Dalam kancah pemikiran hukum Islam, terdapat berbagai metodologi dan prinsip yang digunakan untuk menghasilkan hukum atau fatwa. Salah satu di antaranya adalah Istihsan, sebuah prinsip yang seringkali menjadi titik perdebatan sengit di antara para ulama dan mazhab fiqh. Istihsan bukan sekadar sebuah konsep teoritis, melainkan sebuah metode yang memiliki implikasi praktis sangat besar dalam pembentukan hukum, terutama ketika dihadapkan pada situasi yang kompleks dan membutuhkan fleksibilitas. Artikel ini akan mengupas tuntas apa itu Istihsan, bagaimana dasar hukumnya, jenis-jenisnya, contoh penerapannya, serta dinamika perdebatan di sekitarnya, hingga relevansinya di era kontemporer. Tujuan utama dari penulisan ini adalah untuk memberikan pemahaman yang komprehensif dan mendalam mengenai Istihsan, sebuah konsep yang esensial dalam memahami kekayaan dan kedinamisan hukum Islam.
Hukum Islam, atau syariat, adalah sistem hukum yang komprehensif dan dinamis, bersumber dari wahyu Ilahi dan ajaran Nabi Muhammad SAW. Sumber-sumber utamanya adalah Al-Qur'an dan Sunnah, yang kemudian diperkaya dengan metode-metode penalaran hukum seperti Ijma' (konsensus ulama) dan Qiyas (analogi). Namun, realitas kehidupan manusia yang senantiasa berubah, dengan munculnya kasus-kasus baru dan kompleksitas yang belum pernah ada sebelumnya, menuntut adanya fleksibilitas dalam penerapan syariat. Di sinilah peran penting dari berbagai prinsip istinbath hukum (pengambilan hukum) menjadi krusial, salah satunya adalah Istihsan.
Istihsan muncul sebagai sebuah mekanisme yang memungkinkan mujtahid (ahli hukum Islam yang berijtihad) untuk menyimpang dari penerapan hukum yang ketat berdasarkan Qiyas yang jelas, menuju pada hukum lain yang dipandang lebih baik, lebih maslahah (bermanfaat), lebih adil, atau lebih sesuai dengan ruh syariat. Ini bukanlah upaya untuk 'membengkokkan' hukum, melainkan sebuah metode untuk memastikan bahwa keadilan dan kemaslahatan tetap menjadi tujuan utama syariat dalam setiap situasi. Tanpa adanya fleksibilitas seperti yang ditawarkan Istihsan, hukum Islam mungkin akan terkesan kaku dan sulit beradaptasi dengan kebutuhan zaman.
Memahami Istihsan tidak hanya berarti memahami sebuah definisi, tetapi juga memahami semangat di balik pembentukan hukum Islam yang selalu mengedepankan kemudahan, menghilangkan kesulitan, dan merealisasikan keadilan serta kemaslahatan bagi umat manusia. Ini adalah sebuah cerminan dari prinsip dasar syariat yang menghendaki kemaslahatan dan menolak kemudaratan.
Secara etimologi, kata Istihsan (الاستحسان) berasal dari akar kata Arab hasuna (حسُنَ) yang berarti baik, indah, atau bagus. Bentuk istif'al (استفعال) dari kata tersebut, yaitu istahsan (استحسن), berarti menganggap baik, mencari yang baik, atau memilih sesuatu yang dianggap lebih baik. Dengan demikian, secara harfiah, Istihsan bisa diartikan sebagai "menganggap baik sesuatu" atau "memilih yang terbaik". Dalam konteks yang lebih luas, ini mencerminkan preferensi terhadap suatu pilihan yang dianggap superior dalam situasi tertentu.
Pilihan yang "baik" ini tidak selalu berarti pilihan yang paling mudah, tetapi lebih kepada pilihan yang membawa kemaslahatan lebih besar, mengurangi kesulitan, atau lebih sesuai dengan tujuan syariat (maqasid syariah). Ini menunjukkan bahwa Istihsan pada dasarnya adalah tindakan kognitif dan evaluatif untuk menentukan opsi yang lebih unggul dalam kerangka hukum Islam.
Para ulama ushul fiqh memiliki beberapa definisi Istihsan secara terminologi, meskipun terdapat perbedaan nuansa di antara mazhab-mazhab. Perbedaan ini justru menunjukkan kekayaan pemahaman terhadap konsep tersebut.
Mazhab Hanafi adalah salah satu mazhab yang paling banyak menggunakan dan mengembangkan konsep Istihsan. Imam Al-Sarakhsi, salah satu ulama Hanafi terkemuka, mendefinisikan Istihsan sebagai:
"Meninggalkan qiyas jali (analogi yang jelas) kepada qiyas khafi (analogi yang tersembunyi) atau meninggalkan hukum kully (umum) kepada hukum istisna'i (pengecualian) karena adanya dalil yang lebih kuat."
Definisi ini menyoroti dua aspek utama:
Mazhab Maliki juga menerima Istihsan, meskipun dengan penekanan yang sedikit berbeda. Imam Malik sendiri dikenal sebagai ulama yang sangat memperhatikan kemaslahatan umat. Bagi Mazhab Maliki, Istihsan seringkali dihubungkan dengan "mengedepankan maslahat umum di atas qiyas." Mereka melihat Istihsan sebagai "pengambilan yang paling dekat kepada kebenaran", atau "mengesampingkan hukum yang berasal dari qiyas menuju pada hukum yang lebih maslahah atau lebih adil."
Misalnya, jika ada dua dalil yang bertentangan atau dua hasil qiyas, dan salah satunya akan membawa kesulitan (masyaqqah) bagi masyarakat, sementara yang lain membawa kemudahan dan kemaslahatan, maka Mazhab Maliki akan memilih yang terakhir berdasarkan Istihsan. Ini menunjukkan bahwa bagi mereka, tujuan syariat untuk mencapai kemaslahatan dan menghilangkan kemudaratan sangat dominan dalam penerapan Istihsan.
Mazhab Syafi'i, yang didirikan oleh Imam Syafi'i, secara umum menolak Istihsan sebagai sumber hukum independen. Imam Syafi'i terkenal dengan ucapannya: "Barang siapa yang beristihsan, berarti ia telah membuat syariat baru." Penolakan ini berakar pada kekhawatiran bahwa Istihsan dapat membuka pintu bagi subjektivitas dan penetapan hukum berdasarkan hawa nafsu atau akal semata, tanpa dasar dalil yang jelas dari Al-Qur'an atau Sunnah.
Bagi Imam Syafi'i, semua hukum harus memiliki dasar yang kuat dari wahyu atau metode penalaran yang telah disepakati seperti Qiyas. Istihsan, dalam pandangan mereka, adalah penyimpangan dari Qiyas tanpa adanya dalil syar'i yang eksplisit. Jika memang ada dalil syar'i lain yang mendukung penyimpangan tersebut, maka itu bukanlah Istihsan, melainkan kembali kepada dalil syar'i yang lebih kuat tersebut. Meskipun demikian, para ulama Syafi'i mengakui konsep-konsep yang serupa dengan Istihsan, tetapi mereka mengategorikannya dalam bab lain, seperti "Istidlal" atau "Mura'ah al-Maslahah" dengan batasan yang lebih ketat. Mereka juga berpendapat bahwa dalil-dalil yang menjadi dasar Istihsan sesungguhnya bisa dikembalikan kepada Qiyas yang lebih kuat atau dalil-dalil lain yang diakui.
Mazhab Hanbali, yang didirikan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, memiliki pandangan yang lebih nuansa terhadap Istihsan. Imam Ahmad tidak menolak Istihsan secara mutlak, namun penggunaannya sangat terbatas dan berdasarkan kriteria yang ketat. Istihsan bagi mereka seringkali diartikan sebagai "meninggalkan qiyas menuju pada dalil yang lebih kuat dari Al-Qur'an atau Sunnah." Dalam pengertian ini, Istihsan bukanlah sumber hukum independen, melainkan sebuah metode untuk mencari dalil yang paling kuat ketika ada pertentangan.
Beberapa ulama Hanbali bahkan menganggap Istihsan sebagai bagian dari dalil mursal atau kemaslahatan mursalah, atau sebagai sebuah metode untuk memilih dalil yang paling maslahah dari beberapa dalil yang ada. Jadi, Istihsan dalam mazhab Hanbali tidak bersifat mandiri, melainkan selalu terikat pada teks syar'i yang eksplisit atau prinsip-prinsip umum syariat yang telah mapan.
Dari berbagai definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa meskipun terdapat perbedaan formulasi, inti dari Istihsan adalah kecenderungan untuk memilih suatu hukum yang dianggap lebih baik, lebih maslahah, atau lebih adil dalam suatu kasus tertentu, meskipun itu berarti menyimpang dari penerapan analogi yang lebih tampak atau kaidah umum, asalkan didukung oleh dalil syar'i yang kuat atau pertimbangan kemaslahatan yang valid. Ini adalah manifestasi dari prinsip dasar syariat yang bertujuan untuk mewujudkan kemudahan dan kemaslahatan bagi umat manusia.
Perdebatan tentang Istihsan tidak lepas dari diskursus mengenai dasar hukum atau hujjah yang melandasinya. Mazhab yang menerima Istihsan, seperti Hanafi dan Maliki, mengemukakan argumen-argumen yang kuat dari Al-Qur'an, Sunnah, Ijma', dan akal sehat, sementara mazhab yang menolaknya (terutama Syafi'i) memiliki bantahan tersendiri.
Para pendukung Istihsan merujuk pada beberapa ayat Al-Qur'an yang secara umum menunjukkan pentingnya memilih yang terbaik, yang paling baik, dan yang mengikuti petunjuk Allah.
QS. Az-Zumar (39): 18:
الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ ۚ أُولَٰئِكَ الَّذِينَ هَدَاهُمُ اللَّهُ ۖ وَأُولَٰئِكَ هُمْ أُولُو الْأَلْبَابِ
"Orang-orang yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal sehat."
Ayat ini, menurut mereka, adalah landasan umum yang menginspirasi pencarian "yang terbaik" (ahsan) dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam penetapan hukum. Ketika seorang mujtahid dihadapkan pada dua pilihan hukum atau dua interpretasi, dan salah satunya dinilai "lebih baik" dalam mencapai tujuan syariat atau membawa kemaslahatan, maka memilih yang "terbaik" tersebut sejalan dengan spirit ayat ini. Meskipun ayat ini bersifat umum dan tidak spesifik tentang metodologi hukum, ia memberikan landasan etis dan filosofis bagi prinsip Istihsan.
QS. Al-Baqarah (2): 185:
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
"Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu."
Ayat ini menegaskan prinsip taysir (kemudahan) dalam syariat. Ketika penerapan suatu qiyas atau kaidah umum menyebabkan kesulitan ('usr) yang tidak semestinya, Istihsan dapat menjadi jalan keluar untuk mencari solusi yang lebih mudah dan menghilangkan kesulitan tersebut, sejalan dengan kehendak Allah.
QS. An-Nisa (4): 58:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَىٰ أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ
"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil."
Ayat ini menekankan pentingnya keadilan ('adl) dalam hukum. Jika penerapan Qiyas yang ketat dalam suatu kasus justru menjauhkan dari keadilan atau mengakibatkan ketidakadilan, maka Istihsan dapat digunakan untuk mencari solusi yang lebih adil, meskipun itu berarti menyimpang dari Qiyas yang tampak.
Beberapa hadis Nabi Muhammad SAW juga digunakan untuk mendukung Istihsan.
Hadis Mu'adz bin Jabal: Ketika Nabi SAW mengutus Mu'adz ke Yaman, beliau bertanya, "Bagaimana kamu akan memutuskan jika datang suatu perkara kepadamu?" Mu'adz menjawab, "Aku akan memutuskan dengan Kitabullah." Nabi bertanya, "Jika tidak ada di Kitabullah?" Mu'adz menjawab, "Dengan Sunnah Rasulullah." Nabi bertanya, "Jika tidak ada di Sunnah Rasulullah?" Mu'adz menjawab, "Aku akan berijtihad dengan pendapatku sendiri dan tidak akan berlebihan (tidak melampaui batas)." Nabi SAW lalu menepuk dadanya dan bersabda, "Segala puji bagi Allah yang telah membimbing utusan Rasulullah kepada sesuatu yang diridai Rasulullah."
Hadis ini menunjukkan legitimasi ijtihad dan penggunaan akal dalam mencari solusi hukum ketika tidak ada nash yang eksplisit. Ungkapan "berijtihad dengan pendapatku sendiri" di sini diinterpretasikan oleh pendukung Istihsan sebagai kebebasan untuk memilih yang terbaik berdasarkan pertimbangan hukum dan kemaslahatan, yang merupakan esensi Istihsan.
Hadis tentang "Tidak boleh memberi mudarat dan tidak boleh membalas mudarat" (لا ضرر ولا ضرار): Hadis ini adalah prinsip fundamental dalam hukum Islam. Jika penerapan suatu hukum berdasarkan Qiyas atau kaidah umum akan menimbulkan mudarat (bahaya/kerugian) bagi individu atau masyarakat, maka Istihsan dapat digunakan untuk menyimpang dari hukum tersebut demi menghilangkan mudarat, karena tujuan syariat adalah meniadakan bahaya.
Hadis tentang "Apa yang dianggap baik oleh kaum Muslimin, maka baik pula di sisi Allah" (ما رآه المسلمون حسنا فهو عند الله حسن): Hadis ini, meskipun isnadnya diperdebatkan, sering digunakan untuk menunjukkan bahwa konsensus atau penerimaan umum terhadap suatu praktik atau solusi yang dianggap baik oleh umat dapat menjadi indikator kebaikan di sisi Allah. Ini mendukung gagasan Istihsan yang mencari solusi yang lebih diterima dan maslahah.
Para ulama yang menerima Istihsan juga berpendapat bahwa praktik Istihsan telah dilakukan oleh para sahabat dan tabi'in, serta menjadi bagian dari Ijma' dalam arti praktik yang diterima secara luas, meskipun tidak selalu dalam bentuk konsensus eksplisit yang mengikat.
Mereka mencontohkan berbagai keputusan para sahabat yang menyimpang dari Qiyas yang jelas demi kemaslahatan atau keadilan. Misalnya, pengumpulan Al-Qur'an pada masa Khalifah Abu Bakar dan Utsman bin Affan, meskipun tidak ada perintah eksplisit dari Nabi SAW untuk mengumpulkannya dalam satu mushaf, dan bahkan secara 'qiyasi' bisa dianggap bid'ah (sesuatu yang baru). Namun, karena pertimbangan kemaslahatan yang sangat besar (menjaga keaslian Al-Qur'an), tindakan tersebut dianggap baik dan diterima oleh seluruh umat, yang dapat dikategorikan sebagai Istihsan.
Contoh lain adalah penetapan pajak tanah (kharaj) oleh Umar bin Khattab untuk tanah-tanah taklukan, di mana secara Qiyas seharusnya dibagi-bagikan kepada para mujahid sebagai harta rampasan perang. Namun, Umar beristihsan untuk tidak membagikannya, melainkan menjadikan tanah tersebut sebagai milik negara dan membebankan pajak kepada petani yang menggarapnya, demi kemaslahatan jangka panjang umat Islam dan generasi mendatang. Ini adalah contoh Istihsan bil-maslahah yang diakui.
Istihsan juga didasarkan pada pertimbangan akal sehat dan rasionalitas yang mengakui bahwa hukum harus adaptif dan tidak kaku.
Pentingnya Keadilan dan Kemaslahatan: Syariat Islam diturunkan untuk mewujudkan keadilan dan kemaslahatan bagi manusia. Jika penerapan Qiyas yang ketat dalam suatu kasus justru menghasilkan ketidakadilan atau kemudaratan, maka akal sehat menuntut adanya solusi yang lebih baik. Istihsan memungkinkan pencarian solusi tersebut.
Fleksibilitas Syariat: Hukum Islam dirancang untuk menjadi fleksibel dan relevan di setiap waktu dan tempat. Keterbatasan nash dan variasi realitas kehidupan menuntut adanya metode seperti Istihsan untuk menjembatani antara teks dan konteks, memastikan bahwa tujuan-tujuan syariat tetap tercapai. Mengesampingkan Istihsan dapat membuat hukum Islam terkesan statis dan sulit diterapkan dalam kasus-kasus kontemporer yang unik.
Menghilangkan Kesulitan (Raf'ul Haraj): Ini adalah salah satu prinsip utama syariat. Jika suatu Qiyas menimbulkan kesulitan yang berlebihan (haraj) bagi mukallaf (orang yang dibebani hukum), maka Istihsan dapat digunakan untuk meringankan beban tersebut dan mencari alternatif yang lebih mudah.
Meskipun argumen-argumen ini kuat bagi para pendukungnya, penolak Istihsan seperti Imam Syafi'i menganggap bahwa penyimpangan dari Qiyas harus selalu didasarkan pada nash (teks Al-Qur'an atau Sunnah) yang lebih kuat, bukan sekadar 'penganggapbaikan' oleh akal mujtahid. Bagi mereka, apa yang disebut 'Istihsan' oleh mazhab lain sebenarnya adalah penggunaan dalil yang lebih kuat, dan bukan sebuah metode independen. Perdebatan ini, seperti yang akan kita bahas nanti, menjadi salah satu titik perselisihan paling menonjol dalam sejarah ushul fiqh.
Istihsan dapat diklasifikasikan berdasarkan dasar atau dalil yang menjadi pijakannya. Pembagian ini membantu kita memahami keragaman aplikasi Istihsan dalam berbagai situasi hukum. Para ulama, khususnya dari Mazhab Hanafi, mengidentifikasi beberapa jenis Istihsan.
Jenis Istihsan ini terjadi ketika ada dua Qiyas yang mungkin diterapkan pada suatu kasus: satu Qiyas tampak jelas dan langsung (Qiyas Jali), dan satu lagi lebih tersembunyi atau kurang jelas secara zahir (Qiyas Khafi), tetapi setelah diteliti lebih mendalam, Qiyas Khafi tersebut lebih relevan, lebih adil, atau lebih sesuai dengan tujuan syariat. Mujtahid kemudian memilih Qiyas Khafi tersebut dan meninggalkan Qiyas Jali.
Contoh:
Wudhuk dari Sisa Minum Burung Buas:
Jenis Istihsan ini terjadi ketika seorang mujtahid menyimpang dari kaidah umum atau Qiyas karena adanya dalil nash (teks Al-Qur'an atau Sunnah) yang secara spesifik mengecualikan kasus tersebut dari hukum umum. Dalam hal ini, nash tersebut berfungsi sebagai dasar yang lebih kuat untuk memilih hukum yang berbeda.
Contoh:
Jual-Beli Salam (Pesanan):
Jenis Istihsan ini terjadi ketika suatu praktik atau hukum diterima secara umum dan disepakati oleh umat (atau ulama), meskipun secara Qiyas yang ketat mungkin ada keraguan atau bertentangan dengan kaidah umum. Konsensus ini menjadi dasar bagi Istihsan.
Contoh:
Akad Istishna' (Pembuatan Barang):
Jenis Istihsan ini terjadi ketika kaidah hukum umum dikesampingkan karena adanya kondisi darurat (darurah) atau kebutuhan mendesak (hajat) yang jika tidak dipenuhi akan menimbulkan kesulitan atau bahaya besar.
Contoh:
Jual-Beli Air dari Sumur Umum:
Jenis Istihsan ini terjadi ketika suatu hukum disimpulkan berdasarkan adat kebiasaan (urf) yang berlaku di masyarakat, meskipun mungkin bertentangan dengan Qiyas atau kaidah umum, asalkan urf tersebut tidak bertentangan dengan nash yang shahih.
Contoh:
Sewa Menyewa Pemandian Umum atau Tukang Cukur:
Jenis Istihsan ini mirip dengan Istihsan bil-Darurah, tetapi cakupannya lebih luas. Ini terjadi ketika suatu hukum dipilih karena dianggap lebih membawa kemaslahatan (kebaikan atau manfaat) bagi umat, meskipun mungkin menyimpang dari Qiyas yang jelas atau kaidah umum. Kemaslahatan ini harus sesuai dengan tujuan syariat (maqasid syariah).
Contoh:
Penetapan Penjara:
Penting untuk dicatat bahwa meskipun Istihsan dapat mengambil berbagai bentuk, ia selalu mensyaratkan adanya dalil atau alasan yang kuat di baliknya, bukan sekadar 'rasa suka' pribadi mujtahid. Dalil-dalil tersebut bisa berupa nash yang lebih spesifik, konsensus, kebutuhan mendesak, adat kebiasaan, atau pertimbangan kemaslahatan yang valid dan sesuai dengan maqasid syariah.
Untuk lebih memahami bagaimana Istihsan bekerja, mari kita telaah beberapa contoh konkret dari berbagai bidang fiqh, terutama dari Mazhab Hanafi yang banyak menggunakannya.
Ini adalah contoh paling klasik dari Istihsan bil-Nass.
Ini adalah contoh Istihsan bil-Ijma' dan bil-Darurah/Hajat.
Contoh-contoh ini menunjukkan bahwa Istihsan bukan hanya sebuah konsep abstrak, tetapi sebuah alat ijtihad yang sangat praktis dan diperlukan untuk memastikan bahwa hukum Islam tetap relevan, adil, dan maslahah dalam menghadapi berbagai situasi dan konteks kehidupan manusia. Ia memungkinkan hukum untuk beradaptasi tanpa mengorbankan prinsip-prinsip dasarnya.
Sebagaimana telah disinggung di awal, Istihsan adalah salah satu topik yang paling banyak memicu perdebatan sengit di kalangan ulama ushul fiqh. Perbedaan pandangan ini bukanlah hal yang aneh dalam tradisi intelektual Islam, melainkan menunjukkan kekayaan dan kedalaman metodologi hukum yang dikembangkan.
Mazhab Hanafi adalah juara utama dalam penggunaan Istihsan. Mereka menjadikan Istihsan sebagai salah satu dalil syar'i yang diakui setelah Al-Qur'an, Sunnah, Ijma', dan Qiyas. Imam Abu Hanifah dan murid-muridnya banyak menggunakan Istihsan untuk menyelesaikan masalah-masalah hukum yang kompleks, terutama dalam bidang muamalat.
Argumen Penerimaan:
Mazhab Maliki juga menerima Istihsan, meskipun terkadang dalam istilah yang berbeda atau dengan penekanan pada aspek kemaslahatan. Imam Malik sangat dikenal dengan perhatiannya terhadap maslahat mursalah (kemaslahatan yang tidak ada nash khusus yang memerintahkannya atau melarangnya). Istihsan dalam Mazhab Maliki seringkali beririsan erat dengan maslahat mursalah dan juga pertimbangan 'urf (adat).
Argumen Penerimaan:
Mazhab Syafi'i adalah penolak Istihsan yang paling keras. Imam Syafi'i menganggap Istihsan sebagai bentuk "pembuat syariat baru" atau "penetapan hukum berdasarkan hawa nafsu" jika tidak didasarkan pada dalil yang kuat dari Al-Qur'an, Sunnah, atau Ijma'. Ungkapannya yang terkenal adalah "Barang siapa beristihsan, berarti ia telah membuat syariat."
Argumen Penolakan:
Seperti yang disebutkan sebelumnya, Mazhab Hanbali tidak menolak Istihsan secara mutlak, tetapi sangat membatasi penggunaannya. Bagi mereka, Istihsan harus selalu memiliki dasar dari dalil syar'i yang kuat, dan bukan sekadar preferensi pribadi. Jika Istihsan berarti memilih dalil yang lebih kuat di antara beberapa dalil, maka itu dapat diterima. Namun, jika ia berarti menyimpang dari dalil yang ada tanpa dalil lain yang lebih kuat, maka itu ditolak.
Argumen (terbatas) Penerimaan:
Perbedaan pandangan ini sebagian besar berakar pada perbedaan metodologi dan prioritas dalam istinbath hukum:
Istihsan tidak berdiri sendiri. Ia memiliki hubungan yang kompleks dan kadang beririsan dengan prinsip-prinsip hukum Islam lainnya. Memahami hubungan ini penting untuk menempatkan Istihsan dalam kerangka ushul fiqh yang lebih luas.
Ini adalah hubungan yang paling fundamental dan sering menjadi inti perdebatan.
Maslahah Mursalah adalah kemaslahatan yang tidak ada nash khusus yang memerintahkannya atau melarangnya, tetapi sejalan dengan tujuan-tujuan syariat secara umum. Imam Malik adalah ulama yang banyak menggunakan maslahah mursalah.
'Urf adalah adat kebiasaan yang berlaku di masyarakat yang tidak bertentangan dengan syariat.
Sadd adz-Dzarai' adalah prinsip "menutup pintu kerusakan," yaitu melarang sesuatu yang pada dasarnya mubah (boleh) jika ia menjadi sarana (dzari'ah) untuk melakukan perbuatan haram atau mudarat.
Istishab adalah prinsip "berpegang pada hukum asal," yaitu menganggap suatu hukum tetap berlaku sampai ada dalil yang mengubahnya. Misalnya, sesuatu dianggap halal sampai ada dalil yang mengharamkan.
Hubungan-hubungan ini menunjukkan bahwa Istihsan adalah bagian integral dari sistem penalaran hukum Islam yang kompleks. Ia bukanlah sebuah metode yang berdiri sendiri secara terpisah, melainkan sebuah alat yang berinteraksi dengan dalil-dalil lain dan prinsip-prinsip hukum, berfungsi untuk memberikan fleksibilitas dan memastikan bahwa hukum Islam senantiasa mencapai tujuannya dalam mewujudkan keadilan dan kemaslahatan.
Di tengah dinamika kehidupan modern yang serba cepat dan kompleks, Istihsan memiliki relevansi yang sangat besar. Era kontemporer diwarnai oleh kemajuan teknologi, globalisasi, perubahan sosial yang masif, serta munculnya masalah-masalah baru yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Dalam konteks ini, keterikatan yang kaku pada teks-teks klasik tanpa mempertimbangkan ruh syariat dapat menyebabkan hukum Islam terkesan statis dan sulit diterapkan. Di sinilah Istihsan, dengan semangat fleksibilitas dan kemaslahatan, dapat memainkan peran krusial.
Banyak permasalahan modern seperti kloning, rekayasa genetika, kecerdasan buatan, mata uang digital, sistem finansial yang kompleks, dan bentuk-bentuk kontrak baru dalam bisnis, tidak memiliki nash (teks Al-Qur'an atau Sunnah) yang eksplisit yang mengaturnya. Dalam kasus-kasus ini:
Salah satu prinsip utama syariat adalah kemudahan (taysir) dan menghilangkan kesulitan (raf'ul haraj). Dalam banyak kasus modern, penerapan hukum secara kaku dapat menimbulkan kesulitan yang tidak proporsional bagi individu atau masyarakat:
Globalisasi membawa serta berbagai budaya dan sistem hukum. Istihsan, terutama Istihsan bil-'urf dan bil-maslahah, memungkinkan hukum Islam untuk beradaptasi dengan kondisi lokal dan nilai-nilai universal tanpa mengorbankan prinsip-prinsip dasarnya:
Pendekatan yang terlalu tekstual dan kaku dalam hukum Islam dapat menimbulkan kesan bahwa syariat itu tidak relevan atau memberatkan. Istihsan membantu menunjukkan dimensi rahmatan lil 'alamin (rahmat bagi seluruh alam) dari Islam:
Meskipun relevan, penerapan Istihsan di era modern juga menghadapi tantangan:
Dengan demikian, Istihsan bukanlah sekadar warisan intelektual masa lalu, melainkan sebuah metode yang hidup dan relevan, yang sangat dibutuhkan untuk memastikan bahwa hukum Islam dapat terus membimbing umat manusia dalam menghadapi kompleksitas zaman, seraya tetap teguh pada prinsip-prinsip keadilan, kemaslahatan, dan rahmat.
Istihsan, sebuah konsep mendalam dalam ushul fiqh, merepresentasikan fleksibilitas dan kebijaksanaan yang inheren dalam hukum Islam. Dari definisi linguistiknya yang berarti "menganggap baik" hingga definisi terminologisnya sebagai "penyimpangan dari Qiyas jali menuju Qiyas khafi atau kaidah umum menuju pengecualian karena adanya dalil yang lebih kuat atau pertimbangan maslahah," Istihsan adalah alat ijtihad yang powerful. Ia bukan merupakan tindakan sewenang-wenang, melainkan selalu disokong oleh dasar-dasar yang kuat, baik dari nash Al-Qur'an dan Sunnah, ijma', urf, darurah, maupun maslahah yang selaras dengan maqasid syariah.
Perdebatan antara mazhab yang menerima (Hanafi, Maliki) dan menolak (Syafi'i) Istihsan telah membentuk dinamika pemikiran hukum Islam selama berabad-abad. Perbedaan ini, alih-alih menjadi penghalang, justru memperkaya metodologi istinbath hukum dan menunjukkan bahwa bahkan dalam kerangka syariat yang kokoh, terdapat ruang bagi interpretasi dan adaptasi yang bervariasi. Mazhab Hanafi dan Maliki melihat Istihsan sebagai kunci untuk mewujudkan keadilan, kemudahan, dan kemaslahatan, sementara Mazhab Syafi'i menekankan pentingnya menjaga konsistensi dan objektivitas hukum melalui keterikatan pada dalil yang paling tegas.
Dalam konteks era kontemporer, relevansi Istihsan semakin terasa. Kemunculan masalah-masalah baru yang tak terduga, kemajuan teknologi, dan kompleksitas sosial menuntut hukum Islam untuk terus beradaptasi tanpa kehilangan identitasnya. Istihsan menawarkan kerangka untuk merumuskan solusi-solusi hukum yang inovatif, adil, dan maslahah, yang mampu menjembatani antara tuntutan teks suci dan realitas kehidupan modern. Ia memungkinkan syariat untuk tetap menjadi panduan yang relevan dan penuh rahmat bagi umat manusia di segala waktu dan tempat. Dengan pemahaman yang tepat dan penerapan yang bertanggung jawab, Istihsan terus menjadi pilar penting dalam menjaga vitalitas dan dinamisme hukum Islam.
Artikel ini disusun berdasarkan berbagai literatur ushul fiqh klasik dan kontemporer. Tujuan utamanya adalah edukasi dan penyampaian informasi yang komprehensif mengenai konsep Istihsan dalam Hukum Islam.