Pengantar: Jejak Takdir dan Pilihan
Sejak fajar peradaban manusia, pertanyaan tentang takdir dan kehendak bebas telah menjadi salah satu misteri paling mendalam yang meresahkan pikiran. Apakah hidup kita adalah serangkaian peristiwa yang telah ditentukan sebelumnya oleh kekuatan superior, ataukah kita adalah arsitek tunggal nasib kita sendiri? Pertanyaan fundamental ini telah memicu perdebatan sengit di berbagai tradisi filosofis dan keagamaan di seluruh dunia, dan Islam bukanlah pengecualian. Dalam khazanah intelektual Islam, salah satu aliran pemikiran yang paling menonjol dalam menjawab pertanyaan ini adalah Jabariah.
Jabariah, yang berasal dari kata Arab "jabr" (جبر) yang berarti paksaan atau keharusan, adalah sebuah doktrin teologis yang berpendapat bahwa manusia tidak memiliki kehendak bebas yang sejati atau kemampuan untuk memilih secara independen. Sebaliknya, semua tindakan manusia, baik yang disengaja maupun tidak, diyakini sepenuhnya ditentukan dan dipaksakan oleh kehendak mutlak Tuhan. Dalam pandangan ini, manusia dianggap sebagai instrumen pasif dalam rencana ilahi yang telah ditetapkan, tanpa otonomi sejati atas tindakan mereka.
Memahami Jabariah bukan hanya sekadar mengkaji sebuah aliran teologis kuno, tetapi juga menyingkap lapisan-lapisan kompleks dalam pemikiran Islam yang mencoba menyelaraskan atribut kemahakuasaan dan kemahatahuan Tuhan dengan konsep keadilan ilahi, tanggung jawab moral manusia, dan tujuan syariat. Aliran ini muncul sebagai reaksi terhadap atau sebagai bagian dari spektrum yang lebih luas dari perdebatan teologis awal dalam Islam, terutama yang berkaitan dengan isu takdir (qadar) dan kehendak manusia (ikhtiyar).
Artikel ini akan menelusuri secara mendalam konsep Jabariah, mulai dari definisi dan akar historisnya, argumentasi teologis yang mendasarinya, perbandingannya dengan aliran pemikiran lain seperti Qadariyah yang berlawanan, hingga implikasi filosofis dan etisnya. Kita juga akan membahas kritik-kritik yang dilontarkan terhadapnya dan bagaimana pandangan mayoritas ulama Sunni berusaha mencapai titik tengah yang harmonis antara determinisme ilahi dan kehendak bebas manusia. Tujuan akhirnya adalah untuk memberikan pemahaman yang komprehensif mengenai Jabariah sebagai salah satu elemen penting dalam mozaik pemikiran Islam yang kaya.
Perdebatan mengenai takdir ini bukanlah sekadar polemik akademis; ia memiliki implikasi praktis yang mendalam terhadap cara seorang Muslim memandang kehidupan, tanggung jawab pribadi, usaha, doa, dan bahkan respons terhadap musibah. Oleh karena itu, menyelami Jabariah adalah langkah penting untuk mengapresiasi keragaman dan kedalaman intelektual dalam tradisi Islam.
Mendalami Akar Jabariah: Sebuah Definisi
Untuk memahami Jabariah secara akurat, penting untuk menguraikan definisinya dengan cermat dan membedakannya dari konsep-konsep serupa yang terkadang disalahartikan. Secara etimologis, kata "Jabariah" berasal dari akar kata bahasa Arab ج ب ر (j-b-r), yang konotasinya mencakup makna "memaksa," "memperbaiki," "memulihkan," atau "memaksa masuk." Dalam konteks teologi Islam, "jabr" merujuk pada gagasan bahwa manusia dipaksa atau dipaksa untuk melakukan tindakan tertentu, tanpa memiliki kebebasan sejati untuk memilih.
Definisi teologis Jabariah dapat dirangkum sebagai keyakinan bahwa semua tindakan manusia, termasuk pikiran, ucapan, dan perbuatan, sepenuhnya ditentukan oleh kehendak dan kekuasaan Tuhan yang mutlak, dan manusia tidak memiliki kapasitas untuk memilih atau bertindak secara independen. Dalam pandangan ekstrem Jabariah, manusia digambarkan seperti sehelai daun yang digerakkan oleh angin atau pena di tangan penulis: ia bergerak, tetapi gerakannya bukanlah hasil dari kehendaknya sendiri melainkan kehendak dari kekuatan yang menggerakkannya.
Tingkatan Jabariah
Penting untuk dicatat bahwa istilah "Jabariah" sendiri mencakup spektrum pandangan yang bervariasi dalam tingkat determinisme yang dianut. Tidak semua yang disebut Jabariyah memiliki pandangan yang sama persis. Secara umum, para teolog membedakan antara:
- Jabariah Murni (Al-Jabariah al-Khalisah): Ini adalah bentuk Jabariah yang paling ekstrem, yang menyatakan bahwa manusia sama sekali tidak memiliki kehendak atau daya (qudrah) atas tindakan mereka. Mereka hanyalah wadah di mana tindakan Tuhan diwujudkan. Mereka tidak memiliki kemampuan untuk melakukan apa pun secara mandiri, dan semua tindakan, baik kebaikan maupun kejahatan, secara langsung dikaitkan dengan Tuhan. Ini sering kali dikaitkan dengan kelompok seperti Jahmiyah.
- Jabariah Moderat (Al-Jabariah al-Mutawasitah): Pandangan ini, meskipun masih dalam kerangka deterministik, memberikan sedikit ruang bagi apa yang disebut sebagai 'daya' (qudrah) manusia, namun daya tersebut dianggap tidak efektif atau tidak independen. Maksudnya, manusia memiliki daya yang diciptakan oleh Tuhan, tetapi daya ini tidak dapat menghasilkan tindakan kecuali jika Tuhan mengizinkannya dan menciptakannya secara langsung. Dengan kata lain, daya manusia ada, tetapi tetap tunduk sepenuhnya pada kehendak ilahi tanpa kapasitas otonom untuk berproduksi.
Perbedaan antara dua tingkatan ini menunjukkan kompleksitas internal dalam aliran Jabariah itu sendiri. Namun, intinya tetap sama: penekanan pada kemutlakan kehendak Tuhan yang tidak terbatas dan penolakan terhadap kehendak bebas manusia yang efektif.
Implikasi dari Definisi Ini
Definisi Jabariah ini menimbulkan beberapa implikasi serius, yang menjadi fokus utama perdebatan teologis:
- Tanggung Jawab Moral: Jika manusia tidak memiliki kehendak bebas, bagaimana mereka bisa dimintai pertanggungjawaban atas tindakan mereka di akhirat? Mengapa ada surga dan neraka, perintah dan larangan, jika semuanya sudah ditentukan?
- Keadilan Ilahi: Jika Tuhan menentukan setiap tindakan manusia, termasuk dosa, lalu adilkah jika Dia menghukum manusia atas dosa-dosa tersebut?
- Tujuan Syariat: Apa gunanya hukum-hukum agama, perintah, dan larangan jika manusia tidak memiliki pilihan untuk mematuhinya atau tidak?
- Usaha dan Doa: Jika semuanya sudah ditentukan, apa gunanya berusaha, berdoa, atau bertaubat?
Pertanyaan-pertanyaan inilah yang mendorong para teolog Muslim untuk mengeksplorasi isu takdir secara mendalam, dan Jabariah adalah salah satu jawaban yang, meskipun ekstrem bagi sebagian besar, tetap menjadi titik referensi penting dalam sejarah pemikiran Islam.
Dengan demikian, Jabariah bukan sekadar gagasan pasif tentang takdir, melainkan sebuah tesis yang menempatkan kehendak Tuhan di puncak segalanya, sampai pada titik meniadakan kehendak efektif manusia. Penjelasan ini akan menjadi landasan untuk menelusuri lebih lanjut bagaimana pandangan ini muncul, berkembang, dan bagaimana ia dikritik serta diseimbangkan dalam kerangka teologi Islam yang lebih luas.
Konteks Historis: Perdebatan Awal dalam Islam
Kemunculan Jabariah tidak dapat dilepaskan dari konteks perdebatan teologis yang intensif di masa-masa awal Islam, khususnya pada abad-abad pertama Hijriah. Periode ini ditandai oleh ekspansi pesat umat Islam, interaksi dengan kebudayaan dan filsafat yang beragam (Persia, Yunani, India), serta kebutuhan untuk merumuskan doktrin-doktrin keagamaan secara sistematis untuk menjawab tantangan internal maupun eksternal.
Isu takdir (qadar) adalah salah satu masalah sentral yang memicu kontroversi. Ayat-ayat Al-Quran dan hadis-hadis Nabi Muhammad SAW menyajikan gambaran yang kompleks: di satu sisi, terdapat penekanan kuat pada kemahakuasaan Tuhan yang meliputi segala sesuatu dan pengetahuan-Nya yang mendahului segalanya; di sisi lain, ada penekanan yang sama kuatnya pada tanggung jawab manusia, perintah dan larangan, serta konsep pahala dan dosa.
Perbedaan penekanan inilah yang melahirkan dua kutub pemikiran utama:
- Jabariah (Fatalis/Determinis): Menekankan kemutlakan kehendak Tuhan hingga menafikan kehendak bebas manusia.
- Qadariyah (Penganut Kehendak Bebas): Menekankan kehendak bebas manusia hingga pada taraf mengklaim manusia menciptakan tindakan-tindakannya sendiri secara independen dari kehendak Tuhan.
Jahmiyah: Puncak Ekstrem Jabariah
Salah satu tokoh paling awal dan paling representatif dari pandangan Jabariah ekstrem adalah Jahm bin Safwan, yang hidup pada abad ke-8 Masehi. Kelompok yang mengikutinya dikenal sebagai Jahmiyah. Jahm bin Safwan berpendapat bahwa manusia sama sekali tidak memiliki daya atau kehendak. Ia menganggap bahwa segala sesuatu terjadi semata-mata atas kehendak Allah, dan manusia hanyalah seperti benda mati yang digerakkan. Baginya, manusia tidak dapat menciptakan perbuatan apa pun, melainkan perbuatan itu diciptakan oleh Allah pada diri manusia. Konsekuensinya, ia menyimpulkan bahwa surga dan neraka, pahala dan siksa, bukanlah karena perbuatan manusia, melainkan karena kehendak mutlak Allah semata.
Pandangan Jahm ini sangat radikal dan menimbulkan kritik tajam dari berbagai pihak, termasuk dari para ulama dan kelompok teologi lainnya. Konsep ini dianggap bertentangan dengan keadilan Tuhan dan meniadakan makna syariat serta tanggung jawab moral. Oleh karena itu, Jahmiyah sering kali dicap sebagai bid'ah dan pandangannya ditolak oleh mayoritas ulama Sunni.
Hubungan dengan Isu Siyasah (Politik)
Selain konteks teologis murni, beberapa sejarawan dan teolog juga mengaitkan kemunculan Jabariah dengan dinamika politik pada masa itu. Pada periode kekuasaan Bani Umayyah, doktrin fatalisme terkadang digunakan untuk membenarkan kekuasaan penguasa dan meredam pemberontakan. Dengan alasan bahwa segala sesuatu telah ditentukan oleh Tuhan, termasuk kepemimpinan dan peristiwa politik, maka menentang penguasa sama saja dengan menentang kehendak Tuhan. Namun, perlu dicatat bahwa klaim ini tidak universal, dan banyak ulama menolak penggunaan doktrin teologi untuk tujuan politik semacam itu.
Perkembangan Selanjutnya
Meskipun Jahmiyah sebagai aliran murni Jabariah tidak bertahan lama dan dianggap sesat oleh banyak kalangan, perdebatan tentang takdir dan kehendak bebas terus berlanjut. Bahkan dalam aliran-aliran teologi Sunni arus utama, seperti Asy'ariyah dan Maturidiyah, meskipun mereka menolak Jabariah ekstrem, mereka tetap mengakui kemahakuasaan Tuhan yang mutlak dan konsep takdir ilahi yang telah ditetapkan. Namun, mereka berusaha menemukan jalan tengah yang dapat menyelaraskan kemahakuasaan Tuhan dengan tanggung jawab moral manusia, sebuah konsep yang dikenal sebagai kasb (perolehan) yang akan dibahas lebih lanjut.
Memahami latar belakang historis ini sangat penting untuk menempatkan Jabariah dalam perspektif yang benar. Ia adalah salah satu respons awal terhadap pertanyaan-pertanyaan fundamental tentang eksistensi, yang memicu pemikiran mendalam dan perkembangan berbagai mazhab teologi dalam Islam.
Argumentasi Teologis Pendukung Jabariah
Para penganut Jabariah, dalam upaya memperkuat pandangan mereka, mengandalkan berbagai argumen teologis yang bersumber dari interpretasi ayat-ayat Al-Quran dan hadis, serta penalaran logis mengenai atribut-atribut Tuhan. Inti dari argumen-argumen ini adalah untuk menegaskan kemutlakan kekuasaan dan kehendak Tuhan di atas segalanya, bahkan meniadakan ruang bagi kehendak bebas manusia yang independen.
1. Kemahakuasaan (Qudrah) Tuhan yang Mutlak
Argumen paling fundamental bagi Jabariah adalah konsep kemahakuasaan Tuhan (Allah SWT) yang tak terbatas. Tuhan adalah Maha Kuasa atas segala sesuatu, pencipta segala sesuatu, dan tidak ada yang dapat terjadi di alam semesta ini melainkan dengan kehendak-Nya. Mereka menafsirkan ayat-ayat Al-Quran yang menekankan bahwa tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah, atau bahwa Allah adalah pencipta segala sesuatu.
- Logika: Jika Tuhan Maha Kuasa, maka tidak mungkin ada entitas lain—termasuk manusia—yang memiliki kekuatan untuk bertindak secara independen dari kehendak-Nya. Jika manusia memiliki kehendak bebas yang sejati, itu akan membatasi kemahakuasaan Tuhan, seolah-olah ada sesuatu yang bisa terjadi di luar kontrol atau kehendak-Nya. Ini adalah hal yang tidak mungkin bagi Tuhan yang Maha Mutlak. Oleh karena itu, semua tindakan manusia haruslah diciptakan dan ditentukan oleh Tuhan.
- Analogi: Manusia adalah seperti pena di tangan penulis, atau patung yang digerakkan oleh dalang. Pena itu tidak dapat menulis sendiri; ia hanya mengikuti gerakan tangan penulis. Patung itu tidak bergerak sendiri; ia digerakkan oleh dalang. Demikian pula, manusia tidak bertindak atas kehendaknya sendiri, melainkan atas kehendak Tuhan yang menggerakkannya.
2. Kemahatahuan (Ilm) Tuhan yang Abadi
Pilar argumen lain adalah kemahatahuan Tuhan yang meliputi segala sesuatu, baik yang telah terjadi, sedang terjadi, maupun yang akan terjadi. Tuhan telah mengetahui segala sesuatu sejak azali, termasuk semua tindakan yang akan dilakukan oleh setiap individu. Pengetahuan ini tidak berubah dan tidak bisa salah.
- Logika: Jika Tuhan telah mengetahui dari keabadian bahwa seorang individu akan melakukan tindakan tertentu (misalnya, melakukan kebaikan atau kejahatan), maka tindakan tersebut pasti akan terjadi persis seperti yang telah diketahui Tuhan. Jika individu tersebut memiliki kehendak bebas untuk melakukan hal yang sebaliknya, itu berarti pengetahuan Tuhan bisa salah, atau bahwa individu tersebut dapat mengubah takdir yang telah ditetapkan Tuhan. Kedua hal ini tidak mungkin terjadi bagi Tuhan yang Maha Sempurna dan Maha Mengetahui. Oleh karena itu, tidak ada kehendak bebas yang sejati bagi manusia; semua telah tertulis dalam ilmu Tuhan.
- Konsekuensi: Ilmu Tuhan yang azali mengikat tindakan manusia pada suatu jalur yang telah ditentukan, menghilangkan otonomi sejati manusia dalam memilih.
3. Predestinasi (Qadar) dan Ketetapan (Qadha') Ilahi
Jabariah juga sangat menekankan konsep takdir (qadar) dan ketetapan (qadha'), yaitu bahwa segala sesuatu yang terjadi di alam semesta ini telah ditentukan dan dicatat dalam Lauhul Mahfuzh jauh sebelum penciptaan alam semesta. Ini mencakup bukan hanya peristiwa-peristiwa alam, tetapi juga semua tindakan dan nasib manusia.
- Logika: Jika semua kejadian dan perbuatan telah tertulis dan ditetapkan dalam Lauhul Mahfuzh oleh Tuhan, maka tidak mungkin bagi manusia untuk bertindak di luar apa yang telah ditetapkan itu. Mencoba melakukannya akan berarti menentang atau mengubah ketetapan Tuhan, yang merupakan hal mustahil. Oleh karena itu, semua yang manusia lakukan adalah eksekusi dari apa yang telah ditetapkan sebelumnya oleh Tuhan. Manusia tidak memiliki pilihan lain selain mengikuti skenario ilahi yang telah digariskan.
- Argumen: Mereka sering merujuk pada ayat-ayat yang berbicara tentang "kitab yang nyata" atau "ketetapan yang tertulis" sebagai bukti bahwa segala sesuatu telah diatur sebelumnya.
4. Ayat-ayat Al-Quran yang Menekankan Kehendak Tuhan
Penganut Jabariah sering mengutip ayat-ayat Al-Quran yang, jika diinterpretasikan secara harfiah dan diisolasi, tampaknya mendukung pandangan mereka tentang determinisme ilahi. Contoh jenis ayat yang digunakan meliputi:
- Ayat-ayat yang menyatakan bahwa Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki.
- Ayat-ayat yang menyatakan bahwa manusia tidak dapat berkehendak kecuali jika Allah menghendaki.
- Ayat-ayat yang menyebutkan bahwa Allah adalah pencipta segala sesuatu.
- Ayat-ayat yang menegaskan bahwa tidak ada yang dapat menimpa seseorang kecuali apa yang telah ditetapkan Allah untuknya.
Dari interpretasi ini, mereka menyimpulkan bahwa semua tindakan, baik iman maupun kufur, ketaatan maupun kemaksiatan, berasal sepenuhnya dari kehendak Allah. Manusia tidak memiliki peran aktif dalam "menciptakan" tindakan-tindakan tersebut, melainkan hanya "wadah" atau "tempat" di mana kehendak ilahi terwujud.
Secara keseluruhan, argumen teologis Jabariah berakar pada keyakinan yang kuat akan atribut-atribut keilahian yang sempurna: kemahakuasaan, kemahatahuan, dan kemutlakan kehendak Tuhan. Bagi mereka, untuk mengakui kehendak bebas manusia yang sejati akan berarti mengurangi kesempurnaan dan kemutlakan atribut-atribut tersebut. Ini adalah landasan pemikiran mereka yang, meskipun ditolak oleh mayoritas, memaksa refleksi mendalam tentang misteri takdir dan pilihan.
Jabariah vs. Qadariyah: Dua Kutub Pemikiran
Untuk memahami sepenuhnya nuansa Jabariah, sangat penting untuk membandingkannya dengan aliran teologis lawannya, Qadariyah. Perdebatan antara Jabariah dan Qadariyah merupakan salah satu polemik paling fundamental dan historis dalam sejarah teologi Islam, yang membentuk dasar bagi banyak diskusi teologis berikutnya. Jika Jabariah menekankan determinisme ilahi hingga meniadakan kehendak bebas manusia, maka Qadariyah berada di kutub yang berlawanan, menegaskan kebebasan mutlak manusia.
Qadariyah: Pembela Kehendak Bebas Manusia
Istilah "Qadariyah" berasal dari kata "qadar" (قدر) yang berarti takdir atau kekuasaan. Namun, ironisnya, kelompok ini justru dikenal sebagai pembela kehendak bebas manusia. Mereka percaya bahwa manusia memiliki kekuatan (qudrah) dan kehendak (iradah) yang independen untuk memilih dan menciptakan tindakan-tindakan mereka sendiri, baik itu kebaikan maupun kejahatan. Tuhan, dalam pandangan mereka, memberikan manusia kemampuan dan pilihan, dan manusia bertanggung jawab penuh atas penggunaan pilihan tersebut.
Tokoh-tokoh awal yang dikaitkan dengan pandangan Qadariyah antara lain Ma'bad al-Juhani dan Ghailan ad-Dimasyqi, yang muncul pada akhir abad pertama Hijriah. Mereka berargumen bahwa:
- Keadilan Tuhan Menuntut Kehendak Bebas: Jika Tuhan menghukum manusia atas dosa-dosa mereka, atau memberi pahala atas kebaikan mereka, maka manusia haruslah memiliki kemampuan untuk memilih antara keduanya. Tidaklah adil bagi Tuhan untuk menghukum seseorang atas tindakan yang dipaksakan kepadanya. Oleh karena itu, keadilan ilahi menuntut adanya kehendak bebas manusia.
- Tujuan Syariat dan Akal: Kehadiran perintah dan larangan dalam Al-Quran, serta seruan untuk beriman dan beramal saleh, menjadi tidak bermakna jika manusia tidak memiliki kemampuan untuk mematuhinya. Demikian pula, akal sehat menuntut bahwa seseorang bertanggung jawab atas perbuatannya.
- Ayat-ayat Al-Quran yang Menekankan Tanggung Jawab: Mereka mengutip ayat-ayat yang berbicara tentang pertanggungjawaban individu ("setiap jiwa bertanggung jawab atas apa yang telah dikerjakannya"), pilihan ("siapa yang ingin beriman, biarlah ia beriman; siapa yang ingin kafir, biarlah ia kafir"), dan usaha manusia.
Qadariyah ekstrem, dalam beberapa interpretasi, bahkan sampai pada titik menyatakan bahwa manusia adalah "pencipta" tindakan-tindakannya sendiri (khaliqu af'alihim) secara independen dari Tuhan, sebuah klaim yang kemudian ditolak keras oleh mayoritas ulama Sunni karena dianggap membatasi kekuasaan Tuhan.
Perbandingan Langsung: Jabariah vs. Qadariyah
Dampak Perdebatan
Perdebatan antara Jabariah dan Qadariyah menunjukkan tantangan mendasar dalam teologi Islam: bagaimana menyelaraskan atribut Tuhan yang Maha Kuasa dan Maha Mengetahui dengan konsep keadilan-Nya dan tanggung jawab moral manusia. Kedua aliran ini, dalam bentuk ekstremnya, menemui kesulitan dalam menjelaskan aspek lain dari ajaran Islam.
Jabariah ekstrem, dengan meniadakan kehendak bebas, menghadapi kesulitan besar dalam menjelaskan mengapa Tuhan memerintahkan dan melarang, menghukum dan memberi pahala, jika manusia tidak memiliki kemampuan untuk memilih. Ini juga dapat mengarah pada sikap pasif dan tidak bertanggung jawab, karena semuanya dianggap telah ditentukan.
Di sisi lain, Qadariyah ekstrem, dengan mengklaim manusia menciptakan tindakannya sendiri secara independen, menghadapi kesulitan dalam menjelaskan kemahakuasaan Tuhan. Jika manusia adalah "pencipta" tindakan mereka, bukankah ini mengurangi kedaulatan Tuhan sebagai satu-satunya Pencipta? Kebanyakan ulama Sunni menganggap klaim ini sebagai kemusyrikan.
Oleh karena itu, sebagian besar teolog Muslim arus utama (terutama Asy'ariyah dan Maturidiyah) berusaha mencari jalan tengah, sebuah sintesis yang dapat mempertahankan kemahakuasaan Tuhan tanpa menafikan tanggung jawab moral manusia. Jalan tengah ini, yang akan dibahas lebih lanjut, adalah kunci untuk memahami bagaimana Islam tradisional mengatasi dilema antara takdir dan kehendak bebas.
Implikasi Filosofis dan Etis Jabariah
Jika pandangan Jabariah tentang determinisme ilahi diterima secara mutlak, ia akan membawa implikasi filosofis dan etis yang sangat mendalam dan berpotensi mengubah seluruh kerangka pemahaman manusia tentang eksistensi, moralitas, dan tujuan hidup. Konsekuensi ini adalah alasan utama mengapa pandangan Jabariah ekstrem ditolak oleh sebagian besar pemikir dan ulama Islam.
1. Tanggung Jawab Moral yang Ditiadakan
Implikasi paling serius dari Jabariah adalah peniadaan tanggung jawab moral (taklif). Jika semua tindakan manusia sepenuhnya dipaksakan oleh Tuhan, maka manusia tidak memiliki pilihan sejati atas apa yang mereka lakukan. Dalam skenario seperti ini, konsep dosa dan pahala menjadi tidak masuk akal.
- Jika seseorang melakukan kejahatan, itu karena Tuhan yang memaksanya melakukannya. Apakah adil menghukum seseorang atas tindakan yang bukan kehendaknya sendiri?
- Jika seseorang melakukan kebaikan, itu pun karena Tuhan yang memaksanya. Apakah pantas memberinya pahala atas kebaikan yang bukan hasil usahanya secara otonom?
Ini secara langsung menantang konsep keadilan ilahi, yang merupakan salah satu atribut fundamental Tuhan dalam Islam. Bagaimana Tuhan yang Maha Adil dapat menghakimi makhluk-Nya atas sesuatu yang bukan kendali mereka?
2. Menafikan Tujuan Wahyu dan Syariat
Allah SWT menurunkan kitab suci (Al-Quran) dan mengutus para nabi dengan serangkaian perintah, larangan, janji surga, dan ancaman neraka. Seluruh sistem syariat ini bertujuan untuk membimbing manusia menuju jalan kebenaran dan kebaikan, serta menjauhkan mereka dari kebatilan dan kejahatan. Namun, jika manusia tidak memiliki kemampuan untuk memilih atau bertindak sesuai dengan bimbingan ini, maka seluruh tujuan wahyu dan syariat menjadi sia-sia dan tidak relevan.
- Mengapa Tuhan memerintahkan shalat, puasa, zakat, dan haji jika manusia tidak bisa memilih untuk melakukannya?
- Mengapa Tuhan melarang zina, mencuri, membunuh, jika manusia tidak bisa memilih untuk menghindarinya?
- Mengapa ada peringatan dan ajakan untuk bertaubat jika takdir telah final?
Dalam pandangan Jabariah, semua ini hanyalah bentuk formalitas belaka, tanpa ada implikasi praktis bagi perilaku manusia, karena hasil akhirnya sudah diputuskan.
3. Dampak pada Eksistensi dan Motivasi Manusia
Secara filosofis, Jabariah dapat memengaruhi pandangan manusia tentang eksistensi mereka sendiri:
- Pasivitas dan Nihilisme: Jika segala sesuatu telah ditentukan, maka usaha, kerja keras, inovasi, dan perjuangan menjadi tidak berarti. Mengapa harus berusaha jika hasilnya sudah ditetapkan? Ini dapat mengarah pada sikap apatis, fatalisme pasif, dan kurangnya motivasi untuk memperbaiki diri atau kondisi sosial.
- Peniadaan Makna Hidup: Jika manusia hanyalah "boneka" yang digerakkan oleh Tuhan, maka tujuan hidup, perjuangan, dan pencapaian pribadi akan kehilangan makna. Kebahagiaan atau penderitaan hanya menjadi bagian dari skenario yang telah ditulis, bukan hasil dari tindakan atau pilihan pribadi yang bermakna.
- Penghapusan Konsep Penyesalan dan Taubat: Jika seseorang melakukan dosa, dan dosa itu dipaksakan oleh Tuhan, maka tidak ada alasan untuk menyesal atau bertaubat. Sebaliknya, jika melakukan kebaikan, tidak ada alasan untuk merasa bangga. Ini menghilangkan dimensi spiritual yang sangat penting dalam Islam.
- Mempersulit Konsep Kebebasan Berpikir: Jika bahkan pikiran dan keyakinan pun dipaksakan, maka pencarian kebenaran melalui akal dan refleksi menjadi problematis.
4. Keadilan Tuhan yang Dipertanyakan
Salah satu kritik paling tajam terhadap Jabariah adalah bahwa pandangan ini mempertanyakan keadilan Tuhan. Jika Tuhan menciptakan manusia dengan kecenderungan untuk berbuat dosa, kemudian memaksa mereka untuk berbuat dosa, dan akhirnya menghukum mereka atas dosa-dosa tersebut, maka ini akan bertentangan dengan konsep Tuhan yang Maha Adil dan Maha Penyayang. Dalam pandangan Jabariah, Tuhan bisa tampak seperti tirani yang sewenang-wenang, yang jauh dari ajaran Islam yang menggambarkan Tuhan sebagai Ar-Rahman (Maha Pengasih) dan Ar-Rahim (Maha Penyayang).
Implikasi-implikasi ini menunjukkan mengapa Jabariah ekstrem tidak dapat diterima oleh mayoritas aliran teologi Islam. Mereka melihat bahwa meskipun kemahakuasaan Tuhan adalah kebenaran yang tak terbantahkan, harus ada cara untuk menyelaraskannya dengan keadilan Tuhan dan tanggung jawab moral manusia. Inilah yang mendorong pengembangan konsep-konsep seperti "kasb" (perolehan) oleh Asy'ariyah dan Maturidiyah, yang berusaha menjembatani jurang pemisah antara Jabariah dan Qadariyah ekstrem.
Kesimpulannya, sementara Jabariah menonjolkan aspek kemahakuasaan Tuhan, ia melakukannya dengan mengorbankan aspek-aspek penting lainnya dari teologi dan etika Islam, menjadikannya pandangan yang sulit dipertahankan dalam kerangka doktrin Islam yang komprehensif.
Kritik dan Bantahan Terhadap Pandangan Jabariah
Pandangan Jabariah, terutama dalam bentuknya yang ekstrem, telah menerima kritik keras dan bantahan yang sistematis dari berbagai aliran teologi Islam sejak kemunculannya. Para ulama dari berbagai mazhab, termasuk Mu'tazilah, Asy'ariyah, dan Maturidiyah, telah menyajikan argumen-argumen kuat yang menolak peniadaan kehendak bebas manusia. Kritik-kritik ini berpusat pada konsistensi teologis, keadilan ilahi, dan implikasi etis dari Jabariah.
1. Inkonsistensi dengan Keadilan Ilahi
Ini adalah bantahan paling sentral dan paling kuat. Para kritikus berpendapat bahwa Tuhan yang Maha Adil (Al-'Adl) tidak mungkin menghukum atau memberi pahala atas tindakan yang sepenuhnya dipaksakan. Jika manusia tidak memiliki pilihan atas perbuatannya, maka menuntut pertanggungjawaban dari mereka adalah tindakan yang tidak adil. Tuhan tidak akan melakukan ketidakadilan.
- Al-Quran: Banyak ayat Al-Quran yang menegaskan keadilan Tuhan, seperti "Dan Tuhanmu tidaklah menzalimi seorang pun" atau "Siapa yang berbuat kebaikan sekecil zarah pun, ia akan melihat balasannya, dan siapa yang berbuat kejahatan sekecil zarah pun, ia akan melihat balasannya." Ayat-ayat ini menyiratkan adanya kebebasan manusia untuk memilih, yang memungkinkan adanya pertanggungjawaban yang adil.
- Logika Akal: Secara rasional, tidaklah adil untuk menghukum seseorang yang tidak memiliki kemampuan untuk melakukan hal lain. Jika seorang budak dipaksa mencuri oleh tuannya, maka yang bersalah adalah tuannya, bukan budak. Demikian pula, jika Tuhan memaksa manusia berbuat dosa, maka kesalahan dan hukuman seharusnya tidak jatuh pada manusia.
2. Menafikan Tujuan Syariat dan Nubuwwah
Seperti yang telah disinggung dalam implikasi filosofis, kritikus berpendapat bahwa jika Jabariah benar, maka seluruh sistem syariat Islam, termasuk perintah (amr), larangan (nahy), janji (wa'd), dan ancaman (wa'id), menjadi tidak relevan dan sia-sia. Mengapa Tuhan menurunkan kitab suci, mengutus para nabi, dan menetapkan hukum-hukum agama jika manusia tidak memiliki kemampuan untuk mematuhinya atau melanggarnya?
- Perintah dan Larangan: Perintah untuk shalat, puasa, zakat, atau larangan terhadap zina, mencuri, minum khamar, mengandaikan bahwa manusia memiliki kapasitas untuk memilih antara melakukan atau tidak melakukan tindakan tersebut. Jika tidak, perintah dan larangan itu adalah beban yang tidak masuk akal (taklif ma la yutaq).
- Janji dan Ancaman: Janji surga bagi orang yang beriman dan beramal saleh, serta ancaman neraka bagi orang yang ingkar, hanya bermakna jika manusia memiliki pilihan untuk meraih surga atau pantas menerima neraka melalui tindakan mereka sendiri.
3. Bertentangan dengan Fitrah Manusia dan Pengalaman Harian
Kritikus juga menunjuk pada pengalaman subjektif manusia. Setiap individu merasakan adanya kehendak bebas dalam membuat keputusan sehari-hari, sekecil apa pun itu, seperti memilih untuk makan, berbicara, atau berjalan. Manusia secara alami membedakan antara tindakan yang terjadi secara paksa (misalnya, terjatuh) dan tindakan yang dilakukan secara sukarela (misalnya, melangkah).
- Perasaan Penyesalan dan Kebanggaan: Manusia merasakan penyesalan ketika melakukan kesalahan dan kebanggaan ketika mencapai sesuatu. Perasaan-perasaan ini mengindikasikan adanya persepsi tanggung jawab dan kepemilikan atas tindakan. Jika semua dipaksakan, mengapa ada penyesalan?
- Konsep Usaha (Jihad): Islam sangat menekankan usaha (jihad), baik dalam konteks spiritual maupun sosial. Ayat-ayat Al-Quran dan hadis mendorong manusia untuk berusaha, berjuang, dan tidak berputus asa. Jika semuanya telah ditentukan, usaha ini akan menjadi percuma.
4. Interpretasi Ayat-ayat Al-Quran dan Hadis
Para kritikus Jabariah mengakui ayat-ayat Al-Quran yang menekankan kemahakuasaan Tuhan, tetapi mereka berpendapat bahwa interpretasi Jabariah terhadap ayat-ayat tersebut bersifat parsial dan mengabaikan ayat-ayat lain yang menyoroti kehendak bebas dan tanggung jawab manusia. Mereka menekankan perlunya melihat Al-Quran secara holistik dan menafsirkan ayat-ayat yang saling terkait.
- Ayat tentang Pilihan: Contohnya, "Katakanlah (Muhammad): Kebenaran itu datang dari Tuhanmu; maka siapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan siapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir." (QS. Al-Kahf: 29).
- Ayat tentang Tanggung Jawab Pribadi: "Setiap orang bertanggung jawab atas apa yang telah dikerjakannya." (QS. At-Tur: 21).
- Ayat tentang Usaha: "Bagi manusia hanyalah apa yang telah ia usahakan." (QS. An-Najm: 39).
Mereka berpendapat bahwa Al-Quran mengajarkan keseimbangan antara kehendak Tuhan dan kehendak manusia, bukan peniadaan salah satunya.
5. Menjadikan Tuhan sebagai Pelaku Kejahatan
Dalam pandangan Jabariah ekstrem, jika Tuhan adalah satu-satunya pelaku sejati dari semua tindakan, termasuk kejahatan dan dosa, maka ini secara implisit menjadikan Tuhan sebagai pencipta atau pelaku kejahatan. Ini adalah kesimpulan yang dianggap tidak pantas dan bertentangan dengan kesucian (tanzih) Tuhan dari segala kekurangan dan keburukan. Tuhan adalah Maha Suci dari kejahatan.
Kritik-kritik ini secara kolektif menunjukkan bahwa pandangan Jabariah, meskipun bermaksud untuk memuliakan kemahakuasaan Tuhan, pada akhirnya menimbulkan lebih banyak masalah teologis dan etis daripada menyelesaikannya. Hal ini mendorong sebagian besar pemikir Islam untuk mencari sintesis yang lebih komprehensif, yang mampu menjaga kemuliaan Tuhan tanpa menafikan tanggung jawab manusia—sebuah jalan tengah yang ditemukan dalam mazhab Asy'ariyah dan Maturidiyah.
Sintesis dan Jalan Tengah: Pandangan Mayoritas Ulama
Mengingat ekstremisme pandangan Jabariah dan Qadariyah, sebagian besar ulama Sunni, khususnya yang berafiliasi dengan mazhab teologi Asy'ariyah dan Maturidiyah, mengembangkan sebuah sintesis yang berupaya menyelaraskan kemahakuasaan Tuhan dengan tanggung jawab moral manusia. Jalan tengah ini menjadi pandangan arus utama dalam Islam dan sering disebut sebagai "Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah". Konsep kunci dalam sintesis ini adalah Al-Kasb (الكسب), atau 'perolehan' atau 'akuisisi'.
Konsep Al-Kasb (Perolehan)
Para teolog Asy'ariyah, yang dipelopori oleh Abul Hasan al-Asy'ari, dan Maturidiyah, yang dipelopori oleh Abu Mansur al-Maturidi, mencoba memecahkan dilema takdir dan kehendak bebas dengan memperkenalkan konsep Al-Kasb. Konsep ini mengakui kemahakuasaan Tuhan sebagai Pencipta segala sesuatu, termasuk tindakan manusia, sambil tetap mempertahankan tanggung jawab manusia.
Inti dari konsep Al-Kasb adalah sebagai berikut:
- Allah adalah Pencipta (Khaliq) Mutlak: Allah adalah satu-satunya Pencipta segala sesuatu, baik zat maupun sifat, baik substansi maupun aksi. Ini berarti bahwa Allah adalah Pencipta perbuatan manusia itu sendiri, dalam arti bahwa Allah menciptakan kemampuan (qudrah) pada manusia dan menciptakan tindakan itu sendiri ketika manusia ingin melakukannya.
- Manusia Memiliki Kehendak (Iradah) dan Daya (Qudrah) yang Diciptakan: Manusia diberikan oleh Tuhan kehendak (niat, pilihan) dan daya (kemampuan) untuk melakukan sesuatu. Kehendak dan daya ini bukanlah independen dari Tuhan; mereka juga ciptaan Tuhan. Namun, mereka adalah alat atau sarana yang diberikan kepada manusia.
- Al-Kasb: 'Mengakuisisi' atau 'Memperoleh' Tindakan: Ketika manusia memiliki kehendak untuk melakukan suatu tindakan, dan menggunakan daya yang telah diberikan Tuhan kepadanya, maka Allah menciptakan tindakan tersebut pada saat itu juga. Tindakan ini kemudian "diperoleh" (kasb) oleh manusia. Manusia tidak "menciptakan" tindakan tersebut, tetapi ia "memperolehnya" dengan mengarahkan kehendak dan dayanya ke arah tindakan tersebut.
Singkatnya, Allah menciptakan tindakan, sementara manusia 'mengakuisisi' atau 'memperoleh' tindakan itu melalui kehendak dan pilihannya. Ibaratnya, seseorang ingin menulis. Tuhan menciptakan kemampuan menulis, pena, kertas, dan bahkan gerakan tangan. Namun, manusialah yang 'menghendaki' untuk menulis dan 'mengarahkan' tangannya untuk menulis. Meskipun Tuhan yang menciptakan gerakannya, namun 'arah' dan 'niat' gerakan itu berasal dari manusia, dan itulah dasar pertanggungjawabannya.
Perbedaan antara Asy'ariyah dan Maturidiyah dalam hal Kasb sangatlah halus:
- Asy'ariyah: Cenderung lebih mendekati Jabariah, mereka menekankan bahwa manusia tidak memiliki daya yang independen. Daya manusia yang diciptakan oleh Tuhan tidak memiliki pengaruh efektif pada tindakan; tindakan diciptakan sepenuhnya oleh Tuhan, dan manusia hanya 'berusaha' atau 'memperoleh' tindakan yang selaras dengan kehendaknya.
- Maturidiyah: Cenderung memberikan sedikit lebih banyak ruang bagi daya manusia. Mereka berpendapat bahwa daya manusia yang diciptakan oleh Tuhan memiliki pengaruh efektif (ta'thir) dalam 'penciptaan' tindakan, tetapi daya itu sendiri tetap ciptaan Tuhan. Dengan kata lain, manusia memiliki kebebasan memilih yang nyata, dan Tuhan menciptakan tindakan sesuai dengan pilihan manusia. Ini sedikit lebih kuat dalam menegaskan kehendak bebas manusia dalam batas-batas yang telah ditentukan Tuhan.
Meskipun ada perbedaan nuansa, kedua mazhab ini menolak Jabariah ekstrem (karena meniadakan kehendak) dan Qadariyah ekstrem (karena mengklaim manusia menciptakan tindakannya independen dari Tuhan). Keduanya berusaha mempertahankan atribut kemahakuasaan dan kemahatahuan Tuhan sambil menegaskan keadilan-Nya dan tanggung jawab moral manusia.
Penyelarasan Ayat-ayat Al-Quran dan Hadis
Dengan konsep Al-Kasb, pandangan arus utama dapat menyelaraskan berbagai jenis ayat Al-Quran dan hadis yang sebelumnya tampak kontradiktif:
- Ayat-ayat yang menekankan kemahakuasaan Tuhan (misalnya, bahwa Tuhan menyesatkan siapa yang Dia kehendaki dan memberi petunjuk siapa yang Dia kehendaki) diinterpretasikan dalam konteks bahwa Tuhan adalah Pencipta dari segala daya dan kehendak, dan tidak ada yang terjadi tanpa izin-Nya.
- Ayat-ayat yang menekankan tanggung jawab manusia dan kehendak bebas (misalnya, tentang pahala, dosa, perintah, dan larangan) diinterpretasikan dalam konteks bahwa manusia memiliki kehendak dan daya yang diciptakan, yang memungkinkan mereka untuk "memperoleh" atau "mengakuisisi" tindakan baik atau buruk, sehingga bertanggung jawab atas pilihan mereka.
Ini adalah keseimbangan yang rumit, mengakui bahwa meskipun Tuhan adalah Pencipta segala sesuatu, manusia diberikan kapasitas untuk memilih dan bertanggung jawab atas pilihannya tersebut. Inilah yang membedakan pandangan mayoritas ulama dari ekstremisme Jabariah.
Pandangan arus utama ini juga menegaskan pentingnya usaha (ikhtiyar) dan doa. Manusia wajib berusaha dan berdoa karena mereka memiliki kemampuan untuk memilih dan Tuhan akan menanggapi usaha dan doa tersebut, meskipun hasilnya tetap dalam genggaman Tuhan. Ini menolak fatalisme pasif yang dapat muncul dari Jabariah.
Dengan demikian, konsep Al-Kasb berfungsi sebagai jembatan teologis yang memungkinkan umat Islam untuk memegang teguh keyakinan pada kemahakuasaan dan kemahatahuan Tuhan, sekaligus mempertahankan prinsip fundamental keadilan ilahi dan tanggung jawab moral yang menjadi inti dari ajaran agama.
Determinisme Ilahi dalam Kehidupan Sehari-hari
Meskipun perdebatan tentang Jabariah sering kali terlihat abstrak dan hanya relevan bagi para teolog, implikasi dari pandangan tentang takdir dan kehendak bebas dapat memiliki dampak yang signifikan pada kehidupan sehari-hari individu dan dinamika sosial masyarakat. Cara seseorang memahami hubungan antara kehendak Tuhan dan tindakan manusia dapat membentuk pandangan dunia, motivasi, dan respons terhadap berbagai situasi.
1. Dampak pada Motivasi dan Usaha
Jika seseorang benar-benar menganut pandangan Jabariah ekstrem, di mana semua tindakan dipaksakan dan tidak ada kehendak bebas yang efektif, maka hal ini dapat mengarah pada:
- Pasivitas dan Kurangnya Motivasi: Mengapa harus belajar keras jika nilai ujian sudah ditentukan? Mengapa harus bekerja keras jika rezeki sudah ditetapkan? Ini dapat melemahkan semangat untuk berusaha, berinovasi, atau menghadapi tantangan. Orang mungkin merasa bahwa "apa pun yang terjadi, itu sudah takdirnya," sehingga tidak perlu ada tindakan preventif atau inisiatif.
- Penghindaran Tanggung Jawab: Jika suatu kegagalan atau kesalahan terjadi, seseorang mungkin menyalahkan takdir sepenuhnya, tanpa merasa perlu untuk introspeksi atau memperbaiki diri. "Itu sudah takdirku," bisa menjadi alasan untuk tidak bertanggung jawab.
Namun, dalam pandangan Sunni arus utama yang moderat, pemahaman tentang takdir justru harus memicu usaha, bukan mematikannya. Keyakinan bahwa Tuhan telah mengetahui segalanya bukan berarti manusia tidak perlu berusaha. Justru sebaliknya, manusia diperintahkan untuk berusaha karena usahalah yang akan "diperoleh" dan dihisab. Hasil akhir mungkin ditentukan Tuhan, tetapi proses usaha adalah bagian dari takdir yang harus dijalani manusia dengan kesungguhan.
2. Respons Terhadap Musibah dan Kesulitan
Dalam menghadapi musibah, pandangan tentang takdir memiliki peran penting:
- Jabariah Ekstrem: Seseorang mungkin menerima musibah dengan pasrah total, tanpa merasa perlu untuk mencari solusi atau beradaptasi, karena yakin bahwa itu adalah paksaan ilahi yang tidak dapat diubah. Ini bisa mengurangi stres akibat kegagalan, tetapi juga menghambat pertumbuhan dan kemajuan.
- Pandangan Moderat: Umat Islam diajarkan untuk bersabar (sabr) dan bertawakal (bertawakkul) kepada Tuhan setelah melakukan usaha maksimal. Tawakal bukan berarti pasrah tanpa usaha, melainkan menyandarkan diri kepada Tuhan setelah mengambil langkah-langkah yang diperlukan. Ini memberikan ketenangan jiwa bahwa segala sesuatu terjadi atas izin Tuhan, namun tetap mendorong untuk berusaha dan mengambil hikmah.
3. Etika dan Moral Sosial
Pada tingkat sosial, pandangan Jabariah ekstrem dapat mengikis fondasi etika dan moral. Jika tidak ada tanggung jawab atas perbuatan, maka:
- Sistem Hukum: Konsep hukuman dan penghargaan akan kehilangan validitasnya. Mengapa menghukum penjahat jika tindakannya dipaksakan?
- Akuntabilitas Sosial: Individu dan lembaga mungkin menghindari akuntabilitas atas kegagalan atau ketidakadilan, dengan dalih bahwa itu "sudah takdir".
Sebaliknya, pandangan moderat yang mengakui kehendak bebas manusia dalam kerangka takdir ilahi akan mendorong tanggung jawab individu, keadilan sosial, dan usaha kolektif untuk menciptakan masyarakat yang lebih baik. Keyakinan pada takdir yang benar akan mengajarkan bahwa Tuhan tidak mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri.
4. Hubungan dengan Doa dan Ibadah
Dalam Jabariah ekstrem, doa mungkin terasa sia-sia, karena apa pun yang telah ditentukan akan terjadi, dan doa tidak akan mengubahnya. Namun, dalam Islam, doa adalah inti ibadah, dan Tuhan sendiri memerintahkan untuk berdoa dan berjanji akan mengabulkannya. Ini menunjukkan bahwa doa adalah bagian dari takdir itu sendiri, dan ia memiliki pengaruh.
Begitu pula dengan ibadah lainnya. Ketaatan kepada perintah Tuhan, seperti shalat atau puasa, adalah ekspresi dari kehendak bebas manusia yang 'memperoleh' kebaikan, dan hal itu merupakan bagian dari kehendak Tuhan yang telah mengetahui bahwa hamba-Nya akan memilih untuk taat.
5. Pencegahan dan Perencanaan
Ajaran Islam yang seimbang mendorong perencanaan, pencegahan, dan kehati-hatian. Misalnya, Nabi Muhammad SAW memerintahkan seorang badui untuk mengikat untanya terlebih dahulu sebelum bertawakal. Ini menunjukkan bahwa meskipun hasil akhir adalah kehendak Tuhan, manusia memiliki peran aktif dalam mengambil tindakan yang bijaksana dan bertanggung jawab.
Oleh karena itu, meskipun konsep determinisme ilahi adalah bagian dari keyakinan Islam, pemahaman yang benar dan seimbang—seperti yang diajarkan oleh mazhab-mazhab Sunni arus utama—adalah krusial. Ini memungkinkan seorang Muslim untuk hidup dengan keyakinan yang teguh pada Tuhan, menerima ketetapan-Nya dengan hati lapang, sekaligus aktif, bertanggung jawab, dan termotivasi untuk melakukan kebaikan serta memperbaiki diri dan lingkungan sekitarnya. Ini adalah kunci untuk menghindari ekstremisme fatalisme dan mempertahankan dinamisme dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat.
Kesimpulan: Merangkai Pemahaman yang Komprehensif
Perjalanan intelektual dalam memahami Jabariah membawa kita pada inti salah satu perdebatan teologis paling krusial dalam Islam: keseimbangan antara kemutlakan kehendak Tuhan dan otonomi kehendak bebas manusia. Jabariah, dengan penekanan ekstremnya pada determinisme ilahi, menawarkan satu respons terhadap misteri takdir, namun dengan konsekuensi yang mendalam terhadap konsep keadilan ilahi, tanggung jawab moral, dan tujuan syariat.
Sejak kemunculannya di awal sejarah Islam, pandangan Jabariah murni telah ditolak oleh mayoritas ulama dan aliran teologi, karena dianggap tidak konsisten dengan inti ajaran Al-Quran dan hadis yang juga menekankan pertanggungjawaban individu, keadilan Tuhan, serta makna dari perintah dan larangan agama. Kritik terhadap Jabariah tidak hanya datang dari sisi teologis, tetapi juga dari implikasi etis dan filosofisnya yang berpotensi melumpuhkan motivasi manusia dan menafikan makna kehidupan.
Sebaliknya, aliran teologi Sunni arus utama, terutama Asy'ariyah dan Maturidiyah, menawarkan jalan tengah yang harmonis melalui konsep Al-Kasb (perolehan). Konsep ini berusaha untuk mengakui kemahakuasaan Tuhan sebagai Pencipta segala sesuatu, termasuk tindakan manusia, sambil tetap memberikan ruang bagi kehendak dan daya manusia yang diciptakan untuk 'memperoleh' atau 'mengakuisisi' tindakan tersebut. Dengan demikian, manusia tetap dimintai pertanggungjawaban atas pilihan dan usaha mereka, meskipun semua itu terjadi dalam kerangka pengetahuan dan kehendak Tuhan yang telah ditetapkan.
Pemahaman yang seimbang ini sangat penting. Ia memungkinkan seorang Muslim untuk hidup dengan ketenangan hati bahwa segala sesuatu terjadi atas izin Tuhan, tanpa jatuh ke dalam fatalisme pasif yang meniadakan usaha. Justru, keyakinan pada takdir yang benar mendorong individu untuk senantiasa berusaha, berikhtiar, berdoa, dan bertanggung jawab atas setiap pilihan dan perbuatannya. Tuhan memerintahkan manusia untuk berusaha dan memilih jalan yang baik, dan hasilnya ada di tangan-Nya.
Pada akhirnya, perdebatan tentang Jabariah mengingatkan kita akan kedalaman dan kompleksitas pemikiran Islam. Ia menunjukkan bagaimana para ulama berjuang untuk menyelaraskan berbagai aspek dari teks-teks suci dan akal sehat, demi membangun sebuah sistem kepercayaan yang koheren, adil, dan bermakna. Memahami Jabariah, dalam konteks perbandingan dengan Qadariyah dan sintesis yang dicapai oleh arus utama, adalah kunci untuk mengapresiasi kekayaan intelektual Islam dan menemukan keseimbangan spiritual dalam menghadapi misteri takdir dan kehendak bebas.
Semoga artikel ini memberikan pencerahan dan pemahaman yang lebih mendalam tentang salah satu konsep paling menantang dalam sejarah teologi Islam.