Dalam lanskap pemikiran manusia yang luas, ada satu konsep yang berulang kali muncul sebagai benang merah, menghubungkan disiplin ilmu yang berbeda, dari filsafat yang mendalam hingga spiritualitas yang paling personal. Konsep tersebut adalah imanensi. Lebih dari sekadar kata, imanensi adalah cara pandang terhadap realitas, sebuah lensa yang mengubah cara kita memahami keberadaan, hubungan kita dengan alam semesta, dan bahkan sifat ketuhanan itu sendiri. Pada intinya, imanensi merujuk pada gagasan tentang kehadiran yang tak terpisahkan, keterkaitan yang inheren, atau keberadaan yang berada di dalam dan merupakan bagian integral dari suatu sistem atau realitas, alih-alih berada di luar atau terpisah darinya.
Berbeda dengan transendensi—gagasan bahwa sesuatu, seperti Tuhan atau alam ilahi, ada di luar atau di atas dunia material—imanensi menegaskan bahwa entitas atau prinsip-prinsip penting justru hadir di dalam dan terwujud melalui dunia itu sendiri. Ini bukan sekadar perbedaan semantik; ini adalah perbedaan fundamental dalam ontologi dan epistemologi yang memiliki implikasi mendalam bagi cara kita berpikir tentang kebenaran, moralitas, tujuan hidup, dan bahkan makna eksistensi.
Artikel ini akan menyelami kedalaman konsep imanensi, menguraikan akarnya dalam sejarah pemikiran, mengeksplorasi manifestasinya dalam berbagai aliran filsafat, agama, dan bahkan sains, serta merefleksikan relevansi dan implikasinya dalam kehidupan modern. Kita akan melihat bagaimana imanensi telah membentuk pemahaman kita tentang realitas, mendorong kita untuk mencari makna bukan di alam lain, tetapi di dalam alam yang sudah kita tempati ini, dan bagaimana ia terus menantang batas-batas pemikiran kita.
Secara etimologis, kata "imanensi" berasal dari bahasa Latin immanere, yang berarti "tinggal di dalam", "berdiam", atau "tetap ada". Dalam konteks filosofis, ini menunjukkan suatu sifat atau esensi yang secara inheren berada di dalam sesuatu, bukan sesuatu yang datang dari luar atau berada di atasnya. Berbeda dengan transendensi, yang menyiratkan keberadaan di luar batas pengalaman atau dunia fisik, imanensi menegaskan bahwa kekuatan, prinsip, atau entitas yang dimaksud sepenuhnya terikat pada realitas yang sedang dibahas.
Konsep ini bukanlah penemuan modern; jejak-jejaknya dapat ditemukan dalam pemikiran kuno. Misalnya, dalam filsafat pra-Sokratik, para pemikir mencari arkhe (prinsip pertama) dari alam semesta di dalam elemen-elemen dunia itu sendiri—air bagi Thales, udara bagi Anaximenes, api bagi Heraclitus. Ini adalah bentuk awal dari pencarian prinsip imanensi: prinsip yang menjelaskan realitas berasal dari realitas itu sendiri, bukan dari sesuatu yang sama sekali terpisah.
Dualitas antara imanensi dan transendensi adalah salah satu poros utama dalam sejarah filsafat dan teologi. Transendensi seringkali diasosiasikan dengan gagasan tentang Tuhan sebagai entitas yang terpisah dari ciptaan-Nya, yang ada di "atas" atau "di luar" alam semesta, mengintervensi dari kejauhan. Ini adalah pandangan yang lazim dalam banyak agama monoteistik, di mana Tuhan adalah pencipta yang berdaulat, terpisah dari dunia yang diciptakan-Nya.
Sebaliknya, imanensi menawarkan perspektif yang berbeda. Ia melihat Tuhan (jika ada) atau prinsip-prinsip fundamental sebagai sesuatu yang melekat pada, atau bahkan identik dengan, alam semesta itu sendiri. Tuhan tidak di luar dunia, tetapi di dalam segala sesuatu yang ada, atau bahkan adalah segala sesuatu yang ada. Dualitas ini bukan sekadar tentang posisi geografis atau spasial; ini adalah tentang sifat keberadaan dan hubungan antara yang ilahi/prinsipil dengan yang material/empiris.
"Imanensi adalah filsafat yang mengklaim bahwa realitas dan makna dapat ditemukan di dalam pengalaman duniawi kita, bukan di luar atau di atasnya."
Seperti yang telah disebutkan, pemikir pra-Sokratik, seperti Heraclitus dengan konsep logos yang menyelimuti dan mengatur segala perubahan, serta para Stoa dengan gagasan mereka tentang logos sebagai akal universal yang meresapi dan menggerakkan alam semesta, telah menyiratkan bentuk imanensi. Bagi Stoa, alam semesta adalah organisme hidup yang dijiwai oleh akal ilahi (Tuhan), dan manusia, sebagai bagian dari alam semesta, harus hidup sesuai dengan akal ini. Kebahagiaan atau eudaimonia dicapai melalui hidup selaras dengan alam—sebuah bentuk imanensi etis.
Meskipun Plato (guru Aristoteles) dikenal dengan teori Bentuk atau Ide-nya yang transenden—bahwa ada dunia Forma yang abadi dan tak berubah di luar dunia indrawi—Aristoteles membawa fokus kembali ke dunia. Dalam metafisikanya, Aristoteles berpendapat bahwa "bentuk" (essence atau struktur) suatu benda tidak terpisah dari "materi"-nya, melainkan terwujud di dalamnya. Bentuk dan materi selalu ada bersama-sama, dan perubahan atau perkembangan (aktualisasi potensi) terjadi di dalam dunia ini. Ini adalah bentuk imanensi yang kuat: prinsip-prinsip esensial dari segala sesuatu ditemukan di dalam hal-hal itu sendiri, bukan di dunia ide yang terpisah.
Abad Pertengahan didominasi oleh pemikiran teologis yang cenderung transenden, dengan Tuhan sebagai pencipta yang mahakuasa dan terpisah. Namun, bahkan dalam kerangka ini, ada perdebatan tentang bagaimana Tuhan hadir di dunia. Konsep seperti "hadirnya Tuhan di mana-mana" (omnipresence) dapat diinterpretasikan sebagai bentuk imanensi teologis, meskipun Tuhan tetap dipandang sebagai entitas yang berbeda dari ciptaan-Nya.
Titik balik paling signifikan dalam sejarah imanensi di Barat adalah filsafat Baruch Spinoza pada abad ke-17. Dalam karyanya yang monumental, Etika, Spinoza mengemukakan sebuah sistem monistik radikal di mana hanya ada satu substansi—yang ia sebut Tuhan atau Alam (Deus Sive Natura). Bagi Spinoza, Tuhan bukanlah pencipta yang transenden yang ada di luar dunia; sebaliknya, Tuhan adalah keseluruhan realitas itu sendiri, yang ada secara imanent di dalam segala sesuatu.
Alam semesta dengan segala keberadaan dan perubahannya adalah ekspresi tak terbatas dari atribut-atribut Tuhan. Tidak ada yang ada di luar Tuhan, dan Tuhan tidak memiliki kehendak bebas atau emosi seperti manusia. Sebaliknya, segala sesuatu mengikuti hukum-hukum kausalitas yang tak terhindarkan dalam Substansi ini. Spinoza menolak transendensi Tuhan secara total, menjadikannya filsuf imanensi yang paling ikonik dan kontroversial. Pemikirannya sering disebut sebagai panteisme, di mana Tuhan identik dengan alam semesta. Pandangan ini memiliki implikasi etis, yaitu bahwa kebahagiaan sejati ditemukan dalam memahami dan menerima keterikatan kita pada hukum-hukum alam semesta, daripada mencari campur tangan ilahi dari luar.
Immanuel Kant, meskipun bukan penganut imanensi radikal seperti Spinoza, membawa gagasan imanensi ke dalam ranah epistemologi. Kant berpendapat bahwa pengetahuan kita terbatas pada fenomena—dunia sebagaimana yang muncul kepada kita melalui kategori-kategori pemahaman kita. Kita tidak dapat mengetahui noumena—"hal-dalam-dirinya" (Ding an sich) yang ada di luar pengalaman kita. Dalam pengertian ini, kebenaran dan makna dibatasi pada dunia pengalaman yang imanen bagi kesadaran manusia. Meskipun Kant tetap mempertahankan ruang untuk hal-hal transenden (seperti kebebasan, keabadian jiwa, dan Tuhan sebagai postulat akal praktis), ia secara tegas membatasi jangkauan pengetahuan kognitif kita pada apa yang imanen dalam pengalaman.
Georg Wilhelm Friedrich Hegel, melalui konsep Roh Absolutnya, menawarkan bentuk imanensi yang dinamis. Bagi Hegel, Roh tidak ada di luar sejarah atau dunia, melainkan mewujud dan berkembang di dalamnya. Sejarah adalah proses di mana Roh menjadi sadar akan dirinya sendiri melalui interaksi dan konflik ide-ide (dialektika). Realitas dan akal tidak terpisah; akal adalah realitas yang menjadi sadar akan dirinya. Roh Absolut adalah imanent pada sejarah, masyarakat, seni, agama, dan filsafat, terus-menerus mengungkapkan dirinya melalui manifestasi-manifestasi ini.
Di abad ke-20, Gilles Deleuze, salah satu filsuf paling berpengaruh, membawa imanensi ke garis depan pemikiran postmodern. Bagi Deleuze, filsafat haruslah menjadi "bidang imanensi"—suatu dataran homogen di mana segala sesuatu ada, bergerak, dan terhubung tanpa merujuk pada prinsip-prinsip eksternal atau transenden. Dia menolak segala bentuk hierarki, dualisme, atau fondasi eksternal. Realitas adalah aliran tanpa henti, perubahan konstan, dan interkoneksi tanpa pusat.
Deleuze, bersama Félix Guattari, mengembangkan konsep "rizoma" sebagai metafora untuk imanensi: suatu struktur yang tidak memiliki awal atau akhir, tanpa pusat, di mana setiap titik dapat terhubung ke titik lain. Ini kontras dengan "pohon" yang hierarkis dan terpusat. Dalam filsafat Deleuze, tidak ada "Tuhan", "subjek", atau "objek" yang transenden yang mengatur atau memberikan makna; semua makna dan keberadaan dihasilkan secara imanent dalam jaringan hubungan dan perbedaan yang terus-menerus. Imanensi Deleuze adalah afirmasi radikal terhadap kehidupan sebagai proses kreasi dan aktualisasi yang tak terbatas, tanpa tujuan akhir di luar dirinya sendiri.
Meskipun tidak secara eksplisit menggunakan istilah "imanensi" dalam cara yang sama dengan Spinoza atau Deleuze, filsafat Friedrich Nietzsche adalah esensialnya imanent. Nietzsche menolak dunia ide Platonis, konsep moralitas transenden Kristen, dan gagasan tentang "dunia sejati" di luar yang ini. Bagi Nietzsche, satu-satunya dunia yang ada adalah dunia ini—dunia keberadaan material, nafsu, perjuangan, dan kehendak untuk berkuasa.
Konsep "amor fati" (cinta pada takdir) dan "pengulangan abadi" (eternal recurrence) adalah manifestasi imanensi yang mendalam. Pengulangan abadi, gagasan bahwa kita harus hidup seolah-olah setiap tindakan dan setiap momen akan terulang tanpa batas, adalah cara untuk menguji apakah kita sepenuhnya mengafirmasi kehidupan ini apa adanya, dengan segala penderitaan dan kegembiraan. Nietzsche mendorong kita untuk menciptakan nilai-nilai kita sendiri di dalam dunia ini, menjadi "übermensch" (manusia super) yang mengatasi moralitas budak dan mengafirmasi imanensi kehidupan dengan segala kompleksitasnya.
Meskipun transendensi sering menjadi ciri khas agama, banyak tradisi spiritual dan agama juga memiliki aspek imanensi yang kuat, bahkan sentral. Mereka berusaha untuk merasakan kehadiran ilahi di dalam dunia, di dalam diri, atau di dalam segala sesuatu.
Dalam Hinduisme, terutama dalam tradisi Vedanta, konsep Brahman dan Atman adalah puncak dari pemikiran imanensi. Brahman adalah Realitas Tertinggi yang tak terbatas, jiwa alam semesta, yang menggerakkan segala sesuatu. Atman adalah jiwa individu. Inti dari ajaran Vedanta adalah "Tat tvam asi" ("Engkaulah Itu"), yang berarti Atman (jiwa individu) pada dasarnya adalah Brahman (Realitas Tertinggi). Dengan kata lain, esensi ilahi tidak berada di luar kita, melainkan di dalam diri kita dan di dalam segala sesuatu. Kesadaran ini adalah tujuan akhir spiritual—merealisasikan kesatuan imanent ini.
Buddhisme, meskipun sering disebut sebagai agama non-teistik, juga memiliki dimensi imanensi yang kuat. Ajaran tentang pratityasamutpada (kemunculan saling bergantungan) menegaskan bahwa segala sesuatu ada dalam jaringan hubungan sebab-akibat yang saling terkait. Tidak ada entitas yang berdiri sendiri atau independen. Semua fenomena adalah imanen satu sama lain, muncul dari kondisi dan saling memengaruhi. Konsep sunyata (kekosongan) juga tidak berarti ketiadaan, tetapi justru kekosongan dari keberadaan yang independen, menunjukkan bahwa segala sesuatu pada dasarnya terhubung dan tidak memiliki esensi yang terpisah. Pencerahan adalah realisasi imanent dari keterkaitan ini.
Dalam Taoisme, Tao adalah prinsip dasar yang menggerakkan alam semesta. Tao tidaklah transenden dalam arti Tuhan pencipta yang terpisah; sebaliknya, Tao adalah aliran, jalan, dan tatanan alami yang imanent dalam segala sesuatu. Ia ada di dalam gunung dan sungai, di dalam manusia dan binatang, di dalam gerak dan diam. Tujuan Taois adalah hidup selaras dengan Tao, mengalir bersama ritme alam dan menemukan keharmonisan di dalam keberadaan yang ada. Ini adalah spiritualitas yang sangat imanent, berfokus pada keselarasan internal dan eksternal di dunia ini.
Sufisme, dimensi mistis dalam Islam, memiliki berbagai aliran pemikiran, dan beberapa di antaranya sangat dekat dengan imanensi. Konsep Wahdat al-Wujud (Kesatuan Keberadaan), yang dipopulerkan oleh Ibn Arabi, adalah salah satu contoh paling menonjol. Gagasan ini menyatakan bahwa tidak ada keberadaan sejati selain Tuhan (Allah), dan semua makhluk hanyalah manifestasi atau refleksi dari Keberadaan Ilahi. Meskipun ada perdebatan tentang interpretasinya (apakah ini panteisme atau hanya perspektif mistis tentang kehadiran Tuhan), ia menegaskan bahwa Tuhan sangat dekat dan meresapi segala sesuatu, meskipun tidak identik dengan ciptaan dalam pengertian vulgar. Keindahan alam, cinta, dan pengalaman manusia dipandang sebagai cermin dari Tuhan.
Meskipun agama Abrahamik (Yudaisme, Kristen, Islam) secara tradisional menekankan transendensi Tuhan sebagai pencipta yang berbeda dan di atas ciptaan-Nya, mereka juga memiliki aspek imanensi.
Dalam Yudaisme, konsep Shekhinah merujuk pada kehadiran ilahi Tuhan di dunia. Ini bukanlah Tuhan itu sendiri dalam kemuliaan transenden-Nya, melainkan manifestasi imanent dari kemuliaan-Nya, seperti yang hadir di Tabernakel, Bait Suci, atau di antara umat-Nya. Dalam tradisi Kabbalah, ada gagasan tentang Ein Sof (Yang Tak Terbatas) yang bermanifestasi melalui Sefirot (emanasi ilahi) yang secara bertahap menurun ke dalam dunia material. Ini adalah proses emanasi yang menghubungkan yang transenden dengan yang imanent, menunjukkan bahwa Tuhan tidak terpisah sepenuhnya dari ciptaan-Nya, melainkan hadir dalam berbagai tingkatan di dalamnya.
Kekristenan memiliki beberapa aspek imanensi yang kuat. Salah satunya adalah doktrin inkarnasi, di mana Tuhan (melalui Yesus Kristus) menjadi manusia, sepenuhnya ilahi dan sepenuhnya manusia, hidup di dunia material. Ini adalah contoh ekstrem dari imanensi ilahi. Lebih lanjut, kehadiran Roh Kudus yang tinggal di dalam orang percaya dan Gereja adalah bentuk imanensi lainnya—Tuhan hadir secara pribadi dan aktif di dalam individu dan komunitas. Konsep Tuhan yang "memelihara" (providence) dunia juga dapat diartikan sebagai kehadiran Tuhan yang terus-menerus di dalam dan melalui ciptaan-Nya.
Dalam Islam, meskipun Allah adalah transenden (Al-Ghani, Yang Maha Kaya dan Mandiri dari ciptaan), ada juga penekanan kuat pada imanensi-Nya. Allah digambarkan sebagai "lebih dekat daripada urat leher kita" (QS. Qaf: 16). Dia adalah Al-Muhit (Yang Maha Meliputi), hadir di mana-mana dengan ilmu, kekuasaan, dan pengawasan-Nya. Setiap kejadian, setiap atom, setiap makhluk hidup adalah tanda (ayat) kehadiran dan keesaan-Nya. Ini bukan panteisme dalam arti Tuhan adalah alam, tetapi penekanan pada kehadiran dan kekuasaan Allah yang meresapi dan menopang seluruh alam semesta, menjadikan Dia imanent dalam setiap aspek keberadaan.
Dalam gerakan spiritualitas modern dan New Age, konsep imanensi seringkali diwujudkan dalam penekanan pada kesadaran kesatuan, keterhubungan dengan alam semesta, dan penemuan keilahian di dalam diri. Ini bisa berupa keyakinan bahwa setiap individu adalah bagian dari kesadaran universal, atau bahwa energi ilahi mengalir melalui semua hal. Praktik seperti meditasi, mindfulness, dan koneksi dengan alam adalah upaya untuk mengalami imanensi ini secara langsung. Mereka menekankan bahwa makna, tujuan, dan kedamaian tidak perlu dicari di alam lain, tetapi dapat ditemukan di sini dan sekarang, dalam pengalaman hidup kita sehari-hari.
Meskipun sains secara inheren bersifat empiris dan tidak berurusan dengan transendensi supernatural, konsep imanensi dapat ditemukan dalam cara sains memahami alam semesta—yaitu, bahwa hukum-hukumnya bersifat internal dan bahwa realitas bersifat terhubung dan saling bergantung.
Bidang ekologi adalah salah satu manifestasi paling jelas dari imanensi dalam sains. Ekosistem adalah jaringan kompleks yang saling terkait di mana setiap organisme, setiap elemen lingkungan, berada dalam hubungan timbal balik yang konstan. Perubahan pada satu bagian sistem secara imanent akan memengaruhi bagian lain. Hukum-hukum yang mengatur ekosistem tidak datang dari luar, tetapi melekat pada sistem itu sendiri. Teori Gaia, yang mengemukakan bahwa Bumi adalah sistem regulasi diri yang hidup, juga mencerminkan pandangan imanent tentang planet kita.
Dalam fisika dan kosmologi, alam semesta dijelaskan oleh hukum-hukum alam yang konsisten dan imanent. Gravitasi, elektromagnetisme, dan interaksi nuklir tidak memerlukan agen eksternal untuk berfungsi; mereka adalah properti intrinsik dari materi dan energi itu sendiri. Alam semesta, dengan segala galaksi, bintang, dan planetnya, diatur oleh prinsip-prinsip yang melekat pada strukturnya. Konsep materi dan energi yang tidak dapat dihancurkan atau diciptakan, tetapi hanya berubah bentuk, juga menunjukkan sifat imanent dari keberadaan alam semesta—segalanya ada di dalam sistem yang tertutup ini.
Dalam neuroscience, kesadaran dan pikiran manusia semakin dipahami sebagai fenomena yang muncul secara imanent dari aktivitas kompleks otak. Meskipun "masalah sulit" tentang bagaimana materi menghasilkan kesadaran tetap menjadi misteri, sebagian besar ilmuwan saraf berpendapat bahwa pikiran tidaklah entitas transenden yang terpisah dari tubuh, melainkan hasil inheren dari proses biologis dan elektrokimiawi di dalam otak. Ini adalah bentuk imanensi yang kuat, di mana aspek-aspek paling kompleks dari pengalaman manusia, seperti kesadaran, diasumsikan berada di dalam dan merupakan produk dari sistem fisik kita.
Memahami imanensi tidak hanya sekadar latihan intelektual; ia memiliki implikasi praktis yang mendalam bagi cara kita hidup, berinteraksi, dan menemukan makna.
Dalam kerangka imanensi, moralitas tidak didikte oleh perintah transenden dari entitas eksternal, melainkan muncul dari keterikatan kita pada dunia dan sesama. Etika imanent mendorong kita untuk bertanggung jawab atas tindakan kita di sini dan sekarang, karena konsekuensinya akan dirasakan di dalam dunia ini. Ini bisa mengarah pada etika lingkungan yang kuat, di mana kita menghargai alam bukan karena perintah ilahi, tetapi karena kita adalah bagian integral darinya. Ini juga memupuk empati dan solidaritas, karena kita menyadari bahwa kesejahteraan kita terikat pada kesejahteraan orang lain. Makna hidup ditemukan dalam menciptakan nilai-nilai dan memberikan kontribusi pada dunia yang imanen ini.
Seni, dalam banyak hal, adalah manifestasi imanensi. Para seniman sering kali berusaha menangkap esensi yang melekat pada realitas—keindahan alam, emosi manusia, dinamika masyarakat—dan mengekspresikannya melalui karyanya. Inspirasi tidak selalu datang dari "dunia lain", melainkan dari pengamatan mendalam dan interaksi dengan dunia yang ada. Penciptaan artistik adalah tindakan imanent, di mana seniman memanifestasikan potensi dan makna yang ada dalam bahan-bahan dan pengalamannya, menjadikannya nyata dan dapat dirasakan.
Dalam psikologi modern, terutama yang berfokus pada kesejahteraan dan kebahagiaan, konsep imanensi dapat ditemukan dalam praktik seperti mindfulness dan terapi berbasis penerimaan. Mindfulness adalah tentang berada sepenuhnya di saat ini, mengalami realitas secara langsung tanpa penilaian, merasakan keberadaan kita yang imanen dalam setiap momen. Terapi seperti Acceptance and Commitment Therapy (ACT) mendorong individu untuk menerima pikiran dan perasaan mereka apa adanya, bukan mencoba mengendalikannya dari posisi transenden, tetapi untuk berinteraksi dengannya sebagai bagian inheren dari pengalaman internal mereka. Ini adalah pendekatan imanent terhadap kesehatan mental, di mana penerimaan dan kehadiran penuh adalah kunci untuk kesejahteraan.
Secara politik, pandangan imanent seringkali dikaitkan dengan gerakan yang berakar pada kondisi material dan kebutuhan manusia di dunia ini. Misalnya, pemikiran sosialis atau Marxis, yang menganalisis masyarakat berdasarkan hubungan ekonomi dan kekuasaan yang imanent di dalamnya, tanpa merujuk pada ide-ide transenden. Imanensi dalam politik dapat berarti fokus pada keadilan sosial, kesetaraan, dan pembangunan masyarakat yang lebih baik di dunia nyata, daripada menunda harapan pada alam setelah kehidupan atau intervensi ilahi.
Meskipun imanensi menawarkan perspektif yang kuat dan memberdayakan, ia juga menghadapi tantangan dan kritik yang serius.
Salah satu kritik utama terhadap imanensi radikal adalah bahwa ia dapat mengarah pada relativisme atau bahkan nihilisme. Jika tidak ada prinsip transenden, standar moral, atau tujuan akhir di luar dunia ini, apakah segala sesuatu menjadi relatif? Apakah semua nilai hanya konstruksi manusia yang tidak memiliki fondasi universal? Kritikus berpendapat bahwa tanpa titik acuan transenden, masyarakat mungkin kehilangan dasar untuk nilai-nilai bersama dan dapat jatuh ke dalam kekacauan atau hilangnya makna.
Bagi banyak orang, konsep transendensi memberikan harapan, makna, dan konsolasi. Ide tentang Tuhan yang penuh kasih, kehidupan setelah kematian, atau dunia ide yang sempurna dapat memberikan kekuatan di tengah penderitaan dan ketidakadilan dunia ini. Imanensi, yang hanya berfokus pada dunia yang ada, mungkin terasa dingin atau tidak memadai bagi mereka yang mencari pelipur lara atau keadilan tertinggi di luar jangkauan pengalaman manusia. Kritikus khawatir bahwa imanensi mengabaikan dimensi spiritual manusia dan kebutuhan akan sesuatu yang lebih besar dari diri kita sendiri.
Bagaimana kita mendefinisikan batasan imanensi? Jika segala sesuatu bersifat imanent dan saling terkait, bagaimana kita dapat membedakan antara fenomena yang berbeda? Dalam pandangan Deleuze, misalnya, bidang imanensi bisa terasa begitu homogen sehingga sulit untuk memahami bagaimana individualitas atau perbedaan muncul. Lebih lanjut, jika tidak ada fondasi transenden, dari mana datangnya struktur atau tatanan yang kita amati di alam semesta? Apakah tatanan itu hanya kebetulan? Pertanyaan-pertanyaan ini menantang kemampuan imanensi untuk memberikan penjelasan yang memuaskan tentang asal-usul dan struktur realitas.
Imanensi adalah konsep yang kaya dan multifaset, yang telah membentuk dan terus membentuk pemahaman kita tentang realitas. Dari filsafat Yunani kuno hingga pemikiran kontemporer Deleuze, dari tradisi spiritual timur hingga tafsir mistis agama Abrahamik, gagasan tentang kehadiran yang tak terpisahkan—yang ada di dalam dan merupakan bagian integral dari dunia ini—telah menjadi kekuatan pendorong di balik berbagai upaya manusia untuk memahami dirinya dan alam semesta.
Baik kita menganggap Tuhan sebagai imanent dalam segala sesuatu, realitas sebagai bidang hubungan tanpa batas, atau kesadaran sebagai produk dari aktivitas otak, imanensi menantang kita untuk mencari makna, kebenaran, dan nilai bukan di alam lain yang jauh, tetapi di dalam keberadaan yang sudah kita tempati. Ini mendorong kita untuk terlibat sepenuhnya dengan dunia ini, dengan segala kompleksitas, keindahan, dan penderitaannya.
Meskipun kritik terhadap imanensi, terutama kekhawatiran tentang relativisme atau hilangnya harapan, perlu diakui, daya tarik konsep ini terletak pada kemampuannya untuk membumikan kita, untuk menyoroti keterikatan kita yang mendalam dengan alam semesta, dan untuk mengilhami tanggung jawab yang lebih besar terhadap kehidupan di sini dan sekarang. Imanensi mengajak kita untuk menemukan keajaiban di dalam hal-hal biasa, kesakralan di dalam yang profan, dan makna di dalam jalinan kehidupan yang tak terpisahkan. Ini adalah panggilan untuk afirmasi radikal terhadap realitas sebagaimana adanya, dengan segala potensinya untuk kreasi, perubahan, dan pemahaman yang lebih dalam. Dalam dunia yang semakin kompleks dan terhubung, memahami imanensi mungkin bukan lagi sekadar pilihan, melainkan suatu keharusan untuk menavigasi realitas dengan kebijaksanaan dan keterikatan yang lebih besar.