Iradat: Kehendak Ilahi dan Kedaulatan Mutlak
Dalam lanskap pemikiran filosofis dan teologis, konsep tentang kehendak ilahi atau yang dalam bahasa Arab dikenal sebagai 'Iradat' merupakan salah satu pilar fundamental yang membentuk cara pandang manusia terhadap eksistensi, takdir, kebebasan, dan kedaulatan Tuhan. Iradat, yang secara harfiah berarti 'kehendak' atau 'kemauan', jauh melampaui sekadar preferensi atau keinginan biasa; ia merujuk pada atribut esensial Tuhan yang maha kuasa untuk memutuskan dan merealisasikan segala sesuatu sesuai dengan hikmah dan pengetahuan-Nya yang tak terbatas.
Pembahasan mengenai iradat seringkali memicu perdebatan panjang dan mendalam di antara para teolog, filsuf, dan bahkan masyarakat awam. Bagaimana kehendak Tuhan berinteraksi dengan kebebasan memilih manusia? Apakah semua kejadian di alam semesta ini telah ditentukan sejak awal? Apa implikasi praktis dari pemahaman iradat terhadap kehidupan sehari-hari, doa, dan usaha manusia? Artikel ini akan mengupas tuntas konsep iradat dari berbagai perspektif, terutama dalam tradisi Islam, menyoroti nuansa maknanya, implikasinya, serta bagaimana kita seharusnya menempatkan pemahaman ini dalam konteks kehidupan yang dinamis dan penuh tantangan.
Pengertian Iradat: Makna Linguistik dan Teologis
Makna Linguistik
Secara etimologi, kata 'iradat' (إِرَادَة) berasal dari akar kata bahasa Arab 'ra-wa-da' (رَوَدَ) yang berarti menginginkan, mencari, menghendaki, atau berkeinginan. Dalam kamus-kamus bahasa Arab, iradat didefinisikan sebagai niat, keinginan, atau kehendak. Misalnya, ketika seseorang mengatakan 'Aradtu syai'an', itu berarti 'Aku menginginkan sesuatu'. Kata ini menekankan aspek kesengajaan, tujuan, dan pilihan yang disengaja. Dalam konteks manusia, iradat menunjukkan adanya pilihan sadar untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu, yang kemudian membedakannya dari tindakan refleks atau paksaan.
Namun, ketika disematkan kepada Allah SWT, makna iradat mengalami peningkatan derajat yang signifikan. Iradat Allah tidak sama dengan keinginan manusia yang terbatas, fluktuatif, dan seringkali didorong oleh emosi atau kebutuhan. Iradat Ilahi adalah atribut yang sempurna, mutlak, dan tidak terikat oleh waktu, ruang, atau sebab akibat. Ia adalah manifestasi dari kemahakuasaan dan kemahatahuan-Nya.
Makna Teologis dalam Islam
Dalam akidah Islam, iradat adalah salah satu dari sifat-sifat Allah (Sifat Ma'ani) yang menunjukkan bahwa Allah SWT adalah Dzat yang Maha Berkehendak atas segala sesuatu. Tidak ada satu pun kejadian di alam semesta ini, baik yang besar maupun yang kecil, yang luput dari kehendak-Nya. Konsep ini menegaskan kedaulatan mutlak Allah sebagai Pencipta dan Pengatur alam semesta.
Para ulama membagi iradat Allah menjadi dua jenis utama yang memiliki implikasi sangat berbeda dalam pemahaman kita tentang takdir dan kebebasan manusia:
1. Iradat Kauniyah (Kehendak Penciptaan/Universal/Eksistensial)
Iradat Kauniyah, juga dikenal sebagai iradat takwiniah atau iradat qadariyah, adalah kehendak Allah yang berkaitan dengan penciptaan, pengaturan, dan penentuan segala sesuatu yang terjadi di alam semesta. Ini adalah kehendak yang bersifat wajib terjadi (lawazim al-wujud), yang tidak bisa ditolak atau dihindari oleh siapa pun. Apabila Allah menghendaki sesuatu dengan iradat kauniyah-Nya, maka hal itu pasti akan terjadi, terlepas dari apakah manusia menyukainya atau tidak, atau apakah ia sesuai dengan perintah-Nya atau tidak.
Contoh Iradat Kauniyah:
- Penciptaan langit dan bumi, bintang-bintang, dan seluruh galaksi.
- Terjadinya siang dan malam, hujan, gempa bumi, tsunami, dan bencana alam lainnya.
- Kelahiran dan kematian setiap makhluk hidup.
- Rezeki yang diberikan kepada setiap individu.
- Penyakit dan kesehatan.
- Hidayah atau kesesatan seseorang, dalam arti Allah-lah yang menciptakan kemampuan untuk memilih dan memberikan kondisi-kondisi yang memungkinkan pilihan tersebut. Namun, pilihan akhir tetap ada pada manusia sesuai dengan iradat syar'iyah.
Sifat iradat kauniyah adalah tidak terpisahkan dari takdir (qadar) dan ketentuan Allah (qada). Setiap detail dari keberadaan, gerak, dan diamnya setiap atom di alam semesta ini berada dalam genggaman iradat kauniyah-Nya. Ayat-ayat Al-Qur'an banyak menegaskan hal ini:
إِنَّمَا أَمْرُهُ إِذَا أَرَادَ شَيْئًا أَنْ يَقُولَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ
"Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: 'Jadilah!' maka terjadilah ia."
(QS. Yasin: 82)
Ayat ini dengan tegas menunjukkan kemutlakan iradat kauniyah. Tidak ada perlawanan, tidak ada penundaan. Kehendak-Nya adalah penciptaan itu sendiri. Ketika Allah menghendaki sesuatu dengan iradat kauniyah, maka hal itu terjadi tanpa perlu sebab-akibat yang kita pahami secara rasional, meskipun seringkali Allah menciptakan sebab-sebab untuk menampakkan kehendak-Nya.
وَمَا تَشَاءُونَ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ
"Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu), kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam."
(QS. At-Takwir: 29)
Ayat ini seringkali menjadi titik perdebatan, namun dalam konteks iradat kauniyah, ia menunjukkan bahwa setiap kemampuan atau potensi kehendak pada manusia itu sendiri adalah ciptaan Allah. Bahkan kehendak manusia untuk berkehendak pun atas izin dan kehendak-Nya dalam skala penciptaan. Ini tidak menafikan kebebasan memilih, melainkan menempatkannya dalam kerangka kedaulatan Ilahi yang lebih luas.
Iradat kauniyah mencakup semua peristiwa, baik yang baik maupun yang buruk di mata manusia, baik yang sesuai syariat maupun yang melanggarnya. Allah menghendaki (menciptakan) terjadinya kekafiran, dosa, dan maksiat, bukan berarti Dia ridha terhadapnya atau memerintahkannya. Kehendak-Nya untuk menciptakan hal-hal tersebut adalah bagian dari ujian bagi manusia dan manifestasi kemahakuasaan-Nya yang tak terbatas, namun ridha-Nya hanya pada kebaikan dan ketaatan.
2. Iradat Syar'iyah (Kehendak Syariat/Perintah/Religius)
Iradat Syar'iyah, atau iradat diniyah, adalah kehendak Allah yang berkaitan dengan perintah dan larangan-Nya, yaitu segala sesuatu yang dicintai dan diridhai-Nya. Ini adalah kehendak yang menunjukkan apa yang Allah inginkan dari hamba-hamba-Nya untuk dilakukan atau ditinggalkan. Namun, berbeda dengan iradat kauniyah, iradat syar'iyah tidak selalu terjadi. Manusia memiliki pilihan untuk mengikuti atau menentang kehendak syar'iyah ini.
Contoh Iradat Syar'iyah:
- Allah menghendaki (memerintahkan dan mencintai) agar semua manusia beriman, shalat, zakat, puasa, dan berbuat kebajikan.
- Allah menghendaki agar manusia menjauhi syirik, maksiat, kezaliman, dan segala perbuatan dosa.
- Allah menghendaki agar manusia berakhlak mulia, jujur, amanah, dan saling menyayangi.
Jika iradat kauniyah bersifat 'terjadi' (takwin), maka iradat syar'iyah bersifat 'diperintahkan' (tasyri'). Terkadang, Allah menghendaki sesuatu secara syar'iyah, tetapi tidak terjadi secara kauniyah. Misalnya, Allah menghendaki agar Abu Jahal beriman (secara syar'iyah), tetapi secara kauniyah, Abu Jahal memilih untuk tidak beriman, dan Allah menciptakan pilihan tersebut baginya. Sebaliknya, terkadang Allah menghendaki sesuatu secara kauniyah, tetapi tidak secara syar'iyah, seperti terjadinya kekafiran atau kemaksiatan; Allah menghendaki terjadinya (secara kauniyah), tetapi tidak ridha dan tidak memerintahkannya (secara syar'iyah).
وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَآمَنَ مَنْ فِي الْأَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيعًا أَفَأَنْتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتَّىٰ يَكُونُوا مُؤْمِنِينَ
"Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman?"
(QS. Yunus: 99)
Ayat ini adalah dalil kuat untuk iradat syar'iyah dan iradat kauniyah sekaligus. Jika Allah menghendaki secara kauniyah agar semua orang beriman, tentu mereka semua akan beriman tanpa paksaan. Namun, kenyataannya tidak semua beriman, menunjukkan bahwa iman adalah hasil dari pilihan manusia yang sesuai dengan iradat syar'iyah-Nya (perintah-Nya) dan yang dimungkinkan oleh iradat kauniyah-Nya (penciptaan potensi memilih).
Memahami perbedaan antara kedua jenis iradat ini sangat krusial untuk menghindari kesalahpahaman tentang takdir dan kebebasan manusia. Iradat kauniyah adalah ranah kedaulatan mutlak Allah, sedangkan iradat syar'iyah adalah ranah tanggung jawab manusia. Manusia diperintahkan untuk berusaha mengikuti iradat syar'iyah, sambil menyadari bahwa hasil akhirnya ada di tangan iradat kauniyah Allah.
Iradat dan Hubungannya dengan Qada, Qadar, dan Kebebasan Manusia
Konsep iradat tidak bisa dipisahkan dari pembahasan tentang qada (ketentuan) dan qadar (takdir). Ketiganya merupakan pilar utama dalam pemahaman tentang keimanan terhadap takdir Allah SWT. Iradat adalah sifat Allah yang Maha Berkehendak. Qada adalah penetapan atau keputusan Allah yang bersifat azali (sejak dahulu kala), yaitu segala sesuatu yang telah Allah ketahui dan tentukan sebelum ia terjadi. Qadar adalah realisasi atau perwujudan dari qada itu pada waktunya, yaitu terjadinya sesuatu sesuai dengan ketentuan Allah.
Sinergi Iradat, Qada, dan Qadar
Iradat adalah fondasi dari qada dan qadar. Allah menghendaki (iradat) bahwa sesuatu akan terjadi, lalu Dia menetapkannya (qada), dan pada saatnya hal itu terwujud (qadar). Jadi, iradat adalah sifat Allah, qada adalah pengetahuan dan penetapan-Nya, dan qadar adalah pelaksanaan dari penetapan itu. Tidak ada qada dan qadar tanpa iradat Allah.
Misalnya, Allah dengan iradat-Nya menghendaki seseorang dilahirkan pada tanggal tertentu (qada). Kemudian pada tanggal tersebut, orang itu benar-benar lahir (qadar). Seluruh proses ini adalah manifestasi dari iradat kauniyah Allah.
Iradat dan Kebebasan Memilih Manusia (Free Will)
Salah satu topik paling pelik dalam pembahasan iradat adalah hubungannya dengan kebebasan memilih manusia. Jika segala sesuatu telah ditentukan oleh iradat kauniyah Allah, apakah manusia masih memiliki kebebasan sejati? Dan jika tidak, mengapa manusia dihukumi atas perbuatannya?
Ahlus Sunnah Wal Jama'ah mengambil posisi tengah yang harmonis antara dua ekstrem: Jabariyah (yang meyakini manusia tidak punya pilihan sama sekali, seperti daun yang ditiup angin) dan Qadariyah (yang meyakini manusia sepenuhnya independen dari kehendak Tuhan). Pandangan Ahlus Sunnah menjelaskan bahwa:
- Kehendak Manusia Adalah Bagian dari Kehendak Allah: Manusia memang memiliki kehendak, tetapi kehendak manusia itu sendiri adalah ciptaan Allah dan berada di bawah payung iradat kauniyah Allah. Allah-lah yang menciptakan kemampuan memilih pada manusia. Sebagaimana firman-Nya: "Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu), kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam." (QS. At-Takwir: 29). Ini berarti bahwa manusia memiliki kehendak, tetapi kehendaknya tidak terlepas dari izin dan pengetahuan Allah.
- Manusia Memiliki Pilihan dan Tanggung Jawab: Meskipun kehendak manusia berada dalam lingkup kehendak Allah, manusia tetap diberikan akal, hati nurani, dan kemampuan untuk membedakan yang baik dan yang buruk. Allah tidak memaksa manusia untuk beriman atau kufur. Allah hanya menciptakan jalur-jalur pilihan tersebut dan menjelaskan konsekuensinya melalui para nabi dan kitab suci.
- Iradat Syar'iyah Menjadi Panduan: Manusia diperintahkan untuk mengikuti iradat syar'iyah Allah, yaitu perintah-perintah-Nya. Ini adalah ranah dimana manusia berikhtiar dan berusaha. Hasil dari ikhtiar tersebut, apakah ia berhasil atau tidak, apakah ia sesuai dengan harapan manusia atau tidak, adalah bagian dari iradat kauniyah Allah.
- Hikmah di Balik Ujian: Adanya kebebasan memilih dalam lingkup iradat Allah adalah bagian dari hikmah ilahi untuk menguji siapa di antara manusia yang terbaik amalnya. Tanpa pilihan, tidak ada ujian, dan tanpa ujian, tidak ada makna bagi pahala atau hukuman.
إِنَّا هَدَيْنَاهُ السَّبِيلَ إِمَّا شَاكِرًا وَإِمَّا كَفُورًا
"Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir."
(QS. Al-Insan: 3)
Ayat ini jelas menunjukkan adanya dua pilihan yang diberikan kepada manusia. Pilihan inilah yang menjadi dasar pertanggungjawaban di Hari Akhir. Jika manusia tidak memiliki pilihan, maka tidak ada gunanya syariat, pahala, atau dosa.
Jadi, pandangan yang benar adalah manusia memiliki kebebasan memilih dalam koridor yang telah Allah ciptakan dan izinkan. Kebebasan ini bukanlah kebebasan mutlak yang independen dari Tuhan, melainkan kebebasan yang dianugerahkan oleh Tuhan dan berada dalam ilmu serta kehendak-Nya. Manusia bertanggung jawab atas pilihan-pilihannya karena ia memilihnya dengan kehendak yang telah diberikan Allah kepadanya.
Implikasi Memahami Iradat dalam Kehidupan
Memahami konsep iradat, baik kauniyah maupun syar'iyah, memiliki implikasi yang mendalam dan sangat praktis dalam membentuk pandangan hidup, sikap, dan tindakan seorang Muslim. Pemahaman yang benar akan menuntun pada keseimbangan jiwa dan tindakan, menjauhkan dari fatalisme pasif maupun kesombongan diri.
1. Meningkatkan Ketundukan dan Tawakal
Menyadari bahwa segala sesuatu terjadi atas iradat kauniyah Allah akan menumbuhkan rasa ketundukan yang mendalam kepada-Nya. Hati akan menjadi lebih tenang dalam menghadapi cobaan dan kesulitan, karena yakin bahwa tidak ada yang terjadi kecuali dengan izin-Nya dan pasti ada hikmah di baliknya. Ini melahirkan sikap tawakal yang sejati, yaitu bersandar sepenuhnya kepada Allah setelah melakukan usaha maksimal. Tawakal bukan berarti pasrah tanpa usaha, melainkan percaya bahwa setelah usaha optimal, hasilnya adalah yang terbaik menurut kehendak Allah.
Misalnya, seorang petani yang telah menggarap tanahnya dengan baik, menanam bibit, menyirami, dan memupuknya (ikhtiar), kemudian menyerahkan hasilnya kepada Allah, baik panennya melimpah maupun gagal (tawakal). Ia tahu bahwa iradat kauniyah Allah-lah yang akan menentukan hasil akhirnya.
2. Mendorong Ikhtiar dan Kerja Keras
Meskipun segala sesuatu terjadi atas kehendak Allah, pemahaman iradat tidak serta-merta menganjurkan pasivitas. Justru sebaliknya, iradat syar'iyah mendorong manusia untuk berikhtiar, berusaha semaksimal mungkin dalam ketaatan dan kebaikan. Allah telah memerintahkan manusia untuk bekerja, belajar, berjuang, dan tidak berputus asa. Manusia bertanggung jawab atas usaha yang dilakukannya, bukan atas hasil yang mutlak di luar kendalinya. Usaha adalah bentuk ibadah dan implementasi dari iradat syar'iyah Allah.
وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَىٰ
"Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya."
(QS. An-Najm: 39)
Ayat ini dengan jelas menekankan pentingnya usaha dan ikhtiar sebagai prasyarat bagi pencapaian. Iradat Allah tidak meniadakan sebab-akibat, melainkan menciptakan sistem sebab-akibat itu sendiri.
3. Menguatkan Kesabaran dan Syukur
Ketika dihadapkan pada musibah atau kegagalan, pemahaman iradat kauniyah membantu seseorang untuk bersabar dan tidak terlalu larut dalam kesedihan. Ia menyadari bahwa hal tersebut adalah bagian dari ketetapan Allah yang tak bisa dihindari, dan pasti ada pelajaran atau pahala di balik kesabaran itu. Sebaliknya, ketika meraih keberhasilan atau nikmat, ia akan bersyukur kepada Allah, karena menyadari bahwa semua itu adalah karunia dari iradat-Nya, bukan semata-mata karena kemampuan atau usahanya sendiri. Ini menjauhkan diri dari kesombongan dan keangkuhan.
Sabar dalam musibah dan syukur dalam nikmat adalah dua sisi mata uang yang selalu menyertai hamba yang memahami iradat Allah dengan benar. Tanpa pemahaman ini, manusia akan mudah putus asa saat musibah dan mudah sombong saat nikmat datang.
4. Memurnikan Doa
Doa adalah bentuk ibadah dan pengakuan atas keterbatasan diri serta kemahakuasaan Allah. Dalam konteks iradat, doa bukan berarti mencoba mengubah kehendak Allah, melainkan menunjukkan kerendahan hati dan kepasrahan kepada-Nya, memohon agar kehendak-Nya yang terbaiklah yang terjadi, atau memohon agar Allah menghendaki sesuatu yang baik bagi kita dengan iradat kauniyah-Nya.
Seorang Muslim berdoa dengan harapan, tetapi juga dengan kesadaran bahwa segala sesuatu akan terjadi sesuai kehendak-Nya. Jika doa dikabulkan, itu adalah karunia. Jika tidak, itu juga bagian dari iradat-Nya yang mengandung hikmah dan kebaikan yang mungkin tidak kita pahami. Ini menjadikan doa sebagai sarana penghubung spiritual yang mendalam, bukan sekadar daftar permintaan.
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ
"Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran."
(QS. Al-Baqarah: 186)
Ayat ini menegaskan bahwa Allah Maha Mendengar dan Mengabulkan doa. Pengabulan doa itu sendiri adalah bagian dari iradat kauniyah Allah. Allah menghendaki untuk mengabulkan doa hamba-Nya yang berdoa dengan sungguh-sungguh.
5. Menghindari Kesombongan dan Keputusasaan
Seseorang yang memahami iradat akan terhindar dari dua penyakit hati: kesombongan ketika meraih kesuksesan, dan keputusasaan ketika menghadapi kegagalan. Ia tahu bahwa kesuksesan adalah anugerah dan kegagalan adalah ujian, keduanya berasal dari iradat Allah. Sikap ini menumbuhkan kerendahan hati dan optimisme yang realistis.
Kesombongan seringkali muncul dari anggapan bahwa keberhasilan semata-mata karena usaha dan kecerdasan pribadi, melupakan peran iradat Ilahi. Sementara itu, keputusasaan muncul dari keyakinan bahwa segala usaha tidak akan mengubah apa-apa, atau bahwa takdir telah "mengunci" seseorang dalam kesengsaraan, juga salah memahami esensi iradat.
Kesalahpahaman Umum tentang Iradat
Meskipun konsep iradat sangat penting, seringkali terjadi kesalahpahaman yang dapat menyesatkan dan mengikis semangat hidup. Berikut adalah beberapa kesalahpahaman umum:
1. Fatalisme Murni (Jabariyah)
Kesalahpahaman paling umum adalah fatalisme, yaitu pandangan bahwa segala sesuatu telah ditentukan sehingga usaha manusia tidak ada artinya. Penganut fatalisme murni mungkin berkata, "Jika Allah menghendaki aku kaya, aku akan kaya, jadi untuk apa bekerja keras?" Atau, "Jika Allah menghendaki aku masuk surga, aku akan masuk surga, jadi untuk apa beribadah?"
Pandangan ini keliru karena mengabaikan iradat syar'iyah dan tanggung jawab manusia. Allah telah memberi akal dan pilihan, serta memerintahkan manusia untuk berikhtiar. Mengabaikan perintah Allah adalah dosa, dan setiap pilihan memiliki konsekuensi. Kehendak Allah (iradat kauniyah) memang mutlak, tetapi Dia juga menghendaki (iradat syar'iyah) agar manusia berusaha dan memilih jalan kebaikan. Hasil akhir adalah milik Allah, tetapi usaha adalah milik manusia.
2. Menganggap Kehendak Manusia Lepas dari Kehendak Allah (Qadariyah)
Sebaliknya, ada pula yang berpendapat bahwa manusia memiliki kehendak mutlak yang sepenuhnya independen dari kehendak Allah. Pandangan ini juga keliru karena merendahkan kedaulatan Allah. Kehendak manusia, beserta segala kemampuannya, adalah ciptaan Allah. Tidak ada sesuatu pun yang terjadi di alam semesta ini yang luput dari izin dan pengetahuan Allah, termasuk setiap gerak dan diam manusia. Ini bukan berarti manusia dipaksa, tetapi bahwa konteks dan potensi kebebasan memilihnya diciptakan dan dibatasi oleh iradat Allah.
3. Menyalahkan Takdir atas Dosa
Beberapa orang menggunakan alasan "ini sudah takdir Allah" untuk membenarkan dosa dan kemaksiatan mereka. Ini adalah penyimpangan serius. Allah memang menghendaki terjadinya perbuatan dosa (secara kauniyah, yaitu menciptakan kemampuan memilih dan kondisi terjadinya), tetapi Dia sama sekali tidak meridhai, memerintahkan, atau menyukai dosa tersebut (iradat syar'iyah). Manusia berbuat dosa karena pilihannya sendiri, bukan karena dipaksa oleh takdir. Allah memberi pilihan, manusia memilih keburukan, dan Allah menciptakan pilihan serta konsekuensinya.
Analoginya, Allah menciptakan pisau (kemampuan). Allah juga menghendaki (menciptakan) kemungkinan seseorang menggunakannya untuk kebaikan atau keburukan. Tetapi Allah tidak menyuruh seseorang membunuh (itu dosa). Jika seseorang membunuh, ia bertanggung jawab atas perbuatannya, meskipun Allah menghendaki (menciptakan) pisau dan kemampuan serta kesempatan untuk membunuh.
4. Menganggap Semua yang Terjadi adalah Bentuk Ridha Allah
Kesalahpahaman lain adalah menyamakan iradat kauniyah dengan ridha Allah. Tidak semua yang terjadi atas iradat kauniyah Allah berarti Dia meridhai atau menyukainya. Terjadinya kekafiran, kezaliman, dan kemaksiatan adalah bagian dari iradat kauniyah-Nya untuk tujuan ujian dan hikmah yang lebih besar, tetapi Allah tidak meridhai atau menyukai kekafiran dan kemaksiatan tersebut. Ridha Allah hanya berlaku pada ketaatan dan kebaikan, sesuai dengan iradat syar'iyah-Nya.
Iradat dalam Konteks Ilmu Pengetahuan dan Keteraturan Alam
Pada pandangan pertama, mungkin terlihat bahwa konsep iradat yang mutlak bertentangan dengan hukum-hukum alam yang teratur dan dapat diprediksi oleh sains. Namun, sebenarnya tidak demikian. Keteraturan alam, hukum fisika, kimia, dan biologi yang berlaku universal dan konsisten, justru merupakan manifestasi paling jelas dari iradat kauniyah Allah.
Allah dengan iradat-Nya menciptakan alam semesta ini dengan sistem yang sempurna dan hukum-hukum yang tak berubah. Gaya gravitasi, kecepatan cahaya, siklus air, proses fotosintesis — semua ini adalah bagian dari "sunnatullah" (ketentuan Allah) yang telah ditetapkan melalui iradat-Nya. Ilmu pengetahuan, pada hakikatnya, adalah upaya manusia untuk memahami bagaimana iradat kauniyah Allah bekerja dalam menciptakan dan mengatur alam semesta ini.
Setiap penemuan ilmiah yang mengungkap keajaiban alam semesta, dari skala mikro hingga makro, justru memperkuat keyakinan akan adanya kekuatan maha dahsyat yang mengendalikan semuanya. Iradat Ilahi adalah kekuatan yang tak terlihat yang menopang seluruh keberadaan dan memastikan segala sesuatu berjalan sesuai dengan rancangan-Nya yang sempurna.
سَنُرِيهِمْ آيَاتِنَا فِي الْآفَاقِ وَفِي أَنْفُسِهِمْ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ
"Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar."
(QS. Fushshilat: 53)
Ayat ini mendorong manusia untuk merenungkan tanda-tanda kebesaran Allah, baik di alam semesta maupun dalam diri mereka sendiri. Setiap tanda tersebut adalah perwujudan dari iradat kauniyah Allah.
Sikap yang Benar terhadap Iradat Ilahi
Memahami iradat dengan benar akan membentuk kepribadian Muslim yang seimbang, optimis, produktif, dan tawadhu (rendah hati). Sikap yang benar terhadap iradat Ilahi meliputi:
-
Memahami Perbedaan Iradat Kauniyah dan Syar'iyah
Ini adalah kunci utama. Dengan memahami perbedaan ini, kita tahu kapan harus menerima (iradat kauniyah) dan kapan harus berusaha (iradat syar'iyah). Kita berusaha mengikuti iradat syar'iyah dengan segenap kemampuan, dan menyerahkan hasil akhirnya kepada iradat kauniyah Allah.
-
Bertawakal Setelah Berikhtiar Maksimal
Tidak ada tawakal tanpa ikhtiar. Tawakal adalah buah dari keyakinan pada iradat Allah setelah melakukan semua yang terbaik sesuai kemampuan. Ia adalah puncak dari penyerahan diri yang aktif, bukan pasif.
-
Menerima Ketentuan Allah dengan Lapang Dada
Ketika sesuatu yang tidak diinginkan terjadi, yang merupakan bagian dari iradat kauniyah, seorang Muslim harus menerimanya dengan sabar dan lapang dada, seraya meyakini ada hikmah di baliknya, meskipun belum terlihat saat itu. Ini adalah bentuk rida terhadap qada dan qadar Allah.
-
Berprasangka Baik kepada Allah (Husnuzan)
Yakinlah bahwa setiap iradat Allah, baik yang terlihat baik maupun buruk di mata manusia, selalu mengandung kebaikan, keadilan, dan hikmah yang sempurna. Allah tidak akan menzalimi hamba-Nya.
-
Tidak Menyalahkan Takdir atas Dosa dan Kegagalan Pribadi
Setiap dosa adalah pilihan dan tanggung jawab manusia. Setiap kegagalan dalam ikhtiar harus dijadikan pelajaran untuk berusaha lebih baik lagi, bukan alasan untuk menyalahkan takdir dan berhenti berusaha.
-
Memperbanyak Doa dan Istighfar
Doa adalah bentuk komunikasi dan permohonan kepada Allah agar iradat-Nya condong kepada kebaikan bagi kita, atau agar Allah menghendaki sesuatu yang kita inginkan. Istighfar adalah pengakuan atas kekurangan dan kesalahan diri, serta permohonan ampunan, dengan menyadari bahwa setiap dosa adalah penyimpangan dari iradat syar'iyah Allah.
Iradat dalam Kisah-Kisah Para Nabi
Sepanjang sejarah kenabian, kisah-kisah para nabi dipenuhi dengan manifestasi iradat Ilahi yang menakjubkan, baik dalam bentuk iradat kauniyah maupun syar'iyah. Kisah-kisah ini bukan hanya menjadi teladan, tetapi juga penguat keimanan terhadap kedaulatan Allah.
Nabi Musa AS dan Firaun
Kisah Nabi Musa AS adalah salah satu contoh paling jelas tentang iradat kauniyah. Kelahiran Musa di tengah genosida bayi laki-laki yang diperintahkan Firaun, lalu ia dibesarkan di istana Firaun sendiri, adalah skenario yang di luar nalar manusia. Ini adalah iradat kauniyah Allah yang Maha Kuasa untuk melindungi Musa dan pada akhirnya menjadikannya penyebab kehancuran Firaun.
Firaun, dengan segala keangkuhan dan kekuasaannya, menghendaki (secara manusiawi) Musa mati atau tunduk. Namun, iradat kauniyah Allah yang jauh lebih tinggi telah menetapkan skenario yang berbeda. Allah menghendaki Firaun tenggelam dan Musa menjadi pemimpin Bani Israil. Meskipun Firaun berupaya keras untuk menentang Musa dan Allah, iradat kauniyah Allah tidak dapat dihalangi.
وَنُرِيدُ أَنْ نَمُنَّ عَلَى الَّذِينَ اسْتُضْعِفُوا فِي الْأَرْضِ وَنَجْعَلَهُمْ أَئِمَّةً وَنَجْعَلَهُمُ الْوَارِثِينَ
"Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi (Mesir) itu, dan hendak menjadikan mereka pemimpin-pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi (bumi)."
(QS. Al-Qasas: 5)
Ayat ini secara eksplisit menggunakan kata 'nuriddu' (Kami menghendaki), yang menegaskan iradat Allah yang tak tertahankan dalam mengubah nasib Bani Israil.
Nabi Ibrahim AS dan Pembakaran
Ketika Nabi Ibrahim dilemparkan ke dalam api oleh kaumnya, iradat kauniyah Allah bekerja dengan cara yang melampaui hukum fisika. Api yang seharusnya membakar, justru menjadi sejuk dan menyelamatkan Ibrahim. Ini menunjukkan bahwa hukum-hukum alam itu sendiri tunduk pada iradat Allah, dan Dia dapat mengubah atau menangguhkan fungsinya kapan pun Dia kehendaki.
قُلْنَا يَا نَارُ كُونِي بَرْدًا وَسَلَامًا عَلَىٰ إِبْرَاهِيمَ
"Kami berfirman: 'Hai api menjadi dinginlah, dan menjadi keselamatanlah bagi Ibrahim!'"
(QS. Al-Anbiya': 69)
Perintah 'kun' (jadilah) di sini adalah manifestasi iradat kauniyah yang mengubah sifat fundamental api.
Nabi Muhammad SAW dan Hijrah
Kisah Hijrah Nabi Muhammad SAW dari Mekkah ke Madinah juga mengandung pelajaran berharga tentang iradat. Meskipun kaum Quraisy berencana membunuh Nabi dan mengepung rumahnya, iradat kauniyah Allah melindunginya. Allah membutakan mata mereka sehingga Nabi bisa keluar tanpa terlihat. Kemudian, dalam perjalanan, Allah melindungi Nabi dan Abu Bakar di gua Tsur, meskipun pengejar telah sampai di mulut gua. Ini adalah iradat kauniyah yang bekerja di balik setiap langkah perjalanan Nabi.
Pada saat yang sama, Nabi dan para sahabatnya melakukan ikhtiar maksimal: merencanakan perjalanan, mencari penunjuk jalan, mengambil jalur yang tidak lazim. Ini adalah wujud ketaatan terhadap iradat syar'iyah yang memerintahkan usaha dan tawakal.
Kisah Nabi Yusuf AS
Seluruh kisah Nabi Yusuf adalah mozaik dari iradat kauniyah Allah. Dari dilemparkan ke sumur oleh saudara-saudaranya, dijual sebagai budak, dipenjara tanpa salah, hingga akhirnya menjadi pejabat tinggi di Mesir dan bersatu kembali dengan keluarganya. Semua kejadian ini, yang awalnya terlihat sebagai serangkaian musibah, adalah bagian dari rencana besar Allah untuk mengangkat derajat Yusuf dan menunjukkan kebesaran-Nya.
Saudara-saudara Yusuf berencana untuk mencelakainya, tetapi Allah memiliki rencana yang lebih besar. Perencanaan manusia seringkali hanya alat bagi realisasi iradat Allah.
وَلِتَعْلَمَ أَنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ وَأَنَّ السَّاعَةَ لَا رَيْبَ فِيهَا
"Dan agar kamu mengetahui bahwa janji Allah adalah benar, dan bahwa hari kiamat itu tidak ada keraguan padanya."
(QS. Yusuf: 21, bagian dari ayat yang mengisahkan penjualan Yusuf)
Ayat ini secara implisit menunjukkan bahwa setiap kejadian dalam hidup Yusuf, bahkan yang paling menyakitkan sekalipun, adalah bagian dari iradat Allah untuk menggenapi janji-Nya dan menegaskan kebenaran.
Dari kisah-kisah ini, kita melihat bahwa iradat Allah adalah kekuatan yang tak terbatas dan selalu bekerja. Ia mengendalikan segala sesuatu, melampaui pemahaman dan kemampuan manusia, namun pada saat yang sama, ia menuntut manusia untuk berikhtiar, bersabar, dan bersyukur. Memahami iradat Ilahi memberikan perspektif yang kokoh dan menenangkan dalam menghadapi dinamika kehidupan.
Kesimpulan
Iradat adalah salah satu sifat Allah SWT yang fundamental, yaitu kehendak mutlak-Nya yang mencakup segala sesuatu di alam semesta ini. Pembagiannya menjadi iradat kauniyah (kehendak penciptaan yang pasti terjadi) dan iradat syar'iyah (kehendak perintah yang menuntut pilihan dan tanggung jawab manusia) adalah kunci untuk memahami takdir, kebebasan, dan kedaulatan Tuhan secara harmonis.
Pemahaman yang benar tentang iradat akan menuntun seorang Muslim pada keseimbangan spiritual dan mental. Ia akan menjadi pribadi yang gigih berikhtiar dalam menjalankan perintah Allah (iradat syar'iyah), namun tetap tawakal dan lapang dada dalam menerima segala ketetapan-Nya (iradat kauniyah), baik yang menyenangkan maupun yang tidak. Ia akan senantiasa bersyukur atas nikmat dan bersabar atas musibah, karena yakin bahwa segala sesuatu berasal dari Allah dan kembali kepada-Nya, penuh dengan hikmah dan keadilan.
Jauh dari menumbuhkan fatalisme yang pasif, konsep iradat justru memotivasi manusia untuk terus beribadah, belajar, bekerja, dan berbuat kebajikan. Karena pada akhirnya, ketaatan dan ikhtiar kita adalah cerminan dari respons kita terhadap iradat syar'iyah Allah, sementara hasil akhir sepenuhnya berada dalam genggaman iradat kauniyah-Nya yang tak terbatas. Dengan demikian, iradat bukan hanya konsep teologis, tetapi juga panduan praktis untuk menjalani hidup yang bermakna dan bertawakal sepenuhnya kepada Sang Pencipta.