Isoenzim, atau isozim, merepresentasikan kelompok enzim yang mengkatalisis reaksi kimia yang sama, namun berbeda dalam struktur primer, muatan listrik, dan sifat-sifat fisikokimia lainnya. Perbedaan subtil ini memungkinkan isoenzim memiliki karakteristik kinetik yang unik, optimalitas pH yang berbeda, serta distribusi jaringan yang spesifik. Eksistensi isoenzim adalah mekanisme adaptif kunci yang memungkinkan organisme untuk menyempurnakan metabolisme dalam menanggapi kondisi lingkungan atau kebutuhan jaringan tertentu. Studi mendalam tentang isoenzim telah menjadi landasan krusial dalam bidang biokimia klinis, menawarkan jendela diagnostik yang sangat spesifik terhadap kerusakan organ atau gangguan metabolik.
Gambar: Konsep Isoenzim. Tiga bentuk protein berbeda yang mengkatalisis reaksi yang sama (dilambangkan oleh situs katalitik bersama 'S'), namun berasal dari jaringan spesifik.
Isoenzim tidak boleh disamakan dengan aloenzim, yang merupakan varian enzim yang dihasilkan dari alel yang berbeda pada lokus gen tunggal dalam spesies tertentu. Sebaliknya, isoenzim adalah hasil dari mekanisme genetik yang lebih kompleks, seringkali melibatkan duplikasi gen atau ekspresi gen subunit yang berbeda.
Isoenzim umumnya muncul melalui tiga mekanisme utama, yang semuanya berkontribusi pada keragaman fungsional yang diamati dalam sistem biologis:
Mekanisme yang paling umum melibatkan duplikasi gen ancestral, diikuti oleh mutasi bertahap pada gen yang diduplikasi tersebut. Proses ini memungkinkan satu enzim leluhur untuk berevolusi menjadi dua atau lebih varian, masing-masing dengan penyesuaian fungsional minor. Misalnya, satu isoenzim mungkin lebih stabil pada suhu tinggi, sementara yang lain mungkin memiliki afinitas yang jauh lebih tinggi terhadap substrat pada konsentrasi rendah. Duplikasi gen memastikan bahwa fungsi metabolisme dasar tetap berjalan, sementara varian baru dapat mengeksplorasi ceruk biokimia baru. Hal ini sangat penting dalam adaptasi evolusioner, memungkinkan organisme untuk mengisi relung ekologis yang lebih luas.
Banyak enzim bersifat multimerik, dibentuk dari kombinasi dua atau lebih subunit polipeptida. Jika suatu enzim dikodekan oleh dua lokus genetik yang berbeda (misalnya, subunit H dan M), maka kombinasi dari subunit-subunit ini dapat menghasilkan banyak isoenzim. Laktat Dehidrogenase (LDH) adalah contoh klasik. Karena LDH adalah tetramer (terdiri dari empat subunit), kombinasi dari dua subunit yang berbeda (H dan M) dapat menghasilkan lima bentuk isoenzim (H4, H3M1, H2M2, H1M3, M4). Setiap kombinasi memiliki muatan listrik yang berbeda, memungkinkan pemisahan yang mudah, dan, yang lebih penting, menunjukkan karakteristik kinetik yang sangat berbeda.
Isoenzim juga dapat dihasilkan dari modifikasi kimiawi pada protein yang sudah tersintesis. Meskipun modifikasi pasca-translasi (seperti fosforilasi, glikosilasi, atau pemutusan proteolitik) sering menghasilkan "modifikasi enzim" daripada isoenzim sejati yang dikodekan gen, dalam konteks klinis, varian-varian ini dapat dideteksi dan dianalisis menggunakan metode isoenzim tradisional. Contohnya adalah isoenzim kreatin kinase yang termodifikasi (misalnya, CK-MB yang mengalami degradasi proteolitik).
Karena isoenzim memiliki fungsi katalitik yang identik, mereka tidak dapat dibedakan hanya berdasarkan pengukuran aktivitas enzim total. Kunci untuk analisis isoenzim terletak pada pemisahan fisik berdasarkan perbedaan sifat fisikokimia—terutama muatan listrik atau titik isoelektrik.
Elektroforesis adalah metode standar emas untuk pemisahan isoenzim. Metode ini memisahkan molekul berdasarkan muatan dan ukurannya saat bergerak melalui media pendukung (seperti gel agarosa, selulosa asetat, atau poliakrilamida) di bawah pengaruh medan listrik. Perbedaan muatan pada isoenzim (yang timbul dari komposisi asam amino yang berbeda) menentukan kecepatan migrasinya.
Metode ini cepat dan sering digunakan dalam laboratorium klinis untuk pemisahan isoenzim LDH dan CK. Setelah pemisahan, gel diinkubasi dengan substrat spesifik dan kofaktor, serta pewarna fluoresen, untuk memvisualisasikan pita-pita aktivitas enzim. Pola pita yang dihasilkan kemudian diinterpretasikan untuk menentukan persentase relatif setiap isoenzim.
IEF adalah teknik resolusi tinggi yang memisahkan protein berdasarkan titik isoelektrik (pI) mereka—pH di mana muatan bersih protein adalah nol. IEF sangat efektif untuk memisahkan isoenzim yang memiliki perbedaan pI yang sangat kecil, seperti yang sering terjadi pada varian isoenzim alkalin fosfatase (ALP).
Meskipun elektroforesis dominan, teknik lain digunakan untuk spesifisitas atau kuantifikasi yang lebih baik:
Dalam diagnostik klinis, pengukuran isoenzim melampaui batas pengukuran enzim total, memberikan informasi yang sangat spesifik mengenai jaringan yang mengalami kerusakan atau gangguan metabolisme. Tiga isoenzim yang paling sering dipelajari adalah Laktat Dehidrogenase (LDH), Kreatin Kinase (CK), dan Fosfatase Alkali (ALP).
LDH adalah enzim tetramer yang mengkatalisis interkonversi piruvat dan laktat. Enzim ini terdiri dari dua jenis subunit, H (jantung, *Heart*) dan M (otot, *Muscle*). Lima isoenzim (LDH-1 hingga LDH-5) terbentuk dari kombinasi subunit ini, dan distribusinya mencerminkan kebutuhan metabolik jaringan tertentu.
Meskipun LDH total bersifat non-spesifik (karena distribusinya sangat luas), profil isoenzim LDH sangat diagnostik, terutama sebelum penemuan penanda spesifik seperti troponin.
Infark Miokard Akut (IMA): Peningkatan rasio LDH-1/LDH-2 (inversi pola) secara historis adalah penanda khas kerusakan miokard, karena LDH-1 merupakan isoenzim utama di jaringan jantung. Kenaikan LDH-1 biasanya terjadi 10-24 jam setelah IMA, mencapai puncak pada hari ke-3 hingga ke-6. Walaupun kini digantikan oleh troponin, pemahaman pola ini tetap penting.
Penyakit Hati: Peningkatan signifikan LDH-5 menunjukkan kerusakan hepatoseluler (misalnya, hepatitis, sirosis), karena LDH-5 dominan di hati.
Anemia Hemolitik dan Megaloblastik: Karena eritrosit kaya akan LDH-1, penghancuran sel darah merah (hemolisis) menyebabkan peningkatan tajam LDH-1 dalam serum.
Kanker Testis (Germinoma): Beberapa tumor, terutama seminoma, melepaskan LDH-1 dalam jumlah yang sangat besar, menjadikannya penanda tumor yang berguna untuk pemantauan.
Analisis pola LDH memberikan gambaran yang komprehensif. Misalnya, pasien dengan peningkatan LDH total dan pola dominan LDH-5 harus dievaluasi untuk penyakit hati atau cedera otot yang luas, sementara dominasi LDH-1 dan LDH-2 sangat menunjukkan hemolisis atau kerusakan jantung.
CK adalah enzim dimer yang mengkatalisis transfer gugus fosfat dari ATP ke kreatin, menghasilkan fosfokreatin, suatu bentuk penyimpanan energi cepat di otot dan otak. CK terdiri dari dua subunit, M (*Muscle*) dan B (*Brain*), yang membentuk tiga isoenzim klinis yang penting:
CK-MB telah lama menjadi penanda esensial untuk diagnosis Infark Miokard Akut (IMA). Meskipun kini sering didampingi atau digantikan oleh troponin, CK-MB tetap penting karena beberapa alasan:
Kinetika Pelepasan: CK-MB mulai meningkat 4-8 jam setelah IMA, mencapai puncaknya pada 12-24 jam, dan kembali normal dalam 48-72 jam. Periode kembali normal yang relatif cepat ini menjadikannya penanda yang berguna untuk mendeteksi reinfarksi (kejadian infark kedua yang terjadi dalam beberapa hari setelah infark pertama), di mana troponin mungkin masih tinggi dari peristiwa awal.
Indeks Relatif (CK-MB Index): Untuk membedakan antara cedera otot rangka dan cedera jantung, digunakan Indeks Relatif CK-MB (CK-MB/CK Total). Jika indeks ini lebih dari 2.5% atau 3.0%, maka cedera miokard adalah penyebab yang paling mungkin. Hal ini krusial, sebab kerusakan otot rangka yang parah (rhabdomyolysis) dapat meningkatkan CK total hingga ribuan unit tanpa harus melibatkan jantung.
Dalam konteks CK, terdapat pula fenomena Makroenzim CK, yang dapat menyebabkan hasil CK total yang tinggi tanpa ada kerusakan organ yang jelas:
Deteksi Makro-CK membutuhkan teknik pemisahan yang canggih (seperti elektroforesis) karena massanya yang besar menyebabkan migrasinya tidak sesuai dengan pola CK standar.
ALP mengkatalisis hidrolisis ester fosfat pada pH alkali. Isoenzim ALP sangat penting untuk membedakan antara penyakit hati dan penyakit tulang, karena organ-organ ini memiliki bentuk isoenzim yang sangat berbeda.
ALP terdiri dari empat gen lokus utama, menghasilkan isoenzim spesifik jaringan yang berbeda dalam glikosilasi dan muatan:
Karena ALP hati dan tulang memiliki migrasi elektroforetik yang sangat mirip, pemisahan yang andal seringkali memerlukan teknik khusus. Denaturasi panas adalah metode historis yang umum:
Sampel dipanaskan hingga 56°C selama 10-15 menit. ALP Tulang sangat labil terhadap panas dan akan terdenaturasi hampir sepenuhnya, sementara ALP Hati tetap stabil. Proporsi aktivitas ALP yang tersisa setelah pemanasan memberikan petunjuk mengenai dominasi isoenzim hati atau tulang. Metode yang lebih modern menggunakan teknik imunokimia atau kromatografi kolom untuk pemisahan yang lebih presisi.
Signifikansi isoenzim meluas melampaui diagnostik kerusakan organ; mereka juga memainkan peran sentral dalam menentukan bagaimana individu memproses obat dan metabolit toksik. Variabilitas genetik dalam isoenzim tertentu dapat menjelaskan perbedaan respons pasien terhadap terapi obat.
Meskipun Sitokrom P450 bukanlah isoenzim dalam arti klasik (mengubah substrat yang berbeda), mereka merupakan keluarga besar enzim yang mengkatalisis reaksi yang sama (oksidasi) pada berbagai substrat endogen dan eksogen (obat-obatan). Isoenzim CYP seperti CYP2D6, CYP2C9, dan CYP3A4 menunjukkan polimorfisme genetik yang tinggi.
Implikasi Farmakologis: Seorang individu mungkin memiliki fenotipe 'metabolizer cepat' atau 'metabolizer lambat' untuk CYP2D6. Jika pasien metabolizer lambat diberikan dosis standar obat (seperti antidepresan trisiklik atau kodein), obat akan terakumulasi menjadi tingkat toksik. Sebaliknya, obat pro-aktif (yang perlu diubah oleh enzim menjadi bentuk aktifnya, seperti kodein menjadi morfin) akan gagal memberikan efek terapeutik yang memadai pada metabolizer cepat. Pemetaan genotipe CYP kini semakin penting dalam personalisasi dosis obat.
G6PD adalah enzim kunci dalam jalur pentosa fosfat. Defisiensi isoenzim G6PD adalah kelainan genetik yang paling umum di dunia dan mempengaruhi kemampuan sel darah merah untuk menangani stres oksidatif. Isoenzim G6PD yang berbeda (yang merupakan varian aloenzim, namun relevan secara fungsional) tersebar luas secara geografis.
Individu yang kekurangan G6PD dapat mengalami anemia hemolitik akut ketika terpapar obat-obatan pemicu (seperti obat antimalaria, sulfonamida) atau infeksi berat. Karena perbedaan struktural dan stabilitas isoenzim G6PD, diagnosis yang akurat sangat penting untuk menghindari pemicu ini.
Beberapa isoenzim berperan dalam regulasi sentral metabolisme energi, menunjukkan adaptasi fungsional berdasarkan lokasi seluler dan kebutuhan energi.
Kedua enzim ini mengkatalisis langkah pertama dalam glikolisis: fosforilasi glukosa. Meskipun fungsinya identik, sifat kinetik mereka berbeda secara radikal, yang merupakan manifestasi klasik dari fungsi isoenzim.
Ditemukan di hampir semua jaringan. HK memiliki afinitas yang sangat tinggi terhadap glukosa (Km rendah). Ini berarti HK dapat menangkap dan memfosforilasi glukosa bahkan ketika konsentrasi glukosa dalam darah rendah. HK cepat jenuh dan dihambat oleh produknya sendiri, glukosa-6-fosfat, memastikan sel menggunakan glukosa dengan hemat dan sesuai kebutuhan energinya sendiri.
GK adalah isoenzim yang terutama ditemukan di sel beta pankreas dan hepatosit (sel hati). GK memiliki afinitas yang jauh lebih rendah terhadap glukosa (Km tinggi) dan tidak dihambat oleh produknya. Ini berarti GK hanya aktif ketika konsentrasi glukosa tinggi (setelah makan).
Perbedaan isoenzim ini adalah contoh sempurna bagaimana variasi enzimatik memungkinkan regulasi fisiologis yang kompleks dan spesifik jaringan.
PFK adalah enzim kunci yang mengatur laju glikolisis, mengkatalisis konversi Fruktosa-6-fosfat menjadi Fruktosa-1,6-bifosfat. PFK ada dalam tiga bentuk isoenzim yang dikodekan gen berbeda: PFK-M (otot), PFK-L (hati), dan PFK-P (platelet).
Isoenzim-isoenzim ini menunjukkan kepekaan yang berbeda terhadap regulator alosterik seperti ATP, sitrat, dan Fruktosa-2,6-bifosfat. Misalnya, PFK otot harus dapat merespons kebutuhan energi yang sangat cepat, sementara PFK hati harus terintegrasi dengan glukoneogenesis. PFK-L, misalnya, sangat sensitif terhadap sinyal hormonal (insulin/glukagon) dibandingkan dengan PFK-M, yang terutama dikendalikan oleh kebutuhan energi seluler langsung.
Meskipun isoenzim menawarkan diagnostik yang unggul, analisis mereka bukannya tanpa tantangan. Akurasi sangat bergantung pada metode pemisahan dan interpretasi pola yang cermat.
Beberapa isoenzim sangat labil. Misalnya, LDH-4 dan LDH-5 (yang dominan di hati dan otot) tidak stabil pada suhu rendah dan dapat kehilangan aktivitas jika tidak diproses dengan cepat. Selain itu, hemolisis selama pengambilan darah secara artifisial akan meningkatkan LDH-1 (dari sel darah merah) dan CK total, mengaburkan pola diagnostik yang sebenarnya.
Isoenzim yang berasal dari jaringan yang berbeda terkadang menunjukkan migrasi yang sangat mirip. Contoh yang paling terkenal adalah tumpang tindih antara ALP Hati dan ALP Tulang pada elektroforesis standar. Diperlukan teknik tambahan, seperti denaturasi panas atau pemisahan kimiawi, untuk mencapai pemisahan yang jelas dan interpretasi yang akurat. Jika tidak ditangani, tumpang tindih ini dapat menyebabkan salah diagnosis, misalnya, menganggap peningkatan ALP berasal dari tulang padahal sebenarnya berasal dari kolestasis hati yang ringan.
Sebagian besar uji isoenzim mengukur aktivitas katalitik. Namun, ada metode modern, terutama untuk CK-MB, yang mengukur massa protein (kuantifikasi imunologis). Pengukuran massa (misalnya, ng/mL) seringkali lebih cepat dan lebih spesifik daripada pengukuran aktivitas (U/L), meskipun keduanya memberikan informasi yang komplementer mengenai kerusakan jaringan.
Penting untuk diingat bahwa isoenzim dapat menunjukkan heterogenitas yang besar. Bahkan dalam satu pita elektroforetik (misalnya, LDH-1), mungkin terdapat sub-fraksi yang berasal dari modifikasi pasca-translasi, seperti desialilasi, yang mengubah muatan bersih tanpa mengubah fungsi. Klinisi harus mempertimbangkan semua faktor ini, termasuk riwayat klinis pasien, dalam menafsirkan pola isoenzim serum.
Di era proteomik dan metabolomik, studi isoenzim telah berkembang dari sekadar alat diagnostik klinis menjadi target terapeutik yang potensial. Pemahaman mendalam tentang perbedaan kinetik dan regulasi isoenzim tertentu menawarkan peluang untuk mengembangkan terapi yang sangat selektif.
Perbedaan antara isoenzim Heksokinase (HK) yang diekspresikan oleh sel tumor dan sel normal telah menarik perhatian dalam penelitian kanker. Banyak sel kanker menunjukkan peningkatan regulasi isoenzim HK tertentu (misalnya, HK-II), yang memiliki peran penting dalam metabolisme glukosa yang sangat tinggi (efek Warburg). Mengembangkan inhibitor yang spesifik menargetkan HK-II, tanpa mempengaruhi isoenzim HK normal di jaringan vital lainnya, dapat menjadi strategi kemoterapi yang sangat bertarget dan meminimalkan efek samping.
Varian isoenzim tertentu dalam sistem saraf pusat, seperti monoamin oksidase (MAO), sangat relevan. MAO ada dalam dua bentuk (MAO-A dan MAO-B) yang memiliki spesifisitas substrat dan distribusi jaringan yang berbeda. MAO-B, yang terutama bertanggung jawab atas degradasi dopamin di otak, adalah target utama dalam pengobatan penyakit Parkinson. Obat yang secara selektif menghambat MAO-B dapat meningkatkan ketersediaan dopamin tanpa menyebabkan efek samping yang terkait dengan inhibisi MAO-A.
Teknologi resolusi tinggi seperti elektroforesis dua dimensi (2D-PAGE) dan spektrometri massa memungkinkan para peneliti untuk memetakan seluruh 'isoenzim' atau 'proteoform' suatu sel atau jaringan. Pemetaan ini mengungkapkan pola ekspresi isoenzim yang kompleks dalam keadaan penyakit, jauh melampaui lima bentuk LDH atau tiga bentuk CK, membuka jalan bagi penemuan biomarker baru untuk diagnosis dini penyakit yang sulit dideteksi.
Isoenzim, dengan keragaman strukturalnya, adalah contoh luar biasa dari prinsip "bentuk mengikuti fungsi" dalam biologi. Mereka memungkinkan organisme untuk melakukan fungsi biokimia yang sama, tetapi dengan nuansa kinetik dan regulasi yang berbeda, memberikan fleksibilitas metabolisme yang penting untuk homeostasis, adaptasi, dan respons terhadap penyakit. Dari identifikasi kerusakan miokardium hingga personalisasi pengobatan farmakologis, studi isoenzim tetap menjadi pilar fundamental dalam biokimia dan kedokteran modern.
Untuk melengkapi eksplorasi mengenai isoenzim, penting untuk mengulas beberapa enzim lain yang varian isoenzimnya memiliki dampak klinis dan biologis yang signifikan, menunjukkan betapa luasnya fenomena ini dalam biokimia kehidupan.
Amilase mengkatalisis hidrolisis ikatan glikosidik pada pati. Meskipun enzim ini diproduksi oleh beberapa organ, dua bentuk isoenzim utamanya mendominasi diagnosis klinis terkait penyakit pankreas.
Meskipun amilase serum total mudah diukur, peningkatan amilase total tidak selalu berarti pankreatitis, karena amilase-S dapat meningkat karena alasan yang kurang serius (misalnya, trauma rahang). Pemisahan isoenzim, biasanya melalui elektroforesis atau penghambatan selektif oleh antibodi, memungkinkan identifikasi yang tepat dari amilase-P. Dalam konteks pankreatitis, pengukuran Lipase seringkali lebih spesifik daripada amilase total, tetapi isoenzim amilase tetap menjadi alat konfirmasi yang berguna. Penyakit seperti Makroamilasemia, di mana amilase serum terikat pada protein lain dan tidak dapat diekskresikan, juga memerlukan analisis isoenzim untuk memastikan bahwa peningkatan amilase tidak disebabkan oleh kerusakan organ melainkan oleh kompleksasi molekul.
ACP adalah hidrolase yang mengkatalisis pemutusan ester fosfat pada pH asam (dibandingkan ALP yang bekerja pada pH basa). Isoenzim ACP dulu sangat penting dalam onkologi urologi.
Prostat menghasilkan isoenzim ACP dalam jumlah besar. Peningkatan P-ACP dalam serum secara tradisional merupakan penanda kerusakan sel kanker prostat atau metastasis. Meskipun kini sebagian besar digantikan oleh PSA (Prostate Specific Antigen), pengukuran P-ACP melalui metode imunologi masih digunakan untuk memantau respons terhadap terapi pada kasus tertentu. Isoenzim P-ACP dapat dibedakan dari ACP non-prostatik (misalnya, yang berasal dari sel darah merah atau platelet) melalui inhibisi oleh tartrat, di mana P-ACP dihambat secara signifikan.
Isoenzim yang ditemukan di sel darah merah, yang secara genetik dikontrol oleh lokus berbeda. Varian E-ACP digunakan dalam studi genetik forensik dan antropologi karena keragaman aleliknya yang tinggi di berbagai populasi, meskipun perannya dalam diagnosis klinis terbatas.
AST dan ALT adalah enzim transaminase kunci yang digunakan untuk menilai fungsi hati. Mereka tidak memiliki banyak isoenzim multimerik seperti LDH, namun mereka memiliki isoenzim spesifik lokasi subseluler yang memiliki implikasi klinis yang besar.
Dalam kerusakan hati ringan (misalnya, hepatitis virus), enzim sitoplasmik (c-AST dan ALT) dilepaskan. Namun, jika terjadi kerusakan seluler yang sangat parah (misalnya, nekrosis alkoholik atau iskemia berat), membran mitokondria ikut rusak, melepaskan m-AST. Dengan demikian, peningkatan rasio m-AST/c-AST mengindikasikan kerusakan seluler yang lebih serius dan mendalam. Meskipun pemisahan isoenzim ini rumit dan jarang dilakukan secara rutin, konsep perbedaan lokasi subseluler ini sangat penting untuk interpretasi biokimia klinis.
Perbedaan fungsional paling penting antara isoenzim seringkali terletak pada kinetika reaksi dan regulasi alosterik. Perbedaan ini memungkinkan jaringan yang berbeda untuk mengoptimalkan metabolisme berdasarkan ketersediaan substrat dan kebutuhan energi.
Km adalah konsentrasi substrat yang diperlukan untuk mencapai setengah kecepatan maksimum reaksi. Isoenzim yang bekerja di lingkungan dengan konsentrasi substrat rendah (seperti otak atau sel darah merah yang membutuhkan pasokan glukosa yang konstan) cenderung memiliki Km yang sangat rendah (afinitas tinggi). Contoh klasiknya adalah perbandingan antara Heksokinase (Km rendah) dan Glukokinase (Km tinggi) yang telah dijelaskan sebelumnya. Isoenzim hati dan pankreas membutuhkan Km tinggi karena mereka berfungsi sebagai 'sensor banjir' glukosa setelah makan, dan tidak boleh jenuh pada konsentrasi glukosa basal.
Beberapa isoenzim berevolusi untuk merespons sinyal regulasi yang berbeda. LDH adalah contoh yang baik. LDH-1 (H4), yang dominan di jantung, dihambat oleh konsentrasi piruvat yang tinggi. Inhibisi ini penting karena jantung membutuhkan metabolisme aerobik yang berkelanjutan, dan penumpukan piruvat adalah sinyal anaerobik yang harus dihindari. Sebaliknya, LDH-5 (M4), yang dominan di otot, tidak begitu sensitif terhadap inhibisi piruvat. Hal ini memungkinkan otot rangka untuk menghasilkan laktat dengan cepat (glikolisis anaerobik) selama aktivitas fisik yang intens tanpa menghentikan jalur tersebut.
Selain fokus pada protein dan aktivitas enzimatik, penelitian modern telah beralih ke tingkat genetik dan transkriptomik untuk memahami ekspresi isoenzim. Kemampuan untuk mengukur mRNA spesifik isoenzim memberikan informasi tentang fungsi jaringan sebelum terjadi pelepasan protein ke sirkulasi.
Tidak semua isoenzim berasal dari gen yang berbeda. Beberapa isoenzim adalah hasil dari alternative splicing (penyambungan alternatif) dari mRNA dari gen tunggal. Proses ini memungkinkan satu gen untuk menghasilkan beberapa varian protein (isoform) yang berbeda secara fungsional. Misalnya, varian splicing enzim seperti piruvat kinase (PK) menghasilkan isoform PK yang diekspresikan secara spesifik di hati, ginjal, atau sel darah merah, masing-masing dengan regulasi kinetik yang berbeda untuk memenuhi kebutuhan energi sel tersebut.
Pola ekspresi isoenzim dapat berubah seiring bertambahnya usia, merefleksikan perubahan prioritas metabolisme atau penurunan kapasitas perbaikan seluler. Perubahan ini telah diamati pada isoenzim antioksidan, seperti Superoksida Dismutase (SOD). SOD memiliki isoenzim sitoplasmik (SOD-1) dan mitokondria (SOD-2). Ketidakseimbangan atau penurunan aktivitas salah satu isoenzim ini telah dikaitkan dengan peningkatan stres oksidatif dan penyakit terkait usia, seperti neurodegenerasi dan sarkopenia.
Kesimpulannya, studi isoenzim adalah disiplin ilmu yang kaya dan terus berkembang. Mereka adalah bukti nyata dari efisiensi dan kerumitan regulasi biologi, di mana satu fungsi dasar dikerjakan oleh berbagai alat molekuler yang diadaptasi secara sempurna untuk lingkungannya. Dalam praktik klinis, isoenzim menyediakan alat yang tak ternilai untuk lokalisasi kerusakan jaringan dan pemahaman mendalam tentang status metabolisme pasien, menjadikannya komponen yang tak tergantikan dalam biokimia klinis dan penelitian biomedis.