Meninjau Kerugian Ekologis dan Potensi Ekonomi yang Terabaikan dalam Sektor Perikanan
Fenomena yang dikenal luas di kalangan ilmuwan perikanan dan praktisi konservasi sebagai ‘ikan sia sia’ (atau wasted fish) merupakan salah satu masalah paling mendesak dan kompleks dalam tata kelola sumber daya laut global. Istilah ini tidak secara harfiah merujuk pada ikan yang tidak berguna, melainkan mencakup dua kategori utama hasil tangkapan yang mengalami pembuangan atau pemanfaatan yang tidak optimal, yaitu bycatch (tangkapan sampingan) dan low-value species (spesies bernilai ekonomi rendah).
Secara ekologis, setiap biota laut memiliki peran vital. Oleh karena itu, label 'sia sia' mencerminkan perspektif manusia, khususnya pasar komersial. Ketika biaya penangkapan, pengolahan, dan pemasaran melebihi harga jual yang dapat diperoleh, spesies tersebut secara otomatis terdegradasi menjadi beban logistik bagi nelayan. Kerugian yang ditimbulkan oleh praktik ini bersifat multi-dimensi, meliputi pemborosan sumber daya hayati yang tak terbarukan, peningkatan emisi gas rumah kaca dari kapal yang menangkap tanpa hasil, dan gangguan serius terhadap keseimbangan ekosistem laut.
Bycatch merujuk pada biota laut yang tertangkap oleh alat tangkap, namun tidak menjadi target utama. Bycatch bisa berupa spesies non-komersial, juvenil (ikan muda) dari spesies komersial, atau bahkan biota laut dilindungi seperti penyu, lumba-lumba, dan hiu tertentu. Di banyak kasus perikanan skala besar, bycatch sering dibuang kembali ke laut—sebagian besar dalam keadaan mati atau terluka parah—karena tidak memenuhi kuota, terlalu kecil, atau karena tidak ada fasilitas penyimpanan yang memadai di kapal. Tingkat pembuangan bycatch ini bervariasi drastis, mulai dari kurang dari 1% di perikanan pukat cincin yang menargetkan ikan pelagis tertentu, hingga mencapai 50-80% di beberapa perikanan udang tropis yang menggunakan pukat hela (trawl).
Kategori kedua adalah spesies yang sebenarnya dapat dimanfaatkan namun memiliki nilai jual sangat rendah di pasar utama (misalnya pasar ekspor atau pasar ikan segar premium). Contoh umum termasuk ikan teri kecil (Stolephorus spp.), beberapa jenis ikan lempuk (ponyfish), dan sisa-sisa tangkapan yang sudah tercampur. Walaupun spesies ini mungkin sangat penting sebagai sumber protein lokal atau pakan ternak di beberapa wilayah, fokus pasar global pada spesies bernilai tinggi (seperti tuna, kerapu, dan udang) sering menyebabkan spesies bernilai rendah ini terpinggirkan atau diolah menjadi produk dasar berharga minim seperti tepung ikan, atau yang terburuk, dibuang.
Kerugian sumber daya hayati: Ikan yang dibuang kembali ke laut karena dianggap tidak memiliki nilai komersial.
Dampak ekologis dari penangkapan dan pembuangan ikan sia sia jauh melampaui kerugian individu ikan. Praktik ini secara fundamental mengganggu struktur dan fungsi ekosistem laut, memicu krisis yang memerlukan puluhan tahun untuk pulih. Ancaman terbesar adalah penangkapan juvenil dan spesies kunci ekologis.
Salah satu komponen terbesar dari bycatch adalah ikan muda (juvenil) dari spesies komersial bernilai tinggi, seperti kakap, kerapu, atau tuna. Ikan-ikan ini belum mencapai usia reproduksi (usia matang gonad). Penangkapan juvenil dalam jumlah besar berarti bahwa stok reproduktif masa depan berkurang secara drastis. Fenomena ini disebut kegagalan rekrutmen. Ketika rekrutmen gagal, populasi ikan dewasa yang siap berkembang biak terus menurun, bahkan jika tekanan penangkapan terhadap ikan dewasa berkurang. Ini menciptakan spiral penurunan stok yang sulit dihentikan, menjadikan upaya konservasi di masa depan semakin sulit dan mahal. Jika sebuah kapal menangkap 1000 ekor juvenile ikan kakap yang berpotensi menghasilkan puluhan ribu telur dalam beberapa tahun mendatang, kerugian biologisnya jauh lebih besar daripada sekadar bobot 1000 ekor ikan kecil tersebut.
Banyak spesies ikan sia sia yang bernilai rendah, seperti ikan teri, ikan kecil pelagis, atau krustasea kecil, merupakan mangsa kunci (keystone prey) dalam rantai makanan laut. Mereka adalah penghubung vital antara plankton dan predator besar (ikan pelagis besar, mamalia laut, dan burung laut). Ketika sejumlah besar ikan kecil ini ditangkap dan dibuang, atau diolah menjadi tepung ikan, ketersediaan makanan bagi predator puncak menurun. Hal ini mengakibatkan tekanan kompetisi yang lebih tinggi di antara predator, penurunan tingkat reproduksi predator, dan akhirnya, penurunan keanekaragaman hayati secara keseluruhan. Kerugian ini sangat terasa di wilayah upwelling di mana produktivitas primer tinggi, namun pemanfaatan ikan sia sia sebagai bahan baku pakan akuakultur domestik maupun global sering kali menguras habis stok ikan mangsa kunci ini.
Hilangnya ikan sia sia dalam konteks ekologis adalah hilangnya energi dasar yang menopang seluruh piramida makanan laut. Setiap gram protein yang dibuang dari kapal nelayan berarti hilangnya potensi kehidupan bagi rantai makanan yang lebih tinggi. Praktik pembuangan ini sering kali merupakan keputusan ekonomi yang bersifat jangka pendek, namun konsekuensi ekologisnya bersifat permanen dan meluas.
Selain ikan komersial juvenil, bycatch juga bertanggung jawab atas kematian mamalia laut (lumba-lumba, pesut), penyu laut, dan burung laut. Alat tangkap seperti jaring insang (gillnet) dan pukat hela yang tidak selektif sering menjerat spesies ini. Meskipun spesies ini tidak pernah dimaksudkan untuk dijual, insiden penangkapan (interaksi bycatch) menyebabkan luka, stres, atau tenggelam. Meskipun beberapa negara memiliki regulasi ketat mengenai pelepasan spesies dilindungi, tingkat kelangsungan hidup pasca-pelepasan seringkali rendah. Hiu dan pari tertentu, yang laju reproduksinya sangat lambat, sangat rentan terhadap penangkapan sampingan ini. Kehilangan individu dewasa tunggal dapat memiliki dampak signifikan pada pemulihan populasi mereka.
Dari sudut pandang ekonomi, penangkapan dan pembuangan ikan sia sia adalah bentuk pemborosan modal yang luar biasa. Setiap jam yang dihabiskan untuk menangkap ikan yang akhirnya dibuang adalah jam yang seharusnya digunakan untuk menangkap spesies target yang menguntungkan. Hal ini memengaruhi profitabilitas armada penangkapan ikan secara keseluruhan dan keberlanjutan ekonomi komunitas nelayan.
Perikanan modern sangat bergantung pada bahan bakar fosil. Energi yang digunakan untuk menarik jaring, mendinginkan tangkapan, dan berlayar kembali ke pelabuhan adalah biaya operasional yang substansial. Ketika persentase besar tangkapan (misalnya, 30-50% dari total biomassa) dibuang, maka sejumlah besar bahan bakar tersebut telah digunakan secara 'sia sia'. Studi menunjukkan bahwa pengurangan bycatch tidak hanya memperbaiki stok ikan, tetapi juga dapat meningkatkan margin keuntungan bersih nelayan dengan mengurangi waktu pemilahan, mengurangi kerusakan pada tangkapan utama (kualitas ikan), dan yang terpenting, mengurangi konsumsi bahan bakar yang tidak produktif.
Nilai ekonomi yang hilang bukan hanya harga pasar, tetapi juga potensi nilai tambah dari pengolahan. Ikan sia sia yang dibuang memiliki kandungan protein, minyak, dan mineral yang tinggi. Jika dimanfaatkan, mereka dapat diubah menjadi:
Ketika ikan-ikan ini dibuang, seluruh potensi industri pengolahan hilir dan penciptaan lapangan kerja di sektor tersebut juga ikut hilang. Ekonomi lokal di daerah pesisir yang rentan kehilangan kesempatan untuk diversifikasi pendapatan dari pengelolaan sumber daya yang seharusnya tersedia.
Di banyak negara berkembang, spesies ikan sia sia atau bernilai rendah sering kali merupakan sumber protein termurah dan paling terjangkau bagi masyarakat miskin. Praktik pembuangan yang dilakukan oleh kapal-kapal komersial besar sering menimbulkan konflik sosial dengan nelayan kecil tradisional yang bergantung pada spesies yang sama untuk konsumsi dan pasar lokal. Dari perspektif etika, membuang protein ke laut pada saat jutaan orang menghadapi kekurangan gizi adalah dilema moral dan sosial yang signifikan. Persepsi publik terhadap industri perikanan juga semakin negatif ketika gambar-gambar bycatch yang masif menjadi viral, menuntut transparansi dan praktik penangkapan yang lebih bertanggung jawab.
Pengurangan bycatch bukanlah pilihan, melainkan keharusan untuk memastikan keberlanjutan perikanan. Sejumlah teknologi dan strategi manajemen telah dikembangkan dan diterapkan di berbagai perikanan global, meskipun implementasinya memerlukan biaya dan penyesuaian regulasi yang signifikan.
Salah satu inovasi paling sukses adalah penggunaan TEDs, khususnya dalam perikanan udang pukat hela. TED adalah pintu jebakan atau kisi-kisi yang dipasang di bagian depan jaring. Kisi-kisi ini dirancang untuk membiarkan udang yang kecil lolos ke kantong jaring, sementara penyu yang ukurannya lebih besar atau bycatch besar lainnya diarahkan keluar melalui pintu pelarian yang terbuka. Penggunaan TEDs telah diwajibkan di banyak negara, termasuk Amerika Serikat dan Indonesia, dan terbukti sangat efektif dalam mengurangi penangkapan penyu tanpa mengurangi secara signifikan hasil tangkapan udang target. Meskipun demikian, desain TED harus disesuaikan dengan kondisi lokal dan karakteristik spesies bycatch spesifik.
BRDs adalah istilah umum untuk serangkaian modifikasi jaring yang dirancang untuk meningkatkan selektivitas. Ini bisa berupa panel jaring khusus dengan ukuran mata yang lebih besar (untuk membiarkan ikan juvenil lolos) atau jaring dengan bentuk kotak-kotak (square-mesh) yang lebih sulit menjerat ikan dalam posisi diagonal dibandingkan jaring bentuk berlian (diamond-mesh). Beberapa BRDs juga memanfaatkan perbedaan perilaku ikan. Misalnya, beberapa ikan pelagis cenderung berenang ke atas, sehingga pintu pelarian ditempatkan di bagian atas jaring, sementara ikan dasar (demersal) target tetap berada di bawah.
Penggunaan BRD (Bycatch Reduction Devices) untuk meningkatkan selektivitas alat tangkap dan mengurangi ikan sia sia.
Strategi manajemen yang efektif adalah menutup sementara area penangkapan yang diketahui menjadi tempat pemijahan (spawning grounds) atau tempat pemeliharaan juvenil (nursery grounds). Dengan melarang penangkapan pada waktu-waktu tertentu atau di lokasi tertentu, nelayan dapat menghindari bycatch juvenil dalam jumlah besar. Keberhasilan strategi ini sangat bergantung pada pemahaman ilmiah yang akurat mengenai siklus hidup ikan target dan spesies bycatch. Sistem pemantauan kapal (Vessel Monitoring Systems - VMS) dan teknologi geospasial sangat penting untuk penegakan larangan ini.
Filosofi Zero Waste Fishing (Perikanan Tanpa Limbah) bertujuan untuk memanfaatkan 100% dari seluruh biomassa yang tertangkap, termasuk bycatch dan residu pengolahan. Transformasi ini memerlukan investasi dalam teknologi pengolahan pasca-panen di darat dan perubahan perilaku di laut. Tujuan utamanya adalah memaksimalkan nilai ekonomi dari setiap kilogram tangkapan.
Volume terbesar ikan sia sia global saat ini diolah menjadi tepung ikan (Fish Meal/FM) dan minyak ikan (Fish Oil/FO). Meskipun FM dan FO sering dipandang sebagai produk bernilai rendah, permintaan global terhadapnya sangat tinggi, didorong oleh pertumbuhan pesat industri akuakultur (terutama budidaya udang dan salmon). Memastikan bahwa ikan sia sia lokal yang seharusnya dibuang diolah menjadi FM/FO dapat memberikan pendapatan tambahan yang signifikan bagi pelabuhan. Namun, penting untuk memastikan bahwa pemanfaatan ini tidak menciptakan tekanan penangkapan baru terhadap stok ikan kecil pelagis yang berfungsi sebagai mangsa kunci ekologis.
Pengembangan yang lebih maju melibatkan ekstraksi komponen bioaktif. Minyak ikan dari spesies tertentu dapat menjadi sumber asam lemak tak jenuh ganda (PUFA), termasuk DHA (Docosahexaenoic Acid) dan EPA (Eicosapentaenoic Acid). Komponen ini memiliki nilai farmasi dan nutrisi yang sangat tinggi. Bahkan, sisa kepala, tulang, dan kulit ikan sia sia dapat diekstraksi untuk menghasilkan kolagen, gelatin, dan kitin/kitosan (dari krustasea bycatch), yang semuanya memiliki aplikasi di industri kosmetik dan medis.
Silase ikan adalah produk cair yang dihasilkan dari fermentasi ikan sia sia menggunakan enzim atau asam. Proses ini relatif sederhana dan dapat dilakukan di skala komunitas nelayan kecil tanpa memerlukan pabrik pengolahan besar. Silase ikan sangat stabil dan memiliki kandungan protein yang tinggi, menjadikannya aditif pakan yang sangat baik untuk ternak, unggas, atau bahkan pakan ikan budidaya. Penerapan teknologi silase dapat secara signifikan mengurangi jumlah bycatch yang dibuang di kapal-kapal kecil yang tidak memiliki fasilitas pendinginan yang memadai, mengubahnya menjadi aset yang dapat dijual setelah kembali ke daratan.
Perluasan pasar domestik untuk spesies bernilai rendah adalah strategi kunci. Misalnya, beberapa jenis ikan Ponyfish (seperti Leiognathus spp.) yang sering menjadi bycatch dapat diolah menjadi produk olahan bernilai tinggi seperti surimi atau produk ikan fermentasi (misalnya peda atau pindang). Kampanye edukasi konsumen juga penting untuk mengubah persepsi bahwa ikan yang kecil atau yang biasanya dijadikan umpan tidak layak dikonsumsi. Dengan inovasi pengolahan dan pemasaran, ikan-ikan ini dapat mengisi celah protein di pasar lokal.
Meskipun solusi teknologi dan pemanfaatan telah tersedia, implementasi luas sering terhambat oleh faktor ekonomi, logistik, dan politik. Mengelola ikan sia sia memerlukan koordinasi antara nelayan, industri pengolahan, ilmuwan, dan regulator.
Masalah utama adalah infrastruktur. Sebagian besar ikan sia sia dihasilkan di kapal-kapal penangkap besar yang beroperasi di laut lepas selama berminggu-minggu. Menyimpan bycatch yang besar dan tidak berharga membutuhkan ruang freezer yang seharusnya dialokasikan untuk tangkapan target yang lebih mahal. Tanpa insentif ekonomi yang kuat, nelayan akan selalu memilih untuk membuang bycatch daripada menanggung biaya penyimpanan dan transportasi. Untuk mengatasi ini, diperlukan investasi dalam fasilitas pengolahan bycatch di pelabuhan pendaratan yang dekat, yang dapat membeli bycatch dengan harga minimal namun menjamin penyerapan seluruh volume.
Uni Eropa (UE) telah menerapkan kebijakan pendaratan wajib (Landing Obligation atau Discards Ban) yang mengharuskan nelayan membawa kembali ke darat sebagian besar spesies tangkapan, termasuk yang bernilai rendah, untuk menghindari pembuangan di laut. Walaupun niatnya baik—untuk memaksa nelayan menggunakan alat tangkap yang lebih selektif—implementasinya sangat menantang. Nelayan mengeluh tentang peningkatan biaya penanganan, kurangnya pasar untuk spesies yang tidak diinginkan, dan masalah penyimpanan di kapal. Kebijakan ini menekankan bahwa solusi terhadap ikan sia sia harus holistik, melibatkan perubahan alat tangkap *sebelum* penangkapan, bukan hanya penanganan *setelah* penangkapan.
Pemerintah harus secara ketat menegakkan regulasi ukuran minimum penangkapan (Minimum Landing Size/MLS). Ini memastikan bahwa ikan memiliki kesempatan untuk bereproduksi setidaknya sekali sebelum ditangkap. Selain itu, sistem kuota berbasis spesies dan zona penangkapan harus diterapkan, disertai dengan pemantauan dan pengawasan yang transparan, untuk mencegah penangkapan yang berlebihan yang menghasilkan ikan sia sia di luar batas yang ditetapkan secara ekologis.
Konsep ikan sia sia juga meluas ke sektor budidaya perairan (akuakultur), di mana kegagalan panen dan ikan kerdil seringkali menjadi sumber pemborosan sumber daya air, pakan, dan energi yang signifikan. Lebih jauh lagi, perubahan iklim mulai menghasilkan ikan sia sia dalam bentuk kematian massal yang tidak terhindarkan.
Dalam budidaya, ikan sia sia dapat berupa stok yang mengalami stunting (kekerdilan) atau stok yang mati secara massal karena penyakit atau perubahan kualitas air. Ikan yang kerdil seringkali tidak mencapai ukuran pasar yang diinginkan dalam jangka waktu optimal, sehingga harus dipanen dini dengan harga yang sangat rendah, atau dibuang. Mortalitas massal, yang sering terjadi pada budidaya intensif (misalnya kolam udang atau keramba jaring apung padat), merupakan pemborosan protein terbesar dalam akuakultur. Ini bukan hanya kerugian finansial; ini adalah kerugian protein yang seharusnya dapat dikonsumsi, hasil dari pakan yang mahal dan pengelolaan air yang intensif. Penyebabnya meliputi serangan virus (misalnya pada udang), fluktuasi suhu air yang ekstrem, atau ledakan alga beracun.
Peningkatan suhu permukaan laut, pengasaman laut, dan perubahan pola arus yang disebabkan oleh perubahan iklim menyebabkan tekanan ekologis baru. Fenomena kematian massal ikan di alam liar semakin sering terjadi. Misalnya, kenaikan suhu air dapat menyebabkan hipoksia (kekurangan oksigen) di lapisan air tertentu, memaksa ikan untuk berenang ke permukaan di mana mereka kemudian mati massal dan terdampar di pantai. Ikan-ikan yang terdampar ini, meskipun secara teknis bukan ‘bycatch’ nelayan, merupakan volume besar biomassa protein yang menjadi sia sia karena tidak dapat dipanen atau dimanfaatkan oleh manusia.
Perubahan iklim juga memengaruhi distribusi stok ikan. Spesies yang berpindah dari perairan tradisional ke perairan yang lebih dingin (fenomena tropicalization) seringkali menjadi tangkapan yang tidak terduga di daerah baru. Nelayan di wilayah utara yang tidak memiliki infrastruktur untuk menangani spesies tropis yang masuk ini mungkin akan membuangnya karena kurangnya pengetahuan pasar atau fasilitas pengolahan, menciptakan jenis ikan sia sia geografis yang baru.
Untuk mengatasi masalah ikan sia sia secara fundamental, perluasan pemikiran tentang apa yang ‘berharga’ harus dilakukan. Ini melibatkan analisis ekonomi mikro pada setiap bagian dari ikan yang biasanya dibuang, termasuk sisa-sisa pengolahan.
Mayoritas sisa pemotongan ikan, termasuk tulang, kepala, dan kulit, seringkali dianggap limbah. Namun, tulang dan kulit ikan adalah sumber kaya akan kolagen tipe I, yang semakin diminati dalam industri nutraceutical, kosmetik, dan biomedis. Kolagen ikan memiliki keunggulan dibandingkan kolagen mamalia karena tidak menimbulkan masalah keagamaan (seperti kolagen babi) dan memiliki risiko penularan penyakit yang lebih rendah. Proses ekstraksi kolagen memerlukan fasilitas yang mahal, tetapi hasil produk akhirnya memiliki nilai jual yang sangat tinggi, jauh melampaui harga ikan target awal.
Bahkan jeroan ikan, termasuk hati dan usus, dapat dimanfaatkan. Hati beberapa spesies ikan mengandung minyak yang sangat kaya akan vitamin A dan D. Enzim yang diekstrak dari saluran pencernaan ikan (misalnya tripsin dan pepsin) memiliki aplikasi penting sebagai bioreaktor dalam pemrosesan makanan atau industri farmasi. Pengumpulan dan pemrosesan limbah ini pada skala industri adalah langkah kritis dalam mencapai Zero Waste Fishing, mengubah biomassa yang tidak diinginkan menjadi komoditas khusus yang bernilai tinggi.
Perubahan mendasar dalam mengatasi ikan sia sia adalah pergeseran pola pikir dari 'membuang yang tidak berguna' menjadi 'memanen setiap bagian yang mungkin'. Ini adalah perubahan dari perikanan berbasis volume menjadi perikanan berbasis nilai. Setiap komponen ikan, sekecil apapun, memiliki nilai biokimiawi yang dapat dimanfaatkan.
Di Asia Tenggara, ikan pelagis kecil seperti ikan teri (anchovies), sardinela, dan scads merupakan bycatch atau spesies bernilai rendah yang sangat besar volumenya. Meskipun sebagian besar langsung dikonsumsi atau dikeringkan, terdapat sejumlah besar yang masih dibuang atau diolah menjadi tepung ikan mentah dengan kualitas rendah. Inovasi harus difokuskan pada pengolahan ikan-ikan ini menjadi produk yang lebih stabil dan memiliki masa simpan lebih lama, seperti pasta ikan konsentrat atau makanan siap saji yang diperkaya, sehingga mengurangi pemborosan pasca-panen yang disebabkan oleh penanganan yang buruk dan pembusukan.
Tidak semua ikan sia sia dibuang karena tidak bernilai; sejumlah besar protein dibuang karena kualitasnya menurun drastis dalam perjalanan dari laut ke darat. Ini dikenal sebagai pemborosan pasca-panen atau spoilage.
Ikan adalah produk yang sangat mudah rusak (perishable). Penurunan kualitas dimulai segera setelah penangkapan. Bycatch, terutama yang berupa ikan kecil, seringkali diabaikan dalam penanganan awal karena fokus utama adalah mendinginkan dan menyimpan spesies target. Karena ukurannya yang kecil dan rasio permukaan-volume yang tinggi, ikan kecil bycatch cepat mengalami peningkatan suhu, yang mempercepat aktivitas bakteri dan enzim autolisis. Dalam beberapa jam saja, ikan-ikan ini menjadi tidak layak konsumsi manusia, bahkan untuk diolah menjadi produk olahan. Kerusakan ini memaksa nelayan untuk membuangnya setibanya di pelabuhan atau menggunakannya sebagai pakan ikan lokal dengan nilai jual yang sangat rendah.
Untuk meminimalisir spoilage ikan sia sia, kapal-kapal harus dilengkapi dengan sistem pendingin yang memadai dan protokol penanganan bycatch yang terstruktur. Penggunaan es yang cukup, air laut berpendingin (Refrigerated Sea Water/RSW), atau bahkan sistem pembekuan cepat untuk tangkapan sampingan yang volumenya besar, sangat penting. Meskipun investasi awal tinggi, menjaga kualitas bycatch hingga didaratkan membuka pintu untuk pasar pengolahan nilai tambah, yang pada gilirannya menjustifikasi biaya penanganan tambahan di kapal.
Ikan sia sia yang berasal dari tangkapan jaring dasar (bottom trawl) seringkali tercampur dengan lumpur, puing-puing laut, dan bahkan sampah plastik. Kontaminasi fisik ini menurunkan daya tarik pasar dan meningkatkan biaya pembersihan. Dalam beberapa kasus, bycatch dari zona penangkapan yang terkontaminasi oleh limbah industri atau merkuri juga harus dibuang untuk mencegah risiko kesehatan masyarakat. Pengelolaan zona penangkapan dan upaya pembersihan laut dari sampah sangat terkait dengan pengurangan volume ikan sia sia yang disebabkan oleh kontaminasi.
Mengatasi tantangan ikan sia sia memerlukan pendekatan terpadu yang menggabungkan ilmu kelautan, ekonomi sirkular, dan komitmen politik yang kuat. Masa depan perikanan berkelanjutan harus dibangun di atas prinsip efisiensi maksimum dan pembuangan minimum.
Ilmuwan kelautan harus terus menyempurnakan pemodelan stok ikan yang tidak hanya berfokus pada ikan target, tetapi juga memperhitungkan dampak penangkapan bycatch terhadap keseluruhan jaring makanan (ecosystem-based fisheries management). Pemahaman yang lebih baik tentang migrasi juvenil, lokasi pemijahan, dan interaksi bycatch dengan predator puncak akan memungkinkan regulator untuk membuat keputusan penutupan area dan pemilihan alat tangkap yang lebih presisi, secara langsung mengurangi volume ikan sia sia yang tidak perlu.
Sertifikasi keberlanjutan pihak ketiga, seperti Marine Stewardship Council (MSC), memainkan peran penting dalam memberikan insentif pasar bagi perikanan yang mengurangi bycatch dan meningkatkan pemanfaatan tangkapan. Konsumen global semakin menuntut produk laut yang dihasilkan secara etis. Perikanan yang menunjukkan komitmen tinggi dalam mengurangi ikan sia sia akan mendapatkan akses pasar premium. Pemerintah dapat mendukung hal ini dengan memberikan subsidi atau insentif pajak bagi armada yang berinvestasi dalam BRDs atau teknologi pengolahan limbah di kapal.
Pada akhirnya, pengurangan bycatch dan pembuangan ikan sia sia bergantung pada perubahan budaya di kalangan nelayan. Edukasi yang berkelanjutan tentang dampak jangka panjang dari bycatch, manfaat ekonomi dari pemanfaatan nilai tambah, dan teknik penanganan ikan yang lebih baik sangat penting. Program pelatihan harus fokus pada penggunaan alat tangkap yang lebih selektif dan cara memproses bycatch bernilai rendah menjadi silase atau pakan, sebelum bycatch tersebut membusuk di kapal.
Dengan mengadopsi teknologi yang lebih cerdas, kebijakan yang lebih ketat, dan filosofi pemanfaatan penuh, sektor perikanan global dapat bertransisi dari era pemborosan menjadi era di mana setiap ikan yang ditangkap, terlepas dari nilai pasarnya, dimanfaatkan secara optimal. Hanya dengan demikian kita dapat menjamin bahwa sumber daya laut, yang merupakan penopang kehidupan miliaran orang, dapat terus diandalkan di masa depan. Upaya meminimalisasi ikan sia sia adalah sebuah investasi jangka panjang dalam kesehatan planet kita.