Iktisab: Kedalaman Teologi dan Tanggung Jawab Moral Manusia

Qadar Iktisab (Pengambilan Tindakan)

Pengantar Konsep Fundamental: Menjelajahi Makna Iktisab

Konsep Iktisab (dikenal juga sebagai *Kasb*) merupakan salah satu pilar teologis yang paling penting, sekaligus paling rumit, dalam struktur akidah Islam, khususnya yang dikembangkan oleh mazhab Asy'ariyah. Kata Iktisab secara harfiah berarti 'memperoleh', 'mendapatkan', atau 'mengusahakan'. Namun, dalam konteks ilmu kalam (teologi spekulatif), maknanya meluas menjadi sebuah jembatan filosofis yang berusaha menyelesaikan dilema klasik antara Kekuasaan Mutlak Ilahi (Qadar) dan tanggung jawab moral serta kehendak bebas (Ikhtiyar) manusia.

Inti dari permasalahan ini adalah: Jika segala sesuatu, termasuk tindakan manusia, diciptakan sepenuhnya oleh Allah, bagaimanakah manusia dapat dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya, baik itu kebaikan maupun kejahatan? Jika manusia hanyalah robot yang digerakkan oleh Takdir Ilahi, lantas di mana letak keadilan hukuman dan pahala? Iktisab hadir sebagai jawaban Asy'ariyah untuk menjaga Tauhid al-Af’al (Keesaan Allah dalam Perbuatan) tanpa meniadakan sepenuhnya akuntabilitas etis manusia di Hari Perhitungan.

Untuk memahami kedalaman Iktisab, kita harus menelusuri tiga dimensi utama: dimensi ontologis (hakikat penciptaan tindakan), dimensi etis (tanggung jawab moral), dan dimensi epistemologis (bagaimana manusia mengetahui dan mengarahkan tindakannya). Analisis ini akan membedah bagaimana para ulama besar, terutama Imam al-Ghazali dan Imam al-Asy'ari, merumuskan konsep ini untuk membentuk dasar teologi Sunni yang dominan.

Landasan Linguistik dan Terminologi Iktisab

Secara bahasa, akar kata K-S-B (kasaba) merujuk pada aktivitas mencari, berburu, atau berusaha untuk mendapatkan sesuatu yang akan memberikan manfaat. Dalam Al-Quran, kata ini sering digunakan dalam konteks perolehan amal: "Laha ma kasabat wa 'alaiha maktasabat" (Baginya pahala atas apa yang diusahakannya, dan baginya siksa atas apa yang dilakukannya). Penggunaan istilah yang berbeda—kasabat (yang dia usahakan) dan iktasabat (yang dia peroleh)—memberikan petunjuk awal bahwa ada nuansa dalam jenis perolehan atau pengakuan tindakan.

Secara terminologi kalam, Iktisab adalah: Tindakan manusia yang diciptakan (dikonseptualisasikan dan diwujudkan) oleh Allah (Khalq), namun tindakan tersebut 'disertai' oleh niat dan kemampuan (qudrah) yang baru diciptakan oleh manusia pada saat yang sama (Kasb). Manusia tidak menciptakan aksinya sendiri (karena hanya Allah yang menciptakan), namun manusia mengarahkan dan 'mengambil' tindakan yang sudah diciptakan tersebut, menjadikannya miliknya. Perbedaan antara Khalq (penciptaan) dan Kasb (perolehan) adalah inti dari solusi teologis ini.

Paradoks Kehendak Bebas dan Kekuasaan Mutlak (Jabr dan Ikhtiyar)

Konsep Iktisab tidak dapat dipahami tanpa memahami latar belakang perdebatan sengit dalam teologi Islam awal, terutama antara kelompok Jabariyah, Qadariyah, dan Mu'tazilah. Setiap mazhab berusaha menjawab pertanyaan sentral: Apakah manusia memiliki kehendak bebas sejati, atau apakah mereka dipaksa oleh Takdir Ilahi?

1. Ekstrem Jabariyah (Determinisme Murni)

Jabariyah berpendapat bahwa manusia sama sekali tidak memiliki kehendak bebas. Mereka adalah subjek yang sepenuhnya dipaksa (*majbur*) oleh kehendak Ilahi. Tindakan manusia, bahkan niatnya, diciptakan dan dilaksanakan oleh Allah. Manusia hanyalah wadah atau alat di mana tindakan Ilahi terjadi, seperti daun yang ditiup angin. Dalam pandangan ini, tanggung jawab moral sangat minim atau bahkan tidak ada, yang menimbulkan kritik bahwa pandangan ini meniadakan keadilan Ilahi dalam menghukum dan memberi pahala.

2. Mu’tazilah dan Qadariyah (Kehendak Bebas Sejati)

Sebaliknya, Mu'tazilah, sering diidentikkan dengan Qadariyah (mereka yang menekankan Qadar—kekuatan manusia), berpendapat bahwa manusia menciptakan tindakan mereka sendiri (*Khalq al-Af’al*). Untuk dimintai pertanggungjawaban yang adil, manusia harus menjadi pencipta independen dari tindakannya. Mereka menegaskan bahwa jika Allah menciptakan dosa dan kemudian menghukum manusia karena dosa tersebut, maka hal itu bertentangan dengan prinsip Keadilan Ilahi (*Al-Adl*). Pandangan ini memberikan penekanan yang sangat kuat pada kehendak bebas, tetapi dianggap oleh kelompok Sunni ortodoks sebagai pelanggaran terhadap Tauhid al-Af’al, seolah-olah ada dua pencipta dalam kosmos: Allah dan manusia.

3. Solusi Asy’ariyah: Iktisab sebagai Jalan Tengah

Asy'ariyah, melalui konsep Iktisab, berusaha menolak determinisme (Jabr) sambil tetap mempertahankan kemahakuasaan penciptaan Allah (Khalq). Mereka menyatakan bahwa manusia memang merasakan adanya kemampuan untuk memilih dan memiliki kesadaran moral, dan ini harus dipertanggungjawabkan. Namun, kemampuan untuk memilih (*qudrah haditsah* atau kekuatan yang diciptakan) dan tindakan itu sendiri (*fi'il*) diciptakan oleh Allah pada saat aksi itu terjadi.

Manusia, dalam pandangan Asy'ariyah, tidak menciptakan tindakan (Khalq), tetapi 'mengambil' atau 'mendapatkannya' (Iktisab/Kasb). Tindakan tersebut menjadi milik manusia karena ia adalah lokasi di mana kekuatan (qudrah) untuk melakukan aksi tersebut dipasangkan oleh Allah, dan manusia mengarahkan intensi atau orientasi (niyyah) ke arah aksi yang diciptakan itu. Singkatnya, Allah menciptakan, dan manusia mengakuisisi.

Anatomi Iktisab: Penciptaan, Kekuatan, dan Orientasi

Untuk mencapai bobot Iktisab yang utuh, kita perlu membedah komponen-komponen yang harus hadir agar suatu tindakan dianggap sah sebagai ‘diperoleh’ oleh manusia dan layak mendapat ganjaran atau hukuman.

a. Khalq (Penciptaan) Mutlak Ilahi

Dalam setiap tindakan, baik itu mengangkat tangan, berzikir, atau berbohong, langkah pertama adalah Penciptaan. Allah-lah yang menciptakan gerakan itu sendiri (gerakan fisik dan mental). Ini memastikan bahwa Allah tetap menjadi satu-satunya *Khaliq* (Pencipta) dari segala sesuatu, termasuk potensi dan aktualisasi tindakan manusia.

b. Qudrah Haditsah (Kekuatan yang Diciptakan)

Pada saat yang tepat ketika manusia berniat untuk bertindak, Allah menciptakan kemampuan atau kekuatan baru (*qudrah haditsah*) yang terbatas di dalam diri manusia. Kekuatan ini tidak independen atau abadi; ia hanya cukup untuk melakukan tindakan yang dimaksudkan dan hanya bertahan sesaat. Ini berbeda dengan *qudrah qadimah* (kekuatan abadi) yang hanya dimiliki oleh Allah.

c. Muqaranah (Korelasi atau Kesertaan)

Momen krusial Iktisab adalah kesertaan (muqaranah) antara Qudrah Haditsah yang baru diciptakan oleh Allah, dengan pengarahan kehendak manusia (Ikhtiyar/Iradah juz’iyyah) terhadap aksi yang juga diciptakan oleh Allah. *Iktisab* adalah momen di mana manusia merasa dirinya mampu dan mengorientasikan kehendaknya ke arah aksi yang terwujud. Meskipun manusia tidak menciptakan aksinya, melalui orientasi ini, aksi tersebut secara formal dan etis dianggap menjadi miliknya. Al-Ghazali menekankan bahwa tanggung jawab bukan terletak pada penciptaan fisik, melainkan pada 'kehadiran dan pengarahan' kehendak manusia dalam pelaksanaan aksi tersebut.

d. Sifat Hakiki dari Kasb

Para teolog Asy'ariyah sering menggambarkan Kasb sebagai sebuah 'penerimaan' atau 'penghadapan'. Tindakan diciptakan oleh Allah, tetapi itu terjadi 'melalui' medium manusia. Analoginya sering kali digambarkan sebagai seorang lumpuh yang mencoba berdiri: Allah menciptakan gerakan berdiri, tetapi jika orang lumpuh itu mengarahkan niatnya untuk berdiri, gerakan tersebut dihitung sebagai Kasb-nya, bahkan jika ia tidak memiliki kekuatan inheren untuk menciptakannya. Intinya, Iktisab adalah titik temu antara niat terbatas manusia dan aktualisasi tindakan oleh kuasa Ilahi.

Iktisab dalam Perspektif Al-Ghazali dan Pemurnian Konsep

Imam Abu Hamid Al-Ghazali, dalam upayanya untuk merekonsiliasi sains, filsafat, dan teologi, memperjelas dan membela konsep Iktisab dengan gigih. Ia menyadari bahwa kritikus menuduh Iktisab sebagai upaya untuk sekadar "menyelamatkan muka" yang secara praktik tidak berbeda dengan Jabariyah, karena pada akhirnya, Allah-lah Pencipta tunggal. Namun, Al-Ghazali memberikan penekanan yang lebih besar pada aspek kesadaran, niat, dan pengalaman subjektif manusia.

Penolakan Terhadap Kausalitas Alamiah (Tawhid al-Af’al)

Al-Ghazali, dalam karyanya *Tahafut al-Falasifah* (Keruntuhan Para Filsuf), secara eksplisit menolak gagasan bahwa ada kausalitas inheren atau niscaya di dunia fisik (seperti api yang secara inheren membakar). Dalam pandangan Asy'ariyah, Allah adalah satu-satunya sebab dan pelaku sejati (*Fa'il Haqiqi*). Ketika api menyentuh kapas dan kapas terbakar, itu bukan karena kekuatan api, melainkan karena Allah menciptakan pembakaran pada saat yang sama api menyentuh kapas.

Logika ini diterapkan pada tindakan manusia: Ketika manusia mengangkat tangan, bukan kekuatan otot manusia yang secara independen menyebabkan gerakan (kausalitas alamiah), melainkan Allah yang menciptakan gerakan itu pada saat yang sama manusia berniat. Dengan demikian, *Iktisab* adalah ekspresi dari Tauhid al-Af’al, memastikan bahwa tidak ada kekuatan lain yang sejajar dengan Kekuasaan Ilahi dalam menciptakan.

Pembedaan antara Niat dan Tindakan Fisik

Bagi Al-Ghazali, Iktisab adalah tempat pertanggungjawaban etis berlabuh. Manusia bertanggung jawab bukan karena ia menciptakan gerakan fisiknya (karena itu milik Allah), tetapi karena ia mengarahkan niat dan kehendaknya yang terbatas (*iradah juz’iyyah*) ke arah gerakan tersebut. Tanggung jawab adalah terkait dengan kesadaran dan orientasi, bukan kemampuan penciptaan absolut.

Konsep Iktisab memastikan bahwa meskipun Allah adalah Pencipta tunggal dari segala hal (termasuk tindakan baik dan buruk), manusia adalah 'pelaku' (Kasib) dalam arti bahwa ia memilih, menghendaki, dan mengorientasikan dirinya pada tindakan tersebut, menjadikan hasil dari tindakan itu sebagai basis ganjaran dan hukuman. Ini adalah sintesis yang menjaga Tauhid dan Keadilan Ilahi secara simultan.

Implikasi Hukum dan Etis dari Iktisab

Konsep *Iktisab* tidak hanya sekadar perdebatan teologis; ia memiliki implikasi yang mendalam dalam ranah Fiqh (hukum Islam) dan tasawuf (spiritualitas).

Iktisab dalam Hukum Pidana (Jinayah)

Jika manusia tidak menciptakan tindakannya, lalu mengapa ia dihukum atas pembunuhan? Iktisab menyediakan dasar hukum: Manusia dihukum karena adanya Qasd (intensi) dan Iradah Juz’iyyah (kehendak parsial) yang mengarahkan perbuatan yang diciptakan Allah ke arah kerugian. Tanpa Iktisab, tidak akan ada konsep 'kesalahan' atau 'niat jahat' yang relevan dalam hukum. Hukum Islam menerima bahwa manusia memiliki pilihan etis, meskipun pilihan tersebut hanya dapat diaktualisasikan melalui Kekuatan Ilahi. Pilihan (Ikhtiyar) itulah yang diakuisisi (Iktisab).

Iktisab dan Konsep Rizq (Rezeki)

Dalam konteks ekonomi dan rezeki, Iktisab menunjukkan keseimbangan antara usaha manusia dan takdir Ilahi. Manusia diperintahkan untuk berusaha (*kasaba*) dan mencari rezeki melalui upaya yang sah. Namun, hasil dari upaya tersebut sepenuhnya berada dalam kuasa penciptaan Allah (Qadar). Seseorang melakukan *iktisab* dalam mencari, tetapi Allah yang menciptakan rezeki dan keberhasilan untuk memperolehnya. Ini mengajarkan pentingnya etos kerja (usaha) tanpa terjebak dalam kesombongan hasil (tawakkal).

Perbandingan dengan Mazhab Teologis Lain

Untuk menguatkan posisi Iktisab Asy’ariyah, penting untuk melihat bagaimana Mazhab Maturidiyah, yang juga Sunni, menawarkan solusi yang sedikit berbeda namun serupa terhadap dilema kehendak bebas.

Maturidiyah dan 'Penciptaan Alternatif'

Mazhab Maturidiyah, yang didirikan oleh Abu Mansur Al-Maturidi, setuju bahwa Allah adalah Pencipta mutlak dari segala sesuatu. Namun, mereka cenderung memberikan ruang yang sedikit lebih luas bagi kehendak manusia. Maturidiyah berpendapat bahwa manusia memiliki kehendak bebas yang sejati (*Ikhtiyar Haqiqi*). Manusia memilih aksi (dengan kehendak bebasnya), dan kemudian Allah menciptakan aksi tersebut sesuai dengan pilihan manusia. Perbedaan utama dengan Asy’ariyah adalah: Asy'ariyah melihat kehendak manusia (Kasb) dan penciptaan Allah (Khalq) terjadi bersamaan (*muqaranah*), sedangkan Maturidiyah menekankan bahwa pilihan manusia mendahului (namun tidak memaksa) penciptaan Allah.

Maturidiyah mendefinisikan Kasb sebagai 'kemampuan untuk mengarahkan pilihan', sementara Asy’ariyah mendefinisikannya sebagai 'kemampuan yang diciptakan yang menyertai tindakan'. Kedua mazhab ini akhirnya bertemu pada kesimpulan bahwa tindakan tidak diciptakan secara independen oleh manusia, sehingga Tauhid al-Af’al tetap terjaga, dan manusia tetap bertanggung jawab atas pilihan mereka.

Kedalaman Filosofis Iktisab: Menyelami Niat dan Kesadaran

Aspek yang sering terlewatkan dalam diskusi teologis mengenai Iktisab adalah bagaimana konsep ini mempengaruhi pemahaman kita tentang realitas spiritual dan kesadaran diri. Jika setiap gerakan fisik diciptakan oleh Allah, lantas apa yang membedakan gerakan refleks (tidak bertanggung jawab) dari gerakan yang disengaja (bertanggung jawab)?

Peran Niyyah (Intensi) dalam Iktisab

Perbedaan kuncinya terletak pada Niyyah (niat) dan kesadaran. Gerakan refleks atau gerakan yang dilakukan oleh orang tidur tidak melibatkan Iktisab dan oleh karenanya tidak dikenai tanggung jawab moral. Iktisab hanya terjadi ketika ada kesadaran, niat, dan pengarahan kehendak parsial (*iradah juz’iyyah*) yang menyertai tindakan. Niat ini, meskipun juga diciptakan oleh Allah, adalah locus dari penyerahan diri dan akuntabilitas manusia.

Ketika seseorang berniat untuk salat, niat itu sendiri adalah sebuah Kasb (perolehan spiritual) yang dihitung sebagai amalan, bahkan sebelum gerakan fisik salat tercipta. Niat adalah wujud dari kehendak parsial yang merupakan prasyarat utama agar suatu perbuatan fisik diakui sebagai hasil dari Iktisab.

Iktisab sebagai Penghargaan Atas Kehendak Parsial

Konsep ini memberikan penghargaan besar pada kehendak parsial manusia. Meskipun kekuatan manusia tidak dapat menciptakan aksi fisik dari ketiadaan, kehendak parsialnya adalah apa yang menentukan orientasi moral tindakan tersebut. Allah menghargai manusia bukan karena kekuatannya dalam mencipta, melainkan karena kehendaknya dalam memilih orientasi tindakan yang diciptakan Ilahi.

Ekspansi Mendalam: Meninjau Ulang Keseimbangan Ontologis

Untuk benar-benar menghargai kompleksitas Iktisab dan memenuhi kajian yang mendalam, kita perlu mengulang dan memperluas pembahasan mengenai keseimbangan ontologis yang ditawarkan oleh Asy'ariyah. Keseimbangan ini adalah resolusi atas tiga masalah utama filsafat teologis.

Masalah 1: Penyangga Ketuhanan (Tauhid al-Af’al)

Asy'ariyah berkeras bahwa jika manusia menciptakan tindakannya sendiri, maka manusia akan berbagi atribut Penciptaan dengan Allah, yang melanggar Tauhid. Iktisab menyelamatkan Tauhid dengan menyatakan bahwa manusia hanyalah subjek atau lokasi di mana tindakan yang diciptakan Ilahi terjadi. Ini adalah penegasan ontologis bahwa hanya ada satu sumber daya yang aktual di alam semesta.

Setiap momen eksistensi, setiap perubahan, setiap gerakan, baik itu gerakan kosmik galaksi atau kedipan mata, adalah hasil dari intervensi Penciptaan Ilahi yang terus-menerus (*Tajdid al-Amthal*). Dalam pandangan ini, Iktisab bukanlah kekuatan penciptaan, melainkan mekanisme di mana kekuatan yang diciptakan itu diarahkan oleh manusia. Tanpa Iktisab, manusia akan menjadi Jabariyah. Tanpa Khalq, manusia akan menjadi Mu’tazilah.

Masalah 2: Bukti Pengalaman Subjektif (Syuhud)

Meskipun secara rasional teologis solusi *Iktisab* tampak membingungkan bagi sebagian orang, ia secara kuat didukung oleh pengalaman subjektif manusia. Setiap manusia merasakan adanya kemampuan untuk memilih dan menahan diri. Ketika saya memutuskan untuk menulis atau berhenti menulis, saya merasakan kehendak internal yang bebas. Iktisab adalah pengakuan bahwa pengalaman internal ini adalah nyata dan penting, namun ia hanyalah kemampuan terbatas (*qudrah haditsah*) yang diletakkan oleh Sang Pencipta dalam diri manusia pada saat pelaksanaan.

Kekuatan yang dirasakan manusia saat bertindak adalah kekuatan yang diciptakan *untuk* tindakan spesifik itu. Kekuatan tersebut tidak dapat disimpan atau digunakan untuk tindakan lain, dan ia lenyap segera setelah tindakan itu selesai. Inilah yang membedakannya dari Kekuatan Ilahi yang abadi dan tak terbatas.

Masalah 3: Keadilan Ilahi dan Akuntabilitas

Konsep Iktisab adalah landasan keadilan. Allah telah memberi manusia kesadaran (akal) dan kemampuan untuk memilih orientasi (kehendak parsial). Karena manusia menggunakan kesadaran dan kehendak parsial ini untuk 'mengambil' tindakan yang buruk, maka ia layak dihukum. Hukuman dan pahala didasarkan pada perolehan (*Kasb*) manusia, bukan pada Penciptaan (*Khalq*) yang merupakan Hak Mutlak Allah. Jika seseorang memilih untuk memperoleh kebaikan, maka pahalanya setimpal dengan pilihan dan orientasinya.

Menjelajahi Kritik Historis terhadap Iktisab

Meskipun Iktisab adalah doktrin utama teologi Sunni, konsep ini tidak luput dari kritik, baik dari Mu’tazilah maupun dari mazhab filosofis lainnya. Memahami kritik ini membantu kita menghargai kejelian Asy'ariyah dalam pertahanan mereka.

Kritik "Tidak Ada Perbedaan Praktis"

Kritik paling umum adalah bahwa Iktisab hanyalah determinisme yang terselubung. Para kritikus berpendapat: Jika Allah menciptakan gerakan, kemampuan, niat, dan bahkan orientasi kehendak, lantas apa yang tersisa bagi manusia selain menjadi wadah pasif? Mereka menuduh Iktisab tidak memberikan kekuatan agen sejati kepada manusia, menjadikannya hanya istilah retoris yang menghindari label Jabariyah.

Jawaban Asy'ariyah, terutama melalui Al-Ghazali, adalah fokus pada kualitas Kasb yang merupakan pengalaman kesadaran. Meskipun kekuatan manusia diciptakan, ia tetap disebut Kasb karena ia berbeda dari tindakan yang dipaksakan. Perbedaan antara Iktisab dan Jabr terletak pada adanya kesadaran dan kehendak yang diciptakan yang menyertai tindakan tersebut. Kehendak yang diciptakan ini adalah dasar ontologis bagi tanggung jawab.

Kritik dari Sudut Pandang Rasionalis

Filosof dan rasionalis (seperti beberapa Mu’tazilah) merasa bahwa solusi Iktisab melanggar akal sehat karena ia memisahkan penciptaan dari kepemilikan. Dalam logika sehari-hari, jika saya membuat sesuatu, saya memilikinya. Asy'ariyah membalik ini dengan menyatakan bahwa dalam realitas spiritual dan ontologis, Allah adalah Pembuat satu-satunya, tetapi manusia adalah Pemilik moral (Kasib). Ini adalah penolakan terhadap pemikiran kausalitas yang didasarkan pada logika manusia semata, menegaskan bahwa kausalitas sejati hanya milik Ilahi.

Implementasi Iktisab dalam Kehidupan Spiritual (Tasawuf)

Dalam konteks tasawuf, pemahaman yang benar tentang Iktisab sangat penting untuk mencapai keadaan spiritual yang diinginkan, terutama Tawakkal (ketergantungan penuh pada Allah) dan Ridha (kerelaan).

Iktisab dan Tawakkal

Tawakkal bukanlah pasifisme. Seorang sufi yang memahami Iktisab mengetahui bahwa ia harus mengerahkan segala upaya (*Kasb*) dalam mencari rezeki atau melakukan ibadah. Upaya ini adalah perintah Ilahi dan merupakan manifestasi dari kehendak parsial yang diberikan. Namun, begitu upaya dilakukan, hasilnya diserahkan sepenuhnya kepada Allah (Khalq), karena hanya Allah yang dapat menciptakan keberhasilan atau kegagalan dari upaya tersebut. Iktisab memerintahkan usaha, sementara Tawakkal menerima hasilnya dengan penuh kerendahan hati dan keyakinan pada Takdir.

Iktisab dan Ketaatan

Ketika seseorang melakukan ketaatan (misalnya, puasa atau shalat), ia mengakui bahwa kemampuan untuk taat itu sendiri adalah karunia yang diciptakan oleh Allah. Tanpa *Qudrah Haditsah* yang diberikan Allah, manusia tidak akan mampu bergerak. Ini menghilangkan kesombongan dan kebanggaan diri atas amal baik, karena amal tersebut hanyalah perolehan atas karunia yang telah diciptakan. Sebaliknya, ketika seseorang melakukan dosa, ia mengakui bahwa meskipun Allah menciptakan pergerakan, orientasi buruk adalah hasil dari Iktisab-nya sendiri, yang memicu penyesalan (*tawbah*).

Pengembangan Konseptual Lebih Lanjut: Iradah Juz’iyyah

Pembahasan tentang Iktisab harus diperdalam melalui lensa *Iradah Juz’iyyah* (Kehendak Parsial) manusia. Ini adalah inti dari di mana tanggung jawab manusia bersemayam. Kehendak parsial ini adalah perbedaan mendasar antara aksi yang dipaksa dan aksi yang dipilih.

Sifat Iradah Juz’iyyah

Kehendak parsial manusia bukanlah kehendak independen yang dapat melawan Kehendak Mutlak Ilahi (*Iradah Kulliyyah*). Justru, ia adalah bagian dari Kehendak Mutlak itu sendiri. Allah menghendaki manusia untuk menghendaki (memilih). Kehendak parsial ini hanya bersifat mengarahkan atau mengorientasikan. Ia seperti seorang pengemudi yang memilih jalan, tetapi mesin mobil dan kemampuan jalan itu sendiri diciptakan secara independen oleh pihak lain.

Tanpa kehendak parsial ini, tidak akan ada *Kasb*. Oleh karena itu, *Iktisab* adalah pengakuan terhadap nilai etis dari pilihan yang diciptakan. Pilihan itu sendiri adalah ciptaan Ilahi, namun ia ditempatkan dalam diri manusia sedemikian rupa sehingga manusia merasa sebagai subjek yang memilih, dan karenanya ia bertanggung jawab secara moral atas orientasi pilihan tersebut.

Keterbatasan Kehendak Parsial

Jika manusia menghendaki (Iradah Juz’iyyah) untuk terbang, tindakan itu tidak akan tercipta karena berada di luar batas *Qudrah Haditsah* yang diciptakan untuknya. *Iktisab* hanya berlaku untuk tindakan-tindakan yang secara fisik mungkin dalam lingkup kemampuan manusia yang terbatas, dan yang diciptakan oleh Allah pada saat niat muncul. Hal ini membatasi klaim manusia atas kekuatan penciptaan dan menegaskan bahwa kehendak manusia selalu terikat dan dibatasi oleh takdir fisik dan metafisik yang lebih besar.

Ringkasan Dialektika Iktisab dan Resolusi Konflik

Iktisab adalah hasil dari dialektika yang ketat untuk mencapai keseimbangan teologis yang sempurna, yang menjaga dua kutub ajaran fundamental Islam:

  1. Tauhid al-Af’al: Hanya Allah yang menciptakan (*Khalq*) segala sesuatu, termasuk tindakan, gerakan, dan potensi.
  2. Keadilan Ilahi: Allah adalah Maha Adil, dan keadilan menuntut adanya pertanggungjawaban moral atas perbuatan baik dan buruk.

Iktisab adalah mekanisme di mana tindakan yang diciptakan Ilahi menjadi milik manusia secara moral dan hukum. Manusia memperoleh (*Kasb*) tindakan tersebut melalui niat dan pengarahan kehendak yang juga diciptakan, pada saat tindakan itu diwujudkan. Tanpa kerangka *Iktisab*, teologi Sunni akan jatuh ke dalam salah satu dari dua ekstrem yang dianggap menyimpang: Jabariyah (meniadakan tanggung jawab) atau Mu’tazilah (melanggar Tauhid al-Af’al).

Finalitas Iktisab

Dalam analisis akhir, Iktisab menawarkan sebuah pandangan dunia yang mendamaikan takdir dengan usaha. Ia mengajarkan kerendahan hati bahwa segala kekuatan dan kemampuan berasal dari sumber tunggal (Allah), dan pada saat yang sama, ia menuntut tanggung jawab penuh dari individu atas setiap pilihan moral yang ia buat. Pemahaman yang mendalam terhadap Iktisab adalah kunci untuk memahami etika dan epistemologi yang mendasari Akidah Asy'ariyah, sebuah akidah yang berjuang keras untuk menempatkan Allah di pusat segala penciptaan, sambil memberikan ruang bagi agensi dan akuntabilitas manusia yang diakui dan dihargai secara Ilahi.

Pengulangan dan penegasan bahwa manusia adalah Kasib (yang memperoleh) dan bukan Khaliq (yang menciptakan) menjadi mantra teologis yang harus dihayati oleh setiap Muslim Sunni. Ini adalah inti dari bagaimana manusia berinteraksi dengan takdir: ia berusaha, ia memilih, ia mengorientasikan niatnya, dan proses pengarahan niat inilah yang dinamakan Iktisab. Dan atas Iktisab inilah, pahala dan dosa akan dihitung secara adil di hadapan Yang Maha Pencipta.

Rekapitulasi Struktur Konflik dan Solusi Iktisab

Untuk memastikan pemahaman yang komprehensif, kita harus kembali pada akar permasalahan filosofis yang dipecahkan oleh Iktisab. Permasalahan ini adalah krisis ontologis mengenai sifat dasar tindakan. Jika A menyebabkan B, apakah A bertindak secara independen? Asy'ariyah berkata, "Tidak." Hanya Allah yang menyebabkan A, B, dan hubungan di antara keduanya. Tindakan manusia, dalam hal ini, adalah serangkaian peristiwa atomistik yang diciptakan secara berkelanjutan oleh Allah.

Dalam konteks teologi Asy'ariyah, manusia merasakan adanya Ikhtiyar (pilihan), tetapi pilihan itu tidak memiliki kekuatan efektif untuk menciptakan tindakan. Kekuatan efektif (qudrah qadimah) hanya milik Allah. Iktisab adalah nama yang diberikan pada korelasi antara keinginan yang diciptakan Allah dalam diri manusia dan tindakan yang diciptakan Allah. Tanpa korelasi yang tepat waktu (*muqaranah*) ini, tindakan hanyalah pergerakan pasif, bukan amal yang dihitung.

Detail Mengenai Qudrah Haditsah dan Akuntabilitas

Qudrah haditsah (kekuatan baru) yang diciptakan Allah pada saat Iktisab terjadi adalah esensial. Kekuatan ini bukanlah sumber penciptaan, melainkan kondisi yang memungkinkan manusia untuk 'mengambil' tindakan. Tanpa kekuatan ini, manusia tidak dapat merasakan dirinya sebagai agen yang bertindak. Akuntabilitas etis kemudian didasarkan pada kesadaran dan kehendak yang menyertai perolehan kekuatan ini. Manusia dihukum karena ia memilih untuk mengarahkan karunia qudrah haditsah ke arah yang terlarang, meskipun karunia itu sendiri diciptakan oleh Allah. Ini adalah pertanggungjawaban atas *penggunaan* karunia, bukan atas penciptaan karunia.

Aspek Epistemologis Iktisab

Bagaimana manusia mengetahui bahwa ia sedang melakukan Iktisab dan bukan Jabr? Secara epistemologis, manusia membedakan antara tindakan yang ia rasakan sebagai 'miliknya' (misalnya, berpikir, berbicara) dan tindakan yang ia rasakan sebagai 'dipaksakan' (misalnya, gemetar karena kedinginan, jatuh). Tindakan yang ia rasakan sebagai 'miliknya' adalah manifestasi dari Iktisab. Pengalaman batiniah mengenai kehendak dan pilihan inilah yang diakui oleh teologi Asy'ariyah sebagai validasi dari konsep Iktisab, meskipun secara ontologis ia tetap ciptaan Ilahi. Pengalaman subjektif (Syuhud) menjadi bukti bahwa manusia adalah Kasib, meskipun bukan Khaliq.

Iktisab dalam Konteks Kontemporer

Di era modern, konsep *Iktisab* relevan dalam menghadapi determinisme ilmiah dan tantangan terhadap kebebasan moral. Ketika ilmu saraf mencoba mereduksi pilihan manusia menjadi serangkaian reaksi kimia yang dipaksakan, *Iktisab* memberikan kerangka spiritual yang mempertahankan agensi moral.

Iktisab mengajarkan bahwa meskipun struktur biologis kita, proses berpikir kita, dan lingkungan kita diciptakan oleh Allah, manusia tetap memiliki titik unik di mana ia dapat mengarahkan dirinya sendiri, yaitu melalui *Iradah Juz’iyyah*. Kehendak parsial ini adalah anugerah teologis yang memisahkan manusia dari objek non-moral. Tugas manusia adalah untuk memanfaatkan titik Iktisab ini dengan niat yang benar, menyelaraskan kehendak parsialnya dengan Kehendak Mutlak Ilahi.

Konsep ini juga relevan dalam etika keberhasilan dan kegagalan. Ketika sukses, seorang individu harus sadar bahwa keberhasilan itu diciptakan oleh Allah, ia hanya memperolehnya. Ketika gagal, ia harus bersyukur atas upaya (iktisab) yang telah ia lakukan, meskipun hasil akhirnya adalah ketetapan Ilahi. Sikap ini menumbuhkan kerendahan hati dan ketahanan spiritual, menjauhkan diri dari kesombongan (karena hanya Allah yang menciptakan) dan keputusasaan (karena Allah menghargai upaya/iktisab).

Perluasan Makna Iktisab dalam Amal

Amal saleh dan amal buruk adalah dua sisi dari mata uang Iktisab. Iktisab yang positif adalah ketika manusia memilih untuk mengarahkan kemampuan yang diciptakan Allah ke arah ketaatan. Iktisab yang negatif adalah ketika manusia memilih orientasi ke arah kemaksiatan. Dalam kedua kasus, manusia adalah pelaku moral (Kasib), meskipun Penciptanya tetap Allah (Khaliq). Ini adalah penekanan abadi dan mendasar yang memastikan bahwa akuntabilitas di akhirat adalah logis dan adil.

Tanpa Iktisab, tidak ada dasar untuk surga dan neraka. Tanpa Iktisab, tidak ada gunanya wahyu yang memerintahkan dan melarang. Iktisab adalah alasan mengapa syariat Islam memiliki relevansi. Kehadiran Iktisab adalah bukti dari karunia kesadaran moral yang ditanamkan Allah dalam diri manusia, meskipun kesadaran itu sendiri adalah ciptaan yang terbatas dan terikat oleh Takdir-Nya yang Maha Besar.

Analisis yang berulang-ulang terhadap Iktisab menggarisbawahi posisinya sebagai solusi teologis yang paling canggih dalam tradisi Sunni untuk dilema kehendak bebas dan predestinasi. Ia adalah doktrin yang menuntut kepercayaan pada Kekuasaan Ilahi yang tak terbatas sekaligus menghargai pengalaman manusia sebagai agen moral yang bertanggung jawab.

Pemahaman mengenai Iktisab bukanlah hanya sebatas penerimaan doktrin, melainkan sebuah pemahaman mendalam yang membentuk kerangka spiritual bagi setiap Muslim. Ini adalah jembatan yang menghubungkan dimensi ontologis (Tuhan sebagai Pencipta Tunggal) dengan dimensi etis (Manusia sebagai Agen Moral yang Akuntabel). Keseimbangan yang rumit ini adalah warisan intelektual Asy'ariyah yang terus relevan dan fundamental hingga hari ini, menegaskan bahwa dalam setiap gerakan dan niat, manusia memiliki bagian yang harus dipertanggungjawabkan, meskipun keseluruhannya berada dalam genggaman kekuasaan Pencipta Semesta.

Kehadiran Iktisab dalam setiap aspek kehidupan, mulai dari niat terkecil hingga amal terbesar, menjadi pengingat konstan akan posisi manusia yang unik di alam semesta. Manusia bukan pencipta, tetapi ia adalah peraih dan pengarah. Tanggung jawabnya terletak pada pengarahan yang benar, selaras dengan petunjuk Ilahi, memanfaatkan qudrah haditsah yang diberikan Allah setiap saat. Konsep Iktisab, dengan segala kerumitan dan kedalamannya, adalah manifestasi dari keadilan dan hikmah Ilahi yang sempurna, sebuah misteri yang diakui dengan iman dan dipraktikkan dengan ketulusan.