Dalam lanskap kehidupan sosial manusia yang terus berubah, ada satu fenomena yang tak lekang oleh waktu dan universal di setiap budaya: kecenderungan untuk ikut ikut. Baik itu dalam skala kecil, seperti memesan makanan yang sama dengan teman di kafe, hingga tren global yang memengaruhi jutaan orang, perilaku ikut ikut adalah bagian intrinsik dari eksistensi kita. Artikel ini akan menyelami lebih dalam mengapa kita, sebagai individu dan masyarakat, sering kali merasa terdorong untuk ikut ikut, baik itu tren mode, gaya hidup, opini, atau bahkan teknologi terbaru. Kita akan mengupas aspek psikologis, sosiologis, dan budaya yang mendasari fenomena ini, serta mengeksplorasi dampak positif dan negatif dari perilaku ikut ikut yang tak terhindarkan ini.
Dari zaman prasejarah ketika mengikuti gerombolan adalah kunci bertahan hidup, hingga era digital di mana viralitas menjadi mata uang baru, dorongan untuk ikut ikut telah berevolusi namun esensinya tetap sama. Kita melihatnya di mana-mana: tantangan di media sosial, gaya berpakaian yang seragam di kalangan remaja, keputusan pembelian yang dipengaruhi ulasan orang lain, hingga adopsi teknologi baru. Mengapa kita begitu mudah terpengaruh? Apakah ini hanya sekadar kurangnya orisinalitas, ataukah ada mekanisme yang lebih dalam yang bekerja di balik layar?
Dorongan untuk ikut ikut bukanlah sekadar keinginan dangkal untuk menjadi bagian dari keramaian. Ada akar psikologis yang kuat yang menjelaskan mengapa kita cenderung mengikuti arus. Memahami mekanisme ini adalah kunci untuk melihat fenomena ikut ikut dari sudut pandang yang lebih holistik.
Salah satu pendorong paling dominan di balik perilaku ikut ikut adalah konsep bukti sosial. Ketika kita melihat banyak orang melakukan sesuatu, kita cenderung menganggap tindakan itu benar, aman, atau layak dilakukan. Ini adalah jalan pintas kognitif: daripada menganalisis setiap situasi dari nol, kita mengandalkan keputusan dan tindakan orang lain sebagai panduan.
Misalnya, saat mencari restoran, kita cenderung memilih tempat yang ramai daripada yang kosong. Di platform e-commerce, produk dengan ulasan dan bintang terbanyak akan lebih menarik perhatian. Dalam konteks sosial media, konten yang banyak dibagikan atau disukai secara otomatis dianggap lebih relevan atau berkualitas. Dorongan untuk ikut ikut di sini didasarkan pada asumsi bahwa "jika banyak orang yang melakukannya, pasti ada alasan yang baik."
Manusia adalah makhluk sosial. Kebutuhan untuk merasa dimiliki dan diterima oleh kelompok adalah salah satu kebutuhan dasar manusia. Perilaku ikut ikut sering kali muncul sebagai upaya untuk mencapai konformitas sosial, yaitu penyesuaian diri terhadap norma atau perilaku yang berlaku dalam kelompok. Kita takut menjadi "lain sendiri" atau dikucilkan.
Eksperimen klasik Solomon Asch tentang konformitas menunjukkan betapa kuatnya tekanan kelompok. Subjek cenderung memberikan jawaban yang salah hanya karena semua anggota kelompok lain (yang sebenarnya adalah konfederasi) memberikan jawaban yang salah. Ini menunjukkan bahwa meskipun kita tahu apa yang benar, dorongan untuk ikut ikut dan tidak menonjol dapat sangat kuat. Rasa takut akan penolakan atau penilaian negatif dari kelompok adalah motivasi utama untuk ikut ikut secara sadar maupun tidak sadar.
Di era digital, FOMO telah menjadi fenomena yang sangat nyata dan kuat. Ketakutan akan kehilangan pengalaman berharga, kesempatan, atau informasi yang sedang dinikmati orang lain mendorong kita untuk ikut ikut tren atau aktivitas tertentu. Notifikasi media sosial yang tak henti-hentinya, foto-foto teman yang sedang bersenang-senang, atau berita tentang acara eksklusif dapat memicu kecemasan bahwa kita tertinggal.
FOMO membuat kita merasa perlu untuk ikut ikut segala hal yang sedang populer, meskipun kita mungkin tidak benar-benar tertarik pada inti aktivitas tersebut. Ini adalah dorongan untuk tetap relevan dan terhubung, bahkan jika itu berarti mengorbankan preferensi pribadi demi mengikuti apa yang orang lain lakukan. Fenomena ikut ikut ini menjadi sangat menonjol di kalangan generasi muda yang tumbuh dengan paparan media sosial yang intens.
Mengambil keputusan membutuhkan energi mental. Dalam banyak situasi, otak kita mencari jalan pintas untuk menghemat energi. Jika ada tren yang sudah populer atau keputusan yang sudah diambil oleh banyak orang, mengapa tidak ikut ikut saja? Ini mengurangi beban kognitif untuk berpikir, menganalisis, dan mengambil risiko sendiri.
Ketika dihadapkan pada pilihan yang banyak, misalnya di supermarket, kita mungkin cenderung membeli merek yang paling dikenal atau yang paling banyak diiklankan, karena banyak orang lain juga memilihnya. Ini adalah bentuk ikut ikut yang terjadi di tingkat bawah sadar, di mana kita secara otomatis mengikuti "pilihan default" yang populer, menghemat waktu dan upaya mental.
Tidak semua perilaku ikut ikut didasarkan pada tekanan teman sebaya. Terkadang, kita ikut ikut karena percaya pada rekomendasi dari figur otoritas atau ahli di bidang tertentu. Misalnya, mengikuti gaya investasi yang disarankan oleh pakar keuangan, atau mencoba diet yang dipopulerkan oleh seorang ahli gizi.
Kepercayaan ini juga merupakan bentuk bukti sosial, namun dengan bobot yang lebih besar karena melibatkan kredibilitas. Fenomena ikut ikut ini seringkali dianggap sebagai tindakan rasional, karena kita memilih untuk meniru mereka yang dianggap memiliki pengetahuan atau pengalaman lebih. Namun, penting untuk tetap kritis, karena tidak semua "otoritas" benar-benar ahli atau memiliki kepentingan terbaik kita di hati.
Perilaku ikut ikut tidak terbatas pada satu domain saja. Ia meresap ke dalam hampir setiap aspek kehidupan kita, membentuk budaya, memengaruhi keputusan, dan bahkan mengubah lanskap ekonomi.
Era digital adalah inkubator sempurna bagi fenomena ikut ikut. Dengan kecepatan informasi yang tak terbayangkan dan jangkauan global, tren dapat menyebar dalam hitungan jam. Media sosial menjadi panggung utama di mana perilaku ikut ikut paling terlihat jelas.
Dari "Ice Bucket Challenge" hingga "Kiki Challenge," atau berbagai filter TikTok yang viral, jutaan orang di seluruh dunia ikut ikut tantangan ini. Dorongan untuk menjadi bagian dari sesuatu yang sedang populer, untuk mendapatkan perhatian, atau sekadar untuk bersenang-senang, memicu penyebaran cepat. Algoritma media sosial juga turut memperkuat fenomena ikut ikut ini, memprioritaskan konten yang sudah populer, sehingga semakin banyak orang yang melihat dan terdorong untuk berpartisipasi.
Para influencer menjadi figur otoritas baru yang mendorong perilaku ikut ikut. Ketika seorang influencer merekomendasikan produk, gaya hidup, atau destinasi, pengikutnya cenderung untuk ikut ikut. Ini adalah perpaduan antara bukti sosial (banyak orang percaya influencer ini) dan kepercayaan pada otoritas (influencer dianggap ahli di bidangnya). Perusahaan pun memanfaatkan fenomena ikut ikut ini untuk strategi pemasaran mereka.
Di ranah opini politik atau sosial, perilaku ikut ikut dapat menyebabkan polarisasi. Orang cenderung ikut ikut opini yang dominan di kelompok mereka sendiri (echo chamber), yang diperkuat oleh algoritma media sosial. Ini bisa berbahaya karena membatasi paparan terhadap sudut pandang yang berbeda dan menghambat diskusi yang konstruktif.
Gaya hidup juga sangat rentan terhadap tren ikut ikut. Apa yang dianggap "keren" atau "sehat" bisa berubah dengan cepat, dan banyak yang merasa terdorong untuk ikut ikut.
Beberapa tahun lalu, tren kopi manual brew, kafe aesthetic, dan budaya ngopi telah menjadi gaya hidup yang digandrungi. Banyak yang kemudian ikut ikut, berinvestasi pada alat kopi mahal, mengunjungi kafe-kafe hipster, dan bahkan membuka bisnis kopi sendiri, seringkali tanpa pemahaman mendalam tentang passion di baliknya, melainkan karena melihat banyak orang melakukannya.
Pandemi COVID-19 memicu lonjakan minat pada tanaman hias. Banyak yang ikut ikut "parenting" tanaman, membeli berbagai jenis tanaman langka, dan menghabiskan waktu merawatnya. Selain manfaat kesehatan mental, sebagian dari dorongan ini juga didasari oleh bukti sosial di media sosial, di mana feed dipenuhi dengan foto-foto "urban jungle" di rumah.
Tren bersepeda, yoga, maraton, atau gym juga menunjukkan fenomena ikut ikut. Ketika banyak teman mulai bersepeda, dorongan untuk membeli sepeda dan bergabung dengan komunitas menjadi sangat kuat. Ini bisa positif karena mendorong gaya hidup sehat, tetapi terkadang juga didorong oleh keinginan untuk "tidak ketinggalan" daripada passion yang tulus.
Industri mode dan kecantikan adalah salah satu ranah di mana perilaku ikut ikut menjadi inti dari model bisnisnya. Tren muncul dan menghilang dengan cepat, dan konsumen didorong untuk terus ikut ikut.
Setiap musim, ada warna, potongan, atau gaya tertentu yang menjadi populer. Dari celana cutbray, tas mini, hingga sepatu chunky, banyak orang merasa perlu untuk ikut ikut tren ini agar terlihat fashionable dan relevan. Merek-merek besar berperan penting dalam menciptakan dan menyebarkan tren ini.
Tren perawatan kulit Korea, filler bibir, atau alis tebal adalah contoh bagaimana perilaku ikut ikut memengaruhi pilihan kecantikan. Influencer dan selebriti seringkali menjadi pemicu, dengan jutaan orang ikut ikut mencoba produk atau prosedur yang sama dengan harapan mendapatkan hasil yang serupa.
Di pasar konsumen, dorongan untuk ikut ikut sangat kentara, terutama dalam pembelian produk elektronik atau barang mewah.
Antrean panjang saat peluncuran smartphone baru, atau euforia ketika gadget inovatif dirilis, menunjukkan perilaku ikut ikut yang kuat. Meskipun mungkin tidak sepenuhnya membutuhkan fitur baru, banyak yang merasa perlu untuk ikut ikut agar tetap "up to date" atau karena melihat semua orang di lingkaran sosial mereka memiliki perangkat tersebut.
Membeli merek tertentu seringkali bukan hanya tentang kualitas, tetapi tentang status yang melekat padanya. Tas branded, mobil mewah, atau jam tangan tertentu seringkali dibeli karena orang lain di lingkaran sosial kita juga memilikinya, atau untuk menunjukkan bahwa kita adalah bagian dari "kelompok elit" yang mampu ikut ikut tren tersebut.
Bahkan dalam pengambilan keputusan pendidikan dan karir, fenomena ikut ikut dapat berperan.
Tren jurusan kuliah, misalnya data science atau digital marketing, dapat memengaruhi pilihan siswa. Banyak yang ikut ikut memilih jurusan yang "menjanjikan" atau "sedang banyak dicari" tanpa mempertimbangkan minat atau bakat pribadi secara mendalam.
Di dunia bisnis, perilaku ikut ikut sering terlihat dalam tren startup atau model bisnis. Ketika satu perusahaan sukses dengan model tertentu (misalnya e-commerce, fintech, atau edutech), banyak pengusaha lain yang kemudian ikut ikut mencoba replikasi model tersebut, berharap mendapatkan kesuksesan yang sama. Ini seringkali menyebabkan pasar menjadi jenuh dan persaingan yang ketat.
Meskipun sering dikaitkan dengan kurangnya orisinalitas, perilaku ikut ikut tidak selalu negatif. Ada banyak manfaat yang bisa diperoleh dari mengikuti tren atau tindakan orang lain.
Perilaku ikut ikut adalah mekanisme dasar pembelajaran. Anak-anak belajar dengan meniru orang dewasa, dan orang dewasa belajar keterampilan baru dengan mengamati dan meniru para ahli. Dengan ikut ikut praktik terbaik, kita dapat mempercepat proses belajar dan mengadopsi solusi yang sudah terbukti efektif. Ini adalah bentuk efisiensi, di mana kita tidak perlu "menemukan kembali roda" setiap saat.
Di dunia profesional, ikut ikut "best practices" industri adalah hal yang esensial untuk tetap kompetitif. Ini bukan sekadar meniru tanpa berpikir, melainkan belajar dari pengalaman orang lain dan mengadaptasinya sesuai konteks.
Perilaku ikut ikut, terutama dalam hal tren sosial atau hobi, dapat menjadi perekat sosial yang kuat. Ketika banyak orang ikut ikut minat yang sama, terbentuklah komunitas. Ini memberikan rasa memiliki, kesempatan untuk berinteraksi, dan memperkuat ikatan sosial.
Bayangkan antusiasme di sekitar acara olahraga besar atau festival musik. Orang-orang ikut ikut mengenakan atribut yang sama, menyanyikan lagu yang sama, dan merayakan bersama. Ini menciptakan pengalaman kolektif yang memperkuat rasa persatuan dan identitas kelompok.
Paradoksnya, ikut ikut juga dapat mendorong inovasi. Ketika sebuah ide atau teknologi awal diperkenalkan, banyak yang mungkin ikut ikut mengadopsinya. Adopsi massal ini memberikan umpan balik, menarik investasi, dan memicu kompetisi untuk meningkatkan atau memodifikasi ide tersebut. Inovasi seringkali terjadi di atas fondasi yang sudah ada, yang awalnya populer karena banyak orang ikut ikut menggunakannya.
Misalnya, ketika internet pertama kali muncul, banyak yang ikut ikut menggunakannya. Adopsi massal ini memicu inovasi lebih lanjut, dari browser web hingga media sosial dan aplikasi mobile. Tanpa banyak orang yang awalnya ikut ikut adopsi teknologi dasar, perkembangan selanjutnya mungkin tidak akan terjadi secepat atau sebesar itu.
Mengambil keputusan yang sudah terbukti atau populer bisa mengurangi risiko. Dalam investasi, memilih saham yang banyak direkomendasikan analis (meskipun tidak selalu benar) bisa terasa lebih aman daripada memilih saham yang tidak dikenal. Membeli produk yang sudah banyak ulasan positif juga mengurangi risiko kekecewaan.
Ini adalah alasan mengapa banyak orang cenderung ikut ikut. Risiko individu terasa lebih rendah ketika kita tahu bahwa banyak orang lain juga mengambil jalur yang sama. Ada kekuatan dalam jumlah, bahkan dalam hal mitigasi risiko.
Ketika suatu produk, layanan, atau ide menjadi populer karena banyak orang ikut ikut mengadopsinya, seringkali harganya menjadi lebih terjangkau dan ketersediaannya lebih luas. Produksi massal menurunkan biaya, dan persaingan mendorong inovasi yang lebih baik dengan harga yang lebih kompetitif. Ini membuat hal-hal yang sebelumnya eksklusif menjadi lebih mudah diakses oleh khalayak luas.
Demikian pula, dalam penyebaran informasi, jika banyak orang ikut ikut membagikan sebuah gagasan atau berita, informasi tersebut akan lebih mudah sampai ke berbagai lapisan masyarakat, meskipun perlu diingat bahwa ini juga berpotensi menyebarkan informasi yang salah.
Namun, sisi gelap dari perilaku ikut ikut juga sama signifikannya. Ketika dilakukan secara tidak kritis, dampak negatifnya bisa sangat merugikan, baik bagi individu maupun masyarakat.
Ketika seseorang terlalu sering ikut ikut tren tanpa mempertanyakan apakah itu sesuai dengan nilai, minat, atau kepribadian mereka, mereka berisiko kehilangan individualitas. Ada tekanan untuk menjadi seperti orang lain, yang dapat mengikis rasa diri yang unik dan membuat seseorang merasa tidak otentik.
Ini sering terlihat pada remaja yang berusaha keras untuk ikut ikut gaya berpakaian atau musik yang populer, meskipun itu tidak benar-benar mencerminkan siapa mereka. Dalam jangka panjang, hal ini dapat menyebabkan krisis identitas atau ketidakpuasan diri.
Salah satu bahaya terbesar dari perilaku ikut ikut yang tidak kritis adalah kecenderungan "herd mentality" atau mentalitas kawanan. Ini terjadi ketika individu mengabaikan informasi atau penilaian pribadi mereka demi mengikuti tindakan kelompok, bahkan jika tindakan tersebut irasional atau merugikan.
Contoh klasik adalah gelembung ekonomi atau spekulasi pasar saham, di mana investor ikut ikut membeli aset yang harganya sudah melambung tinggi karena semua orang melakukannya, tanpa analisis fundamental yang kuat, yang seringkali berakhir dengan kerugian besar saat gelembung pecah. Perilaku ikut ikut semacam ini juga bisa terlihat dalam kepanikan massa atau keputusan kolektif yang salah dalam krisis.
Industri mode cepat (fast fashion) adalah contoh utama bagaimana perilaku ikut ikut dapat menyebabkan pemborosan. Konsumen terus-menerus didorong untuk ikut ikut tren terbaru, membeli pakaian yang mungkin hanya dipakai beberapa kali sebelum dibuang untuk digantikan dengan tren berikutnya. Ini menciptakan limbah tekstil yang masif dan konsumsi sumber daya yang tidak berkelanjutan.
Di luar mode, pengejaran tanpa henti untuk ikut ikut gadget terbaru, gaya hidup tertentu, atau bahkan hobi musiman dapat menguras keuangan dan waktu tanpa memberikan kepuasan jangka panjang.
Jika semua orang sibuk ikut ikut apa yang sudah ada, ruang untuk kreativitas asli dan pemikiran di luar kotak menjadi terbatas. Lingkungan di mana konformitas dipuji dan perbedaan dikecam dapat menghambat munculnya ide-ide baru yang revolusioner. Mengapa berani mencoba sesuatu yang baru jika lebih aman dan mudah untuk ikut ikut saja?
Perilaku ikut ikut yang berlebihan dapat menciptakan budaya "copy-paste" di mana perusahaan meniru produk pesaing, seniman meniru gaya populer, atau individu meniru gaya hidup selebriti, alih-alih mengembangkan sesuatu yang unik dan orisinal.
Perilaku ikut ikut menjadikan individu dan masyarakat rentan terhadap manipulasi. Pemasar, politisi, atau bahkan kelompok-kelompok dengan agenda tersembunyi dapat memanfaatkan dorongan kita untuk ikut ikut demi keuntungan mereka. Dengan menciptakan ilusi bukti sosial atau FOMO, mereka dapat memengaruhi opini publik, keputusan pembelian, atau bahkan hasil pemilihan umum.
Berita palsu atau informasi yang salah seringkali menyebar cepat karena banyak orang ikut ikut membagikannya tanpa verifikasi, terutama jika berita tersebut sejalan dengan pandangan kelompok mereka.
Upaya terus-menerus untuk ikut ikut dan tetap relevan dapat menyebabkan tekanan sosial yang signifikan. Kecemasan bahwa kita tidak cukup baik, tidak cukup kaya, tidak cukup populer, atau tidak cukup "kekinian" dapat memicu stres, kecemasan, dan bahkan burnout. Ini adalah efek samping dari FOMO yang ekstrem, di mana kita merasa harus selalu berpartisipasi dalam setiap tren dan acara sosial.
Kecenderungan untuk ikut ikut gaya hidup mewah atau standar kecantikan yang tidak realistis di media sosial dapat menyebabkan masalah kesehatan mental yang serius, termasuk gangguan citra tubuh dan depresi.
Mengingat bahwa perilaku ikut ikut adalah bagian tak terpisahkan dari sifat manusia, kuncinya bukan untuk menghindarinya sama sekali, melainkan untuk belajar menavigasinya dengan bijak. Bagaimana kita bisa memanfaatkan sisi positifnya sambil menghindari jebakan negatifnya?
Sebelum memutuskan untuk ikut ikut suatu tren atau opini, luangkan waktu untuk bertanya pada diri sendiri: "Mengapa saya ingin melakukan ini? Apakah ini benar-benar selaras dengan nilai-nilai, minat, dan tujuan saya? Ataukah ini hanya karena semua orang melakukannya?" Kesadaran diri adalah langkah pertama untuk membedakan antara keinginan tulus dan tekanan sosial.
Refleksi juga membantu kita mengenali pemicu FOMO dan bukti sosial dalam diri kita, sehingga kita dapat membuat keputusan yang lebih sadar dan tidak hanya ikut ikut secara otomatis.
Jangan pernah ikut ikut tanpa berpikir. Latih diri untuk selalu mempertanyakan informasi, tren, atau rekomendasi, bahkan dari sumber yang tampak kredibel. Periksa fakta, cari sudut pandang yang berbeda, dan pertimbangkan konsekuensi jangka panjang dari tindakan ikut ikut tersebut.
Berpikir kritis memungkinkan kita untuk membedakan antara tren yang memiliki substansi dan manfaat nyata dengan tren yang hanya bersifat musiman atau bahkan merugikan. Ini adalah benteng pertahanan terbaik melawan manipulasi dan mentalitas kawanan.
Salah satu cara paling efektif untuk tidak terseret dalam perilaku ikut ikut yang merugikan adalah dengan memiliki pemahaman yang kuat tentang nilai-nilai dan tujuan hidup pribadi. Ketika Anda tahu apa yang benar-benar penting bagi Anda, akan lebih mudah untuk menolak tren yang tidak selaras dengan itu, meskipun banyak orang lain yang ikut ikut.
Fokus pada pertumbuhan pribadi, kesejahteraan, dan kebahagiaan Anda sendiri, daripada terus-menerus membandingkan diri dengan standar yang ditetapkan oleh orang lain atau tren yang sedang populer.
Kita tidak harus menolak semua tren. Beberapa tren bisa membawa manfaat nyata atau kesenangan. Kuncinya adalah menjadi "pengadopsi selektif." Pilih untuk ikut ikut tren yang benar-benar menarik minat Anda, yang membawa nilai tambah dalam hidup Anda, atau yang memungkinkan Anda untuk belajar dan tumbuh.
Misalnya, jika tren olahraga tertentu menarik Anda dan sesuai dengan kebutuhan tubuh Anda, ikut ikutlah. Tetapi jika tren mode tertentu terasa tidak nyaman atau tidak sesuai dengan gaya Anda, tidak ada salahnya untuk tidak ikut ikut.
Di dunia yang sering kali menekan kita untuk konformitas, berani menjadi berbeda adalah tindakan keberanian. Tidak ikut ikut bukan berarti Anda harus menentang setiap tren, tetapi berarti Anda siap untuk memilih jalur Anda sendiri ketika itu adalah pilihan yang tepat untuk Anda.
Membangun rasa percaya diri untuk tidak ikut ikut dan memeluk keunikan Anda adalah fondasi untuk kehidupan yang lebih otentik dan memuaskan. Ini juga membuka peluang untuk menjadi pelopor tren baru, atau setidaknya menjadi inspirasi bagi orang lain untuk berpikir secara independen.
Di era digital, kita dibombardir dengan informasi tentang apa yang orang lain lakukan. Penting untuk menjaga keseimbangan dalam konsumsi media sosial dan berita. Batasi waktu layar, pilih sumber informasi yang terpercaya, dan hindari terus-menerus terpapar pada perbandingan sosial yang dapat memicu FOMO atau tekanan untuk ikut ikut.
Alih-alih terus-menerus melihat apa yang orang lain lakukan, alihkan fokus ke pencapaian, tujuan, dan pengalaman Anda sendiri.
Fenomena ikut ikut adalah cerminan kompleks dari sifat manusia. Ini adalah hasil dari kebutuhan kita akan koneksi, keamanan, dan efisiensi, serta kerentanan kita terhadap tekanan sosial dan informasi yang berlebihan. Dari masa ke masa, kita telah melihat bagaimana perilaku ikut ikut membentuk masyarakat, dari kebiasaan sehari-hari hingga revolusi budaya.
Meskipun ada potensi negatif yang signifikan—kehilangan individualitas, keputusan yang buruk, pemborosan—kita juga tidak bisa mengabaikan manfaatnya: pembelajaran, kohesi sosial, dan bahkan motor inovasi. Kuncinya terletak pada pemahaman dan kebijaksanaan. Alih-alih mengutuk atau secara membabi buta ikut ikut, kita diajak untuk menjadi partisipan yang sadar.
Mari kita berhenti sejenak dan bertanya: Apakah kita ikut ikut karena dorongan sejati, atau karena dorongan eksternal? Apakah pilihan kita membawa kita lebih dekat pada diri kita yang otentik, atau justru menjauhkannya? Dengan refleksi kritis dan kesadaran diri, kita dapat menavigasi lanskap tren dan pengaruh sosial, memanfaatkan kekuatan kolektif saat dibutuhkan, namun tetap menjaga keunikan dan integritas diri kita. Pada akhirnya, memahami mengapa kita ikut ikut adalah langkah pertama untuk memutuskan kapan harus mengikuti dan kapan harus menciptakan jalur kita sendiri.
Dunia akan terus berputar dengan tren-tren baru, ide-ide segar, dan dinamika sosial yang terus berubah. Kemampuan untuk mengamati, menganalisis, dan memilih secara sadar kapan dan bagaimana kita akan ikut ikut adalah keterampilan yang tak ternilai harganya di era modern ini. Ini adalah tentang menemukan keseimbangan antara menjadi bagian dari komunitas dan mempertahankan diri kita yang unik, antara belajar dari pengalaman kolektif dan menciptakan pengalaman pribadi yang tak terlupakan. Fenomena ikut ikut akan selalu ada, namun cara kita meresponsnya sepenuhnya ada di tangan kita.
Setiap era memiliki trennya sendiri, dan setiap generasi akan mengalami dorongan untuk ikut ikut. Yang membedakan adalah bagaimana kita meresponsnya. Apakah kita akan menjadi pengikut pasif yang kehilangan arah, ataukah kita akan menjadi pengikut yang cerdas, yang mengambil apa yang baik dan membiarkan sisanya, dengan tetap memegang teguh identitas kita? Pertanyaan ini akan terus relevan, dan jawabannya akan membentuk perjalanan pribadi serta arah kolektif kita.