Infeksi merupakan tantangan medis yang bersifat universal, menjadi salah satu penyebab utama morbiditas dan mortalitas global. Secara umum, infeksi diklasifikasikan berdasarkan sumber agen penyebabnya: eksogen, di mana mikroorganisme berasal dari lingkungan luar (misalnya, melalui kontak silang atau paparan instrumen yang terkontaminasi), dan endogen, di mana agen infeksius berasal dari dalam tubuh pasien itu sendiri. Infeksi endogen, yang seringkali dianggap sebagai cerminan kegagalan sistem pertahanan inang (host) dalam menjaga keseimbangan mikroflora, memegang peranan krusial, terutama dalam setting perawatan kesehatan intensif.
Konsep infeksi endogen berakar pada pemahaman mendalam tentang ekosistem mikroba yang mendiami tubuh manusia, yang dikenal sebagai flora normal atau mikrobiota. Mikrobiota ini, yang terdiri dari triliunan bakteri, jamur, dan virus, biasanya hidup dalam hubungan komensal atau mutualistik, membantu pencernaan, menghasilkan vitamin, dan melindungi inang dengan menduduki ceruk (niche) yang mungkin ditempati oleh patogen eksternal. Namun, ketika keseimbangan dinamis ini terganggu—baik oleh perubahan pada inang, kerusakan barier anatomis, maupun intervensi medis—mikroorganisme komensal ini dapat bertransisi menjadi patogen oportunistik, memicu penyakit yang berpotensi fatal.
Artikel ini akan mengupas tuntas seluk-beluk infeksi endogen, mulai dari mekanisme patogenesis pada tingkat molekuler, identifikasi faktor risiko spesifik yang mengubah hubungan komensal, spektrum klinis penyakit yang ditimbulkan, hingga strategi tatalaksana dan pencegahan yang didasarkan pada prinsip stewardship antimikroba dan pemahaman holistik terhadap kesehatan inang.
Untuk memahami infeksi endogen, penting untuk membedakannya dari infeksi eksogen. Infeksi eksogen melibatkan transfer patogen dari sumber luar—misalnya, dari tangan staf medis (kontak), permukaan terkontaminasi (fomit), atau sumber udara (aerosol). Patogen ini mungkin tidak pernah menjadi bagian dari flora normal inang. Sebaliknya, infeksi endogen terjadi ketika mikroorganisme yang sudah ada dan berkoloni di dalam inang (seperti di kulit, saluran pencernaan, atau saluran napas atas) mendapatkan akses ke jaringan steril atau mengalami peningkatan virulensi akibat gangguan homeostasis lokal atau sistemik.
Faktanya, sebagian besar infeksi yang terjadi di rumah sakit (infeksi nosokomial) memiliki komponen endogen yang signifikan. Ini menunjukkan bahwa fokus pencegahan harus dialihkan tidak hanya pada kontrol lingkungan eksternal tetapi juga pada stabilisasi dan perlindungan ekosistem mikroba internal pasien.
Mikrobiota manusia adalah garis pertahanan pertama yang vital. Perannya mencakup 'efek penghalang' (barrier effect) atau antagonisme kolonisasi, di mana flora normal bersaing untuk mendapatkan nutrisi dan tempat perlekatan, sekaligus menghasilkan zat antimikroba (bakteriosin) yang menghambat pertumbuhan patogen invasif. Keseimbangan ini dikenal sebagai normobiosis.
Infeksi endogen dimulai ketika terjadi disrupsi normobiosis, yang seringkali disebabkan oleh faktor-faktor berikut:
Diagram Mekanisme Dasar Infeksi Endogen: Translokasi Melalui Barier Inang
Infeksi endogen dapat disebabkan oleh berbagai jenis mikroba, namun sebagian besar didominasi oleh kelompok bakteri dan jamur yang secara alami berkoloni di usus, kulit, dan orofaring. Memahami peran masing-masing patogen ini penting untuk pemilihan terapi empiris.
Kelompok ini, termasuk Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, dan Pseudomonas aeruginosa, adalah penyebab utama infeksi endogen, terutama Infeksi Saluran Kemih (ISK), pneumonia terkait ventilator, dan bakteremia. Mereka secara alami berkoloni di saluran pencernaan bagian bawah.
Mikroorganisme kulit adalah sumber infeksi aliran darah (BSI) yang paling umum, terutama pada pasien dengan alat intravaskular.
Infeksi jamur endogen, terutama kandidiasis invasif, hampir selalu disebabkan oleh translokasi Candida spp. (seperti C. albicans, C. glabrata) yang merupakan flora normal saluran pencernaan.
Patogenesis Kunci Jamur: Disbiosis usus akibat antibiotik menghancurkan kompetitor bakteri, memungkinkan Candida tumbuh berlebihan. Candida kemudian dapat menembus barier mukosa yang rusak (sering terjadi pada kondisi seperti neutropenia atau pascaoperasi besar) dan memasuki aliran darah, menyebabkan kandidemia atau endokarditis. Transformasi dari bentuk ragi menjadi bentuk hifa (filamen) adalah faktor virulensi krusial yang memungkinkan invasi jaringan yang lebih dalam.
Transisi dari komensal menjadi patogen tidak terjadi tanpa adanya pemicu. Pemicu utama adalah gangguan pada mekanisme pertahanan inang. Faktor risiko ini dapat dikelompokkan menjadi kerusakan barier fisik, gangguan imunitas sistemik, dan manipulasi medis.
Barier fisik—kulit dan membran mukosa—adalah pelindung utama. Kerusakan pada barier ini membuka 'gerbang' bagi flora lokal untuk memasuki jaringan steril.
a. Prosedur Bedah dan Trauma: Setiap insisi bedah menciptakan pintu masuk. Infeksi Luka Operasi (ILO) seringkali endogen, di mana bakteri kulit (S. aureus) atau usus (Gram negatif) mengkontaminasi area operasi selama prosedur atau selama periode pascaoperasi segera. Risiko meningkat secara eksponensial dengan durasi operasi dan tingkat kontaminasi intrinsik prosedur (misalnya, bedah kolorektal vs. bedah ortopedi steril).
b. Pemasangan Alat Medis Invasif: Alat medis berfungsi sebagai substrat ideal bagi mikroba. Kateter urin, kateter vena sentral (CVC), drain bedah, dan tabung endotrakeal memfasilitasi translokasi. CVC memungkinkan mikroba kulit berjalan di sepanjang permukaan luar atau lumen kateter menuju aliran darah, yang berujung pada Infeksi Aliran Darah Terkait Kateter (CRBSI), seringkali disebabkan oleh CoNS atau S. aureus.
c. Kerusakan Mukosa Saluran Cerna: Kondisi seperti mukositis akibat kemoterapi, iskemia usus, atau penyakit radang usus (IBD) yang parah menyebabkan peningkatan permeabilitas usus, memfasilitasi translokasi bakteri Gram negatif ke kelenjar getah bening mesenterika dan akhirnya ke aliran darah sistemik. Fenomena ini dikenal sebagai translokasi bakteri.
Sistem imun yang lemah tidak mampu mengontrol populasi flora komensal, memungkinkan mereka tumbuh tak terkendali.
Neutrofil adalah garda terdepan melawan bakteri endogen. Pada pasien dengan neutropenia (penurunan jumlah neutrofil, sering akibat kemoterapi atau keganasan hematologi), risiko infeksi endogen, terutama dari flora usus (E. coli, K. pneumoniae) atau Candida, sangat tinggi. Demam neutropenia hampir selalu ditangani dengan asumsi sumbernya adalah endogen sampai terbukti sebaliknya.
Pasien HIV/AIDS atau penerima transplantasi organ yang menjalani terapi imunosupresif sangat rentan terhadap patogen endogen yang biasanya dikontrol oleh kekebalan seluler, seperti Pneumocystis jirovecii (yang berkoloni di paru-paru) atau virus seperti Cytomegalovirus (CMV) yang dapat mengalami reaktivasi endogen.
DM adalah faktor risiko multifaktorial. Hiperglikemia mengganggu fungsi fagositosis dan chemotaxis neutrofil, melemahkan respons imun. Selain itu, neuropati diabetik dan angiopati perifer sering menyebabkan ulkus kaki, menyediakan lingkungan yang kaya nutrisi dan kurang teroksigenasi untuk proliferasi flora kulit dan anaerob lokal, yang berujung pada infeksi endogen yang dalam dan sulit diobati.
Pasien sirosis sering mengalami bakteremia endogen yang berasal dari usus akibat defisiensi protein (yang menyebabkan kebocoran barier usus) dan disfungsi hati (yang mengurangi kemampuan sistem retikuloendotelial untuk membersihkan bakteri portal dari darah). Peritonitis Bakteri Spontan (SBP) adalah contoh klasik infeksi endogen pada pasien asites, yang hampir selalu disebabkan oleh translokasi bakteri usus.
Penggunaan antibiotik spektrum luas adalah pemicu infeksi endogen yang paling kuat. Antibiotik tidak hanya membunuh patogen target, tetapi juga menghancurkan flora komensal yang berfungsi sebagai pelindung. Penghancuran ini (disbiosis) membuka ceruk ekologi, memungkinkan spesies resisten atau oportunistik, seperti Clostridioides difficile (yang menyebabkan kolitis) atau Candida, untuk berkoloni dan menginvasi.
Infeksi endogen dapat mempengaruhi setiap sistem organ. Manifestasinya sangat bervariasi, tergantung pada lokasi translokasi dan jenis mikroorganisme yang terlibat. Berikut adalah beberapa sindrom klinis utama.
Ini adalah salah satu bentuk endogen yang paling berbahaya. Bakteremia primer, terutama pada pasien rawat inap, sebagian besar berasal dari kulit atau mukosa saluran cerna. Sumber yang paling umum meliputi:
Gejala klasik termasuk demam, menggigil, hipotensi, dan berpotensi berkembang menjadi syok septik jika tidak ditangani dengan cepat. Mortalitas CRBSI yang disebabkan oleh S. aureus dapat mencapai 20-40%.
Pneumonia yang didapat di rumah sakit (HAP) dan Pneumonia Terkait Ventilator (VAP) seringkali endogen. Mikroorganisme, biasanya P. aeruginosa, K. pneumoniae, atau S. aureus (MRSA), mengkoloni orofaring dan saluran pencernaan bagian atas pasien kritis.
Patogenesisnya melibatkan mikroaspirasi sekresi orofaringeal yang terkontaminasi atau reflux sekresi lambung ke paru-paru. Keberadaan tabung endotrakeal dalam kasus VAP semakin memfasilitasi kolonisasi dan pembentukan biofilm, yang sangat sulit ditembus oleh antibiotik sistemik.
ISK terkait kateter (CAUTI) adalah infeksi endogen yang paling umum di rumah sakit. Mikroorganisme uropatogenik (terutama E. coli) yang berkoloni di perineum atau uretra mendapatkan akses ke kandung kemih melalui kateter. Mekanisme kuncinya adalah kemampuan bakteri untuk membentuk biofilm di permukaan kateter, melindungi diri dari respons imun inang dan antibiotik.
Infeksi intra-abdomen seperti peritonitis sekunder atau abses sering disebabkan oleh pecahnya barier usus (misalnya apendisitis perforasi, divertikulitis). Infeksi ini bersifat polimikroba, mencerminkan flora normal usus: kombinasi bakteri Gram negatif fakultatif (E. coli) dan bakteri anaerob obligat (Bacteroides fragilis). Manajemen infeksi ini memerlukan penargetan spektrum luas yang menutupi kedua kelompok mikroba tersebut.
Bukan hanya lokasi translokasi yang penting, tetapi juga bagaimana bakteri yang sebelumnya jinak ‘mengaktifkan’ senjata virulensinya. Patogen endogen seringkali merupakan opportunistic pathogens yang memiliki serangkaian gen virulensi tersembunyi, yang diekspresikan hanya ketika kondisi lingkungan (di dalam jaringan steril) memicunya.
Bakteri menggunakan sistem komunikasi sel-ke-sel yang disebut deteksi kuorum untuk mengukur kepadatan populasinya. Ketika bakteri komensal berhasil memasuki area steril dan mulai berkembang biak (mencapai kepadatan kuorum), mereka secara kolektif mengaktifkan gen yang mengatur produksi faktor virulensi, seperti toksin, enzim degradatif, dan eksopolisakarida yang membentuk biofilm. Contoh klasiknya adalah Pseudomonas aeruginosa yang mengaktifkan produksi pigmen dan elastase hanya setelah mencapai kepadatan tinggi dalam paru-paru pasien kistik fibrosis atau ventilator.
Biofilm adalah matriks polimer ekstraseluler yang melindungi komunitas mikroba, menjadikannya 10 hingga 1.000 kali lebih resisten terhadap antimikroba dan pertahanan inang dibandingkan dengan bentuk planktonik (mengambang bebas). Dalam infeksi endogen terkait alat medis, biofilm (seperti yang dibentuk oleh CoNS atau Candida pada kateter) bukan hanya sumber infeksi kronis, tetapi juga tempat perlindungan yang memungkinkan bakteri bertahan hidup dalam jangka waktu yang lama, melepaskan mikroorganisme secara periodik ke aliran darah, menyebabkan demam berulang.
Usus dan mukosa lainnya memiliki sistem imun yang unik yang harus toleran terhadap triliunan bakteri komensal (toleransi mukosa) sambil tetap mampu menyerang patogen invasif. Infeksi endogen seringkali merupakan hasil dari kegagalan diskriminasi ini.
Pada pasien dengan gangguan kekebalan, seperti yang diobati dengan kortikosteroid, terjadi penurunan regulasi respons inflamasi di mukosa usus. Penurunan ini mengurangi 'pengawasan' imunologis terhadap flora normal. Akibatnya, bakteri komensal yang secara normal dijaga di dalam lumen usus, kini dapat menembus barier mukosa yang relatif utuh, karena tidak ada respons imun lokal yang memadai untuk menahannya.
Peran Sel Th17: Sel T pembantu 17 (Th17) sangat penting dalam menjaga integritas barier mukosa, khususnya melawan jamur ekstraseluler dan bakteri. Penurunan fungsi atau jumlah Th17, sering terlihat pada pasien neutropenia atau kondisi autoimun tertentu, secara langsung berkorelasi dengan peningkatan risiko infeksi endogen invasif oleh Candida dan bakteri Gram negatif.
Diagnosis infeksi endogen memerlukan konfirmasi bahwa patogen yang ditemukan benar-benar berasal dari flora inang dan bukan kontaminan eksternal. Hal ini melibatkan kombinasi klinis, mikrobiologis, dan, semakin hari, genomik.
Ketika mendiagnosis, misalnya, pneumonia VAP, membedakan kolonisasi (kehadiran mikroba di saluran napas tanpa invasi jaringan) dari infeksi sejati (patogen menyerang jaringan paru-paru) adalah tantangan terbesar. Sampel non-invasif (dahak) sering terkontaminasi oleh flora orofaring endogen. Oleh karena itu, diperlukan teknik invasif seperti Bilas Bronkoalveolar (BAL) atau sikat terlindungi untuk mendapatkan sampel dari saluran napas bawah yang steril.
Identifikasi sumber endogen harus dilakukan dengan cepat untuk memulai terapi tepat waktu, terutama pada sepsis. Selain kultur standar, teknologi molekuler memainkan peran penting:
Manajemen infeksi endogen terbagi menjadi tiga pilar: (1) terapi antimikroba yang tepat, (2) kontrol sumber infeksi, dan (3) penanganan kondisi predisposisi inang. Karena infeksi endogen sering melibatkan organisme resisten yang telah dipilih melalui penggunaan antibiotik sebelumnya, stewardship (penggunaan bijak) menjadi sangat penting.
Pasien kritis yang dicurigai mengalami infeksi endogen (misalnya, demam neutropenia) memerlukan terapi empiris spektrum luas segera, yang harus mencakup potensi patogen endogen yang paling mungkin dan paling berbahaya di fasilitas tersebut (misalnya, P. aeruginosa, MRSA). Segera setelah hasil kultur dan sensitivitas tersedia, terapi harus "di-de-eskalasi" (disempitkan) ke agen spesifik yang efektif terhadap patogen yang teridentifikasi. Stewardship ini meminimalkan tekanan seleksi yang menciptakan resistensi lebih lanjut pada flora normal inang.
Jika infeksi endogen berasal dari benda asing, kontrol sumber adalah langkah yang tak terhindarkan. Penghapusan alat medis yang terkontaminasi seringkali lebih penting daripada sekadar pemberian antibiotik. Contohnya:
Mengingat bahwa infeksi endogen berasal dari dalam, strategi pencegahan harus fokus pada pemeliharaan integritas barier inang dan keseimbangan ekologi mikroba. Pencegahan bersifat lebih kompleks daripada sekadar kebersihan tangan, meskipun kebersihan tetap menjadi fondasi.
Pencegahan infeksi endogen harus mencakup upaya untuk meminimalkan kerusakan barier fisik dan kimiawi:
Pendekatan modern berfokus pada restorasi keseimbangan mikroba setelah terpapar antibiotik.
Tantangan terbesar yang dihadapi dalam penanganan infeksi endogen adalah peningkatan cepat resistensi antimikroba (AMR). Patogen endogen, yang telah terekspos terus-menerus pada antimikroba di lingkungan rumah sakit atau dalam saluran pencernaan inang, seringkali menjadi strain Multidrug-Resistant (MDR).
Bakteri endogen seperti CRE (Carbapenem-Resistant Enterobacteriaceae), yang berkoloni di usus, menjadi ancaman mematikan. Ketika translokasi terjadi, infeksi yang dihasilkan seringkali tidak dapat diobati dengan antibiotik lini pertama. Fokus penelitian bergeser ke strategi non-antibiotik, seperti terapi fag (bakteriofag), vaksinasi yang menargetkan faktor virulensi, dan pengembangan agen yang ditujukan untuk menghambat mekanisme deteksi kuorum pada patogen oportunistik.
Di masa depan, analisis genomik pasien akan memungkinkan prediksi risiko infeksi endogen. Dengan memetakan profil mikrobiota usus dan mengidentifikasi keberadaan gen resistensi pada flora normal seseorang, klinisi dapat mengambil tindakan preventif yang dipersonalisasi—misalnya, dekontaminasi selektif saluran pencernaan atau penyesuaian regimen profilaksis bedah—sebelum infeksi terjadi. Ilmu mikrobiota akan mengubah cara kita memandang dan melawan patogen yang berasal dari dalam diri kita sendiri.
Infeksi endogen bukan sekadar komplikasi, melainkan konsekuensi yang tidak terhindarkan dari gangguan keseimbangan ekologi yang mendasari kehidupan inang. Keberhasilan dalam mengendalikan infeksi endogen memerlukan pergeseran paradigma dari pengobatan reaktif pasca-infeksi menjadi pengelolaan proaktif terhadap risiko inang dan pelestarian mikrobiota. Pemahaman yang mendalam tentang faktor risiko, patogenesis translokasi, dan implementasi strategi pencegahan yang terintegrasi adalah kunci untuk melindungi pasien rentan dari ancaman yang berasal dari dalam diri mereka sendiri. Penelitian yang berkelanjutan dalam dinamika flora normal dan pengembangan intervensi yang menargetkan interaksi inang-mikroba akan terus menjadi prioritas utama dalam kedokteran infeksi.
Untuk benar-benar menghargai kompleksitas infeksi endogen, kita harus mempertimbangkan implikasi fisiologis dan imunopatologisnya yang lebih dalam, terutama dalam konteks unit perawatan intensif (ICU). Pasien di ICU sering mengalami apa yang disebut 'syndromus disregulasi imunoendokrin' yang secara intrinsik meningkatkan kerentanan endogen.
Kondisi kritis, seperti trauma berat, sepsis yang didapat secara eksogen, atau operasi besar, memicu respons stres yang masif, ditandai dengan peningkatan kadar kortisol. Meskipun kortisol awalnya membantu menahan inflamasi yang tidak terkontrol, paparan kronis terhadap glukokortikoid endogen (stres) menyebabkan imunosupresi sekunder. Imunosupresi ini, yang ditandai dengan penipisan limfosit dan disfungsi neutrofil, sangat membatasi kemampuan inang untuk membatasi flora komensal, membuka jalan bagi translokasi.
Selain itu, disregulasi aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal (HPA) selama penyakit kritis dapat mengganggu produksi sitokin yang diperlukan untuk respons imun yang efektif. Sel T dan makrofag menjadi kurang responsif terhadap sinyal aktivasi, sehingga koloni bakteri yang biasanya dianggap komensal sekarang dapat berproliferasi tanpa hambatan oleh sistem kekebalan yang sudah lelah.
Pasien dengan syok atau gagal jantung sering mengalami periode iskemia (kurangnya aliran darah) pada mukosa usus, diikuti oleh reperfusi (kembalinya aliran darah). Proses ini sangat merusak tight junctions (sambungan erat) antara sel-sel epitel usus. Kerusakan ini menciptakan celah fisik yang memungkinkan translokasi bakteri massal (seperti E. coli dan anaerob) dari lumen usus ke sirkulasi portal. Fenomena ini, yang dikenal sebagai 'gut leakage' atau kebocoran usus, adalah mekanisme utama di balik bakteremia Gram negatif endogen pada pasien syok non-trauma.
Meskipun sering fokus pada bakteri, infeksi endogen juga melibatkan jamur dan virus yang bersifat laten.
Pada pasien yang sangat imunosupresif (misalnya, setelah transplantasi), virus herpes (seperti Cytomegalovirus/CMV atau Epstein-Barr Virus/EBV) dapat mengalami reaktivasi dari status laten. Virus ini telah berdiam dalam inang selama bertahun-tahun (endogen) dan reaktivasi mereka dipicu oleh intensitas imunosupresi. Reaktivasi CMV, misalnya, dapat menyebabkan pneumonitis, kolitis, atau hepatitis, menambah beban morbiditas yang signifikan pada pasien yang sudah rentan.
Meskipun Candida albicans adalah spesies yang paling umum, infeksi endogen yang disebabkan oleh spesies non-albicans (seperti C. glabrata atau C. auris yang resisten terhadap obat) semakin meningkat. Spesies ini memiliki kemampuan adhesi yang lebih baik dan seringkali menunjukkan resistensi intrinsik terhadap flukonazol. Kritisnya, kolonisasi gastrointestinal yang padat oleh Candida adalah prediktor kuat kandidiasis invasif, mempertegas perlunya pemantauan dan, jika sesuai, dekontaminasi antijamur selektif pada saluran pencernaan pasien berisiko sangat tinggi (misalnya, pasien dengan pankreatitis nekrotik atau transplantasi sumsum tulang).
Pasien onkologi mewakili populasi dengan risiko infeksi endogen tertinggi karena terapi yang mereka jalani secara sengaja merusak pertahanan inang.
Kemoterapi mielosupresif menghancurkan sel-sel sumsum tulang yang menghasilkan neutrofil, menyebabkan neutropenia dalam 7-14 hari. Selama periode ini, setiap kasus demam dianggap sebagai demam neutropenia, dan sumber infeksi dianggap endogen sampai ada bukti lain. Sekitar 80% kasus bakteremia pada pasien neutropenia berasal dari saluran pencernaan atau orofaring.
Infeksi pada populasi ini seringkali dimulai dengan flora normal yang telah menjadi resisten, misalnya Vancomycin-Resistant Enterococcus (VRE) yang berkoloni di usus. Ketika pasien menjadi neutropenia, VRE translokasi menyebabkan bakteremia VRE yang sulit diobati. Tatalaksana harus melibatkan intervensi yang tidak hanya membunuh mikroba tetapi juga mengizinkan pemulihan sumsum tulang (misalnya, pemberian faktor perangsang koloni granulosit, G-CSF).
Kemoterapi merusak epitel mukosa di seluruh saluran pencernaan, mulai dari mulut (stomatitis) hingga usus besar (kolitis). Kerusakan ini (mukositis) adalah barier fisik yang rusak secara masif.
Mukositis oral yang parah memungkinkan flora oral, termasuk Streptokokus viridans (yang biasanya komensal), untuk memasuki aliran darah. Ini dapat menyebabkan 'sepsis streptokokus viridans', suatu bentuk bakteremia yang berpotensi menyebabkan endokarditis. Demikian pula, kerusakan mukosa usus membuka jalan bagi Gram negatif enterik. Strategi pencegahan infeksi ini mencakup perawatan oral intensif dan, dalam beberapa kasus di masa lalu, dekontaminasi saluran pencernaan selektif (SDD), meskipun SDD kini jarang diterapkan secara luas karena masalah resistensi.
Infeksi endogen seringkali adalah puncak dari proses evolusioner mikroba yang didorong oleh tekanan seleksi di dalam inang. Bakteri endogen yang menyebabkan penyakit adalah ‘survivor’ dari semua paparan antibiotik yang diterima pasien sepanjang hidup dan terutama selama rawat inap.
Saluran pencernaan berfungsi sebagai 'waduk' gen resistensi. Bakteri komensal dapat dengan mudah bertukar materi genetik dengan patogen yang resisten melalui transfer gen horizontal (HGT).
Contohnya, jika pasien diberi sefalosporin, semua bakteri sensitif di usus musnah. Strain E. coli yang tersisa dan resisten, misalnya, dengan gen ESBL pada plasmid, akan tumbuh berlebihan. Plasmid ini tidak hanya ditransfer antar bakteri E. coli, tetapi juga ke genus lain, seperti Klebsiella. Ketika bakteri super-resisten ini akhirnya translokasi dan menyebabkan infeksi endogen (seperti sepsis ESBL), terapi lini pertama tidak akan efektif, memaksa penggunaan obat ‘last resort’ seperti karbapenem, yang pada gilirannya meningkatkan tekanan seleksi untuk CRE.
Infeksi yang disebabkan oleh mikroorganisme seperti Carbapenem-Resistant Enterobacteriaceae (CRE) dan Vancomycin-Resistant Enterococcus (VRE) merupakan manifestasi infeksi endogen yang paling mengerikan.
Penelitian terus berlanjut untuk mencari cara mengatasi dan mencegah infeksi endogen tanpa bergantung sepenuhnya pada antibiotik.
Terapi Fag: Penggunaan bakteriofag (virus yang secara spesifik menyerang bakteri) menunjukkan janji untuk mengobati infeksi endogen MDR. Fag dapat dirancang untuk hanya menargetkan strain yang resisten di situs kolonisasi (misalnya, usus) tanpa mengganggu flora komensal lainnya, mengurangi risiko disbiosis dan infeksi sekunder.
Transplantasi Mikrobiota Fekal (FMT): Meskipun terutama digunakan untuk mengobati kolitis C. difficile (suatu infeksi endogen akibat disbiosis), FMT juga dieksplorasi untuk mendepopulasi usus dari kolonisasi MDR (seperti VRE atau CRE) sebelum pasien menjalani prosedur berisiko tinggi (misalnya, transplantasi sumsum tulang), sehingga secara efektif mengurangi reservoir endogen.
Pengembangan vaksin tidak lagi hanya berfokus pada pencegahan infeksi eksogen (misalnya influenza), tetapi juga pada pencegahan kolonisasi oleh patogen endogen. Contohnya, vaksin yang menargetkan adhesin yang digunakan oleh S. aureus untuk mengkolonisasi hidung atau vaksin yang menargetkan toksin yang dilepaskan oleh P. aeruginosa, bertujuan untuk memblokir langkah awal dalam patogenesis endogen.
Infeksi endogen adalah manifestasi biologis dari kegagalan integritas inang, baik pada tingkat anatomis maupun imunologis. Mereka mewakili pertempuran internal, di mana musuh adalah sahabat lama yang berkhianat. Kompleksitasnya menuntut pendekatan multidisiplin yang melampaui resep antibiotik: ia memerlukan pengendalian penyakit kronis, manajemen alat invasif yang cermat, dan, yang terpenting, pelestarian ekosistem mikrobiota internal. Di era resistensi antimikroba, mengatasi infeksi endogen bukan hanya masalah merawat pasien yang sakit, tetapi juga masalah konservasi sumber daya antimikroba global, memastikan bahwa kita dapat terus hidup berdampingan secara damai dengan triliunan 'penghuni' mikroba di dalam diri kita.
Perlu ditekankan kembali bahwa meskipun kontrol infeksi eksogen dapat dicapai melalui kebersihan dan sterilisasi, pencegahan infeksi endogen membutuhkan pemahaman fisiologi inang yang terperinci. Ini melibatkan pengobatan DM secara agresif untuk meningkatkan fungsi neutrofil, pengelolaan nutrisi yang optimal untuk menjaga integritas mukosa usus, dan peninjauan ulang yang konstan terhadap kebutuhan akan setiap alat invasif (kateter, ventilator) setiap hari. Keputusan klinis yang tampaknya kecil, seperti memperpanjang durasi antibiotik profilaksis satu hari lagi, dapat secara drastis mengubah keseimbangan mikrobiota dan memicu transisi ke patogenesis endogen di kemudian hari.
Tantangan yang melekat pada infeksi endogen adalah sifatnya yang oportunistik. Mikroorganisme tersebut, yang secara fisiologis ada, hanya menunggu kombinasi yang tepat dari kegagalan inang dan tekanan seleksi. Oleh karena itu, semua profesional kesehatan harus mengadopsi mentalitas preventif stewardship, di mana setiap intervensi medis dipertimbangkan tidak hanya untuk manfaat langsungnya tetapi juga untuk dampak jangka panjangnya terhadap mikrobiota pasien dan risiko translokasi patogen endogen. Pemahaman holistik ini akan menjadi penentu dalam perang melawan infeksi yang bersumber dari dalam diri kita.