Institusionalisme: Studi Mendalam Atas Struktur dan Aturan yang Membentuk Realitas Sosial
I. Paradigma Institusionalisme: Jembatan Antara Aktor dan Struktur
Dalam ranah ilmu sosial, institusionalisme berdiri sebagai salah satu paradigma paling dominan dan fundamental. Ia menawarkan lensa kritis untuk memahami mengapa perilaku manusia dalam skala kolektif tidak semata-mata didorong oleh preferensi individu atau kebetulan historis, melainkan dibentuk dan dibatasi oleh pola, aturan, norma, dan struktur yang relatif stabil—yang kita sebut institusi. Institusionalisme menolak pandangan bahwa politik dan kehidupan sosial hanyalah agregasi dari tindakan individual yang rasional dan terisolasi. Sebaliknya, ia menegaskan bahwa institusi adalah variabel independen yang memainkan peran kausal dalam menentukan hasil, memoderasi konflik, dan mengarahkan perilaku.
Institusi, dalam konteks akademik ini, bukanlah hanya sekadar organisasi (seperti parlemen atau bank), tetapi lebih luas mencakup aturan formal (konstitusi, undang-undang), prosedur, norma, hingga skema kognitif yang membentuk ekspektasi dan memberikan makna bagi tindakan sosial. Institusi menciptakan ketertiban, mengurangi ketidakpastian (transaksi), dan memfasilitasi koordinasi dalam masyarakat yang kompleks. Tanpa institusi, masyarakat akan tenggelam dalam kekacauan anarki atau biaya koordinasi yang tidak tertahankan.
Kebangkitan institusionalisme, khususnya yang dikenal sebagai "Institusionalisme Baru" (New Institutionalism), pada paruh kedua abad ke-20 merupakan reaksi langsung terhadap dominasi pendekatan behavioralis dan teori pilihan rasional murni yang cenderung mengabaikan peran struktur. Institusionalisme Baru kemudian berkembang menjadi tiga aliran utama yang sering kali berdialog sekaligus berkonflik: Historis, Pilihan Rasional, dan Sosiologis. Masing-masing aliran ini memberikan penekanan berbeda pada asal-usul, mekanisme perubahan, dan dampak institusi terhadap aktor, menciptakan kerangka analisis yang kaya dan multi-dimensi.
Studi mengenai institusionalisme memerlukan pemahaman yang mendalam mengenai bagaimana institusi lahir, bagaimana mereka bertahan meskipun lingkungan berubah (resistensi terhadap perubahan), dan bagaimana mereka akhirnya runtuh atau berevolusi. Institusi bertindak sebagai 'filter' yang menyaring input (preferensi aktor) dan menghasilkan output (kebijakan, keputusan). Oleh karena itu, memahami struktur institusional adalah kunci untuk memprediksi dan menjelaskan fenomena mulai dari stabilitas demokrasi hingga kegagalan ekonomi.
Institusionalisme juga memperluas jangkauannya jauh melampaui batas-batas negara, memasuki ranah Hubungan Internasional (HI) dan ekonomi global. Organisasi internasional, perjanjian multilateral, dan rezim global dianggap sebagai institusi yang memoderasi anarki sistem internasional, membuktikan bahwa bahkan tanpa entitas pemerintahan dunia, aturan dan norma mampu mengatur interaksi antarnegara. Artikel ini akan mengeksplorasi secara mendalam ketiga pilar utama institusionalisme baru, sub-aliran penting, kritik yang dialamatkan kepadanya, serta aplikasinya yang luas dalam menjelaskan kompleksitas dunia modern.
II. Tiga Pilar Institusionalisme Baru: Konflik, Konsensus, dan Budaya
Setelah periode stagnasi di mana institusi dianggap sebagai variabel konstan yang tidak memerlukan penjelasan, gelombang Institusionalisme Baru muncul dengan ambisi untuk menjelaskan institusi itu sendiri. Meskipun memiliki kesamaan fokus pada aturan dan struktur, tiga aliran utama memiliki ontologi, epistemologi, dan mekanisme kausal yang sangat berbeda:
A. Institusionalisme Historis (Historical Institutionalism - HI)
Institusionalisme Historis adalah aliran yang paling tua dan paling berakar dalam ilmu politik komparatif. HI berfokus pada bagaimana keputusan yang dibuat pada masa lalu (terutama pada "titik kritis" atau critical junctures) menetapkan jalur pembangunan yang sulit diubah di masa depan (path dependence). HI tidak hanya melihat institusi sebagai pembentuk pilihan aktor, tetapi juga sebagai produk dari perjuangan kekuasaan, konflik, dan kompromi politik sebelumnya. Penekanan utamanya adalah pada waktu, urutan kejadian, dan kekakuan struktural.
A.1. Konsep Sentral: Ketergantungan Jalur (Path Dependence)
Ketergantungan jalur adalah tesis inti HI. Ini mengacu pada proses di mana pilihan awal, bahkan jika awalnya suboptimal, menciptakan biaya konversi (switching costs) yang tinggi sehingga mengunci aktor pada jalur tertentu. Keputusan awal membangun kepentingan yang terlembaga, infrastruktur fisik, dan jaringan politik yang sulit dibongkar. Contoh klasik dari ketergantungan jalur adalah evolusi sistem ketenagakerjaan di Amerika Serikat versus negara-negara Eropa, di mana keputusan kebijakan abad ke-19 dan awal abad ke-20 menetapkan kerangka kerja yang terus membatasi reformasi hingga hari ini.
Mekanisme yang mendorong ketergantungan jalur meliputi:
- Peningkatan Imbal Hasil (Increasing Returns): Semakin banyak sebuah institusi digunakan, semakin efisien ia menjadi dan semakin besar keuntungan yang didapatkan oleh para pemangku kepentingan, yang pada gilirannya memperkuat komitmen terhadap institusi tersebut.
- Penguatan Kognitif: Seiring waktu, institusi juga membentuk cara berpikir dan kriteria pengambilan keputusan para aktor (preferensi endogen), sehingga memperkuat kesesuaian tindakan mereka dengan struktur yang ada.
- Penguatan Kekuatan (Power Reinforcement): Institusi awal mendistribusikan kekuasaan secara tidak merata, memberikan hak veto dan sumber daya kepada aktor-aktor tertentu yang memiliki kepentingan untuk mempertahankan status quo.
A.2. Titik Kritis dan Perubahan Institusional
Institusionalis Historis menghadapi tantangan untuk menjelaskan perubahan. Jika institusi sangat resisten terhadap perubahan (sebagaimana tersirat dalam path dependence), bagaimana perubahan radikal dapat terjadi? Jawabannya terletak pada "titik kritis" (critical junctures)—periode singkat dan intens di mana ketidakpastian tinggi, biaya konversi rendah, dan aktor memiliki keleluasaan yang besar untuk membuat keputusan yang akan mengunci institusi baru untuk waktu yang lama. Contohnya adalah periode pasca-perang dunia, krisis ekonomi besar, atau transisi rezim yang mendadak.
Perubahan juga dapat bersifat bertahap (incremental change), terjadi melalui proses yang lambat seperti pelapukan (erosion), penggantian (layering), atau pergeseran (drift). Pelapukan terjadi ketika institusi formal tetap ada tetapi maknanya terkikis oleh praktik informal atau norma baru. Penggantian (layering) terjadi ketika aturan baru ditambahkan di atas struktur lama tanpa menghapusnya, menciptakan kompleksitas dan kontradiksi. Institusionalisme Historis unggul dalam menjelaskan mengapa variasi institusional lintas negara dan waktu dapat dipertahankan, menekankan bahwa konteks waktu dan konteks spesifik sangat penting dalam analisis sosial.
Institusionalisme Historis menyediakan kerangka kerja yang kuat untuk memahami fenomena makro politik, seperti pembangunan negara kesejahteraan, variasi kapitalisme, dan konsolidasi demokrasi. Fokusnya pada waktu dan kekuasaan membedakannya secara tajam dari aliran lain yang cenderung lebih ahistoris atau fokus pada budaya. Bagi HI, institusi adalah kristalisasi dari konflik kekuasaan di masa lalu.
B. Institusionalisme Pilihan Rasional (Rational Choice Institutionalism - RCI)
Berbeda dengan HI yang menekankan sejarah dan kekuasaan, RCI berakar kuat dalam tradisi ekonomi neoklasik dan teori permainan. RCI menganggap institusi sebagai sekumpulan aturan formal (hukum, prosedur, perjanjian) yang sengaja dirancang oleh aktor-aktor rasional untuk mencapai tujuan mereka. Institusi dipandang sebagai mekanisme penyelesaian masalah (problem-solving devices) yang membatasi tindakan individu dan memfasilitasi koordinasi, sehingga memaksimalkan hasil (utility) kolektif atau setidaknya hasil bagi aktor yang mendesainnya.
B.1. Aktor Rasional dan Kendala Eksternal
RCI mempertahankan asumsi inti dari pilihan rasional:
- Individualisme Metodologis: Unit analisis adalah individu atau aktor kolektif yang dianggap sebagai satu kesatuan (misalnya, partai politik).
- Rasionalitas: Aktor memiliki preferensi yang jelas dan konsisten, dan mereka bertindak secara instrumental untuk memaksimalkan hasil preferensi tersebut.
- Institusi sebagai Kendala: Institusi bukanlah entitas yang membentuk preferensi aktor, melainkan kendala (constraints) eksternal yang mengubah matriks hasil (payoff structure) dari interaksi strategis.
RCI menjelaskan keberadaan institusi sebagai respons terhadap masalah interaksi strategis, terutama yang berkaitan dengan Dilema Narapidana (Prisoner's Dilemma) atau masalah tindakan kolektif (collective action problems). Institusi, melalui sanksi, pengawasan, dan informasi, mengubah insentif sedemikian rupa sehingga memaksa aktor untuk memilih strategi yang kooperatif, yang pada akhirnya mengarah pada hasil yang lebih efisien atau Pareto-optimal bagi mereka yang terlibat.
B.2. Fokus pada Desain dan Kontrak
RCI sangat tertarik pada desain institusional. Mereka bertanya: Aturan apa yang paling efisien untuk memecahkan masalah koordinasi tertentu? Bagaimana kita dapat merancang sistem pemungutan suara yang mencegah manipulasi? Ini membawa RCI ke studi mendalam tentang badan legislatif, birokrasi, dan perjanjian internasional. Institusi dilihat sebagai kontrak yang mengikat aktor untuk jangka waktu tertentu, mengurangi biaya transaksi, dan mengatasi masalah keagenan (principal-agent problem), di mana agen (misalnya, birokrat) mungkin memiliki kepentingan yang berbeda dari prinsipal (misalnya, publik atau pembuat kebijakan).
Dalam Hubungan Internasional, Institusionalisme Liberal (sering dianggap sebagai cabang RCI) berpendapat bahwa rezim internasional (institusi) dapat memfasilitasi kerja sama antarnegara meskipun adanya anarki. Institusi melakukan ini dengan: 1) Memberikan informasi, 2) Mengurangi biaya negosiasi, 3) Memantau kepatuhan, dan 4) Mengaitkan isu (issue linkage), yang semuanya membantu negara-negara mengatasi ketakutan akan pengkhianatan dan mencapai keuntungan bersama.
Meskipun RCI menawarkan kejelasan dan kekuatan prediktif melalui model matematikanya, ia sering dikritik karena ahistoris dan gagal menjelaskan mengapa institusi seringkali tidak efisien atau bias, serta mengapa aktor terkadang bertindak berdasarkan norma atau identitas, bukan sekadar kepentingan material.
C. Institusionalisme Sosiologis (Sociological Institutionalism - SI)
SI menawarkan perspektif yang paling berbeda dari dua aliran lainnya. Sementara HI melihat institusi sebagai produk kekuasaan dan RCI melihatnya sebagai produk pilihan rasional, SI melihat institusi sebagai produk budaya, kognisi, dan legitimasi. Institusi Sosiologis tidak hanya membatasi pilihan, tetapi yang lebih fundamental, mereka membentuk preferensi, identitas, dan bahkan realitas aktor.
C.1. Fokus pada Norma dan Budaya
Dalam pandangan SI, institusi mencakup aturan informal, norma budaya, kerangka kognitif, dan mitos rasional yang membentuk cara aktor menafsirkan dunia. Aktor tidak bertindak hanya berdasarkan perhitungan instrumental (RCI) atau berdasarkan insentif yang diwariskan dari sejarah (HI). Sebaliknya, mereka bertindak sesuai dengan "logika kesesuaian" (logic of appropriateness)—mereka melakukan apa yang dianggap pantas, benar, atau sah dalam konteks kelembagaan yang diberikan. Institusi memberitahu aktor siapa mereka seharusnya dan bagaimana mereka harus berperilaku.
Institusi Sosiologis cenderung menjelaskan kesamaan (homogenitas) antarorganisasi yang berbeda. Mengapa perusahaan di seluruh dunia mengadopsi struktur birokrasi yang serupa, meskipun struktur tersebut mungkin tidak secara optimal efisien bagi mereka? Jawabannya adalah Isomorfisme.
C.2. Mekanisme Isomorfisme
Isomorfisme adalah proses di mana organisasi cenderung menjadi semakin mirip satu sama lain di bawah tekanan lingkungan kelembagaan yang sama. SI mengidentifikasi tiga jenis isomorfisme yang mendorong adopsi institusi, terlepas dari efisiensi yang dihasilkan:
- Isomorfisme Koersif (Coercive Isomorphism): Tekanan formal dan informal yang diberikan oleh organisasi yang lebih kuat (seperti pemerintah atau lembaga donor) untuk mengadopsi praktik tertentu (misalnya, undang-undang lingkungan).
- Isomorfisme Mimetik (Mimetic Isomorphism): Organisasi meniru praktik organisasi lain yang dianggap sukses atau berwenang, terutama dalam kondisi ketidakpastian tinggi (misalnya, mengadopsi struktur manajemen terbaru dari Silicon Valley).
- Isomorfisme Normatif (Normative Isomorphism): Tekanan yang berasal dari profesionalisasi. Ketika sekelompok profesional (misalnya, akuntan, insinyur) membawa keahlian dan norma yang seragam ke dalam berbagai organisasi.
Bagi SI, tujuan utama institusi seringkali bukan efisiensi (RCI), melainkan legitimasi. Organisasi mengadopsi praktik tertentu agar terlihat sah di mata lingkungan mereka, bahkan jika praktik tersebut “terlepas” (decoupled) dari aktivitas internal sehari-hari. Contohnya adalah adopsi program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) yang tampak formal, tetapi implementasinya dangkal.
D. Institusionalisme Diskursif (Discursive Institutionalism - DI)
Sebagai tambahan yang relatif baru, Institusionalisme Diskursif berupaya menjembatani kesenjangan antara fokus struktural (HI, RCI) dan fokus budaya/normatif (SI) dengan menempatkan ide dan bahasa (diskursus) sebagai mekanisme kausal kunci. DI berpendapat bahwa institusi tidak hanya terdiri dari aturan dan norma, tetapi juga dari ide-ide yang dilembagakan yang menentukan bagaimana aktor mendefinisikan masalah dan memformulasikan solusi.
DI membagi diskursus menjadi dua fungsi: 1) Diskursus Koordinatif (diskursus yang terjadi di dalam institusi, seperti negosiasi kebijakan) dan 2) Diskursus Komunikatif (diskursus yang digunakan untuk memengaruhi lingkungan luar, seperti retorika politik). Institusi, dalam pandangan DI, adalah tempat di mana ide-ide ini diperdebatkan, diadopsi, dan kemudian tertanam, mempengaruhi tindakan aktor melalui mekanisme kognitif.
III. Institusionalisme Ekonomi Baru dan Sintesis Lintas Aliran
Meskipun tiga pilar institusionalisme baru sering dipelajari secara terpisah, studi institusionalisme yang matang memerlukan pengakuan akan adanya aliran lain dan upaya sintesis yang signifikan. Salah satu aliran yang memiliki dampak besar, khususnya di luar ilmu politik, adalah Institusionalisme Ekonomi Baru.
A. Institusionalisme Ekonomi Baru (New Institutional Economics - NIE)
NIE, yang dipelopori oleh tokoh seperti Ronald Coase dan Douglass North (penerima Hadiah Nobel), berfokus pada peran institusi dalam menentukan kinerja ekonomi. NIE secara eksplisit menggunakan kerangka pilihan rasional tetapi memperluasnya untuk memasukkan biaya yang sebelumnya dianggap nol: biaya transaksi.
A.1. Biaya Transaksi dan Hak Milik
NIE mendefinisikan institusi sebagai "aturan main" dalam masyarakat yang membatasi interaksi antarmanusia. Institusi, baik formal maupun informal, berfungsi untuk mengurangi ketidakpastian dan yang terpenting, mengurangi biaya transaksi. Biaya transaksi mencakup biaya pencarian informasi, negosiasi, pengawasan kepatuhan, dan penegakan kontrak.
Douglass North berargumen bahwa perbedaan kinerja ekonomi antarnegara sebagian besar disebabkan oleh perbedaan dalam struktur kelembagaan, khususnya sistem hak milik (property rights). Ketika hak milik tidak jelas, tidak dijamin, atau mudah dilanggar, biaya transaksi melambung tinggi, insentif untuk berinvestasi berkurang, dan pertumbuhan ekonomi terhambat. Institusi yang efisien adalah institusi yang menjamin hak milik dan menegakkan kontrak dengan biaya serendah mungkin.
Meskipun NIE menggunakan rasionalitas instrumental (mirip RCI), ia lebih fokus pada konsekuensi makroekonomi jangka panjang dari desain institusional, menjadikannya jembatan penting antara ekonomi neoklasik dan ilmu politik kelembagaan.
B. Upaya Sintesis dan Kritik
Mengingat variasi besar dalam mekanisme kausal yang diusulkan oleh HI, RCI, dan SI, banyak sarjana telah mencoba menyatukan aliran-aliran ini atau setidaknya menggunakan lensa yang berbeda untuk menjelaskan aspek yang berbeda dari institusi:
1. Tantangan Kausalitas: HI fokus pada waktu (kapan sebuah institusi muncul dan mengapa ia bertahan), RCI fokus pada desain (bagaimana institusi memoderasi pilihan saat ini), dan SI fokus pada budaya (mengapa aktor menganggap institusi itu sah). Sintesis yang berhasil memerlukan model multi-level yang mengakui bahwa preferensi aktor mungkin endogen (dibentuk oleh SI), tetapi tindakan mereka dimoderasi oleh kendala formal yang dirancang secara rasional (RCI), dan semua ini tertanam dalam warisan sejarah (HI).
2. Kritik Aktor dan Agensi: Kritik utama terhadap semua bentuk institusionalisme (terutama HI dan SI) adalah kecenderungan determinisme struktural. Jika institusi begitu kuat dan resisten, di mana letak agensi (kemampuan aktor untuk bertindak di luar skrip)? Institusionalisme sering kesulitan menjelaskan bagaimana dan mengapa aktor individual memilih untuk menantang atau mengubah institusi, terutama ketika mereka terkunci oleh insentif yang kuat untuk mematuhinya. Institusionalisme Diskursif muncul sebagian untuk memberikan ruang bagi agensi melalui kekuatan ide dan wacana.
3. Institusi Informal: Semua aliran mengakui pentingnya institusi informal (norma, kebiasaan, budaya) yang tidak tertulis. Namun, hanya SI yang benar-benar menjadikannya pusat analisis. RCI dan HI sering fokus pada institusi formal karena lebih mudah diamati dan diukur. Namun, dalam banyak konteks, terutama di negara-negara berkembang, aturan informal (seperti patronase atau praktik korupsi) seringkali lebih kuat dalam mengatur perilaku daripada hukum formal.
4. Kritik Eurosentrisme: Sebagian besar studi institusionalisme awal berfokus pada negara-negara maju (Eropa Barat dan Amerika Utara). Ketika diterapkan pada negara-negara di Belahan Selatan, model ini sering kali gagal menjelaskan kompleksitas tumpang tindih antara institusi tradisional, kolonial, dan modern yang beroperasi secara simultan. Institusionalisme perlu diperkaya untuk mempertimbangkan keragaman historis dan budaya yang lebih luas.
IV. Aplikasi Institusionalisme dalam Ilmu Politik dan Hubungan Internasional
Institusionalisme adalah kerangka kerja yang tak terpisahkan dari studi politik kontemporer, memberikan penjelasan mendalam tentang stabilitas sistem, pengambilan keputusan, dan pola kebijakan.
A. Institusi Politik Domestik: Birokrasi dan Federasi
Dalam studi politik domestik, institusionalisme digunakan untuk menganalisis kinerja lembaga inti seperti parlemen, eksekutif, yudikatif, dan partai politik. Misalnya, kerangka RCI sangat berguna dalam menganalisis prosedur legislatif: aturan tentang bagaimana undang-undang diajukan, diamendemen, dan disahkan (misalnya, peran komite, hak veto, atau filibuster) secara langsung memengaruhi kebijakan akhir yang dihasilkan. Prosedur ini adalah institusi yang mengubah insentif anggota parlemen, memaksa mereka untuk berkoordinasi dan berkompromi.
Institusionalisme Historis sangat krusial dalam memahami mengapa sistem politik federal (seperti di India, Jerman, atau Brasil) memiliki karakteristik yang sangat berbeda. Keputusan yang dibuat saat pembentukan federalisme—distribusi otoritas pajak, hak konstitusional negara bagian, dan desain mekanisme resolusi konflik—menjadi titik kritis yang menentukan jalur hubungan antar-tingkat pemerintahan selama berabad-abad. Perubahan dalam sistem federal seringkali merupakan hasil dari 'drift' kelembagaan atau tanggapan terhadap krisis fiskal, daripada perombakan rasional secara total.
B. Institusionalisme dalam Hubungan Internasional (HI)
Dalam HI, perdebatan utama adalah antara Neorealisme (yang fokus pada struktur anarkis sistem internasional dan kepentingan kekuasaan) dan Neoliberal Institusionalisme (yang mengakui anarki tetapi berpendapat bahwa institusi dapat memitigasinya). Institusionalisme dalam HI berfokus pada bagaimana rezim internasional, perjanjian, dan organisasi seperti PBB, WTO, dan IMF memengaruhi perilaku negara.
Institusi HI, yang didominasi oleh pendekatan Pilihan Rasional (seperti yang dikembangkan oleh Robert Keohane), menjelaskan bahwa institusi internasional:
- Menyediakan Informasi: Membantu negara membedakan antara aktor kooperatif dan penipu.
- Menciptakan Ekspektasi Timbal Balik: Memperjelas apa yang diharapkan dari setiap anggota (misalnya, dalam rezim perdagangan).
- Memperpanjang Horizon Waktu: Mengubah interaksi permainan 'satu kali' menjadi 'berulang' (iterated games), di mana negara memiliki insentif jangka panjang untuk bekerja sama.
Selain itu, Institusionalisme Sosiologis juga menemukan tempat dalam HI, terutama melalui studi mengenai difusi norma (misalnya, hak asasi manusia, demokrasi). SI menjelaskan mengapa negara-negara mengadopsi norma global, bahkan jika norma tersebut bertentangan dengan kepentingan material jangka pendek mereka. Negara mengadopsi norma untuk mendapatkan legitimasi (pengakuan) dari komunitas internasional, memperkuat argumen bahwa politik global didorong oleh budaya dan harapan sosial, bukan hanya oleh perhitungan kekuasaan.
C. Tata Kelola Global dan Organisasi Supranasional
Institusionalisme sangat penting untuk memahami tata kelola Uni Eropa (UE). UE adalah contoh utama evolusi institusional yang kompleks. Perjanjian-perjanjian (institusi formal) telah menciptakan mekanisme supranasional yang membatasi kedaulatan negara anggota. Analisis HI dapat menjelaskan mengapa integrasi Eropa mengambil jalur yang lambat dan bertahap (path dependence), di mana setiap krisis (titik kritis) memaksa adopsi aturan baru (layering) tanpa menghapus struktur lama. Sementara itu, RCI menganalisis proses negosiasi di Dewan Menteri dan Komisi, melihatnya sebagai interaksi strategis untuk memaksimalkan kepentingan nasional dalam kerangka kelembagaan yang dibentuk oleh aturan bersama.
V. Dinamika Institusional: Resistensi dan Transformasi
Institusionalisme tidak hanya fokus pada stabilitas, tetapi juga berjuang untuk memahami transformasi. Inti dari argumen institusionalis adalah bahwa institusi memiliki inersia yang tinggi—mereka cenderung menolak perubahan. Namun, jika institusi memang berubah, bagaimana mekanisme perubahan tersebut bekerja dalam setiap aliran?
A. Perubahan dalam Lensa Historis: Titik Kritis dan ‘Path Shaping’
Seperti yang telah dibahas, perubahan dalam HI terjadi melalui titik kritis. Namun, studi kontemporer juga mengeksplorasi konsep path shaping. Ini terjadi ketika aktor, menyadari adanya batasan kelembagaan, secara sengaja berinvestasi dalam menciptakan kondisi yang dapat menghasilkan perubahan di masa depan. Meskipun institusi lama mungkin tidak dihancurkan, aktor yang cerdik mulai membangun institusi tandingan, secara bertahap melemahkan legitimasi struktur yang dominan.
Institusi juga dapat mengalami "penuaan" atau "disfungsi". Sebuah institusi yang dulunya rasional dan efisien mungkin menjadi tidak relevan di lingkungan baru. Karena biaya untuk menghancurkan institusi ini terlalu tinggi, ia tetap ada sebagai fosil kelembagaan, sementara kebijakan yang sebenarnya dilaksanakan melalui mekanisme informal atau institusi sampingan yang baru dibuat.
B. Perubahan dalam Lensa Pilihan Rasional: Desain Ulang Kontrak
Dalam RCI, perubahan terjadi ketika biaya mempertahankan institusi yang ada mulai melebihi manfaat yang diperolehnya. Perubahan adalah hasil dari negosiasi ulang kontrak. Jika seperangkat aturan (kontrak) menghasilkan hasil suboptimal, aktor rasional akan mencoba menegosiasikan seperangkat aturan yang lebih efisien, asalkan biaya negosiasi ulang (transaction costs of restructuring) tidak melampaui potensi keuntungannya.
Perubahan yang diprediksi oleh RCI cenderung bersifat inkremental dan optimalisasi. Misalnya, reformasi birokrasi dilakukan untuk mengurangi biaya agensi dan meningkatkan efisiensi penyampaian layanan. Namun, RCI sering kesulitan menjelaskan perubahan radikal, yang memerlukan penjelasan tentang bagaimana preferensi aktor yang pada dasarnya stabil dapat tiba-tiba menghasilkan kesepakatan yang sama sekali baru.
C. Perubahan dalam Lensa Sosiologis: Krisis Legitimasi dan Difusi
Perubahan dalam SI sebagian besar digerakkan oleh pergeseran dalam budaya atau lingkungan kelembagaan yang lebih luas. Ketika lingkungan eksternal (misalnya, opini publik global, tekanan media) mengubah kriteria legitimasi, institusi yang ada menjadi "tidak pantas" atau "tidak sah". Perubahan di sini adalah upaya untuk mendapatkan kembali legitimasi melalui adopsi praktik baru (isomorfisme mimetik atau normatif).
Contoh yang kuat adalah difusi global praktik manajemen tertentu atau struktur tata kelola perusahaan. Ketika praktik tersebut menjadi norma yang diterima secara global (misalnya, penunjukan direktur independen), organisasi lokal mengadopsinya bukan karena mereka secara internal percaya akan efisiensinya (mereka mungkin mendekoplennya di kemudian hari), tetapi karena gagal melakukannya akan merusak reputasi dan akses mereka ke sumber daya (misalnya, pendanaan internasional). Perubahan di sini adalah perubahan kognitif dan simbolis.
D. Institusionalisme dan Perilaku Birokrasi
Studi tentang birokrasi menawarkan kasus uji yang kaya untuk ketiga aliran institusionalisme. RCI melihat birokrat sebagai aktor yang rasional, mencoba memaksimalkan anggaran atau kekuasaan mereka dalam batasan aturan formal. HI akan melihat bagaimana birokrasi saat ini dibentuk oleh keputusan reformasi besar di masa lalu (misalnya, reformasi pasca-perang atau adopsi prinsip administrasi publik tertentu) dan bagaimana ini memengaruhi kapasitas negara saat ini.
Sementara itu, SI melihat birokrasi sebagai organisasi yang dipenuhi dengan norma-norma profesional dan budaya internal. Birokrat bertindak sesuai dengan ‘kultur’ birokrasi (misalnya, kehati-hatian, kepatuhan hierarkis) yang mungkin menghambat efisiensi tetapi memperkuat legitimasi dan prediktabilitas. Kebijakan publik yang gagal mungkin bukan karena desain yang buruk (RCI) atau inersia sejarah (HI), tetapi karena budaya organisasi (SI) yang menolak inovasi atau akuntabilitas.
VI. Kompleksitas Institusional dan Agenda Penelitian di Masa Depan
Perkembangan institusionalisme modern mengakui bahwa institusi tidak beroperasi dalam isolasi. Sebaliknya, mereka berinteraksi dalam lapisan-lapisan, yang sering kali menghasilkan hasil yang tidak terduga atau kontradiktif. Fenomena ini disebut "kompleksitas institusional".
A. Institusi Berlapis dan Tumpang Tindih
Realitas sosial dan politik dicirikan oleh adanya banyak institusi yang beroperasi secara simultan. Misalnya, pasar tenaga kerja di suatu negara dibentuk oleh: (1) hukum perburuhan formal (RCI), (2) sejarah panjang konflik kelas dan serikat pekerja (HI), dan (3) norma-norma budaya tentang pekerjaan dan peran gender (SI). Ketika institusi-institusi ini tumpang tindih, mereka dapat saling memperkuat atau, sebaliknya, saling meniadakan.
Dalam kasus tumpang tindih, aktor harus menavigasi tuntutan dari beberapa institusi yang kontradiktif (misalnya, tuntutan efisiensi pasar versus tuntutan keadilan sosial). Kompleksitas ini membuka kembali ruang bagi agensi, karena aktor harus memilih institusi mana yang harus diprioritaskan dalam tindakan mereka, atau bagaimana mereka dapat 'mendekopel' tuntutan yang berbeda untuk mempertahankan legitimasi di berbagai lingkungan. Studi tentang institusi yang tumpang tindih menuntut pendekatan yang lebih eklektik dan sintetik, yang secara eksplisit memasukkan mekanisme dari ketiga pilar utama institusionalisme.
B. Institusionalisme dan Perilaku Informal
Salah satu jalur penelitian paling menjanjikan dalam institusionalisme kontemporer adalah eksplorasi mendalam tentang institusi informal. Institusi informal sering dianggap sebagai ‘perbaikan’ yang menutup celah dalam institusi formal, atau sebaliknya, sebagai ‘penghalang’ yang menggagalkan implementasi aturan formal (misalnya, korupsi, nepotisme, atau sistem patronase).
Penting untuk dicatat bahwa institusi informal juga dapat menunjukkan ketergantungan jalur yang kuat dan didukung oleh logika kesesuaian budaya. Misalnya, sistem ‘sogok’ yang terlembagakan di beberapa birokrasi adalah sebuah institusi informal yang stabil; ia mengurangi ketidakpastian bagi aktor dan didukung oleh norma yang diyakini secara luas bahwa "inilah cara kerja sistem." Memahami interaksi antara formal dan informal adalah kunci untuk menjelaskan kegagalan reformasi di banyak negara, di mana aturan formal diubah di atas kertas, tetapi praktik informal yang kuat tetap tidak tersentuh.
C. Institusionalisme dalam Era Digital dan Global
Perkembangan teknologi dan globalisasi menghadirkan tantangan baru bagi institusionalisme. Institusi tradisional yang terikat pada batas-batas negara (institusi teritorial) harus bersaing dengan institusi transnasional (misalnya, standar internet, rezim privasi data, atau jaringan aktivis global). Institusionalisme perlu diperluas untuk menganalisis bagaimana institusi non-teritorial ini terbentuk (seringkali melalui negosiasi multi-stakeholder yang kompleks) dan bagaimana mereka memengaruhi institusi nasional.
Institusi digital, seperti platform media sosial, menjadi institusi dalam arti Sosiologis, karena mereka menetapkan norma-norma komunikasi, mengontrol akses ke informasi, dan membentuk kerangka kognitif untuk debat publik. Mempelajari bagaimana "aturan" dan "algoritma" platform-platform ini bertindak sebagai institusi merupakan agenda penelitian masa depan yang krusial.
Kesimpulannya, institusionalisme, melalui keragaman aliran dan pendekatannya, tetap menjadi landasan pemahaman kita tentang stabilitas dan perubahan dalam kehidupan sosial dan politik. Dengan mengakui bahwa manusia bertindak dalam batasan-batasan struktural dan budaya yang diwariskan, paradigma ini menawarkan penjelasan yang jauh lebih kaya tentang masyarakat daripada sekadar melihat individu yang terisolasi. Perpaduan antara analisis historis, perhitungan rasional, dan penekanan budaya memungkinkan kita untuk tidak hanya menjelaskan "apa" yang terjadi, tetapi juga "mengapa" struktur kekuasaan dan norma terus bertahan dan membentuk jalan yang kita tempuh.