan yang diawasi. Model-model ini menyediakan pelajaran berharga bagi reformasi di Indonesia:
Meskipun solusi regulasi dan etika telah tersedia, implementasi perubahan struktural untuk membatasi jabatan rangkap menghadapi tantangan besar yang berakar pada sistem politik dan budaya birokrasi.
Tantangan terbesar berasal dari resistensi politik. Jabatan rangkap, terutama di BUMN, telah lama menjadi bagian integral dari sistem patronase yang digunakan oleh partai politik dan elit untuk memberikan imbalan dan mempertahankan loyalitas. Setiap upaya untuk memperketat aturan rangkap jabatan berarti mengganggu sistem distribusi kekuasaan dan sumber daya yang sudah mapan, sehingga menimbulkan perlawanan keras dari kelompok yang diuntungkan.
Kompleksitas regulasi di Indonesia, di mana satu aspek diatur oleh undang-undang, yang lain oleh peraturan pemerintah, dan yang lain lagi oleh peraturan menteri, menciptakan ruang interpretasi yang luas. Para pelaku rangkap jabatan sering kali menggunakan celah dalam peraturan yang saling bertentangan ini untuk membenarkan tindakan mereka, sebuah praktik yang menghambat penegakan hukum yang konsisten.
Reformasi yang efektif harus mencakup langkah-langkah holistik yang tidak hanya berfokus pada larangan, tetapi juga pada penguatan institusi dan budaya meritokrasi.
Diperlukan adanya satu undang-undang payung yang secara komprehensif mengatur larangan jabatan rangkap untuk pejabat publik, anggota legislatif, dan direksi/komisaris BUMN. Undang-undang ini harus memprioritaskan larangan pada posisi yang memiliki potensi konflik tinggi (regulator vs. yang diregulasi, pengawas vs. yang diawasi). Standardisasi ini akan menghilangkan ambiguitas dan tumpang tindih peraturan yang ada.
Lembaga anti-korupsi dan Ombudsman harus diberi mandat dan sumber daya yang lebih besar untuk memantau dan menindak praktik rangkap jabatan yang melanggar etika dan menimbulkan kerugian negara. Penindakan terhadap pejabat yang menyalahgunakan wewenang melalui posisi gandanya akan memberikan efek jera (deterrent effect) yang dibutuhkan.
Pemerintah harus berinvestasi dalam sistem pengembangan talenta yang kuat dan transparan (meritokrasi) untuk memastikan bahwa selalu ada pasokan individu yang kompeten untuk mengisi posisi kepemimpinan. Ketika daftar talenta yang memenuhi syarat meluas, argumentasi mengenai "hanya orang ini yang mampu" (justifikasi utama untuk rangkap jabatan) akan kehilangan relevansinya.
Kesimpulannya, praktik jabatan rangkap merupakan salah satu isu tata kelola paling krusial yang harus segera ditangani untuk menjamin integritas, efisiensi, dan akuntabilitas sektor publik dan korporasi di Indonesia. Sementara potensi efisiensi dapat muncul dalam kasus yang sangat spesifik, risiko konflik kepentingan, penurunan kinerja, dan erosi kepercayaan publik jauh lebih besar. Reformasi yang efektif memerlukan komitmen politik yang kuat, revisi regulasi yang komprehensif, dan yang paling penting, penanaman kembali etika pengabdian publik yang menuntut dedikasi tunggal dan integritas yang tak tercela.
Sektor keuangan, dengan sensitivitasnya yang tinggi terhadap kepercayaan dan stabilitas sistemik, menuntut tingkat integritas tertinggi. Praktik jabatan rangkap di lembaga keuangan, baik itu BUMN perbankan maupun entitas pengawas, dapat membawa konsekuensi yang merusak.
Jika seorang pejabat di bank sentral atau otoritas pengawas pasar modal merangkap jabatan sebagai komisaris di bank komersial, potensi bahaya sistemik akan meningkat drastis. Keputusan regulasi yang diambil dapat dipengaruhi oleh kepentingan institusi yang diawasi, yang pada akhirnya melemahkan independensi pengawas.
Komisaris dari sektor publik yang duduk di bank dapat menggunakan pengaruhnya untuk meloloskan proyek atau pinjaman yang berisiko tinggi namun memiliki nilai politik, mengorbankan prinsip kehati-hatian (prudent banking). Hal ini mengarah pada peningkatan Non-Performing Loan (NPL) dan pada akhirnya, krisis keuangan yang dapat merembet ke seluruh sistem perbankan nasional. Integritas dewan komisaris dalam hal ini adalah benteng pertama melawan praktik perbankan yang tidak sehat.
Adanya rangkap jabatan memungkinkan informasi sensitif mengalir secara tidak terfilter antara entitas yang diatur dan regulator. Hal ini dapat dimanfaatkan untuk menghindari sanksi regulasi atau memanipulasi laporan keuangan demi kepentingan pribadi atau politik. Oleh karena itu, larangan ketat terhadap rangkap jabatan di sektor ini bukan hanya masalah etika, tetapi juga prasyarat fundamental untuk stabilitas ekonomi makro.
Untuk sektor keuangan, dibutuhkan mekanisme 'firewall' etika yang sangat ketat. Ini mencakup larangan keras bagi mantan pejabat Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Bank Indonesia (BI), atau Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) untuk segera menduduki posisi di institusi yang mereka awasi. Masa tunggu yang panjang, disertai dengan pengawasan ketat terhadap semua komunikasi dan transaksi, diperlukan untuk memastikan bahwa keputusan yang mereka buat saat menjabat tidak disalahgunakan pasca-jabatan.
Masa depan tata kelola yang bersih dan efisien sangat bergantung pada kemampuan negara untuk menyelesaikan masalah jabatan rangkap secara tuntas. Hal ini membutuhkan komitmen jangka panjang, bukan sekadar respons reaktif terhadap skandal.
Perubahan mendasar harus dimulai dari budaya kepemimpinan. Institusi harus didorong untuk mengadopsi budaya 'Kepemimpinan Tunggal' (Single-Focus Leadership), di mana seorang pemimpin dituntut untuk mendedikasikan seluruh kapasitas profesionalnya hanya untuk satu mandat. Konsep ini harus diinternalisasi sejak dini dalam kurikulum pendidikan birokrasi dan pelatihan kepemimpinan korporasi.
Sistem remunerasi dan penghargaan harus dirancang sedemikian rupa sehingga memaksimalkan insentif untuk fokus pada satu peran. Jika kompensasi pada satu posisi sudah sangat kompetitif dan setara dengan pasar, maka daya tarik finansial dari jabatan rangkap akan berkurang. Penghargaan harus diberikan berdasarkan kedalaman kinerja dan hasil, bukan pada jumlah posisi yang dipegang.
Teknologi dapat memainkan peran penting dalam memitigasi risiko. Sistem informasi kepegawaian dan kepemimpinan nasional harus terintegrasi, memungkinkan pemantauan otomatis terhadap individu yang menduduki lebih dari satu posisi strategis, serta secara transparan mencatat konflik kepentingan yang potensial berdasarkan sektor dan afiliasi entitas.
Singkatnya, isu jabatan rangkap adalah cerminan dari tantangan tata kelola yang lebih besar: perjuangan antara meritokrasi dan patronase, antara dedikasi publik dan keuntungan pribadi. Hanya dengan kerangka regulasi yang kuat, penegakan hukum yang tegas, dan kesadaran etika yang tinggi, Indonesia dapat memutus rantai konflik kepentingan yang ditimbulkan oleh praktik peran ganda yang merugikan ini. Komitmen terhadap integritas dan akuntabilitas penuh adalah satu-satunya jalan menuju sistem kepemimpinan yang benar-benar melayani kepentingan publik dan memastikan pertumbuhan yang berkelanjutan dan adil bagi semua. Kegagalan untuk mengatasi masalah ini akan terus mengakibatkan kebocoran sumber daya, inefisiensi birokrasi, dan tergerusnya kepercayaan masyarakat terhadap institusi negara dan korporasi.
Jabatan komisaris BUMN menjadi titik fokus perdebatan karena perannya yang ambivalen. Secara teori, Komisaris berfungsi sebagai perpanjangan tangan pemegang saham (Negara) untuk mengawasi Direksi. Namun, penempatan pejabat publik di posisi ini, seringkali dengan justifikasi ‘koordinasi’, justru mendelegitimasi fungsi pengawasan itu sendiri, menciptakan sebuah lingkaran setan dalam tata kelola.
Ketika seorang menteri atau pejabat kementerian yang berwenang memberikan izin proyek strategis juga duduk di dewan komisaris BUMN yang mendapatkan proyek tersebut, keputusan investasi BUMN tersebut berada di bawah bayang-bayang konflik. BUMN mungkin didorong untuk mengambil proyek yang kurang layak secara bisnis (commercially viable) tetapi sangat menguntungkan secara politik atau memenuhi agenda jangka pendek menteri yang merangkap jabatan. Investasi yang didorong oleh kepentingan rangkap ini berpotensi merugikan BUMN hingga triliunan rupiah dalam jangka panjang, yang pada akhirnya ditanggung oleh negara.
Jabatan rangkap dapat memengaruhi proses pengadaan. Pejabat yang merangkap jabatan dapat secara halus atau terang-terangan memberikan informasi orang dalam atau memfasilitasi pertemuan yang menguntungkan vendor atau kontraktor tertentu yang terafiliasi dengan kepentingan jabatan sekundernya. Walaupun sulit dibuktikan sebagai korupsi murni, praktik ini jelas melanggar prinsip keadilan dan persaingan yang sehat (fair competition), yang merupakan pilar penting dalam tata kelola korporasi modern.
Budaya kepatuhan dalam BUMN melemah ketika pucuk pimpinan di dewan pengawas tidak menunjukkan independensi dan integritas yang tak diragukan. Karyawan dan manajemen tingkat menengah cenderung meniru perilaku kepemimpinan. Jika mereka melihat bahwa konflik kepentingan di tingkat atas ditoleransi, maka standar etika di tingkat operasional juga akan menurun, meningkatkan risiko penipuan internal dan ketidakpatuhan terhadap regulasi yang berlaku.
Untuk memulihkan kepercayaan dan memperkuat kepatuhan, reformasi harus berfokus pada penempatan profesional independen sejati yang tidak memiliki afiliasi politik atau hubungan struktural dengan regulator pemerintah. Independensi ini harus didefinisikan secara ketat, melampaui sekadar ketiadaan hubungan finansial, tetapi juga ketiadaan hubungan historis, sosial, dan politik dengan manajemen serta pemegang saham utama. Hanya dengan dewan komisaris yang independen penuh, pengawasan BUMN dapat berjalan efektif dan bebas dari intervensi kepentingan rangkap.
Tumpang tindih dan kelemahan dalam kerangka hukum menjadi celah utama yang dimanfaatkan untuk melegitimasi jabatan rangkap. Diperlukan upaya harmonisasi hukum yang ambisius untuk menutup semua celah yang ada.
Undang-Undang Perseroan Terbatas (UU PT) mengatur struktur dewan direksi dan komisaris. Namun, ketika diterapkan pada BUMN, terjadi ketegangan antara UU PT (yang berorientasi profit) dan UU BUMN (yang memasukkan unsur kepentingan negara). Celah sering muncul dalam definisi 'pihak independen' atau 'benturan kepentingan' yang memungkinkan penafsiran longgar, terutama untuk posisi komisaris yang diisi oleh pejabat publik.
Hukum harus memperluas definisi 'pejabat publik' yang dilarang merangkap jabatan, tidak hanya terbatas pada menteri atau anggota legislatif, tetapi juga mencakup staf khusus, penasihat, dan pejabat eselon I di kementerian yang memiliki kewenangan signifikan atas BUMN. Pembatasan ini bertujuan menangkal praktik penempatan orang-orang terdekat pejabat utama di kursi-kursi strategis BUMN.
Salah satu alasan mengapa jabatan rangkap terus berulang adalah sanksi yang dikenakan seringkali tidak proporsional dengan keuntungan finansial atau politik yang diperoleh. Sanksi administratif (seperti pencopotan jabatan) seringkali tidak cukup untuk memberikan efek jera, terutama jika individu tersebut sudah mengumpulkan kekayaan signifikan melalui posisi ganda tersebut.
Diperlukan sanksi pidana dan perdata yang lebih berat, termasuk pengembalian seluruh remunerasi yang diterima dari jabatan rangkap, jika terbukti terjadi konflik kepentingan yang merugikan negara. Ini akan meningkatkan risiko kerugian pribadi bagi para pelaku dan mendorong kepatuhan yang lebih serius terhadap larangan rangkap jabatan.
Dalam konteks psikologi organisasi, jabatan rangkap juga menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan kerja dan dinamika tim, melampaui kinerja individu yang bersangkutan.
Ketika manajemen puncak terlihat terpecah fokusnya atau terlalu sering absen, moral dan motivasi karyawan di bawahnya akan menurun. Karyawan merasa bahwa pekerjaan mereka tidak mendapatkan perhatian yang layak dari atasan. Selain itu, mereka mungkin merasa bahwa jalur promosi dan regenerasi tertutup, karena semua posisi kunci dipegang oleh satu lingkaran kecil individu yang sama.
Seorang pemimpin dengan peran ganda mungkin mengeluarkan arahan yang saling bertentangan, yang didorong oleh kebutuhan mendesak dari masing-masing institusi yang dipimpinnya. Ketidakjelasan arah ini menyebabkan kebingungan di tingkat operasional, menghabiskan waktu dan sumber daya untuk menyelesaikan konflik internal yang seharusnya tidak ada jika kepemimpinan memiliki fokus tunggal.
Teori kepemimpinan modern menekankan pada kontribusi individu secara utuh (whole-person contribution), di mana pemimpin membawa integritas, nilai, dan visi penuh mereka ke dalam satu peran. Jabatan rangkap merampas kemampuan pemimpin untuk memberikan kontribusi penuh ini. Alih-alih memberikan visi yang mendalam, mereka hanya mampu memberikan waktu yang terfragmentasi dan visi yang terdistorsi oleh loyalitas yang terbagi. Reformasi tata kelola harus mengembalikan narasi bahwa kepemimpinan yang hebat adalah tentang fokus yang tak terbagi, bukan tentang akumulasi gelar dan posisi yang berlebihan.