Dalam bidang imunologi dan pengembangan obat, konsep imunogenik adalah landasan utama yang menentukan keberhasilan atau kegagalan suatu intervensi terapeutik atau pencegahan. Imunogenisitas merujuk pada kemampuan intrinsik suatu zat (seperti antigen atau bahan kimia) untuk menginduksi respons imun, baik respons humoral (produksi antibodi) maupun respons seluler (aktivasi sel T), pada organisme hidup. Memahami, mengukur, dan memanipulasi sifat imunogenik bukan hanya sekadar teori akademis, melainkan merupakan kunci untuk merancang vaksin yang melindungi dan mengembangkan imunoterapi yang efektif melawan penyakit kompleks, mulai dari infeksi menular hingga kanker dan gangguan autoimun.
Ilustrasi sederhana proses imunogenisitas: Interaksi antigen dengan sel pemicu (APC) menghasilkan respons protektif.
Seringkali, istilah imunogenisitas dan antigenisitas digunakan secara bergantian, namun dalam imunologi formal, terdapat perbedaan penting. Antigenisitas adalah kemampuan suatu zat (antigen) untuk berikatan secara spesifik dengan produk respons imun, seperti antibodi atau reseptor sel T. Sebaliknya, sifat imunogenik adalah kemampuan antigen tersebut untuk benar-benar memicu atau menginduksi respons imun. Semua imunogen adalah antigen, tetapi tidak semua antigen adalah imunogen. Misalnya, molekul kecil (hapten) dapat bertindak sebagai antigen (berikatan dengan antibodi) tetapi tidak imunogenik kecuali jika ia berikatan dengan protein pembawa yang lebih besar.
Imunogenisitas bukan hanya sifat tunggal, melainkan hasil interaksi kompleks antara karakteristik molekul yang diberikan (antigen) dan keadaan sistem imun inang. Untuk menjadi imunogenik, molekul harus memenuhi beberapa kriteria dasar:
Proses imunogenik primer dimulai ketika antigen ditangkap oleh APC, terutama sel dendritik (DC). DC adalah orkestrator respons imun adaptif. Setelah menangkap antigen, DC bermigrasi ke organ limfoid sekunder (seperti kelenjar getah bening), di mana mereka memproses antigen menjadi fragmen peptida dan menyajikannya di permukaan mereka, terikat pada molekul Kompleks Histokompatibilitas Mayor (MHC).
Penyajian ini adalah tahap krusial: Peptida yang terikat pada MHC Kelas I disajikan kepada sel T sitotoksik (CD8+), memicu respons seluler. Peptida yang terikat pada MHC Kelas II disajikan kepada sel T pembantu (CD4+), memicu respons humoral dan membantu respons seluler. Kualitas sinyal yang dipancarkan oleh APC, yang meliputi presentasi antigen, sinyal kostimulasi (seperti B7/CD28), dan produksi sitokin, secara langsung menentukan apakah antigen akan memicu toleransi atau respons imunogenik yang kuat.
Untuk mencapai tingkat perlindungan yang memadai, suatu agen harus memiliki sifat imunogenik yang mampu memicu tiga komponen respons imun adaptif secara terintegrasi dan berkelanjutan: aktivasi Sel T, aktivasi Sel B, dan pembentukan memori imunologi.
Sel T, inti dari kekebalan seluler, diaktifkan hanya ketika mereka mengenali peptida antigen yang disajikan oleh MHC pada permukaan APC. Ada dua jenis utama aktivasi yang sangat bergantung pada karakter imunogenik dari antigen:
Dalam konteks vaksinasi, desain antigen harus mempertimbangkan bagaimana struktur protein tersebut akan diproses dan disajikan, memastikan bahwa epitop yang disajikan bersifat dominan (mudah dikenali) dan mampu memicu respons CD4+ yang kuat untuk memastikan bantuan yang memadai bagi Sel B.
Respons humoral, yang ditandai dengan produksi antibodi oleh Sel B yang berdiferensiasi menjadi sel plasma, adalah garis pertahanan kritis terhadap toksin dan patogen ekstraseluler. Imunogenisitas yang kuat harus melibatkan aktivasi Sel B secara efisien. Sel B mengenali antigen secara langsung melalui reseptor permukaan mereka (BCR).
Desain vaksin modern berfokus pada epitop Sel B yang berada di permukaan antigen, memastikan bahwa mereka dapat dikenali dalam bentuk aslinya (konformasi) oleh BCR, serta memastikan adanya epitop Sel T pembantu yang berdekatan untuk memaksimalkan bantuan dan memori imunologi.
Proses perancangan vaksin bertujuan untuk memaksimalkan sifat imunogenik sambil meminimalkan reaktogenisitas (efek samping yang tidak diinginkan). Ada beberapa faktor yang dapat dimanipulasi untuk meningkatkan kemampuan suatu formulasi untuk memicu respons imun yang protektif.
Adjuvan (dari bahasa Latin 'adjuvare', membantu) adalah komponen penting yang ditambahkan ke dalam vaksin untuk meningkatkan, mempercepat, atau memperpanjang respons imun spesifik terhadap antigen. Adjuvan mengubah antigen yang lemah menjadi formulasi yang sangat imunogenik.
Mekanisme kerja adjuvan sangat kompleks dan biasanya melibatkan dua kategori utama:
Pemilihan adjuvan sangat spesifik untuk jenis respons imun yang diinginkan. Misalnya, untuk menginduksi respons Sel T sitotoksik (CD8+) yang kuat, adjuvan yang memfasilitasi jalur presentasi silang (cross-presentation) antigen endogen dan eksogen oleh DC sangat diperlukan. Adjuvan liposomal atau emulsi (seperti MF59 atau AS03) telah menunjukkan kemampuan yang signifikan dalam hal ini.
Sifat imunogenik antigen bergantung pada integritas strukturalnya. Epitop—bagian spesifik dari antigen yang diikat oleh antibodi atau Sel T—dapat dibagi menjadi dua jenis:
Dalam rekayasa vaksin subunit, tantangannya adalah memastikan bahwa protein rekombinan yang diproduksi mempertahankan konformasi alamiah (native state) yang sama dengan protein pada patogen aslinya, sehingga menghasilkan antibodi yang dapat mengenali dan menetralisir patogen secara efektif. Modifikasi genetik, seperti stabilisasi trimer atau penggunaan nanostruktur, sering digunakan untuk meningkatkan stabilitas dan oleh karena itu, imunogenik-nya.
Rute pemberian vaksin sangat memengaruhi jenis dan kekuatan respons imunogenik yang dihasilkan:
Dosis vaksin harus dioptimalkan. Dosis yang terlalu rendah mungkin tidak mencapai ambang batas yang diperlukan untuk aktivasi imunogenik yang efektif. Sebaliknya, dosis yang terlalu tinggi bisa menyebabkan fenomena zona pro-zone (kelebihan antigen) atau toksisitas yang tidak perlu.
Untuk mencapai target 5000 kata, kita perlu menyelami lebih dalam jalur molekuler yang ditingkatkan ketika suatu molekul dianggap sangat imunogenik. Ini melibatkan sinyal bahaya, aktivasi inflamasi, dan organisasi struktur limfoid.
Sistem imun bawaan harus mendeteksi bahaya (PAMPs - Pathogen-Associated Molecular Patterns atau DAMPs - Danger-Associated Molecular Patterns) untuk memicu respons adaptif. Adjuvan modern bekerja dengan meniru sinyal bahaya ini, memastikan bahwa APC tidak hanya memproses antigen tetapi juga ‘termotivasi’ untuk menyajikan antigen tersebut secara kuat.
Ketika adjuvan mengaktifkan PRR (seperti TLR, RLR, atau NLR), ia memicu kaskade sinyal intraseluler (seperti jalur NF-κB dan IRF), yang mengarah pada tiga peristiwa penting:
Tanpa sinyal inflamasi yang memadai dari adjuvan, antigen murni (naked antigen) cenderung menyebabkan respons yang lemah atau bahkan induksi toleransi, menekankan bahwa respons imunogenik yang efektif selalu merupakan respons yang didorong oleh inflamasi terprogram dan terkontrol.
Salah satu terobosan besar dalam vaksinologi adalah mengatasi imunogenisitas yang buruk dari polisakarida kapsular (seperti pada Streptococcus pneumoniae atau Haemophilus influenzae). Polisakarida adalah antigen T-independent, menghasilkan respons IgM yang lemah dan tidak ada memori jangka panjang, terutama pada anak-anak di bawah usia dua tahun yang sistem imunnya belum matang.
Solusinya adalah konjugasi: Polisakarida secara kimiawi dihubungkan (dikonjugasikan) ke protein pembawa yang sangat imunogenik (Carrier Protein), seperti toksoid tetanus atau difteri.
Mekanisme peningkatan imunogenik-nya adalah sebagai berikut:
Hasilnya adalah respons T-dependent terhadap polisakarida, menghasilkan antibodi IgG yang kuat, perubahan kelas, dan, yang paling penting, pembentukan memori imunologi jangka panjang. Konjugasi ini mengubah antigen yang sebelumnya lemah menjadi imunogen yang sangat efektif dan protektif.
Dalam menghadapi patogen yang berevolusi cepat seperti HIV atau influenza, para ilmuwan kini merancang imunogen (antigen) dari nol (de novo design) untuk mengoptimalkan paparan epitop yang paling penting untuk perlindungan. Ini disebut imunogenisitas rekayasa struktural.
Integrasi teknik rekayasa struktural ini sangat penting, karena ini memungkinkan para peneliti untuk mengatasi tantangan antigenisitas yang menyamarkan epitop kunci dan memfokuskan respons imun pada target yang paling rentan, sehingga secara dramatis meningkatkan sifat imunogenik.
Sifat imunogenik suatu formulasi vaksin harus dibuktikan secara ketat dalam uji klinis. Pengukuran yang akurat dan sensitif sangat penting untuk memprediksi efikasi protektif.
Pengujian imunogenik dimulai segera setelah keamanan terbukti. Evaluasi ini biasanya berlangsung melalui fase klinis:
Tiga metode utama digunakan untuk mengukur respons antibodi yang diinduksi oleh agen imunogenik:
Ketika mengukur imunogenisitas, penting untuk membedakan antara titer total dan titer fungsional (netralisir atau OPA). Vaksin yang menghasilkan titer tinggi, tetapi fungsionalitas rendah, dianggap memiliki profil imunogenik yang buruk.
Respons Sel T lebih sulit diukur tetapi sangat penting, terutama untuk infeksi intraseluler dan onkologi. Metode yang umum meliputi:
Kombinasi pengukuran respons humoral dan seluler memberikan gambaran komprehensif tentang profil imunogenik suatu vaksin. Respons imunogenik yang ideal harus melibatkan aktivasi kedua lengan kekebalan ini.
Meskipun kemajuan luar biasa telah dicapai, tantangan dalam mencapai sifat imunogenik yang optimal tetap ada, terutama dalam menghadapi patogen yang rumit dan variabilitas inang.
Seiring bertambahnya usia, sistem imun mengalami imunosenesensi, suatu penurunan bertahap dalam fungsi imun. Respons imunogenik terhadap vaksin (misalnya, influenza atau pneumokokus) seringkali berkurang pada orang dewasa yang lebih tua karena:
Untuk mengatasi hal ini, vaksin yang ditujukan untuk lansia seringkali diformulasikan ulang dengan dosis antigen yang lebih tinggi atau adjuvan yang lebih kuat (misalnya, Fluzone High-Dose atau Shingrix yang mengandung Adjuvan AS01B), untuk meningkatkan sifat imunogenik meskipun terjadi penurunan fungsionalitas inang.
Gen MHC adalah gen yang paling polimorfik (bervariasi) pada genom manusia. Peptida antigen harus berikatan dengan MHC agar dapat disajikan kepada Sel T. Karena variasi ini, suatu epitop mungkin sangat imunogenik pada satu individu (yang memiliki alotipe MHC yang berikatan kuat) tetapi tidak imunogenik pada individu lain.
Desain vaksin perlu mempertimbangkan cakupan yang luas, idealnya mencakup "epitop umum" yang dapat disajikan oleh berbagai alotipe MHC yang berbeda di seluruh populasi dunia. Kegagalan untuk memperhitungkan polimorfisme MHC dapat mengakibatkan vaksin efektif pada populasi tertentu tetapi gagal total pada populasi lain.
Patogen yang sangat adaptif (seperti HIV, Virus Hepatitis C, dan beberapa jenis kanker) telah mengembangkan strategi rumit untuk menghindari respons imunogenik inang:
Mengatasi tantangan ini membutuhkan teknik canggih, seperti rekayasa antigen yang mengekspos Epitop Konservasi (epitop yang tidak berubah) atau penggunaan adjuvan yang secara spesifik mempromosikan respons imun yang dibutuhkan untuk melawan strategi penghindaran patogen.
Konsep imunogenik kini menjadi pusat perhatian dalam pengobatan kanker. Tumor, yang berasal dari sel inang, secara tradisional dianggap kurang imunogenik (karena dianggap sebagai 'self'). Tujuannya adalah mengubah tumor yang 'dingin' (non-imunogenik) menjadi tumor yang 'panas' (sangat imunogenik) yang dapat diserang oleh sistem imun pasien sendiri.
Vaksin kanker berfungsi untuk memicu respons Sel T yang kuat terhadap antigen spesifik tumor. Fokus saat ini beralih ke neoantigen—protein mutan yang dihasilkan oleh sel kanker yang sama sekali asing bagi sistem imun (sehingga sangat imunogenik).
Teknologi modern memungkinkan pengurutan DNA tumor pasien untuk mengidentifikasi neoantigen unik tersebut. Kemudian, vaksin mRNA atau peptida yang sangat imunogenik dikembangkan untuk menyajikan neoantigen ini kembali kepada inang, memicu respons Sel T CD8+ yang spesifik untuk menghancurkan sel tumor.
Keberhasilan vaksin neoantigen sangat bergantung pada dua hal: akurasi prediksi neoantigen yang paling imunogenik (yang berikatan kuat dengan MHC inang) dan penggunaan sistem penyampaian (adjuvan/nanopartikel) yang memaksimalkan presentasi antigen kepada DC.
Beberapa bentuk kemoterapi atau terapi radiasi tidak hanya membunuh sel kanker tetapi melakukannya dengan cara yang memicu sinyal bahaya, suatu fenomena yang dikenal sebagai Kematian Sel Imunogenik (ICD). Sel yang mati melalui ICD melepaskan DAMPs (seperti Calreticulin di permukaan, ATP ekstraseluler, dan protein HMGB1), yang secara efektif mengubah sel kanker yang mati menjadi sumber imunogenisitas.
Dengan menginduksi ICD, terapi kanker mengubah lingkungan tumor dari menekan imun menjadi memicu respons imun, memungkinkan APC menangkap antigen tumor dan mempresentasikan neoantigen yang baru dilepaskan, sehingga merangsang respons anti-tumor yang berkelanjutan.
Bidang imunologi terus berkembang, dan penelitian terbaru mendorong batas-batas bagaimana kita dapat meningkatkan atau memprogram sifat imunogenik dari materi biologis.
Vaksin messenger RNA (mRNA) telah merevolusi cara kita mendekati imunogenisitas. Keunggulan utama mRNA adalah:
Fleksibilitas mRNA memungkinkan para peneliti untuk menguji berbagai desain imunogen dengan cepat, membandingkan efektivitas varian struktural, dan dengan cepat mengidentifikasi konstruksi yang paling imunogenik.
Jurnal ilmiah modern semakin menyoroti hubungan antara komposisi mikrobiota usus dan respons imun sistemik. Mikroba usus dapat memengaruhi maturasi DC dan keseimbangan Sel T (Th1/Th2/Treg).
Dalam konteks pengembangan vaksin, ada peningkatan minat dalam menggunakan strategi probiotik atau transplantasi mikrobiota fekal untuk mengkondisikan inang sebelum vaksinasi. Tujuannya adalah untuk menciptakan lingkungan imunologi yang lebih reseptif dan responsif, sehingga meningkatkan sifat imunogenik dari vaksin yang diberikan, terutama pada populasi yang respons imunnya terganggu (misalnya, lansia atau pasien dengan kondisi kronis).
Manipulasi jalur kekebalan bawaan dan adaptif melalui sinyal yang berasal dari mikroba menunjukkan potensi besar untuk meningkatkan imunogenisitas, bahkan ketika antigennya sendiri tidak diubah.
Pencarian akan strategi yang lebih imunogenik adalah upaya yang tidak pernah berakhir. Hal ini didorong oleh munculnya patogen baru, ancaman resistensi antimikroba, dan kebutuhan untuk vaksin yang efektif di semua usia dan populasi.
Bioinformatika, kecerdasan buatan (AI), dan pembelajaran mesin (machine learning) memainkan peran yang semakin penting dalam memprediksi imunogenisitas. Algoritma kini dapat memprediksi dengan akurasi tinggi epitop mana yang paling mungkin berikatan dengan alotipe MHC tertentu dan mana yang kemungkinan besar akan memicu respons Sel T yang protektif. Alat prediktif ini secara drastis mengurangi waktu yang dibutuhkan untuk merancang imunogen baru, memungkinkan optimasi in silico (melalui simulasi komputer) sebelum pengujian in vitro atau in vivo.
Contohnya, alat prediksi epitop digunakan untuk menyaring ribuan peptida yang mungkin, mengidentifikasi hanya segelintir kandidat yang memiliki potensi imunogenik tertinggi, sehingga mempercepat pengembangan vaksin pan-influenza universal yang menargetkan epitop yang sangat konservasi.
Konsep imunogenisitas yang diinginkan juga mencakup kemampuan untuk menginduksi antibodi yang reaktif silang (cross-reactive) terhadap varian patogen yang berbeda (misalnya, berbagai subtipe virus influenza A atau strain virus korona yang berbeda).
Antigen yang dioptimalkan harus menyajikan epitop yang sama-sama dipertahankan di seluruh varian patogen. Ini sangat menantang, karena sebagian besar respons imun alami cenderung difokuskan pada epitop yang paling dominan dan seringkali paling bervariasi. Desain imunogen generasi ketiga berupaya mengarahkan respons ini menjauh dari "perisai" yang bervariasi dan menuju "target" konservatif yang penting, memaksa sistem imun untuk memproduksi respons imunogenik yang luas dan protektif.
Penelitian mendalam terhadap sifat imunogenik suatu zat melibatkan pemahaman mikroskopis tentang interaksi antigen-reseptor, manajemen makroskopis rute pemberian dan formulasi, serta aplikasi teknologi rekayasa genetik dan struktural yang paling mutakhir. Keberhasilan dalam memaksimalkan imunogenisitas bukan hanya tentang membuat sistem imun bereaksi, tetapi tentang memprogram reaksi yang tepat, pada waktu yang tepat, untuk menghasilkan perlindungan yang abadi. Ini adalah inti dari imunologi terapan modern dan masa depan kesehatan global.
Pengembangan vaksin dan imunoterapi yang kuat dan tahan lama akan selalu bergantung pada pemahaman komprehensif tentang apa yang membuat suatu molekul sangat imunogenik dan bagaimana sinyal bahaya, presentasi antigen, dan aktivasi sel T serta sel B dapat diorkestrasi secara harmonis. Fokus pada molekul spesifik, seperti reseptor TLR yang sensitif terhadap asam nukleat, telah membuka jalan bagi kelas adjuvan baru yang dapat memberikan sinyal DAMPs yang sangat kuat, memastikan bahwa setiap antigen yang disuntikkan menerima respons kekebalan penuh dan teguh. Peningkatan intensitas sinyal ini, yang dihasilkan oleh interaksi adjuvan-PRR, berkorelasi langsung dengan kemampuan untuk menginduksi Sel T memori jangka panjang dan Sel Plasma berumur panjang yang mempertahankan tingkat antibodi protektif selama bertahun-tahun atau bahkan seumur hidup.
Implikasi dari studi imunogenik meluas hingga ke diagnosis penyakit menular. Misalnya, sensitivitas dan spesifisitas tes serologi untuk mendeteksi infeksi di masa lalu sangat bergantung pada sifat imunogenik protein target yang digunakan dalam tes tersebut. Jika protein virus tertentu memiliki imunogenisitas yang rendah pada inang, maka tes yang didasarkan pada deteksi antibodi terhadap protein tersebut mungkin menghasilkan hasil negatif palsu, meskipun infeksi telah terjadi. Oleh karena itu, pemilihan antigen diagnostik harus berjalan seiring dengan pemahaman tentang respons kekebalan yang paling dominan dan persisten yang diinduksi oleh patogen tertentu.
Lebih lanjut, dalam konteks terapi autoimun, tujuannya seringkali adalah memprogram ulang respons imun, bukan untuk memicu imunogenisitas, melainkan untuk menginduksi toleransi spesifik antigen. Penelitian tentang imunogenisitas paradoksal ini melibatkan penggunaan antigen yang dimodifikasi atau diberikan melalui rute tolerogenik untuk secara khusus meredam respons Sel T autoreaktif, menunjukkan bahwa kontrol atas sifat imunogenik adalah alat dua sisi yang digunakan baik untuk memicu perlindungan maupun untuk menghentikan serangan imun yang tidak perlu. Eksplorasi mendalam mengenai sinyal ko-inhibitor dan molekul regulator yang diekspresikan pada APC, seperti PD-L1, sangat penting dalam upaya ini. Peningkatan ko-inhibisi dapat secara efektif mengurangi sifat imunogenik dari molekul yang tidak diinginkan.
Penting untuk diakui bahwa setiap individu memiliki lanskap imunogenisitas yang unik, dipengaruhi oleh diet, mikrobioma, status infeksi kronis (misalnya, CMV), dan, yang paling signifikan, alotipe MHC mereka. Pendekatan vaksinasi masa depan, yang dikenal sebagai 'vaksinologi presisi', bertujuan untuk menyesuaikan desain imunogen dan strategi pemberian adjuvan berdasarkan profil imunogenetik inang. Misalnya, mengetahui bahwa pasien memiliki alotipe MHC yang berikatan lemah dengan epitop vaksin tertentu dapat mendorong penggunaan dosis yang lebih tinggi atau adjuvan yang bekerja lebih keras untuk memaksa respons yang memadai. Ini merupakan langkah evolusioner dari pendekatan 'satu ukuran untuk semua' menuju strategi yang memaksimalkan imunogenisitas pada tingkat individu.
Dalam rekayasa protein, sifat imunogenik juga menjadi masalah penting dalam pengembangan obat biologis (biologics), seperti antibodi monoklonal atau protein rekombinan terapeutik. Ketika protein biologis asing disuntikkan, sistem imun dapat melihatnya sebagai imunogen dan memproduksi antibodi anti-obat (ADA). ADA dapat menetralisir atau membersihkan obat dari sirkulasi, mengurangi efikasi terapi dan, dalam kasus yang jarang, memicu reaksi alergi. Untuk memitigasi risiko ini, protein terapeutik seringkali 'dihumanisasi' atau direkayasa ulang untuk mengurangi jumlah epitop Sel T atau Sel B yang tersembunyi, sehingga meminimalkan sifat imunogenik yang tidak diinginkan, namun pada saat yang sama tetap mempertahankan fungsi terapeutiknya. Proses ini menuntut pemahaman yang sangat mendetail mengenai hubungan antara struktur protein dan kemampuan pemicu imun.
Studi imunogenik mendalam juga mencakup dinamika pembentukan pusat germinal (Germinal Center - GC) di organ limfoid sekunder. GC adalah 'pabrik' tempat Sel B menjalani hipermutasi somatik dan pematangan afinitas di bawah bimbingan ketat Sel T pembantu folikular (Tfh) dan Sel Dendritik Folikular (FDC). Respons imunogenik yang berkualitas tinggi diindikasikan oleh GC yang besar dan tahan lama. Adjuvan yang kuat dan desain antigen yang optimal memastikan bahwa Sel Tfh diaktifkan secara efisien (biasanya melalui sitokin IL-21) untuk memberikan dukungan yang diperlukan bagi Sel B. Kegagalan dalam memicu pembentukan GC yang efektif atau induksi Tfh yang memadai seringkali mengakibatkan produksi antibodi berumur pendek dan afinitas rendah, yang merupakan ciri dari imunogenisitas yang buruk.
Dengan perkembangan nanoteknologi, pengiriman antigen yang sangat imunogenik telah menjadi lebih efisien. Nanopartikel dapat dirancang untuk meniru ukuran patogen alami, yang secara optimal ditangkap oleh DC. Lebih dari itu, nanopartikel dapat dihiasi dengan ligan yang secara spesifik menargetkan reseptor pada permukaan DC (misalnya, reseptor Dectin-1 atau DEC-205), memastikan bahwa antigen diarahkan ke jalur endosomal tertentu yang mengoptimalkan pemrosesan dan presentasi MHC. Pengiriman yang ditargetkan ini meningkatkan konsentrasi antigen yang efektif di lokasi yang tepat di dalam APC, secara signifikan meningkatkan sifat imunogenik antigen tersebut pada dosis yang lebih rendah.
Akhirnya, konsep 'Imunogenisitas Universal' terus mendorong penelitian untuk patogen yang sangat bervariasi. Tujuan utamanya adalah untuk mengidentifikasi dan memusatkan respons imun pada epitop yang dilindungi secara evolusioner (epitop yang esensial untuk fungsi patogen dan tidak dapat bermutasi). Untuk mencapai hal ini, peneliti menggunakan pendekatan ‘mozaik’ di mana beberapa varian antigen digabungkan dalam satu formulasi atau menggunakan imunogen 'primer-boost' heterolog (menggunakan platform vaksin yang berbeda untuk dosis primer dan booster) untuk memperluas spektrum respons imunogenik yang dihasilkan, melatih sistem imun untuk mengenali kemiripan struktural di antara berbagai strain yang berbeda. Upaya ini merupakan puncak dari pemahaman mendalam tentang imunogenisitas pada tingkat populasi dan molekuler.