Kata Indehoy, sebuah akronim yang sering digunakan dalam konteks nostalgia atau sejarah, merujuk kepada masa kolonial Hindia Belanda—sebuah periode yang membentuk geografi, demografi, dan struktur ekonomi kepulauan yang kini dikenal sebagai Republik Indonesia. Lebih dari sekadar catatan administrasi, era ini adalah percampuran kompleks antara eksploitasi ekonomi masif, perkenalan teknologi dan birokrasi modern, serta penindasan yang melahirkan benih-benih kesadaran nasionalis yang kelak mengubah peta dunia.
Jejak-jejak peninggalan Indehoy masih terasa kuat, mulai dari tata kota lama, sistem irigasi di Jawa, jalur kereta api yang menghubungkan sentra-sentra produksi, hingga kontribusi linguistik dan arsitektur. Memahami Hindia Belanda bukanlah sekadar menelusuri sejarah penjajahan, melainkan upaya untuk mengungkap bagaimana identitas kolektif dan dinamika sosial masyarakat terbentuk di bawah bayang-bayang kekuasaan asing selama lebih dari tiga setengah abad. Kisah ini dimulai jauh sebelum pembentukan negara kolonial formal, berakar pada ambisi perdagangan lada dan pala di ujung timur dunia.
Periode awal kolonialisme di nusantara didominasi oleh Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), atau Perusahaan Dagang Hindia Timur Belanda, yang didirikan pada tahun 1602. VOC bukanlah sekadar perusahaan dagang; ia adalah entitas hibrida yang dianugerahi hak istimewa (oktroi) oleh pemerintah Belanda untuk melakukan perang, membangun benteng, mencetak mata uang, dan menegakkan perjanjian atas nama Negara Belanda. Kekuatan VOC yang luar biasa ini memungkinkan mereka menggeser kekuatan Portugis dan Spanyol, serta menguasai rute dan sumber daya perdagangan rempah-rempah yang tak ternilai harganya.
Fokus utama VOC adalah penguasaan total atas komoditas tertentu, terutama pala dan cengkeh di Maluku, serta lada di Sumatera dan Jawa. Untuk mencapai monopoli ini, VOC tidak segan menggunakan kekerasan brutal. Contoh paling terkenal adalah pembantaian dan deportasi penduduk asli Banda pada tahun 1621 di bawah kepemimpinan Jan Pieterszoon Coen, yang secara efektif menghancurkan struktur sosial dan menggantinya dengan perkebunan yang dikelola oleh kolonis Belanda dan budak yang didatangkan.
Meskipun rempah-rempah berada di timur, pusat administratif dan militer VOC didirikan di Batavia (sekarang Jakarta) pada tahun 1619. Coen melihat Jawa sebagai lokasi strategis untuk menghubungkan jaringan perdagangan antara Eropa, India, dan Tiongkok. Penguasaan VOC di Jawa bersifat bertahap, seringkali memanfaatkan konflik internal di antara kesultanan-kesultanan lokal, terutama Mataram.
VOC menerapkan sistem contingenten (penyerahan wajib) dan verplichte leverantie (penyerahan paksa dengan harga yang ditetapkan VOC). Sistem ini memaksa petani pribumi untuk menanam komoditas tertentu dan menjualnya hanya kepada VOC, memastikan pasokan yang stabil dengan biaya serendah mungkin. Praktik inilah yang pertama kali menunjukkan bagaimana kekuatan asing secara sistematis mengintervensi produksi pangan dan ekonomi subsisten masyarakat lokal.
Namun, menjelang akhir abad ke-18, VOC mulai menunjukkan kelemahan internal yang parah. Korupsi yang merajalela di kalangan pejabat, biaya operasional militer yang sangat tinggi untuk menumpas pemberontakan dan menjaga monopoli, serta persaingan dari Inggris dan Prancis, membuat kas perusahaan kosong. Setelah menanggung utang yang fantastis, VOC secara resmi dibubarkan pada 31 Desember 1799, dan seluruh aset, wilayah, dan kewajibannya diambil alih oleh pemerintah Republik Batavia (Belanda).
Setelah kejatuhan VOC, wilayah Nusantara secara formal menjadi milik Kerajaan Belanda. Periode ini ditandai dengan upaya transisi dari administrasi perusahaan dagang yang korup menuju pemerintahan kolonial yang lebih terstruktur dan sentralistik, meskipun Belanda sendiri saat itu sedang berada dalam gejolak politik Eropa di bawah pengaruh Revolusi Prancis dan ekspansi Napoleon.
Salah satu tokoh paling signifikan dalam masa transisi ini adalah Marsekal Herman Willem Daendels, yang ditunjuk sebagai Gubernur Jenderal pada tahun 1808. Daendels, seorang reformis yang terinspirasi oleh ide-ide Prancis, ditugaskan untuk memperkuat pertahanan Jawa dari ancaman Inggris dan memberantas korupsi. Upaya sentralisasi kekuasaan Daendels sangat radikal.
Ia memecah belah sistem feodal lama dengan menuntut kesetiaan langsung para bupati kepada pemerintah kolonial, bukan lagi kepada sultan lokal. Ia juga memberlakukan reformasi peradilan dan birokrasi. Namun, warisan paling monumental dan terkenal dari Daendels adalah pembangunan Jalan Raya Pos (Groote Postweg) yang membentang hampir 1.000 kilometer dari Anyer hingga Panarukan. Jalan ini, dibangun dengan kerja paksa (rodi) yang memakan ribuan korban jiwa, merupakan tulang punggung logistik militer dan ekonomi di Jawa, meskipun penderitaan rakyat pribumi yang terlibat dalam pembangunannya sangatlah besar.
Ancaman yang dikhawatirkan Daendels menjadi kenyataan ketika Inggris, di bawah kepemimpinan Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles, berhasil merebut Jawa pada tahun 1811. Masa pemerintahan singkat Inggris (1811–1816) membawa ide-ide liberal baru ke Hindia Belanda, meskipun penerapannya terbatas.
Raffles mencoba menghapus sistem penyerahan wajib dan menggantinya dengan sistem sewa tanah (Landrente Stelsel). Ide di balik sistem ini adalah bahwa petani harus membayar pajak atas tanah yang mereka gunakan, mendorong mereka menjadi pemilik lahan yang independen dan produsen yang efisien—sebuah ideal yang mirip dengan sistem liberal di India Britania. Namun, kurangnya pemahaman Raffles tentang struktur sosial dan kepemilikan tanah di Jawa, serta keengganan bupati untuk kehilangan hak feodal mereka, membuat sistem ini sulit diterapkan secara efektif di luar beberapa daerah inti.
Setelah kekalahan Napoleon di Eropa, Berdasarkan Konvensi London (1814), Nusantara dikembalikan kepada Belanda pada tahun 1816. Para pejabat Belanda yang kembali mendapati sistem administratif yang telah dimodernisasi oleh Daendels dan Raffles, tetapi juga kondisi keuangan yang tetap rapuh, diperburuk oleh perang-perang lokal, terutama Perang Diponegoro (1825–1830) yang menghabiskan banyak sumber daya kolonial.
Kondisi keuangan Kerajaan Belanda yang sangat buruk pasca-Perang Diponegoro dan revolusi Belgia mendorong pemerintah kolonial mencari cara drastis untuk menghasilkan keuntungan cepat dari koloninya. Solusi yang mereka temukan adalah kebijakan paling brutal dan berdampak jangka panjang dalam sejarah Indehoy: Sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel).
Diperkenalkan pada tahun 1830 oleh Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch, Tanam Paksa bukanlah sewa tanah, melainkan pengembalian ke bentuk penyerahan wajib yang lebih kejam dan terpusat. Filosofinya sederhana: petani pribumi dipaksa mengalokasikan seperlima (1/5) dari lahan mereka untuk menanam komoditas ekspor yang diminta oleh pemerintah kolonial (seperti kopi, gula, nila/indigo, dan teh), sebagai ganti pajak sewa tanah. Komoditas ini kemudian diserahkan kepada pemerintah dengan harga yang sangat rendah.
Secara teori, Cultuurstelsel seharusnya tidak membebani rakyat secara berlebihan, karena 1/5 dari tanah dianggap sebagai pengganti pajak. Namun, dalam praktiknya, tekanan untuk memenuhi kuota produksi yang tinggi, ditambah dengan intervensi kepala desa dan bupati yang mendapat bonus (cultuurprocenten) berdasarkan hasil panen, membuat aturan ini sering dilanggar. Petani sering kali harus menanam komoditas ekspor lebih dari 1/5 lahan mereka, bahkan harus mengorbankan lahan padi mereka, yang menyebabkan krisis pangan dan kelaparan massal di beberapa daerah, terutama di Cirebon dan Grobogan pada pertengahan abad ke-19.
Keberhasilan Cultuurstelsel dari sudut pandang Belanda sangatlah spektakuler. Sejumlah besar komoditas Indonesia membanjiri pasar Eropa melalui Nederlandsche Handel Maatschappij (NHM), yang bertindak sebagai perantara monopoli. Komoditas utama meliputi:
Keuntungan bersih yang diperoleh Belanda, yang dikenal sebagai Batig Slot (Sisa Keuntungan), digunakan untuk membayar utang negara, membiayai pembangunan infrastruktur di Belanda (seperti kanal dan kereta api), dan bahkan mendanai Angkatan Darat Kerajaan Belanda. Cultuurstelsel secara efektif menyelamatkan perekonomian Belanda dari keruntuhan. Namun, harga yang dibayar oleh rakyat pribumi adalah penderitaan, kemiskinan struktural, dan hilangnya kemandirian pangan.
Sistem ini mulai mendapat kecaman keras dari kaum liberal dan humanis di Belanda. Publikasi seperti novel Max Havelaar (1860) karya Eduard Douwes Dekker (Multatuli), yang secara puitis dan pedih menggambarkan kekejaman Tanam Paksa, berhasil membuka mata publik Eropa terhadap realitas kelam di Indehoy. Kritik ini, ditambah dengan keinginan para pengusaha swasta untuk mendapatkan akses langsung ke lahan dan sumber daya tanpa melalui birokrasi kolonial, akhirnya memicu perubahan kebijakan.
Dorongan dari kaum Liberal di Parlemen Belanda menghasilkan penghapusan Cultuurstelsel secara bertahap, dimulai dengan Undang-Undang Agraria (Agrarische Wet) dan Undang-Undang Gula (Suiker Wet) pada tahun 1870. Periode 1870 hingga sekitar 1900 dikenal sebagai Era Liberal.
Undang-Undang Agraria adalah tonggak penting. Secara eksplisit, ia menyatakan bahwa tanah di Hindia Belanda adalah milik negara (domain verklaring). Ini memiliki dua konsekuensi utama:
Perubahan kebijakan ini memicu arus modal asing yang besar ke Indehoy. Perkebunan swasta skala besar muncul di luar Jawa, terutama di Sumatera Utara (Deli) untuk tembakau, di Sumatera Selatan dan Kalimantan untuk karet dan minyak sawit, serta di Jawa untuk teh dan kopi yang dikelola secara lebih kapitalistik. Munculnya perusahaan-perusahaan perkebunan raksasa seperti HVA (Handelsvereeniging Amsterdam) mengubah lanskap ekonomi secara radikal.
Meskipun Tanam Paksa secara formal berakhir, eksploitasi tenaga kerja tetap parah. Di luar Jawa, pengusaha menggunakan sistem Poenale Sanctie, sebuah peraturan yang mengizinkan pengusaha untuk menghukum buruh kontrak (kuli) secara fisik jika mereka melanggar kontrak kerja. Sistem ini menciptakan kondisi kerja yang mirip perbudakan dan memicu migrasi kuli paksa dari Jawa ke perkebunan di luar pulau.
Era Liberal juga ditandai dengan perluasan militer besar-besaran untuk menegakkan apa yang disebut Pax Neerlandica (Perdamaian Belanda), yang berarti penguasaan penuh atas seluruh wilayah kepulauan. Selama berabad-abad, VOC hanya menguasai daerah pesisir, tetapi kini, Belanda bergerak masuk ke pedalaman.
Pada pergantian abad ke-20, Hindia Belanda telah menjadi koloni terpusat yang sangat menguntungkan, menghasilkan kakao, timah, minyak bumi, dan komoditas industri lainnya untuk pasar global. Namun, kemakmuran ini hanya dinikmati oleh segelintir elite Eropa dan sejumlah kecil elite pribumi yang bekerja sama dengan kolonial, sementara mayoritas rakyat hidup dalam kemiskinan yang stagnan.
Ketika abad ke-20 dimulai, kritik terhadap ketidakadilan struktural kolonial semakin kuat. Publikasi esai "Een Ereschuld" (Utang Kehormatan) oleh C. Th. van Deventer pada tahun 1899 berpendapat bahwa Belanda berutang budi kepada rakyat Hindia Belanda karena keuntungan besar yang telah disedot melalui Cultuurstelsel dan eksploitasi Era Liberal.
Pada tahun 1901, Ratu Wilhelmina secara resmi mendeklarasikan Politik Etis (Ethische Politiek), yang berjanji untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat pribumi. Politik Etis didasarkan pada program Trias Van Deventer: Edukasi, Irigasi, dan Emigrasi (Transmigrasi).
Pembangunan sistem irigasi dimaksudkan untuk meningkatkan hasil pertanian pangan, terutama padi, sebagai upaya untuk mengatasi krisis pangan dan kelaparan yang masih sering terjadi, khususnya di Jawa. Proyek irigasi kolonial memang signifikan, membangun bendungan dan saluran air, tetapi manfaatnya seringkali lebih dirasakan oleh perkebunan-perkebunan gula milik Eropa dibandingkan oleh sawah milik petani pribumi.
Inilah aspek paling transformatif dari Politik Etis. Belanda mulai mendirikan sekolah-sekolah modern, meskipun dengan sistem berjenjang rasial yang ketat (Eropa, Timur Asing, Pribumi). Tujuannya mulanya adalah menciptakan birokrat rendahan dan tenaga kerja terampil yang murah untuk menjalankan mesin administrasi kolonial yang semakin kompleks.
Sekolah-sekolah yang didirikan mencakup:
Meskipun akses pendidikan modern sangat terbatas dan elitis (hanya sekitar 7% anak pribumi yang mendapatkannya), efek sampingnya justru berbalik melawan kolonialisme. Pendidikan Barat memperkenalkan ide-ide liberalisme, nasionalisme, dan hak asasi manusia kepada generasi baru kaum pribumi terpelajar. Mereka inilah yang kelak menjadi pemimpin gerakan kemerdekaan: Sukarno, Hatta, Sutan Syahrir, dan lain-lain.
Program ini bertujuan untuk mengurangi kepadatan penduduk yang ekstrem di Jawa dengan memindahkan petani ke wilayah-wilayah yang kurang padat di Sumatera dan Kalimantan. Tujuannya ganda: meringankan tekanan pangan di Jawa dan menyediakan tenaga kerja untuk perkebunan-perkebunan baru di luar Jawa. Program transmigrasi awal seringkali diwarnai kesulitan bagi para migran yang harus beradaptasi dengan lingkungan baru yang keras.
Secara keseluruhan, Politik Etis adalah upaya kontradiktif. Di satu sisi, ia membawa kemajuan infrastruktur dan melahirkan kelas intelektual pribumi. Di sisi lain, ia tidak pernah dimaksudkan untuk memberikan kesetaraan atau kemerdekaan, melainkan untuk membuat penjajahan lebih efisien dan berkelanjutan. Kegagalan Politik Etis untuk mengatasi kemiskinan struktural (rata-rata pendapatan pribumi tetap sangat rendah) justru mempercepat munculnya gerakan-gerakan perlawanan yang terorganisir.
Masyarakat di masa Indehoy terstruktur secara rigid berdasarkan ras, diatur dalam hierarki sosial dan hukum yang memisahkan dan mendiskriminasi penduduk berdasarkan asal-usul. Hukum perdata, hak kepemilikan, dan bahkan akses ke air minum dan fasilitas publik ditentukan oleh posisi seseorang dalam struktur ini.
Sistem ini menciptakan ketegangan sosial yang laten. Meskipun ada mobilitas terbatas, terutama melalui pendidikan bagi kelompok pribumi bangsawan, garis pemisah rasial ini sangat sulit ditembus, terutama dalam pernikahan dan interaksi sosial formal.
Kota-kota kolonial merupakan pusat percampuran budaya yang unik. Batavia (sekarang Jakarta) adalah pusat pemerintahan dan perdagangan, terbagi antara Kota Lama (Oud Batavia) yang didominasi arsitektur Belanda abad ke-17, dan Kota Baru (Nieuw Batavia) yang lebih modern di Weltevreden.
Kota seperti Bandoeng (Bandung) dikembangkan sebagai "Paris van Java," sebuah kota peristirahatan dan pendidikan yang lebih sejuk. Arsitektur bergaya Indische muncul, menggabungkan desain Eropa dengan iklim tropis, ditandai dengan atap tinggi, beranda lebar, dan penggunaan material lokal. Arsitek Belanda seperti Maclaine Pont berupaya menciptakan gaya yang benar-benar tropis dan modern.
Budaya Indehoy mencerminkan percampuran ini. Para Indo-Eropa mengembangkan bahasa dan gaya hidup yang unik, sering disebut tempo doeloe (masa lalu). Musik keroncong, masakan Indische (seperti nasi goreng, rijsttafel), dan seni rupa tertentu adalah produk dari percampuran budaya ini, meskipun diakui bahwa percampuran tersebut terjadi dalam konteks dominasi rasial yang kaku.
Reaksi terhadap kolonialisme tidak hanya berbentuk perlawanan fisik di medan perang, tetapi juga perlawanan ideologis dan politik yang tumbuh subur di kalangan kaum terpelajar yang lahir dari Politik Etis. Tahun-tahun awal abad ke-20 menjadi era kelahiran kesadaran nasional Indonesia.
Gerakan nasionalis dimulai dengan organisasi-organisasi yang fokus pada reformasi sosial, budaya, dan pendidikan:
Seiring waktu, tuntutan nasionalis bergeser dari reformasi sosial menjadi tuntutan kemerdekaan penuh (onafhankelijkheid).
Meskipun pemerintah kolonial menciptakan Dewan Rakyat (Volksraad) pada tahun 1918 sebagai badan penasihat yang berisi perwakilan pribumi, badan ini tidak memiliki kekuatan legislatif nyata. Volksraad berfungsi sebagai katup pengaman politik, tetapi gagal memenuhi aspirasi nasionalis. Pada akhir dekade 1930-an, kebijakan kolonial semakin represif dan konservatif, menolak segala bentuk negosiasi menuju pemerintahan sendiri, sebuah kesalahan strategis yang mahal.
Kesuksesan kolonial Indehoy tidak lepas dari investasi besar-besaran dalam infrastruktur yang dirancang untuk memfasilitasi ekstraksi sumber daya dan pergerakan militer. Infrastruktur ini, meskipun menjadi warisan penting bagi Indonesia modern, dibangun dengan satu tujuan utama: memaksimalkan laba kolonial.
Jawa memiliki jaringan kereta api yang paling padat. Dimulai pada tahun 1864, jalur kereta api menghubungkan pelabuhan-pelabuhan besar (seperti Tanjung Priok, Semarang, dan Surabaya) dengan sentra-sentra produksi perkebunan di pedalaman Jawa Tengah dan Jawa Timur. Jalur ini tidak hanya mengangkut komoditas seperti gula dan kopi, tetapi juga memungkinkan pergerakan cepat pasukan kolonial (KNIL) untuk menumpas pemberontakan lokal.
Pelabuhan-pelabuhan di Hindia Belanda menjadi penghubung vital dalam rantai pasok global. Surabaya (Tanjung Perak) dan Belawan (Medan) berkembang pesat. Pemerintah kolonial juga mendirikan Angkatan Laut Kerajaan Hindia Belanda (KMK), yang beroperasi bersama KNIL, untuk menjaga kedaulatan maritim dan rute perdagangan, terutama melawan potensi ancaman dari Jepang yang semakin kuat di Pasifik.
Sejak akhir abad ke-19, penemuan minyak bumi di Sumatera dan Kalimantan, serta timah di Bangka dan Belitung, mengubah fokus ekonomi dari pertanian semata menjadi pertambangan. Perusahaan minyak seperti Royal Dutch Shell (melalui Bataafsche Petroleum Maatschappij/BPM) dan Billiton Maatschappij untuk timah menjadi raksasa industri global, menggali kekayaan mineral yang sangat berharga untuk kebutuhan industri Eropa.
Ekonomi Indehoy pada tahun 1930-an adalah ekonomi dualistis. Di satu sisi, terdapat sektor modern yang sangat produktif, dikendalikan sepenuhnya oleh modal Eropa, menggunakan teknologi canggih, dan berorientasi ekspor. Di sisi lain, terdapat sektor pribumi yang sebagian besar subsisten, terikat pada pertanian tradisional, dan semakin tertekan oleh pajak dan hutang.
Dekade terakhir kekuasaan Indehoy ditandai dengan krisis ekonomi global (Depresi Besar 1930-an) dan ancaman geopolitik yang meningkat dari Kekaisaran Jepang.
Depresi Besar menghantam Hindia Belanda dengan sangat keras karena ekonominya sangat bergantung pada ekspor komoditas. Harga karet, timah, dan gula anjlok, menyebabkan PHK massal di sektor perkebunan dan pertambangan. Respon kolonial adalah kebijakan deflasi dan penghematan yang hanya memperparah kemiskinan pribumi. Kegagalan ekonomi ini semakin menyoroti ketidakmampuan kolonial untuk mensejahterakan rakyat dan justru memperkuat argumen para nasionalis.
Pada tanggal 8 Desember 1941, setelah serangan Pearl Harbor, Belanda mengumumkan perang terhadap Jepang. Jepang melihat Hindia Belanda sebagai target utama karena kekayaan sumber daya alamnya, terutama minyak bumi yang krusial untuk mesin perang mereka.
Invasi Jepang berlangsung sangat cepat. Pasukan kolonial KNIL (Koninklijk Nederlandsch-Indisch Leger), meskipun telah dipersiapkan, terbukti tidak mampu menahan serangan militer Jepang yang superior dan terkoordinasi. Kekalahan telak terjadi di mana-mana, dan pada Maret 1942, Belanda menyerah tanpa syarat di Kalijati, Subang.
Penyerahan ini memiliki dampak psikologis yang luar biasa. Selama berabad-abad, citra kolonial Belanda sebagai penguasa yang tak terkalahkan telah tertanam kuat. Kekalahan dalam waktu singkat ini menghancurkan mitos supremasi kulit putih dan menunjukkan kepada rakyat pribumi bahwa penguasa Eropa bisa dikalahkan.
Pendudukan Jepang hanyalah interupsi singkat, tetapi sangat transformatif bagi masa depan Indonesia. Jepang datang dengan janji kemerdekaan Asia Raya dan propaganda anti-Barat. Mereka segera membebaskan para pemimpin nasionalis yang ditahan Belanda, seperti Sukarno dan Hatta, dan memberi mereka peran dalam administrasi, meskipun di bawah pengawasan ketat.
Meskipun pendudukan Jepang dikenal karena kekejaman militer, kerja paksa (Romusha), dan kekurangan pangan, mereka juga secara tidak sengaja memberikan kontribusi pada persiapan kemerdekaan:
Meskipun Hindia Belanda berakhir dengan Proklamasi Kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 dan perjuangan keras melawan upaya Belanda untuk kembali, warisan dari periode Indehoy tetap mengakar dalam struktur modern Indonesia.
Infrastruktur fisik kolonial—pelabuhan, jalur kereta api, sistem irigasi, dan jalur telekomunikasi—membentuk kerangka dasar bagi pengembangan negara baru. Selain itu, sistem perkebunan monokultur (karet, sawit, kopi, teh) yang berorientasi ekspor yang didirikan selama Era Liberal menjadi basis awal komoditas perdagangan Indonesia hingga saat ini.
Namun, warisan ini juga membawa masalah struktural: kesenjangan wilayah yang parah, di mana Jawa tetap menjadi pusat administratif dan penduduk padat, sementara wilayah lain berfungsi sebagai pemasok bahan mentah (hinterland) yang tereksploitasi. Masalah ketimpangan ekonomi dan sosial ini merupakan konsekuensi langsung dari kebijakan ekstraktif kolonial.
Sistem hukum Indonesia modern awalnya banyak mengambil dari sistem hukum pidana dan perdata Belanda. Struktur birokrasi pemerintahan daerah, meskipun telah diubah, masih menunjukkan jejak-jejak administrasi kolonial yang sangat terpusat.
Budaya Indehoy adalah salah satu warisan yang paling kompleks. Ada generasi Indo-Eropa dan Belanda totok yang lahir dan dibesarkan di Hindia, yang merasa bahwa Indonesia adalah tanah air mereka, tetapi terpaksa pindah setelah kemerdekaan. Interaksi budaya antara Timur dan Barat menghasilkan seni, masakan, dan literatur yang unik, yang terus dipelajari sebagai bagian dari sejarah bersama yang sulit.
Paling penting, Indehoy melahirkan gagasan ‘Indonesia’ itu sendiri. Sebelum kolonialisme, tidak ada kesadaran tunggal yang menyatukan seluruh kepulauan. Batas-batas kolonial yang ditetapkan Belanda (dari Sabang sampai Merauke) menjadi batas-batas negara bangsa yang baru. Bahasa Indonesia (yang berakar pada Melayu Pasar, bahasa perdagangan yang diadopsi oleh Belanda) dan ide nasionalisme yang dibentuk oleh elite terpelajar adalah respons langsung terhadap sistem diskriminatif kolonial.
Untuk memahami sepenuhnya nuansa era Indehoy, kita harus melihat lebih dalam pada dinamika kehidupan sehari-hari di berbagai lapisan masyarakat, yang seringkali terabaikan dalam narasi politik besar. Kehidupan di perkebunan, di kota, dan di desa memiliki realitas yang sangat berbeda, meskipun semuanya terikat pada rantai ekonomi kolonial.
Di wilayah luar Jawa, terutama di Deli, Sumatera Utara, ribuan kuli didatangkan dari Jawa dan Tiongkok untuk bekerja di perkebunan tembakau dan karet. Kehidupan mereka diatur oleh coolie ordinance (ordinansi kuli). Mereka tinggal di kamp-kamp buruh (kampongs) yang dikelola oleh mandor, seringkali menderita penyakit tropis, dan tunduk pada pengawasan ketat. Kondisi kerja sangat keras; hari kerja panjang, dan pelanggaran sekecil apa pun dapat dikenakan sanksi fisik sesuai dengan Poenale Sanctie. Perkebunan adalah mesin eksploitasi yang brutal, memastikan bahwa biaya produksi komoditas ekspor tetap sangat rendah demi keuntungan perusahaan di Amsterdam.
Kaum Priyayi (bangsawan Jawa) menempati posisi yang ambigu. Di satu sisi, mereka adalah elite pribumi yang memegang otoritas tradisional dan dihormati oleh rakyat. Di sisi lain, mereka berfungsi sebagai perpanjangan tangan birokrasi kolonial. Para Bupati dan Wedana menerima gaji dari pemerintah Belanda dan diwajibkan untuk memastikan kelancaran administrasi dan penarikan pajak. Anak-anak mereka mendapat akses istimewa ke pendidikan Belanda, tetapi loyalitas mereka sering terbagi antara mempertahankan tradisi dan beradaptasi dengan tuntutan modernitas kolonial. Ambivalensi ini sering menjadi tema utama dalam literatur dan drama masa itu.
Kota-kota kolonial seperti Batavia, Surabaya, dan Medan menampilkan kemewahan ala Eropa, dengan trem listrik, toko-toko impor, dan rumah-rumah mewah di lingkungan Eropa (wijk). Kontrasnya adalah desa-desa di pedalaman Jawa, yang tetap mempertahankan kehidupan pertanian subsisten yang sederhana, seringkali tanpa akses ke fasilitas modern. Pajak yang tinggi dan sistem pengairan yang lebih menguntungkan perkebunan Eropa membuat masyarakat desa rentan terhadap kelaparan saat terjadi gagal panen. Kesenjangan ini menciptakan rasa ketidakadilan yang mendalam, yang dieksploitasi oleh para pemimpin nasionalis dalam seruan mereka untuk persatuan.
Sistem ini, yang beroperasi berdasarkan prinsip ekstraksi dan hierarki rasial yang kaku, adalah inti dari apa yang kita sebut sebagai era Indehoy. Ia adalah periode yang penuh dengan penderitaan dan penindasan, tetapi pada saat yang sama, ia secara paradoks menciptakan kondisi dan kesadaran yang pada akhirnya membebaskan kepulauan ini dari kekuasaan asing.
Kesimpulannya, Hindia Belanda bukanlah monolit statis. Ia berevolusi dari sebaran pos dagang yang rakus (VOC) menjadi negara kolonial yang sentralistis dan represif (Cultuurstelsel), dan kemudian menjadi negara industri modern yang kapitalistik (Era Liberal dan Politik Etis). Setiap fase meninggalkan lapisan warisan yang berbeda, membentuk Indonesia hari ini sebagai negara dengan kekayaan budaya yang luas namun juga tantangan struktural yang dalam, yang semuanya berakar pada sejarah panjang di bawah bendera Indehoy.
Fokus pada sejarah panjang kepulauan ini dari sudut pandang internal menunjukkan bahwa perlawanan selalu ada, baik secara terbuka melalui perang, maupun secara pasif melalui pemeliharaan budaya dan identitas lokal. Ketika Belanda akhirnya kehilangan kontrol atas koloni mereka, bukan hanya karena invasi Jepang, tetapi karena dasar-dasar ideologis yang mereka tanamkan sendiri melalui Politik Etis telah kembali menghantui mereka dalam bentuk nasionalisme yang terorganisir dan berpendidikan. Akhir dari Indehoy adalah permulaan dari Indonesia, sebuah transisi yang penuh kekerasan dan cita-cita.
Perluasan kolonial di luar Jawa juga menciptakan dinamika kekerasan yang berbeda. Di Sumatra, khususnya di Palembang, Aceh, dan Minangkabau, Belanda harus menghabiskan dekade untuk menaklukkan wilayah-wilayah yang memiliki struktur politik Islam yang kuat. Di Aceh, perang berlangsung hingga tahun 1904, melibatkan taktik kontroversial yang dipimpin oleh J.B. van Heutsz. Van Heutsz, yang kemudian menjadi Gubernur Jenderal, menerapkan pendekatan yang menggabungkan kekuatan militer brutal dengan strategi politik lunak, mencoba merangkul elite lokal yang kooperatif sambil memusnahkan perlawanan bersenjata. Kekejaman perang ini meninggalkan bekas luka psikologis yang dalam, menjadi pengingat pahit akan harga yang harus dibayar untuk Pax Neerlandica.
Di Kalimantan, penguasaan Belanda lebih berfokus pada pengamanan tambang timah dan perkebunan karet, seringkali mengandalkan perjanjian dengan sultan lokal yang kini kekuasaannya terbatas. Sementara di Timor, penguasaan baru tercapai sepenuhnya pada abad ke-20, setelah serangkaian ekspedisi militer yang mahal. Luasnya kepulauan dan keragaman budaya di dalamnya memaksa Belanda untuk menyesuaikan strategi administrasi, yang menghasilkan sistem pemerintahan daerah yang tidak seragam—suatu kompleksitas yang diwariskan kepada pemerintah Indonesia pasca-kemerdekaan.
Pola pikir kolonial Belanda—bahwa mereka adalah bangsa yang memiliki tugas moral untuk ‘memajukan’ pribumi yang dianggap terbelakang (sebuah konsep yang disebut Ethical Imperative)—seringkali bertentangan langsung dengan realitas eksploitasi ekonomi. Para pejabat kolonial yang tulus ingin memperbaiki kondisi hidup rakyat sering kali terhambat oleh kepentingan perusahaan besar (suikerbaronnen, koning koffie) dan tekanan dari Hague untuk terus mengirimkan surplus keuntungan. Kontradiksi internal inilah yang membuat Politik Etis menjadi kebijakan yang gagal, sebab ia tidak dapat mendamaikan moralitas dengan ekonomi ekstraksi.
Salah satu aspek penting yang perlu digarisbawahi adalah peran perempuan dalam era kolonial. Perempuan Eropa menikmati status sosial yang tinggi, tetapi peran mereka terbatas pada urusan domestik. Namun, di kalangan Indo-Eropa dan pribumi terpelajar, muncul tokoh-tokoh perempuan pelopor. Kartini, misalnya, melalui surat-suratnya, menyoroti penindasan perempuan Jawa di bawah sistem feodal dan kolonial, dan menyerukan pendidikan modern sebagai kunci emansipasi. Meskipun Kartini meninggal muda, ide-idenya menjadi inspirasi bagi gerakan feminis dan pendidikan di Indonesia. Selain itu, banyak perempuan menjadi aktivis di organisasi-organisasi seperti Sarekat Islam dan PNI, membuktikan bahwa perjuangan nasionalis melibatkan seluruh lapisan masyarakat.
Kajian mendalam tentang Indehoy juga mencakup dinamika Tionghoa. Orang Tionghoa di Hindia Belanda bukanlah kelompok homogen. Ada peranakan (keturunan Tionghoa yang lahir di nusantara dan mengadopsi budaya lokal) dan totok (imigran baru). Belanda sering menggunakan mereka sebagai penyewa pajak (pajak opium, pajak judi) dan pedagang perantara, yang menempatkan mereka dalam posisi yang rentan terhadap kebencian dari penduduk pribumi, terutama ketika terjadi krisis ekonomi. Meskipun demikian, kelompok Tionghoa juga menjadi pusat inovasi ekonomi dan pembangunan kota, yang ironisnya, seringkali dibatasi oleh peraturan kolonial yang segregatif.
Opium menjadi sumber pendapatan kolonial yang signifikan, dikelola melalui sistem monopoli negara. Pemerintah kolonial mendirikan Opiumregie untuk mengontrol penjualan dan distribusi candu. Keuntungan dari penjualan opium sangat besar, tetapi secara sosial merusak komunitas pribumi yang kecanduan. Upaya untuk membatasi konsumsi seringkali bertentangan dengan kebutuhan kas kolonial, menunjukkan lagi dilema moral yang mendasar dalam administrasi Indehoy: keuntungan selalu didahulukan di atas kesejahteraan rakyat.
Pengaruh budaya kolonial juga tercermin dalam militer. KNIL merekrut prajurit dari berbagai kelompok etnis, terutama Ambon, Manado, dan Jawa. Prajurit Ambon, khususnya, dikenal loyal kepada Belanda, sebagian karena janji pendidikan dan status sosial yang lebih tinggi. Konflik loyalitas ini menjadi tragedi setelah kemerdekaan, ketika beberapa prajurit KNIL, terutama dari Maluku, merasa terasing di negara baru dan menolak bergabung dengan TNI, yang memicu konflik seperti pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS).
Aspek seni dan arsitektur adalah warisan visual paling nyata dari Indehoy. Selain gaya Indische, ada juga gerakan De Stijl dan Nieuwe Zakelijkheid (Modernisme Fungsional) yang diterapkan pada bangunan publik seperti stasiun kereta, kantor pos, dan gedung parlemen (Volksraad). Bangunan-bangunan ini, banyak yang masih berdiri, adalah simbol dari ambisi Belanda untuk mendirikan koloni yang 'modern' dan 'rasional', sebuah citra yang kontras dengan kondisi kemiskinan di sekitarnya.
Di bidang literatur, periode ini melahirkan generasi penulis pribumi yang mulai menggunakan Bahasa Melayu Tinggi atau Bahasa Indonesia sebagai alat ekspresi nasionalis. Balai Pustaka, didirikan oleh pemerintah kolonial pada tahun 1908, awalnya bertujuan untuk menyediakan bacaan yang bermanfaat dan mengendalikan bacaan radikal. Namun, karya-karya seperti Siti Nurbaya (Marah Rusli) secara tidak langsung justru mulai mengkritik tradisi feodal dan dampak negatif modernisasi kolonial, membuka jalan bagi kesadaran literatur nasional.
Dalam konteks global, Indehoy menjadi contoh utama dari imperialisme komersial. Pada puncaknya, Hindia Belanda adalah salah satu koloni paling menguntungkan di dunia. Kepemilikan dan kontrolnya adalah faktor kunci dalam politik luar negeri Belanda selama lebih dari satu abad. Namun, ketergantungan total pada komoditas ekspor juga membuat Hindia Belanda sangat rentan terhadap fluktuasi pasar global, yang terbukti fatal selama Depresi Besar. Ketika harga jatuh, sistem yang kejam tersebut tidak memiliki bantalan keamanan sosial, menyebabkan penderitaan yang tak terbayangkan.
Mempertimbangkan dimensi spiritual dan keagamaan, Belanda memiliki kebijakan yang kompleks. Mereka umumnya tidak campur tangan dalam urusan Islam, kecuali jika dianggap mengancam stabilitas politik. C. Snouck Hurgronje, seorang orientalis terkemuka yang bekerja untuk pemerintah kolonial, menyarankan kebijakan yang mengakui Islam sebagai agama pribadi tetapi menekan manifestasi politiknya. Kebijakan ini, yang mencoba memisahkan agama dari negara, menimbulkan ketegangan yang berlanjut. Sementara itu, upaya misi Kristen, terutama di Maluku, Sulawesi Utara, dan Papua, berhasil mendirikan komunitas Kristen yang signifikan, mengubah peta keagamaan di beberapa wilayah nusantara.
Pengalaman politik selama Indehoy juga mencakup praktik pembuangan internal. Pemerintah kolonial menggunakan kamp tahanan politik yang terpencil, seperti Boven Digoel di Papua, untuk mengasingkan para pemimpin nasionalis radikal dan komunis. Boven Digoel, yang secara efektif adalah penjara di tengah hutan belantara, dirancang untuk memisahkan ide-ide radikal dari pusat populasi dan mematahkan semangat perlawanan. Namun, ironisnya, pembuangan ini sering menjadi semacam "universitas" bagi para nasionalis, memungkinkan mereka berinteraksi dan menguatkan ideologi mereka jauh dari pengawasan langsung Belanda. Hatta dan Sjahrir, misalnya, menghabiskan tahun-tahun penting dalam pengasingan, di mana mereka mengasah pemikiran politik mereka.
Pendekatan terhadap pemerintahan pribumi di Indehoy juga bervariasi. Di Jawa, Belanda mempertahankan sistem indirect rule (pemerintahan tidak langsung) melalui priyayi yang di Belanda-kan (gecultiveerd). Di wilayah luar Jawa, terutama di daerah yang baru ditaklukkan, mereka sering menerapkan direct rule (pemerintahan langsung). Ketidakseragaman ini menciptakan perbedaan regional yang mendalam dalam hal pembangunan, pendidikan, dan kesadaran politik, yang masih menjadi faktor dalam politik regional Indonesia hari ini.
Penggunaan istilah Indehoy, yang memiliki nuansa nostalgia campur kritik, adalah pengakuan bahwa masa kolonial adalah periode yang tidak dapat dihapus dari memori kolektif. Itu adalah masa di mana kekayaan alam disedot habis, tetapi juga masa di mana fondasi sebuah negara bangsa diletakkan, di atas penderitaan dan penindasan, tetapi juga di atas harapan baru yang dibangkitkan oleh para intelektual pribumi yang berani menantang tatanan yang telah berakar selama berabad-abad.
Aspek penting lainnya adalah sistem kesehatan kolonial. Meskipun Belanda mendirikan sekolah kedokteran modern (STOVIA), tujuannya sebagian besar adalah untuk melatih dokter pribumi guna melayani rakyat jelata, sementara dokter Eropa melayani elite. Upaya sanitasi publik, seperti pembangunan sumur dan sistem pembuangan, terbatas di lingkungan Eropa di kota-kota besar. Akibatnya, penyakit menular seperti kolera, pes, dan demam berdarah masih merajalela di kalangan penduduk pribumi di desa-desa dan daerah kumuh kota, menunjukkan bahwa manfaat modernisasi kesehatan tidak didistribusikan secara merata. Inilah yang memotivasi Dokter Tjipto Mangoenkoesoemo, salah satu Tiga Serangkai, untuk fokus pada isu kesehatan publik dalam perjuangan politiknya.
Dalam bidang agraria, setelah Era Liberal, masalah agraria tetap menjadi duri dalam daging masyarakat Indehoy. Meskipun Undang-Undang Agraria 1870 melindungi tanah pribumi dari penjualan, sistem sewa lahan jangka panjang (Erfpacht) untuk perusahaan perkebunan raksasa sering kali mengisolasi desa-desa pribumi, merampas akses mereka ke hutan dan sumber daya air. Perkebunan gula, misalnya, membutuhkan irigasi besar-besaran dan bahan bakar, yang seringkali diambil dari lahan milik desa, menciptakan konflik agraria yang tak pernah terselesaikan hingga akhir kekuasaan Belanda.
Ekonomi gula di Jawa adalah studi kasus tentang intensitas eksploitasi. Seluruh infrastruktur di Jawa Tengah dan Jawa Timur dirancang untuk melayani pabrik gula. Meskipun sistem Tanam Paksa telah dihapus, pabrik gula swasta masih memiliki kekuatan luar biasa untuk menentukan harga dan mengontrol tenaga kerja. Industrialisasi gula, dengan pabrik-pabrik besarnya yang dikelola secara modern, hidup berdampingan dengan cara bercocok tanam tradisional, menciptakan ekonomi yang aneh di mana teknologi canggih melayani kemiskinan struktural. Petani pribumi, yang harus menanam tebu di musim hujan dan padi di musim kemarau (sistem rotasi sewa), kehilangan kendali atas siklus tanam mereka sendiri, menjebak mereka dalam lingkaran kemiskinan.
Selama periode Indehoy, juga muncul upaya untuk mengarsipkan dan mempelajari budaya nusantara. Para orientalis dan etnografer Belanda mengumpulkan ribuan artefak, manuskrip, dan catatan tentang bahasa dan tradisi lokal. Meskipun motivasi di balik upaya ini seringkali adalah untuk membantu administrasi kolonial (mengetahui musuh adalah bagian dari menguasai mereka), data yang dikumpulkan hari ini merupakan sumber penting untuk memahami sejarah pra-kolonial Indonesia.
Terakhir, kita harus mencatat dampak Perang Dunia I terhadap Indehoy. Meskipun Belanda bersikap netral dalam Perang Dunia I, perang tersebut mengganggu rute perdagangan global. Hindia Belanda terputus dari pasar Eropa untuk sementara waktu, yang memaksa koloni untuk menjadi lebih mandiri dalam industri tertentu dan mendorong pertumbuhan di sektor domestik. Periode pasca-perang (1920-an) membawa boom komoditas, yang sementara meningkatkan pendapatan kolonial, tetapi juga meningkatkan ketidaksetaraan kekayaan, yang semakin memicu ketidakpuasan politik dan munculnya gerakan-gerakan radikal yang menolak sistem kolonial secara fundamental. Seluruh episode ini menegaskan bahwa sejarah Indehoy adalah sebuah narasi panjang tentang resistensi, adaptasi, dan transformasi, yang puncaknya adalah lahirnya Indonesia merdeka.
Setiap detail, dari jalur trem di Batavia hingga konflik agraria di Jawa, dari sistem pendidikan yang terbatas hingga pengasingan para pemimpin nasionalis, menunjukkan bahwa Indehoy adalah laboratorium sosial yang kompleks dan brutal. Meskipun kekuasaan Belanda runtuh dengan cepat di hadapan Jepang, warisan administratif, ekonomi, dan politik mereka telah menciptakan peta jalan yang tak terhindarkan menuju sebuah negara kesatuan, meskipun proses tersebut memakan biaya yang sangat besar dalam darah dan penderitaan. Memahami sepenuhnya Hindia Belanda adalah kunci untuk memahami tantangan dan keunikan Indonesia modern.