Ilustrasi perjalanan Isra Mikraj Nabi Muhammad SAW, dari Baitulmaqdis menuju langit. Sebuah mukjizat yang melampaui batas akal.
Perjalanan Isra Mikraj adalah salah satu mukjizat terbesar dalam sejarah Islam, sebuah peristiwa luar biasa yang dialami oleh Nabi Muhammad SAW. Bukan sekadar kisah, melainkan penegasan akan keagungan Allah SWT, penguatan bagi sang Nabi, dan ujian keimanan bagi seluruh umat. Peristiwa ini melampaui dimensi ruang dan waktu, mengajarkan kita tentang kekuatan spiritual, hakikat ibadah, serta kedudukan seorang hamba yang taat di sisi Penciptanya.
Dalam sejarah kenabian, Isra Mikraj menjadi titik balik penting. Ia datang di tengah masa-masa sulit, membawa penghiburan ilahi dan mandat yang kelak membentuk fondasi peradaban Islam. Dari Mekah ke Baitulmaqdis, lalu naik ke Sidratul Muntaha, Nabi Muhammad SAW mengalami perjalanan tak terbayangkan yang penuh hikmah dan pelajaran mendalam. Mari kita telaah setiap aspek dari perjalanan agung ini, meresapi detailnya, dan menggali makna spiritual yang terkandung di dalamnya.
Untuk memahami sepenuhnya keagungan Isra Mikraj, penting bagi kita untuk menempatkannya dalam konteks waktu dan kondisi saat itu. Peristiwa ini terjadi pada periode yang dikenal sebagai Amul Huzn, atau Tahun Kesedihan. Ini adalah masa ketika Nabi Muhammad SAW menghadapi serangkaian ujian dan cobaan yang sangat berat, baik secara pribadi maupun dalam misi dakwahnya.
Pada tahun yang sama, Nabi Muhammad SAW kehilangan dua pilar utama dalam hidupnya: istrinya tercinta, Sayyidah Khadijah binti Khuwailid, dan pamannya, Abu Thalib. Khadijah adalah sosok istri yang setia, pendukung utama, dan sumber ketenangan bagi Nabi sejak awal kenabian. Ia adalah orang pertama yang beriman kepada risalah beliau, mengorbankan harta dan jiwanya untuk Islam. Kepergiannya meninggalkan duka mendalam bagi Nabi, yang kehilangan pendamping hidup sekaligus penenang hati.
Tak lama setelah itu, Abu Thalib, paman Nabi, juga wafat. Meskipun Abu Thalib tidak secara resmi memeluk Islam, ia adalah pelindung utama Nabi dari ancaman kaum Quraisy. Kedudukannya sebagai kepala suku Bani Hasyim memberikan Nabi imunitas dan perlindungan dari kekerasan fisik yang lebih parah. Dengan kepergian Abu Thalib, perlindungan sosial Nabi di Mekah menjadi sangat rapuh, membuatnya lebih rentan terhadap intimidasi dan penganiayaan dari para pembesar Quraisy. Kehilangan kedua sosok ini secara berurutan merupakan pukulan telak yang menguji ketabahan hati beliau dan memunculkan kesedihan yang mendalam. Ini adalah momen-momen yang sangat berat dalam perjuangan dakwah Nabi, di mana beliau merasakan kesendirian dan beban yang tak terperikan.
Selain kehilangan orang-orang terkasih, Nabi juga menghadapi penolakan yang semakin menjadi-jadi dari kaum Quraisy di Mekah. Mereka semakin berani dalam menyakiti dan mengintimidasi beliau serta para pengikutnya. Berbagai bentuk penganiayaan, mulai dari cercaan, ejekan, hingga boikot ekonomi, terus-menerus dilancarkan untuk menghentikan dakwah Islam. Menghadapi kondisi ini, Nabi memutuskan untuk mencari dukungan di luar Mekah. Beliau pergi ke Thaif, sebuah kota yang terletak sekitar 60 mil tenggara Mekah, berharap penduduknya akan menerima Islam dan memberikan perlindungan.
Namun, harapan Nabi justru berujung pada kekecewaan yang mendalam. Para pemimpin Thaif tidak hanya menolak dakwah beliau dengan kasar, tetapi juga menghasut penduduk dan anak-anak untuk melempari Nabi dengan batu. Nabi Muhammad SAW harus berlari untuk menyelamatkan diri, berlumuran darah, dan merasakan perihnya penolakan yang teramat sangat. Peristiwa di Thaif ini menjadi salah satu momen paling menyakitkan dalam kehidupan beliau, yang bahkan lebih berat daripada tekanan di Mekah. Beliau merasa sangat tertekan, berdoa kepada Allah dengan hati yang hancur, memohon kekuatan dan pertolongan.
Setelah pengalamannya di Thaif, Nabi kembali ke Mekah dalam kondisi yang sangat terpukul. Secara fisik dan psikologis, beliau berada pada titik terendah. Kehilangan, penolakan, dan penganiayaan bertubi-tubi membuat beliau merasa sangat sendirian dalam perjuangannya. Pada saat itulah, di tengah keputusasaan manusiawi, Allah SWT memilih untuk mengangkat beliau dalam sebuah perjalanan yang akan memberikan penghiburan, penguatan, dan visi yang lebih luas tentang kebesaran-Nya. Isra Mikraj adalah hadiah ilahi, sebuah mukjizat yang datang sebagai bentuk penghiburan dan penguatan bagi Nabi Muhammad SAW setelah menghadapi cobaan yang begitu berat. Ini adalah manifestasi cinta dan perhatian Allah kepada hamba-Nya yang paling utama, menegaskan bahwa Dia senantiasa bersama hamba-Nya yang berjuang di jalan-Nya, dan bahwa setiap kesulitan pasti akan diikuti oleh kemudahan.
Perjalanan Isra dimulai pada suatu malam di Mekah. Nabi Muhammad SAW sedang berada di rumah Ummu Hani', atau menurut riwayat lain, di Hijr Ismail dekat Ka'bah. Pada saat itulah, Jibril AS datang menemui beliau untuk mengawali mukjizat agung ini. Perjalanan ini, yang kemudian disebut "Isra", merupakan bagian pertama dari dua fase perjalanan spiritual Nabi, yang membawanya dari Masjidil Haram di Mekah ke Masjidil Aqsa di Baitulmaqdis (Yerusalem).
Sebelum memulai perjalanan, tubuh Nabi Muhammad SAW disucikan dan hatinya dibersihkan oleh Jibril. Dalam beberapa riwayat, disebutkan bahwa dada beliau dibelah, hatinya dicuci dengan air zamzam, kemudian diisi dengan hikmah dan iman. Proses pembersihan ini secara simbolis dan spiritual mempersiapkan Nabi untuk menerima pengalaman yang melampaui batas-batas kemanusiaan biasa, memastikan bahwa beliau siap secara fisik dan spiritual untuk perjalanan agung tersebut. Ini adalah bukti bahwa Nabi diberikan kekuatan luar biasa yang tidak dimiliki manusia biasa, untuk dapat menanggung dan memahami peristiwa agung yang akan beliau alami.
Jibril kemudian membawa kepada Nabi seekor makhluk yang belum pernah terlihat sebelumnya oleh mata manusia: Buraq. Nama Buraq sendiri berasal dari kata barq yang berarti kilat, menggambarkan kecepatan luar biasa makhluk ini. Buraq digambarkan sebagai makhluk putih, lebih besar dari keledai namun lebih kecil dari bagal, dengan dua sayap yang memungkinkannya melesat. Langkahnya sejauh mata memandang, sebuah gambaran yang menunjukkan betapa cepatnya perjalanan ini. Keberadaan Buraq adalah salah satu tanda kekuasaan Allah yang menunjukkan bahwa Dia mampu menciptakan segala sesuatu dengan cara yang melampaui pemahaman manusia.
Nabi Muhammad SAW menaiki Buraq yang dikawal oleh Jibril. Perjalanan dari Mekah ke Baitulmaqdis biasanya memakan waktu berhari-hari bahkan berminggu-minggu dengan alat transportasi biasa. Namun, dengan Buraq, Nabi menempuh jarak ini hanya dalam waktu singkat di malam hari. Ini bukan sekadar perjalanan fisik, melainkan perjalanan spiritual yang diiringi mukjizat, menembus dimensi ruang dan waktu yang dikenal manusia.
Sepanjang perjalanan Isra, Nabi Muhammad SAW tidak hanya melintasi ruang fisik, tetapi juga disajikan dengan berbagai tanda kebesaran Allah dan pemandangan spiritual yang mendalam. Jibril menunjukkan kepada beliau tempat-tempat penting dan bersejarah, memberikan isyarat akan kedalaman risalah yang diemban Nabi. Ini adalah bagian dari proses pendidikan ilahi yang mempersiapkan Nabi untuk amanah yang lebih besar.
Setiap penampakan dan peristiwa yang terjadi selama Isra memiliki makna simbolis dan pengajaran yang mendalam, mempersiapkan Nabi untuk pengalaman yang lebih besar di langit. Ini bukan hanya sebuah tur spiritual, melainkan sebuah proses pendidikan ilahi yang komprehensif, menguatkan iman dan pemahaman Nabi tentang alam semesta dan takdir Ilahi.
Akhirnya, Buraq membawa Nabi Muhammad SAW tiba di Masjidil Aqsa di Baitulmaqdis (Yerusalem). Baitulmaqdis adalah kota suci bagi tiga agama monoteistik dan memiliki kedudukan yang sangat penting dalam Islam. Sebelum Ka'bah ditetapkan sebagai kiblat, Masjidil Aqsa adalah kiblat pertama umat Islam. Keberadaan Nabi di sana menegaskan hubungan erat antara Islam dengan warisan kenabian sebelumnya. Masjidil Aqsa adalah tempat yang diberkahi oleh Allah, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur'an.
Setibanya di sana, Nabi Muhammad SAW mengalami salah satu momen paling luar biasa dalam fase Isra. Beliau memimpin shalat berjamaah yang dihadiri oleh seluruh Nabi dan Rasul yang pernah hidup sebelumnya. Ini adalah kumpulan Nabi terbesar dalam sejarah, dan Nabi Muhammad SAW berdiri sebagai imam mereka. Seluruh Nabi dari Adam hingga Isa, berkumpul di satu tempat, dipimpin oleh Nabi Muhammad SAW. Ini adalah pemandangan yang luar biasa, menunjukkan kemuliaan beliau.
Peristiwa ini memiliki beberapa makna penting:
Setelah shalat, Nabi ditawari dua bejana: satu berisi susu dan satu berisi khamr (minuman keras). Nabi Muhammad SAW memilih susu. Jibril kemudian berkata, "Engkau telah memilih fitrah (kesucian)." Pilihan ini melambangkan kesucian Islam, ajaran yang sejalan dengan fitrah manusia yang hanif, bersih, dan lurus, menjauhi segala bentuk kemaksiatan dan kekotoran spiritual. Susu melambangkan kebaikan dan kemurnian, sementara khamr melambangkan kejahatan dan kerusakan. Pilihan Nabi ini adalah petunjuk bagi umatnya untuk selalu memilih jalan kebaikan dan kesucian.
Dengan selesainya shalat dan pilihan susu, fase Isra pun berakhir. Nabi Muhammad SAW telah menyelesaikan perjalanan agung dari Mekah ke Baitulmaqdis, sebuah perjalanan yang penuh dengan tanda-tanda kekuasaan Allah dan hikmah yang mendalam. Dari sini, beliau akan memulai fase kedua, Mikraj, yaitu kenaikan ke lapisan-lapisan langit, menuju ke hadirat Allah SWT.
Setelah menyelesaikan perjalanan Isra di Baitulmaqdis, Nabi Muhammad SAW memulai fase kedua dari perjalanan agung ini: Mikraj, yaitu kenaikan beliau dari Baitulmaqdis menuju lapisan-lapisan langit yang tinggi, hingga mencapai Sidratul Muntaha dan menghadap langsung ke hadirat Allah SWT. Mikraj adalah puncak dari pengalaman spiritual yang tak terbayangkan, membawa Nabi melampaui batas-batas alam semesta materi dan menyaksikan tanda-tanda kebesaran Ilahi yang belum pernah disaksikan oleh makhluk lain. Ini adalah perjalanan yang memperlihatkan keagungan penciptaan Allah dan kedudukan mulia Nabi Muhammad.
Dari Batu Sakhra di area Masjidil Aqsa, yang kini dilindungi oleh Kubah Batu (Dome of the Rock), Nabi Muhammad SAW diangkat menuju langit. Alat yang digunakan untuk kenaikan ini disebut mi'raj (tangga) atau ada yang menafsirkan sebagai cahaya yang sangat terang, sebuah tangga cahaya yang terbuat dari emas dan perak, membentang dari bumi hingga ke langit. Bersama Jibril, Nabi Muhammad SAW mulai menembus lapisan-lapisan langit, melewati setiap gerbang yang dijaga oleh malaikat.
Setiap kali mereka tiba di pintu langit, Jibril akan meminta izin untuk masuk. Para malaikat penjaga akan bertanya, "Siapa ini?" Jibril menjawab, "Jibril." Kemudian ditanya lagi, "Siapa yang bersamamu?" Jibril menjawab, "Muhammad." Lalu para malaikat bertanya, "Apakah dia telah diutus?" Jibril membenarkan. Kemudian pintu pun dibukakan, dan Nabi disambut dengan penuh penghormatan dan sambutan hangat dari para malaikat. Proses ini berulang di setiap lapisan langit, menunjukkan bahwa langit memiliki tingkatan dan setiap tingkatan memiliki penjaganya sendiri, dan bahwa kedatangan Nabi Muhammad adalah peristiwa yang dinanti-nanti oleh penghuni langit.
Di setiap lapisan langit, Nabi Muhammad SAW bertemu dengan para Nabi agung yang telah diutus sebelum beliau. Setiap pertemuan ini memiliki makna simbolis dan menegaskan kesinambungan risalah ilahi, sekaligus menunjukkan kedudukan Nabi Muhammad sebagai penutup para Nabi dan pemimpin mereka semua. Pertemuan-pertemuan ini bukan hanya sapaan biasa, melainkan pengakuan dan penghormatan dari para Nabi terdahulu atas kedudukan mulia Nabi Muhammad SAW.
Nabi Musa juga memainkan peran kunci dalam penetapan jumlah shalat. Ketika Nabi Muhammad SAW telah menerima perintah shalat 50 waktu sehari semalam dari Allah, Nabi Musa menasihati beliau untuk kembali menghadap Allah dan meminta keringanan, karena umat beliau tidak akan sanggup melaksanakannya. Nabi Muhammad SAW berulang kali kembali menghadap Allah atas saran Nabi Musa, hingga akhirnya jumlah shalat dikurangi menjadi lima waktu sehari semalam, dengan janji bahwa pahalanya tetap setara dengan 50 waktu. Ini adalah bukti kasih sayang Allah kepada umat Nabi Muhammad dan hikmah dari konsultasi antar Nabi, serta menunjukkan kemudahan dalam agama Islam.
Setelah melewati langit ketujuh, Nabi Muhammad SAW tiba di Sidratul Muntaha. Ini adalah pohon Bidara raksasa yang menandai batas akhir bagi semua makhluk. Tidak ada makhluk yang dapat melampaui tempat ini, bahkan Jibril sekalipun. Sidratul Muntaha digambarkan dengan keindahan yang tak terlukiskan, tertutup oleh cahaya ilahi, berwarna-warni, dan dipenuhi oleh malaikat. Daun-daunnya seperti telinga gajah dan buahnya seperti tempayan besar. Ini adalah pemandangan yang tak pernah dilihat oleh mata manusia maupun jin.
Pada titik ini, Jibril berhenti. Ia berkata kepada Nabi Muhammad, "Ini adalah batasanku. Jika aku melangkah setapak lagi, aku akan terbakar." Ini menunjukkan bahwa bahkan malaikat agung seperti Jibril memiliki batas dalam mendekati keagungan Allah. Hanya Nabi Muhammad SAW, dengan keistimewaan yang dianugerahkan kepadanya, yang diizinkan melampaui batas ini, menunjukkan kemuliaan dan kedudukan unik beliau di sisi Allah.
Di Sidratul Muntaha, Nabi Muhammad SAW melihat tanda-tanda kebesaran Allah yang sangat agung. Allah berfirman dalam Al-Qur'an (Surah An-Najm ayat 13-18): "Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, (yaitu) di Sidratul Muntaha. Di dekatnya ada Surga Ma'wa. (Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratul Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya. Penglihatan (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya. Sesungguhnya dia telah melihat sebagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar." Ayat-ayat ini menegaskan bahwa Nabi Muhammad melihat tanda-tanda kebesaran Allah yang belum pernah dilihat oleh makhluk lain.
Setelah melampaui Sidratul Muntaha, Nabi Muhammad SAW melanjutkan perjalanannya sendiri, menembus hijab-hijab cahaya, hingga akhirnya tiba di hadirat Allah SWT. Ini adalah momen paling sakral dan puncak dari seluruh perjalanan Mikraj. Bagaimana persisnya pertemuan ini terjadi adalah sesuatu yang berada di luar jangkauan akal dan pemahaman manusia. Allah tidak memiliki bentuk, rupa, atau tempat. Ini adalah pengalaman spiritual yang langsung antara hamba dengan Tuhannya, tanpa perantara, tanpa batas, sebuah dialog yang tak dapat diibaratkan dengan interaksi manusiawi.
Dalam pertemuan ini, Allah SWT memberikan beberapa anugerah dan perintah kepada Nabi Muhammad SAW dan umatnya:
Selain itu, Nabi juga diperlihatkan surga dan neraka secara lebih jelas, beserta berbagai kondisi penghuninya. Ini menguatkan iman beliau dan memberikan gambaran nyata tentang pahala bagi orang beriman dan azab bagi orang kafir, yang akan menjadi bahan dakwah beliau kepada umat. Beliau melihat berbagai macam siksaan bagi para pendosa dan kenikmatan bagi ahli surga, yang menjadi pelajaran dan peringatan bagi kita semua.
Dengan berakhirnya pertemuan dengan Allah dan diterimanya perintah-perintah ilahi, Nabi Muhammad SAW pun kembali dari perjalanan agung ini. Beliau menuruni lapisan-lapisan langit, mengucapkan salam perpisahan kepada para Nabi yang ditemuinya, menaiki Buraq kembali dari Baitulmaqdis, dan tiba di Mekah sebelum fajar menyingsing. Seluruh perjalanan ini terjadi dalam waktu yang sangat singkat di malam hari, sebuah mukjizat yang tidak dapat dijelaskan dengan hukum alam.
Ketika Nabi Muhammad SAW kembali ke Mekah, beliau berada dalam kondisi yang campur aduk: hati yang penuh sukacita dan ketenangan atas anugerah ilahi yang luar biasa, namun juga menyadari beratnya tugas untuk menyampaikan pengalaman ini kepada kaumnya yang belum beriman. Perjalanan Isra Mikraj adalah pengalaman spiritual yang melampaui batas akal manusia, dan Nabi tahu bahwa penyampaiannya akan memicu reaksi yang beragam, terutama dari kaum Quraisy yang memang sudah menentang dakwah beliau.
Beberapa riwayat menyebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW sempat ragu untuk menceritakan perjalanannya kepada kaum Quraisy karena khawatir mereka akan mendustakannya dan semakin menentang dakwahnya. Beliau khawatir bahwa kaumnya tidak akan mempercayai kisah yang begitu luar biasa ini, dan justru akan semakin menjauh dari Islam. Namun, Allah memerintahkan beliau untuk menyampaikan kebenaran, sebagaimana yang termaktub dalam Al-Qur'an (Surah Al-Isra, ayat 1): "Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat." Ayat ini sekaligus menjadi penguat bagi Nabi untuk menyampaikan mukjizat ini tanpa keraguan.
Dengan hati yang tabah, Nabi pun mulai menceritakan apa yang telah dialaminya. Pertama-tama beliau menceritakannya kepada Ummu Hani', lalu menyampaikannya di depan umum kepada kaum Quraisy di dekat Ka'bah, atau di perkumpulan mereka.
Seperti yang sudah diperkirakan, ketika Nabi Muhammad SAW menceritakan perjalanan Isra Mikraj, mayoritas kaum Quraisy menolaknya mentah-mentah. Mereka mengejek, menuduh Nabi berbohong, tukang sihir, atau gila. Mereka menganggap kisah ini tidak masuk akal, mengingat jarak antara Mekah dan Baitulmaqdis yang sangat jauh, dan waktu tempuh yang dibutuhkan biasanya berminggu-minggu dengan unta. Bagaimana mungkin perjalanan sejauh itu bisa ditempuh hanya dalam satu malam? Akal mereka yang terbatas tidak dapat menerima fakta ini.
Orang-orang Quraisy mulai melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang menguji Nabi. Mereka meminta deskripsi Baitulmaqdis yang belum pernah dikunjungi Nabi sebelumnya, juga meminta bukti tentang kafilah dagang yang Nabi lihat dalam perjalanannya. Mereka ingin membuktikan bahwa Nabi berbohong. Dengan pertolongan Allah, Nabi Muhammad SAW mampu mendeskripsikan Baitulmaqdis dengan sangat detail, bahkan sampai menghitung jumlah pintunya dan ciri-ciri bangunan di dalamnya seolah-olah beliau baru saja pulang dari sana. Beliau juga menceritakan tentang kafilah dagang yang dilihatnya, lengkap dengan waktu kedatangan mereka di Mekah dan deskripsi unta-unta mereka. Semua deskripsi ini terbukti benar adanya di kemudian hari, bahkan mereka yang sebelumnya menertawakan Nabi terdiam menyaksikan kebenaran perkataan beliau.
Meskipun Nabi telah memberikan bukti-bukti yang sangat konkret dan tak terbantahkan, kebanyakan kaum Quraisy tetap dalam kekufuran mereka. Bagi mereka, mukjizat ini terlalu besar untuk diterima oleh akal mereka yang sempit dan hati yang tertutup kesombongan. Mereka bahkan menuduh Nabi menyihir mata mereka. Peristiwa Isra Mikraj ini menjadi ujian keimanan yang sangat berat bagi para pengikut Nabi. Ada sebagian yang imannya goyah karena syubhat dan godaan, namun mayoritas para sahabat tetap teguh pada keimanan mereka, percaya penuh kepada Nabi.
Di tengah keraguan dan penolakan yang melanda kaum Quraisy, ada satu sosok yang dengan teguh dan tanpa ragu membenarkan setiap perkataan Nabi Muhammad SAW. Dialah Abu Bakar, sahabat karib Nabi, yang kemudian digelari As-Siddiq, yang berarti "yang sangat membenarkan" atau "yang sangat jujur dan tulus."
Ketika berita Isra Mikraj tersebar dan kaum Quraisy berbondong-bondong mendatangi Abu Bakar, bertanya kepadanya apakah ia percaya bahwa Muhammad pergi ke Baitulmaqdis dan kembali hanya dalam satu malam, jawaban Abu Bakar sangat tegas. Ia tidak bertanya detail, tidak meminta bukti, atau meminta penjelasan yang rumit. Dengan penuh keyakinan, ia berkata, "Jika dia mengatakannya, maka dia benar. Demi Allah, aku percaya kepadanya dalam hal yang lebih jauh dari itu, yaitu berita langit yang datang pagi dan petang, mengapa aku tidak mempercayainya dalam hal perjalanan ke Baitulmaqdis?" Jawaban ini mencerminkan puncak keimanan dan kepercayaan mutlak kepada Rasulullah SAW.
Keimanan Abu Bakar yang luar biasa ini tidak hanya meneguhkan hati Nabi yang sedang menghadapi ujian berat, tetapi juga memberikan contoh teladan bagi seluruh umat Islam tentang pentingnya keyakinan dan kepercayaan yang kokoh kepada Allah dan Rasul-Nya, terutama dalam menghadapi hal-hal yang melampaui jangkauan akal. Gelar "As-Siddiq" yang disematkan kepada beliau adalah pengakuan langsung dari Nabi Muhammad SAW atas kesetiaan dan keteguhan imannya, sebuah gelar yang abadi dan penuh makna.
Peran Abu Bakar As-Siddiq dalam peristiwa Isra Mikraj menunjukkan bahwa mukjizat tidak hanya untuk dilihat, tetapi juga untuk menguji kedalaman iman. Bagi orang-orang yang berakal dan berhati bersih, Isra Mikraj adalah tanda kebesaran Allah yang tak terbantahkan, memperkuat keyakinan mereka. Bagi mereka yang hatinya tertutup, bahkan mukjizat sebesar apa pun tidak akan mampu mengubah pendirian mereka, karena hidayah hanya milik Allah.
Isra Mikraj bukan sekadar perjalanan fisik, melainkan sebuah perpustakaan hikmah dan pelajaran yang mendalam bagi setiap muslim. Peristiwa ini merupakan manifestasi keagungan Allah dan bukti nyata kenabian Muhammad SAW. Setiap detail dari perjalanan ini mengandung mutiara hikmah yang jika direnungkan, akan semakin menguatkan iman dan pemahaman kita tentang Islam. Mari kita telaah beberapa hikmah dan pelajaran penting yang dapat kita ambil dari peristiwa luar biasa ini:
Isra Mikraj adalah salah satu mukjizat terbesar Nabi Muhammad SAW, setara dengan mukjizat terbesarnya, Al-Qur'an. Ini adalah bukti konkret bahwa beliau adalah utusan Allah yang diistimewakan, memiliki kedudukan tinggi, dan diberikan kemampuan yang melampaui batas manusia biasa oleh izin Allah. Perjalanan yang mustahil secara logika manusia ini menegaskan bahwa segala sesuatu mungkin bagi Allah SWT. Mukjizat ini menjadi penguat bagi kaum muslimin dan hujjah bagi orang-orang kafir. Ia membuktikan bahwa Nabi Muhammad bukanlah penyair atau tukang sihir, melainkan utusan sejati dari Tuhan semesta alam yang dikaruniai tanda-tanda kebesaran yang agung.
Terjadi setelah Tahun Kesedihan (Amul Huzn), Isra Mikraj adalah bentuk penghiburan dan penguatan dari Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW. Setelah kehilangan orang-orang terkasih dan menghadapi penolakan di Thaif, Nabi berada pada titik terendah secara emosional dan fisik. Allah mengangkat beliau ke hadirat-Nya, menunjukkan kemuliaan beliau, dan memberikan visi yang lebih luas tentang kekuasaan-Nya. Ini menegaskan bahwa setelah kesulitan pasti ada kemudahan, dan Allah tidak akan meninggalkan hamba-Nya yang berjuang di jalan-Nya. Mukjizat ini berfungsi sebagai oase di tengah padang pasir keputusasaan, memberikan Nabi energi spiritual baru untuk melanjutkan misi dakwahnya.
Perintah shalat lima waktu diberikan langsung oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW di Sidratul Muntaha, tanpa perantara Jibril. Ini menunjukkan betapa agungnya kedudukan shalat dalam Islam. Shalat adalah tiang agama, ibadah yang paling utama setelah syahadat, dan merupakan "mi'raj" bagi setiap mukmin. Melalui shalat, seorang hamba dapat berkomunikasi langsung dengan Tuhannya, mencari ketenangan, dan mendekatkan diri kepada-Nya. Pengurangan dari 50 menjadi 5 waktu adalah bukti kasih sayang Allah kepada umat ini, menjadikan shalat sebagai kewajiban yang ringan namun dengan pahala yang berlipat ganda. Shalat adalah pondasi kehidupan seorang muslim.
Pertemuan Nabi Muhammad SAW dengan para Nabi dan Rasul sebelumnya di Baitulmaqdis (di mana beliau menjadi imam shalat) dan di setiap lapisan langit, menegaskan bahwa semua Nabi membawa risalah tauhid yang sama: menyembah Allah Yang Maha Esa. Nabi Muhammad SAW adalah penutup para Nabi dan penyempurna ajaran mereka. Ini menghapus sekat-sekat antara risalah dan menunjukkan universalitas Islam. Islam adalah agama yang mengajarkan kesinambungan kenabian, menghormati semua utusan Allah, dan menyatukan mereka dalam satu tujuan: mengesakan Allah.
Perjalanan Isra Mikraj adalah demonstrasi kekuasaan Allah yang tak terbatas, melampaui hukum-hukum fisika dan logika manusia. Allah mampu memperjalankan hamba-Nya dalam waktu singkat menembus ruang dan waktu. Ini mengajarkan umat manusia untuk tidak membatasi kekuasaan Allah dengan akal mereka yang terbatas, dan untuk selalu merenungi kebesaran Pencipta alam semesta. Mukjizat ini membuktikan bahwa bagi Allah, tidak ada yang mustahil, dan Dialah pengatur segala sesuatu di langit dan di bumi.
Fase Isra yang berakhir di Masjidil Aqsa menegaskan kedudukan Baitulmaqdis sebagai kota suci ketiga dalam Islam. Ini adalah kiblat pertama umat Islam dan tempat bertapaknya banyak Nabi. Peristiwa ini mengikat erat Baitulmaqdis dengan akidah Islam dan menjadikannya bagian tak terpisahkan dari warisan spiritual umat Islam. Perlindungan dan penghormatan terhadap Masjidil Aqsa menjadi tanggung jawab seluruh umat muslim, sebuah simbol penting bagi keimanan mereka.
Isra Mikraj adalah ujian keimanan yang sangat besar. Bagi mereka yang beriman dengan tulus, peristiwa ini semakin menguatkan keyakinan mereka. Bagi mereka yang ragu dan mendustakan, ini semakin memperjelas kekufuran mereka. Kisah Abu Bakar As-Siddiq menjadi teladan bagaimana seharusnya seorang mukmin menyikapi mukjizat dan wahyu ilahi: dengan pembenaran total dan keteguhan hati. Ini adalah pengingat bahwa iman sejati tidak hanya menerima yang mudah, tetapi juga yang sulit dipahami oleh akal semata.
Selama perjalanan, Nabi Muhammad SAW diperlihatkan gambaran surga dan neraka, kondisi manusia yang berbuat baik dan buruk. Hal ini memberikan gambaran nyata tentang kehidupan setelah mati, mendorong umat untuk beramal shalih dan menjauhi kemaksiatan. Ini juga menunjukkan bahwa ada alam ghaib yang tidak dapat dijangkau oleh panca indra manusia, yang hanya dapat diketahui melalui wahyu ilahi. Penglihatan Nabi tentang surga dan neraka adalah motivasi kuat bagi umat untuk menjalani hidup sesuai syariat Allah.
Pembersihan hati Nabi Muhammad SAW sebelum Isra Mikraj, serta pilihan beliau terhadap susu daripada khamr, menekankan pentingnya kesucian lahir dan batin dalam Islam. Kesucian adalah prasyarat untuk mendekatkan diri kepada Allah dan menerima anugerah spiritual. Hati yang bersih dari syirik, riya', dan penyakit hati lainnya adalah kunci untuk meraih kedekatan dengan Allah, sebagaimana tubuh yang bersih juga penting dalam ibadah.
Meskipun Nabi Muhammad SAW mengalami mukjizat agung ini, beliau tetaplah seorang manusia. Beliau merasakan duka, kesedihan, dan kebingungan. Namun, beliau juga seorang hamba yang taat dan patuh, yang dipilih oleh Allah untuk tugas mulia. Kisah ini menegaskan bahwa menjadi manusia terbaik bukanlah berarti tanpa cobaan, melainkan bagaimana menghadapi cobaan tersebut dengan iman dan kesabaran, serta selalu bersandar pada pertolongan Allah. Beliau adalah teladan sempurna bagi umat manusia.
Peristiwa Isra Mikraj, meskipun terjadi berabad-abad yang lalu, tetap relevan dan memiliki signifikansi yang mendalam bagi umat Islam di masa kini. Ia bukan hanya cerita sejarah yang indah, melainkan sumber inspirasi, motivasi, dan pengingat akan tujuan hidup seorang muslim di tengah hiruk pikuk kehidupan modern. Di setiap detailnya, terdapat pelajaran yang dapat kita aplikasikan untuk memperkaya spiritualitas dan memperkuat praktik keagamaan kita.
Di era modern yang serba cepat dan materialistis ini, Isra Mikraj mengajak kita untuk melakukan introspeksi mendalam. Apakah kita telah menempatkan Allah di atas segalanya? Apakah shalat kita telah menjadi 'mi'raj' pribadi yang menghubungkan kita dengan Sang Pencipta? Kisah ini mengingatkan kita bahwa ada dimensi spiritual yang jauh lebih besar daripada sekadar urusan duniawi, bahwa kebahagiaan sejati terletak pada kedekatan dengan Allah. Ia menyeru kita untuk tidak terlena dengan gemerlap dunia, melainkan fokus pada persiapan menuju kehidupan akhirat yang abadi.
Perjalanan ini juga menekankan pentingnya menjaga persatuan umat. Dengan Nabi Muhammad yang menjadi imam bagi para Nabi sebelumnya, ia mengajarkan kita bahwa semua risalah ilahi memiliki satu akar, dan bahwa kita sebagai umat Islam adalah bagian dari mata rantai kenabian yang mulia. Ini menyerukan kepada kita untuk menjaga persatuan, menghindari perpecahan, dan bekerja sama dalam menyebarkan nilai-nilai kebaikan dan keadilan di muka bumi. Mengingat Baitulmaqdis adalah warisan bersama, maka persatuan umat menjadi kunci untuk melindunginya.
Selain itu, Isra Mikraj adalah pengingat akan kekuatan iman dan kesabaran. Di tengah tantangan dan kesulitan hidup, kita belajar dari Nabi Muhammad SAW bahwa pertolongan Allah akan datang, seringkali dalam bentuk yang tak terduga dan melampaui akal sehat kita. Ini menumbuhkan optimisme dan keyakinan bahwa setiap kesukaran pasti ada jalan keluarnya, asalkan kita tetap teguh di jalan Allah, berpegang teguh pada tali agama-Nya, dan tidak putus asa dari rahmat-Nya.
Memperingati Isra Mikraj adalah lebih dari sekadar perayaan tahunan. Ini adalah kesempatan untuk merenungkan kembali ajaran-ajaran fundamental Islam, memperkuat ikatan spiritual kita dengan Allah, dan mengambil pelajaran berharga untuk diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan meresapi makna di baliknya, kita dapat memperbaharui komitmen kita sebagai hamba Allah, meneguhkan iman, dan meneladani akhlak mulia Rasulullah SAW dalam setiap aspek kehidupan kita, baik sebagai individu maupun sebagai bagian dari masyarakat. Kisah ini adalah bukti nyata bahwa dengan keimanan, segala sesuatu menjadi mungkin, dan bahwa Allah senantiasa bersama hamba-hamba-Nya yang bersabar dan bertawakkal.
Semoga kita semua dapat mengambil hikmah dan pelajaran dari peristiwa Isra Mikraj yang agung ini, menjadikan perjalanan spiritual Nabi sebagai pijakan untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah SWT, serta mengamalkan nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya dalam setiap langkah kehidupan.