Fondasi Iman: Telaah Mendalam Ilmu Akaid dan Pilar-Pilar Kepercayaan

Simbol Fondasi Islam عقيدة Al-Qur'an dan Sunnah
Ilustrasi Fondasi Akaid: Kitab sebagai Sumber Utama Keyakinan

I. Pengantar Ilmu Akaid: Definisi, Urgensi, dan Sumber

Ilmu Akaid (atau Akidah) merupakan disiplin ilmu yang paling mendasar dan esensial dalam ajaran Islam. Secara etimologi, kata ‘akidah’ berasal dari akar kata Arab ‘aqd’, yang berarti ikatan, simpul, atau janji yang kokoh. Dalam konteks terminologi syar’i, Akidah adalah keyakinan atau keimanan yang tertanam kuat dalam hati, tidak goyah, dan tidak diragukan sedikit pun, yang berkaitan dengan hal-hal ghaib, ketuhanan, kenabian, dan Hari Akhir.

Akidah adalah inti dari risalah seluruh nabi dan rasul, serta merupakan ruh bagi syariat. Tanpa akidah yang benar dan murni (shahih), seluruh amal ibadah seorang hamba tidak akan diterima oleh Allah SWT, karena akidah menjadi syarat sah diterimanya amalan.

1.1. Urgensi Mempelajari Ilmu Akaid

Pentingnya mempelajari ilmu akidah tidak bisa diremehkan. Kehidupan manusia, baik di dunia maupun di akhirat, bergantung sepenuhnya pada kebenaran akidah yang dianutnya. Berikut adalah beberapa alasan mengapa akaid memiliki posisi sentral dalam Islam:

1.2. Sumber Utama Ilmu Akaid

Akidah Islamiyah bersifat taufiqiyah, artinya ia ditetapkan oleh wahyu, bukan oleh akal semata atau filsafat manusia. Oleh karena itu, sumber-sumbernya terbatas pada dalil-dalil syar’i yang otoritatif, yaitu:

  1. Al-Qur’an Al-Karim: Kitabullah yang merupakan wahyu terakhir, sumber utama seluruh keyakinan dan hukum Islam.
  2. As-Sunnah An-Nabawiyah: Segala sesuatu yang berasal dari Nabi Muhammad ﷺ, baik berupa perkataan (qawl), perbuatan (fi’l), maupun persetujuan (taqrir). Sunnah berfungsi menjelaskan, merinci, dan menguatkan apa yang ada dalam Al-Qur’an.
  3. Ijma’ (Konsensus): Kesepakatan para ulama mujtahid dari kalangan umat Islam pada suatu masa tertentu setelah wafatnya Rasulullah ﷺ mengenai suatu hukum syar’i atau keyakinan. Ijma’ yang paling kuat adalah Ijma’ para Sahabat.

Akal manusia hanya berfungsi memahami dan merenungkan dalil-dalil tersebut, bukan mencipta atau menolak prinsip akidah yang telah ditetapkan oleh wahyu.

II. Pilar Pertama: Tauhid kepada Allah (Iman kepada Allah)

Pilar akaid yang paling fundamental adalah Tauhid, yaitu mengesakan Allah dalam segala hal yang menjadi kekhususan-Nya. Tauhid adalah tujuan utama penciptaan jin dan manusia. Tauhid dibagi menjadi tiga kategori besar yang saling melengkapi dan tidak dapat dipisahkan:

2.1. Tauhid Rububiyah

Tauhid Rububiyah adalah keyakinan bahwa Allah SWT adalah satu-satunya Rabb (Tuhan Pengatur, Pencipta, Pemberi Rezeki, Pemberi Kehidupan dan Kematian, Pengendali seluruh alam semesta). Keyakinan ini umumnya diakui oleh hampir semua manusia, termasuk kaum musyrikin Mekah pada masa Nabi.

Prinsip-prinsip Rububiyah mencakup:

2.2. Tauhid Uluhiyah (Tauhid Ibadah)

Ini adalah jenis tauhid yang paling sering dilanggar dan menjadi fokus utama dakwah para rasul. Tauhid Uluhiyah adalah mengesakan Allah dalam seluruh bentuk ibadah. Artinya, semua ibadah—baik lahiriah maupun batiniah—hanya ditujukan kepada Allah semata, dan tidak boleh ada satu pun makhluk yang disekutukan dalam hal ini.

Jenis-jenis Ibadah yang harus ditujukan kepada Allah saja:

  1. Ibadah Hati: Seperti rasa takut (khauf), harapan (raja’), cinta (mahabbah), tawakal (ketergantungan), dan niat.
  2. Ibadah Lisan: Seperti doa, zikir, istighfar, dan membaca Al-Qur’an.
  3. Ibadah Anggota Badan: Seperti salat, sujud, rukuk, puasa, dan menyembelih kurban.

Menyerahkan salah satu jenis ibadah ini kepada selain Allah, seperti berdoa kepada orang mati, bernazar untuk wali, atau bertawakal kepada jin, adalah bentuk syirik akbar (syirik besar) yang mengeluarkan pelakunya dari Islam.

2.3. Tauhid Asma wa Sifat (Nama dan Sifat Allah)

Tauhid Asma wa Sifat adalah meyakini bahwa Allah memiliki Nama-Nama (Asmaul Husna) dan Sifat-Sifat yang sempurna, tinggi, dan mulia, yang semuanya telah ditetapkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Keyakinan ini harus dipegang teguh dengan prinsip:

  1. Itsbat (Menetapkan): Menetapkan semua Nama dan Sifat yang Allah tetapkan bagi diri-Nya tanpa pengecualian.
  2. Tanziih (Menyucikan): Menyucikan Allah dari sifat-sifat kekurangan atau sifat yang menyerupai makhluk (tasybih).
  3. Bila Kayf (Tanpa Bagaimana): Kita meyakini sifat tersebut sesuai dzahirnya tanpa menanyakan bagaimana hakikatnya (misalnya, kita meyakini Allah memiliki Tangan, tetapi kita tidak tahu bagaimana Bentuk Tangan-Nya).

Penyimpangan dalam Tauhid Asma wa Sifat umumnya terjadi dalam tiga bentuk: Ta’thil (menolak/meniadakan sifat), Tahrif (mengubah makna sifat), dan Tamtsil (menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk).

III. Pilar Kedua: Iman kepada Malaikat

Malaikat adalah makhluk Allah yang diciptakan dari cahaya (Nuur) dan memiliki tugas khusus yang tidak pernah mereka langgar. Iman kepada Malaikat berarti meyakini keberadaan mereka, sifat-sifat mereka, nama-nama yang kita ketahui, dan tugas-tugas yang mereka emban.

3.1. Hakikat dan Sifat Malaikat

Malaikat bukanlah personifikasi dari kekuatan alam atau sekadar simbol kebaikan; mereka adalah entitas nyata, hamba Allah yang sangat taat. Mereka memiliki sifat-sifat utama:

3.2. Nama dan Tugas Utama Malaikat

Meskipun jumlah mereka tak terhitung, kita wajib mengimani nama dan tugas yang disebutkan secara eksplisit dalam wahyu:

  1. Jibril (Ruhul Qudus): Pemimpin para malaikat, bertugas menyampaikan wahyu dari Allah kepada para nabi dan rasul.
  2. Mikail: Bertugas mengatur hujan, awan, dan rezeki.
  3. Israfil: Bertugas meniup sangkakala (Shur) sebanyak dua kali (tiupan kengerian dan tiupan kebangkitan) pada Hari Kiamat.
  4. Malakul Maut (Malaikat Maut): Bertugas mencabut nyawa.
  5. Raqib dan Atid: Dua malaikat pencatat amal, satu di kanan (kebaikan) dan satu di kiri (kejahatan).
  6. Munkar dan Nakir: Malaikat yang menguji dan menanyai mayit di alam kubur.
  7. Malik: Penjaga pintu Neraka.
  8. Ridhwan: Penjaga pintu Surga.

IV. Pilar Ketiga: Iman kepada Kitab-Kitab Allah

Iman kepada Kitab-Kitab Allah berarti meyakini bahwa Allah telah menurunkan kitab-kitab suci kepada para rasul-Nya sebagai petunjuk bagi umat manusia. Keyakinan ini mencakup dua hal: keyakinan umum bahwa semua kitab suci berasal dari Allah, dan keyakinan khusus terhadap Kitab terakhir, Al-Qur’an.

4.1. Kitab-Kitab yang Diturunkan

Kita wajib mengimani kitab-kitab suci yang disebutkan namanya, meskipun kita meyakini telah terjadi distorsi (tahrif) pada kitab-kitab selain Al-Qur’an:

4.2. Keistimewaan Al-Qur’an

Al-Qur’an memiliki keistimewaan mutlak di atas kitab-kitab lainnya. Keistimewaan tersebut meliputi:

  1. Terpelihara dari Perubahan: Allah menjamin penjagaan Al-Qur’an dari distorsi atau penambahan, baik lafazh maupun maknanya (“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” - QS. Al-Hijr: 9).
  2. Berlaku Universal dan Abadi: Al-Qur’an adalah petunjuk bagi seluruh umat manusia hingga Hari Kiamat, menghapuskan syariat-syariat sebelumnya.
  3. Mukjizat: Keindahan bahasa, kandungan hukum, dan informasi ghaibnya adalah mukjizat yang tidak mampu ditiru oleh siapa pun.

V. Pilar Keempat: Iman kepada Para Rasul

Iman kepada Rasul (utusan) adalah meyakini bahwa Allah telah memilih manusia-manusia tertentu untuk menyampaikan risalah-Nya kepada umat manusia. Mereka adalah manusia terbaik yang dipilih, bukan hasil rekayasa atau ambisi pribadi.

5.1. Perbedaan Nabi dan Rasul

Meskipun sering digunakan bergantian, ulama menjelaskan perbedaan esensial:

Semua Rasul adalah Nabi, tetapi tidak semua Nabi adalah Rasul. Jumlah total Nabi sangat banyak (sekitar 124.000), sedangkan jumlah Rasul yang paling terkenal adalah 313, dan yang wajib diketahui namanya dalam Al-Qur’an ada 25.

5.2. Sifat-Sifat Wajib Bagi Rasul

Para Rasul memiliki sifat-sifat kesempurnaan yang wajib diimani, yang dikenal sebagai sifat Ismah (terpelihara dari dosa besar dan kesalahan fatal dalam menyampaikan wahyu):

  1. Shiddiq (Jujur): Mereka selalu benar dalam ucapan dan perbuatan, tidak mungkin berdusta.
  2. Amanah (Dapat Dipercaya): Mereka menjaga amanah Allah dan tidak mungkin berkhianat.
  3. Tabligh (Menyampaikan): Mereka menyampaikan semua risalah yang diperintahkan, tidak mungkin menyembunyikannya.
  4. Fathonah (Cerdas/Bijaksana): Mereka memiliki kecerdasan dan kebijaksanaan tinggi untuk menghadapi argumen kaum musyrikin dan menyampaikan dalil.

Rasulullah Muhammad ﷺ adalah penutup para Nabi dan Rasul (Khatamun Nabiyyin). Tidak ada nabi atau rasul lain yang akan datang setelah beliau.

VI. Pilar Kelima: Iman kepada Hari Akhir

Iman kepada Hari Akhir adalah meyakini bahwa kehidupan dunia ini akan berakhir, dan akan ada kehidupan lain yang kekal (Akhirat) yang didahului oleh peristiwa-peristiwa besar. Ini adalah pertanda Tauhid yang kuat, karena menuntut pertanggungjawaban atas setiap perbuatan di dunia.

6.1. Tahapan Hari Akhir

Keyakinan terhadap Hari Akhir mencakup seluruh tahapan pasca-kematian:

A. Alam Barzakh (Alam Kubur)

Ini adalah periode antara kematian seseorang hingga Hari Kebangkitan. Di alam ini, setiap ruh akan mengalami dua kemungkinan:

Di alam ini pula terjadi pertanyaan oleh Malaikat Munkar dan Nakir mengenai Tuhan, agama, dan Nabi mereka.

B. Tanda-Tanda Kiamat

Tanda-tanda Kiamat terbagi menjadi dua:

  1. Tanda Kecil (Sughra): Yang sudah muncul atau terjadi berulang kali, seperti meluasnya kebodohan, merebaknya perzinahan, banyaknya pembunuhan, dan orang berlomba meninggikan bangunan.
  2. Tanda Besar (Kubra): Tanda-tanda yang jika muncul, Hari Kiamat sudah sangat dekat dan tidak ada lagi pintu taubat. Ini termasuk kemunculan Al-Masih Ad-Dajjal, turunnya Nabi Isa عليه السلام, keluarnya Ya’juj dan Ma’juj, terbitnya matahari dari barat, dan keluarnya binatang melata dari bumi (Dabbatul Ardh).

C. Kebangkitan dan Pengumpulan (Ba'ats dan Mahsyar)

Setelah tiupan sangkakala kedua, seluruh manusia dibangkitkan dari kubur dalam keadaan telanjang dan tidak beralas kaki. Mereka dikumpulkan di Padang Mahsyar yang datar dan putih, menunggu perhitungan (Hisab). Matahari didekatkan, dan manusia diliputi oleh ketakutan luar biasa. Pada saat ini, amal saleh—terutama sedekah—akan menjadi naungan bagi pelakunya.

D. Perhitungan (Hisab), Neraca (Mizan), dan Telaga (Haudh)

E. Shirat (Jembatan)

Jembatan yang dibentangkan di atas Neraka Jahanam. Semua manusia harus melewatinya. Kecepatan seseorang melewatinya bergantung pada kualitas imannya dan amalannya di dunia. Ada yang melewatinya secepat kilat, ada yang merangkak, dan ada yang tersambar jatuh ke dalam Neraka.

F. Surga (Jannah) dan Neraka (Naar)

Keduanya adalah tempat kembali yang kekal, yang telah diciptakan dan ada saat ini. Surga adalah tempat balasan kebahagiaan bagi orang beriman, sementara Neraka adalah tempat balasan siksa bagi orang kafir.

VII. Pilar Keenam: Iman kepada Qada dan Qadar (Ketentuan dan Takdir)

Iman kepada Qada dan Qadar berarti meyakini bahwa segala sesuatu yang terjadi di alam semesta, baik yang baik maupun yang buruk, terjadi atas Ilmu, Kehendak, dan Penciptaan Allah SWT. Ini adalah isu akaid yang paling sering disalahpahami.

7.1. Definisi Qada dan Qadar

Keduanya saling terkait erat; Qadar adalah rancangan, sementara Qada adalah eksekusi rancangan tersebut.

7.2. Empat Tingkatan Iman kepada Qadar

Untuk memahami Qada dan Qadar dengan benar, harus diyakini empat tingkatan atau marhalah (tahapan) ini secara utuh:

1. Al-Ilmu (Ilmu Allah yang Meliputi Segala Sesuatu)

Meyakini bahwa Allah mengetahui segala sesuatu, baik yang telah terjadi, yang sedang terjadi, yang akan terjadi, bahkan yang tidak terjadi (seandainya terjadi, bagaimana hasilnya). Ilmu Allah bersifat azali (tanpa permulaan) dan tidak bertambah.

2. Al-Kitabah (Pencatatan)

Meyakini bahwa Allah telah mencatat seluruh takdir makhluk-Nya di Lauhul Mahfuzh (Lembaran yang Terpelihara) lima puluh ribu tahun sebelum penciptaan langit dan bumi.

3. Al-Mashi’ah (Kehendak Allah yang Mutlak)

Meyakini bahwa tidak ada satu pun yang terjadi di alam semesta, baik yang berkaitan dengan perbuatan Allah maupun perbuatan hamba, kecuali dengan Kehendak Allah (Iradah atau Mashi’ah). Apa yang Allah kehendaki pasti terjadi, dan apa yang tidak Allah kehendaki pasti tidak akan terjadi.

4. Al-Khalq (Penciptaan)

Meyakini bahwa Allah adalah Pencipta segala sesuatu, termasuk perbuatan hamba itu sendiri. Manusia memiliki kehendak dan pilihan (ikhtiar), tetapi kehendak dan pilihan manusia tersebut berada di bawah Kehendak dan Penciptaan Allah. Allah menciptakan perbuatan kita, dan kita yang mengusahakannya (kasb).

7.3. Peran Ikhtiar (Pilihan) Manusia

Akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah menengahi dua kelompok ekstrem: Qadariyah (yang menolak takdir dan menganggap manusia sepenuhnya menciptakan perbuatannya) dan Jabariyah (yang menolak ikhtiar dan menganggap manusia dipaksa seperti daun kering).

Seorang Muslim meyakini bahwa:

  1. Manusia memiliki kehendak bebas dalam memilih (ikhtiar), yang dibuktikan dengan adanya perintah, larangan, pujian, celaan, pahala, dan siksa.
  2. Kehendak bebas ini tidak mutlak, melainkan terikat pada Kehendak Allah. Manusia bertanggung jawab atas pilihan buruknya, meskipun Allah telah mengetahui dan menciptakannya.

Tugas kita adalah beramal, berusaha keras, berdoa, dan bertawakal, serta menerima hasil akhir dengan penuh keikhlasan, meyakini bahwa itu adalah takdir terbaik dari Allah.

Simbol Rukun Iman Enam Pilar Enam Rukun Iman (Akaid)
Visualisasi Enam Rukun Iman sebagai Pilar Utama

VIII. Manhaj (Metodologi) dalam Mengkaji Akaid

Kebenaran sebuah keyakinan tidak hanya bergantung pada materi keyakinan itu sendiri, tetapi juga pada cara atau metode (manhaj) yang digunakan untuk mencapai keyakinan tersebut. Manhaj akaid yang benar adalah manhaj Salafush Shalih (generasi awal Islam) yang berpegang teguh pada dalil wahyu.

8.1. Prinsip Utama Manhaj Akaid yang Shahih

Manhaj akaid harus memenuhi kriteria berikut:

  1. Tawqif (Berhenti pada Wahyu): Akaid adalah murni wahyu. Tidak boleh ada ijtihad (penalaran independen) dalam menetapkan prinsip-prinsip ketuhanan, nama dan sifat Allah, atau perkara ghaib lainnya.
  2. At-Taslim (Penyerahan Diri Total): Menerima dalil-dalil syar’i tanpa perlawanan, tanpa mempertanyakan "bagaimana" (kayfiyah), dan tanpa mencoba menyesuaikannya dengan akal atau filosofi Yunani.
  3. At-Tartib (Prioritas): Mendahulukan Tauhid Uluhiyah, kemudian Rububiyah, diikuti Asma wa Sifat, sebelum membahas syariat dan hukum lainnya.

8.2. Bahaya Penyimpangan Metode

Penyimpangan dalam akaid seringkali berakar dari penyimpangan metodologi. Kelompok-kelompok sesat muncul karena mengedepankan akal dan filsafat (Kalam) di atas dalil nash (wahyu).

Seorang Muslim sejati harus memurnikan akidahnya dari metode Kalam dan mengembalikan pemahaman kepada metode Salaf, yaitu menerima dalil apa adanya (itsbat bila kayf).

IX. Implikasi Akaid dalam Kehidupan Muslim

Akidah bukan sekadar teori yang dihafal, tetapi harus termanifestasi dalam seluruh aspek kehidupan seorang Muslim. Akidah yang kuat menghasilkan perilaku (akhlak) yang mulia dan ibadah yang khusyuk.

9.1. Dampak Tauhid pada Akhlak

9.2. Realisasi Iman kepada Asma wa Sifat

Mengenal Nama dan Sifat Allah (Tauhid Asma wa Sifat) akan meningkatkan kualitas ibadah dan hubungan dengan-Nya:

X. Telaah Mendalam Mengenai Konsep Iman dan Kufur

Konsep iman dan kufur adalah bagian integral dari Ilmu Akaid, yang menentukan status seseorang di mata Allah dan di mata syariat. Pemahaman yang keliru mengenai hal ini dapat memicu ekstremisme atau kelalaian.

10.1. Hakikat Iman

Menurut Akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, iman didefinisikan sebagai:

“Iman adalah pengakuan (i’tiraf) dengan hati, diucapkan dengan lisan, dan dibuktikan dengan anggota badan (amal perbuatan), yang mana ia dapat bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan.”

Ini menegaskan bahwa amal perbuatan adalah bagian dari hakikat iman. Dengan demikian, orang yang beriman namun melakukan dosa besar masih dianggap Muslim, meskipun imannya berkurang, selama ia tidak mengingkari salah satu rukun iman atau melakukan pembatal keislaman (nawaqidhul Islam).

10.2. Pembatal Keislaman (Nawaqidhul Islam)

Pembatal keislaman adalah tindakan atau keyakinan yang secara fatal menghilangkan iman seseorang, meskipun ia mengaku Muslim. Pembatal-pembatal ini mencakup:

  1. Syirik dalam ibadah (misalnya, menyembah berhala, meminta kepada orang mati).
  2. Menjadikan perantara antara dirinya dan Allah dalam hal doa dan tawakal.
  3. Meyakini bahwa orang-orang musyrik tidak kafir, atau meragukan kekafiran mereka, atau membenarkan ajaran mereka.
  4. Meyakini adanya syariat lain yang lebih baik atau sama dengan syariat Islam.
  5. Membenci sedikit saja dari ajaran Rasulullah ﷺ.
  6. Mengolok-olok atau meremehkan ajaran Allah, Rasul-Nya, atau syariat-Nya.
  7. Sihir (termasuk meruqyah dengan jampi-jampi syirik).
  8. Mendukung orang-orang kafir atau membantu mereka melawan kaum Muslimin.
  9. Berpaling dari syariat Allah, tidak mempelajarinya, dan tidak mengamalkannya.

Kehati-hatian dalam menghindari pembatal-pembatal ini adalah bentuk tertinggi dari penjagaan akaid.

XI. Pendalaman Konsep Ghaib dalam Akaid

Ilmu Akaid sangat terkait dengan hal-hal ghaib yang tidak dapat dijangkau oleh panca indera. Menerima perkara ghaib adalah ciri utama orang beriman.

11.1. Perkara Ghaib yang Wajib Diimani

Ghaib terbagi menjadi dua: Ghaib Mutlak (hanya diketahui Allah, seperti kapan Kiamat terjadi) dan Ghaib Nisbi (yang ghaib bagi sebagian orang namun dapat diketahui sebagian lain, seperti berita masa lalu). Akaid fokus pada Ghaib Mutlak:

11.2. Bahaya Memaksa Akal dalam Ghaib

Kesalahan terbesar dalam akaid adalah mencoba menggunakan akal untuk menyelami hakikat perkara ghaib yang tidak dijelaskan oleh wahyu. Misalnya, mencoba membayangkan bentuk Dzat Allah, atau mencoba menganalisis secara fisika bagaimana ruh dicabut.

Prinsip akaid yang benar adalah as-taslim (penyerahan), yaitu menerima informasi ghaib sebagaimana adanya, karena akal memiliki keterbatasan, sementara Allah memiliki Ilmu yang mutlak.

XII. Penutup: Konsistensi dan Istiqamah dalam Akaid

Akidah yang murni dan lurus harus dijaga sepanjang hidup hingga akhir hayat. Perjuangan terbesar seorang Muslim adalah menjaga dirinya agar meninggal dalam keadaan bertauhid (husnul khatimah).

Istiqamah (konsistensi) dalam akaid diwujudkan melalui:

  1. Terus menerus mempelajari Tauhid dan menjauhi segala bentuk syirik, baik besar maupun kecil.
  2. Memperbanyak doa agar diteguhkan di atas iman, sebagaimana doa yang paling sering dipanjatkan Nabi: “Ya Muqallibal Qulub, tsabbit qalbi ‘ala dinik” (Wahai Dzat yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hatiku di atas agama-Mu).
  3. Menjauhi lingkungan yang dipenuhi keraguan (syubhat) dan hawa nafsu (syahwat) yang merusak keyakinan.

Ilmu Akaid adalah pondasi yang harus selalu dikuatkan. Dengan akidah yang teguh, seorang Muslim dapat menghadapi segala tantangan dunia dengan penuh keyakinan dan harapan akan ridha Allah SWT, menuju kebahagiaan abadi di akhirat.

XII.I. Mendalami Konsep Syirik dan Jenis-Jenisnya

Setelah membahas tauhid, penting untuk memahami lawan dari tauhid, yaitu syirik. Syirik adalah dosa terbesar yang tidak diampuni Allah jika pelakunya meninggal dalam keadaan belum bertaubat, sebagaimana firman-Nya. Memahami syirik membantu kita menjaga kemurnian tauhid.

A. Syirik Akbar (Syirik Besar)

Syirik besar adalah perbuatan yang mengeluarkan pelakunya dari Islam. Ia terjadi ketika seseorang menyerahkan ibadah atau kekhususan ketuhanan kepada selain Allah. Contohnya meliputi:

B. Syirik Ashghar (Syirik Kecil)

Syirik kecil adalah perbuatan yang merupakan perantara menuju syirik besar, atau perbuatan yang disebut syirik oleh syariat namun tidak sampai mengeluarkan pelakunya dari Islam, meskipun ia adalah dosa besar. Contoh utama Syirik Kecil adalah Riya’ (pamer).

XII.II. Sifat-sifat Kesempurnaan Allah (Asmaul Husna)

Kajian mendalam tentang Akaid mewajibkan kita untuk mengenal sebanyak mungkin Nama-Nama dan Sifat-Sifat Allah yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah yang shahih. Pengenalan ini bukan hanya penghafalan, tetapi perenungan maknanya.

A. Pentingnya Menghitung Asmaul Husna

Nabi Muhammad ﷺ menyebutkan bahwa bagi yang menghitung dan meresapi 99 Nama Allah, ia akan masuk surga. Menghitung di sini berarti memahami maknanya, beribadah dengannya (doa), dan berakhlak sesuai dengan tuntutan sifat tersebut.

B. Kaidah Penolakan Takwil dan Tafwidh

Ketika membahas sifat-sifat yang sepertinya serupa dengan makhluk (seperti Wajah, Tangan, Istiwa/Bersemayam di atas Arsy), Akidah Salaf menetapkan tiga kaidah emas:

  1. Tanzih tanpa Ta’thil: Menyucikan Allah dari sifat kekurangan tanpa meniadakan sifat sempurna yang Allah tetapkan bagi diri-Nya.
  2. Itsbat tanpa Tamtsil: Menetapkan sifat-sifat tersebut tanpa menyerupakannya dengan makhluk.
  3. Menerima tanpa Takyif: Menerima sifat tersebut tanpa mempertanyakan ‘bagaimana’ (tanpa mengkhayalkan bentuknya).

Kelompok Mu'tazilah, Jahmiyah, dan sebagian Asy'ariyah cenderung melakukan Ta'wil (penafsiran makna) atau Ta'thil (peniadaan) terhadap sifat-sifat ini karena khawatir terjerumus dalam Tasybih (penyerupaan). Namun, manhaj yang benar adalah penyerahan total (Tafwidh) terhadap hakikatnya, sambil menetapkan maknanya secara harfiah sesuai yang dipahami oleh Bahasa Arab.

XII.III. Perbedaan Qada yang Mutlak dan Mu’allaq (Takdir Tergantung)

Dalam pembahasan Qada dan Qadar, ulama membedakan dua jenis takdir untuk menjelaskan adanya ruang bagi doa dan usaha manusia:

Konsep ini sangat penting agar Muslim tetap termotivasi untuk berusaha dan berdoa, karena ia tahu bahwa doa adalah salah satu sebab syar’i yang mampu mengubah catatan nasib yang ada di tangan malaikat.

XII.IV. Konsep Perantaraan (Wasilah) dalam Akaid

Permasalahan wasilah sering menjadi titik sengketa dalam Akaid. Wasilah adalah perantara atau jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Dalam Islam, terdapat dua jenis wasilah:

1. Wasilah yang Syar’i (Dibenarkan)

Ini adalah perantaraan yang diperbolehkan karena memiliki dalil dari Al-Qur’an dan Sunnah. Contohnya:

2. Wasilah yang Bid’ah atau Syirik

Ini adalah perantaraan yang tidak dibenarkan. Contohnya:

Akidah yang lurus mengajarkan bahwa hubungan seorang hamba dengan Tuhannya adalah langsung, tanpa perlu mediator dari makhluk, kecuali dengan perantaraan doa dan amal saleh yang disebutkan di atas.

XII.V. Detail Mengenai Alam Barzakh

Alam Barzakh adalah pintu gerbang menuju Akhirat, dan iman terhadapnya adalah bagian dari iman kepada Hari Akhir. Siksa dan nikmat kubur adalah hal nyata yang harus diimani.

Ujian Kubur: Ujian terbesar di Barzakh adalah pertanyaan dari Munkar dan Nakir. Pertanyaan mereka mencakup:

  1. Siapa Tuhanmu?
  2. Apa Agamamu?
  3. Siapa Nabimu?
Hanya orang yang teguh akidahnya di dunia yang mampu menjawab pertanyaan ini. Jawaban ini bukan hasil hafalan, melainkan hasil dari pengamalan tauhid seumur hidup.

Kondisi Ruh di Barzakh: Ruh orang beriman ditempatkan di tempat yang mulia dan mendapatkan kenikmatan. Ada yang digambarkan berada di dalam tembolok burung hijau yang terbang di Surga. Sementara ruh orang kafir atau fasik berada di tempat yang sempit dan mengalami siksa kubur yang amat pedih.

XII.VI. Peran Akidah dalam Menghadapi Sekularisme dan Materialisme

Di era modern, akaid menghadapi tantangan baru, terutama dari ideologi sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan) dan materialisme (keyakinan bahwa hanya materi yang nyata).

Dengan demikian, Ilmu Akaid berfungsi sebagai perisai bagi kaum Muslimin dari gempuran ideologi yang berusaha merampas keyakinan mereka.