Mengenal Lebih Jauh Praktik Ikan Kena Tuba: Ancaman Senyap di Perairan Nusantara

Ilustrasi Ikan Kena Tuba Sebuah ilustrasi yang menggambarkan seekor ikan yang terbalik karena keracunan, dengan akar tanaman tuba yang menyebar di dalam air.

Visualisasi dampak racun (tuba) pada ekosistem perairan, menyebabkan kematian massal pada ikan.

I. Pendahuluan: Definisi dan Konteks Historis Praktik Tuba

Praktik penangkapan ikan menggunakan racun, atau yang lazim dikenal dengan istilah “tuba”, merupakan salah satu metode penangkapan ikan yang paling merusak ekosistem perairan tawar maupun laut dangkal di Indonesia. Meskipun secara turun-temurun dipraktikkan oleh beberapa komunitas adat dengan skala terbatas, penggunaan tuba kini telah bermutasi menjadi ancaman serius bagi keberlanjutan sumber daya ikan, terutama ketika diaplikasikan dengan bahan-bahan kimia modern dalam skala besar dan komersial.

Istilah 'tuba' sendiri berasal dari nama tanaman, yakni akar tuba (spesies Derris elliptica atau Derris malaccensis), yang mengandung senyawa alami beracun yang dikenal sebagai rotenone. Secara tradisional, akar ini ditumbuk dan dilarutkan dalam air, menyebabkan ikan-ikan di area tersebut pingsan atau mati, sehingga mudah dipanen. Namun, seiring perkembangan zaman, praktik ini telah beralih menggunakan bahan-bahan yang jauh lebih berbahaya dan destruktif, seperti pestisida, sianida, bahkan zat-zat kimia industri lainnya.

1.1. Akar Tuba: Antara Tradisi dan Kerusakan

Penggunaan akar tuba oleh masyarakat adat dahulunya seringkali terikat pada ritual tertentu dan dilakukan dengan kearifan lokal yang membatasi kerusakan. Praktik ini biasanya terbatas pada sungai-sungai kecil atau anak sungai yang sifatnya sementara, dan dosis yang digunakan cenderung tidak merusak seluruh siklus hidup ekosistem. Ada pemahaman tak tertulis bahwa racun tersebut harus larut dan hilang dalam waktu singkat untuk menjaga kelangsungan hidup populasi ikan di hulu atau hilir. Namun, perlu ditekankan bahwa meskipun tradisional, rotenone tetap merupakan racun yang spesifik membunuh biota air, dan skalanya yang kini meluas telah menghapus batas antara 'tradisional' dan 'destruktif'.

1.2. Transisi Menuju Bahan Kimia Sintetis

Globalisasi dan kemudahan akses terhadap zat kimia sintetis telah mengubah wajah praktik tuba secara drastis. Para pelaku kini sering beralih ke:

Transisi ini bukan hanya masalah bahan yang digunakan, tetapi juga masalah intensitas. Tujuan penubaan telah bergeser dari sekadar memenuhi kebutuhan subsisten menjadi eksploitasi komersial besar-besaran, yang secara langsung mengancam keanekaragaman hayati perairan Indonesia.

II. Biokimia Racun dan Mekanisme Kematian Ikan

Memahami bagaimana racun tuba bekerja adalah kunci untuk mengukur tingkat kerusakan ekologisnya. Zat-zat ini tidak hanya membunuh ikan besar yang menjadi target, tetapi juga mengganggu proses fisiologis fundamental pada semua organisme akuatik, bahkan dalam konsentrasi rendah.

2.1. Rotenone: Penghambat Respirasi Seluler

Rotenone, senyawa aktif dari akar tuba, adalah racun spesifik bagi ikan. Mekanisme kerjanya adalah sebagai berikut:

2.1.1. Target Spesifik Mitokondria

Rotenone bekerja sebagai inhibitor kuat terhadap Kompleks I (NADH dehidrogenase) dalam rantai transpor elektron yang terletak di membran mitokondria. Kompleks I ini sangat vital untuk memproduksi adenosin trifosfat (ATP), sumber energi utama sel. Ketika Kompleks I terhambat, proses fosforilasi oksidatif terhenti, yang menyebabkan kegagalan produksi energi seluler.

2.1.2. Manifestasi pada Ikan

Ikan adalah organisme yang sangat sensitif terhadap rotenone karena efisiensi penyerapan melalui insang. Ketika energi seluler gagal diproduksi, terjadi kegagalan sistem saraf dan otot. Ikan menunjukkan gejala awal seperti berenang tidak teratur, kehilangan keseimbangan (berputar-putar), kesulitan bernapas (dyspnea), dan akhirnya kelumpuhan total yang menyebabkan mereka mengambang di permukaan air. Meskipun mamalia dan burung kurang sensitif karena mekanisme metabolisme yang berbeda, biota air lain seperti udang dan serangga air tetap terpengaruh.

2.2. Sianida: Asfiksia Histotoksik

Sianida, biasanya digunakan dalam bentuk garam (KCN atau NaCN), adalah racun yang bekerja jauh lebih cepat dan mematikan pada skala yang lebih luas daripada rotenone.

2.2.1. Penghambatan Enzim Sitokrom Oksidase

Sianida berikatan kuat dengan ion besi dalam enzim Sitokrom C Oksidase (Kompleks IV), yang merupakan langkah terakhir dalam rantai transpor elektron. Dengan terhambatnya Sitokrom C Oksidase, sel tidak dapat menggunakan oksigen yang dihirup. Ini dikenal sebagai asfiksia histotoksik—kematian sel akibat ketidakmampuan menggunakan oksigen, meskipun oksigen tersedia di dalam darah.

2.2.2. Dampak pada Karang dan Benthos

Di perairan laut, penggunaan sianida sangat merusak. Selain menyebabkan ikan pingsan (sehingga mudah ditangkap untuk perdagangan ikan hias), sianida membunuh polip karang dan mikroorganisme dasar laut (benthos) yang sangat penting bagi kesehatan terumbu karang. Karang yang terpapar berulang kali mengalami pemutihan dan kematian permanen, mengubah ekosistem produktif menjadi "padang gurun" bawah air.

2.3. Residu dan Bioakumulasi

Salah satu bahaya terbesar dari penggunaan bahan kimia sintetis adalah masalah residu. Tidak seperti rotenone alami yang relatif cepat terdegradasi di bawah sinar matahari dan kondisi aerobik, pestisida organoklorin (jika digunakan) atau sianida meninggalkan jejak yang memicu efek berantai.

III. Dampak Ekologis Menyeluruh dari Praktik Penubaan

Praktik ikan kena tuba melampaui sekadar membunuh populasi ikan; ia menyebabkan kehancuran struktural pada seluruh ekosistem perairan. Dampak ini dapat dikategorikan menjadi kerugian langsung dan kerugian jangka panjang yang memicu krisis keanekaragaman hayati.

3.1. Mortalitas Massal dan Diskriminasi Spesies

Tuba adalah metode penangkapan ikan yang bersifat non-selektif. Ini berarti racun membunuh semua biota air, tanpa memandang ukuran, jenis, atau nilai ekonomisnya.

3.2. Kerusakan Habitat Dasar (Benthos)

Dasar perairan (substrat) dipenuhi oleh organisme benthos—serangga air, cacing, kerang, dan mikroorganisme—yang berfungsi sebagai pembersih alami, pengurai, dan sumber makanan vital bagi ikan.

3.3. Ancaman terhadap Karang dan Padang Lamun (Khusus Sianida)

Dalam konteks perairan laut, sianida menyebabkan kerusakan yang tak terpulihkan pada habitat utama.

3.4. Gangguan Kualitas Air

Meskipun racun akan terdilusi, efek sekunder dari penggunaan tuba dapat mengganggu kualitas air secara signifikan.

IV. Dimensi Sosial, Ekonomi, dan Kesehatan Masyarakat

Praktik penubaan tidak hanya menghancurkan alam, tetapi juga memicu konflik sosial dan membahayakan kesehatan masyarakat yang bergantung pada sumber daya perairan.

4.1. Konflik Sosial dan Kerugian Nelayan Tradisional

Nelayan yang menggunakan alat tangkap lestari (jala, pancing, bubu) secara langsung dirugikan oleh praktik tuba.

4.2. Risiko Kesehatan Manusia Akibat Konsumsi Ikan Terdampak

Ikan yang mati akibat racun (baik rotenone, sianida, atau pestisida) tetap memiliki potensi risiko jika dikonsumsi, meskipun tingkat risikonya bervariasi tergantung jenis racun.

4.2.1. Racun Rotenone

Meskipun rotenone memiliki toksisitas oral yang rendah pada manusia karena cepatnya proses metabolisme dan degradasi di lambung, konsumsi ikan mati dalam jumlah besar yang terpapar dosis sangat tinggi tetap tidak dianjurkan. Kekhawatiran utama adalah dampak neurotoksik potensial, meskipun kasus keracunan parah akibat konsumsi ikan tuba jarang terjadi. Namun, konsumsi ikan yang masih memiliki residu dalam jaringan lemak harus dihindari, terutama bagi anak-anak dan ibu hamil.

4.2.2. Bahaya Sianida dan Pestisida

Risiko terbesar datang dari sianida dan pestisida. Sianida yang digunakan untuk melumpuhkan ikan dapat meninggalkan residu, terutama jika ikan ditangkap dan dikonsumsi segera setelah terpapar. Konsumsi sianida, meskipun dalam dosis sublethal, dapat menyebabkan mual, sakit kepala, dan gangguan neurologis. Pestisida, dengan sifat bioakumulasinya yang tinggi, merupakan risiko kesehatan jangka panjang. Paparan kronis terhadap residu pestisida dikaitkan dengan potensi gangguan endokrin, kerusakan saraf, dan peningkatan risiko kanker.

4.3. Beban Ekonomi pada Pemerintah Daerah

Kerusakan yang diakibatkan oleh tuba membebani anggaran daerah. Upaya restorasi ekosistem, termasuk restocking (penaburan benih) dan rehabilitasi karang atau mangrove, memerlukan biaya yang sangat besar dan waktu yang lama. Selain itu, pemerintah juga harus mengeluarkan biaya untuk penegakan hukum, patroli, dan edukasi masyarakat, yang sejatinya dapat dialokasikan untuk pembangunan sektor lain jika sumber daya alam dikelola secara bertanggung jawab.

V. Regulasi dan Tantangan Penegakan Hukum di Indonesia

Pemerintah Indonesia telah lama menyadari bahaya praktik tuba dan telah mengeluarkan berbagai peraturan untuk melarangnya secara tegas. Namun, penegakan hukum sering kali menghadapi berbagai kendala di lapangan.

5.1. Landasan Hukum Nasional

Larangan praktik tuba diatur secara eksplisit dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.

5.1.1. Pasal 84 dan Sanksi Pidana

Pasal 84 ayat (1) secara tegas menyatakan: “Setiap orang dilarang melakukan penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan ikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merusak dan/atau mencemari lingkungan perairan dan/atau sumber daya ikan.”

Sanksi pidana bagi pelanggar sangat berat. Pelaku dapat dikenakan hukuman penjara maksimal 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp 1.200.000.000,00 (satu miliar dua ratus juta rupiah). Hukuman ini dirancang untuk memberikan efek jera, terutama bagi pelaku penubaan skala komersial.

5.2. Tantangan dalam Penegakan di Lapangan

Meskipun regulasi telah ada, penegakan di wilayah perairan yang luas dan terpencil di Indonesia menghadapi banyak hambatan.

5.3. Peran Institusi dan Koordinasi

Penanganan kasus tuba memerlukan koordinasi multi-sektor:

  1. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP): Bertanggung jawab atas pengawasan dan penindakan.
  2. Kepolisian Perairan dan Udara (Polairud): Mendukung operasi penangkapan dan penyelidikan.
  3. Dinas Perikanan Daerah: Melakukan sosialisasi dan pemberdayaan masyarakat untuk mencegah praktik ilegal.
  4. Pengadilan: Memastikan sanksi yang dijatuhkan benar-benar menimbulkan efek jera dan proporsional dengan tingkat kerusakan ekologis.

VI. Strategi Mitigasi, Konservasi, dan Restorasi Ekosistem

Untuk mengatasi krisis yang ditimbulkan oleh praktik ikan kena tuba, diperlukan pendekatan komprehensif yang melibatkan edukasi, pengawasan, dan restorasi aktif.

6.1. Pemberdayaan Masyarakat dan Pendekatan Sosial

Penegakan hukum saja tidak cukup. Solusi jangka panjang harus berakar pada perubahan perilaku masyarakat.

6.1.1. Ekowisata dan Diversifikasi Mata Pencaharian

Mengalihkan fokus ekonomi dari eksploitasi perikanan yang merusak ke sektor lestari, seperti ekowisata perikanan atau budidaya perikanan yang bertanggung jawab. Misalnya, mengedukasi nelayan tuba untuk beralih menjadi pemandu wisata memancing atau penjaga konservasi laut yang mendapat insentif dari pemerintah dan sektor pariwisata.

6.1.2. Penguatan Kearifan Lokal

Mendukung dan memperkuat kembali tradisi lokal yang melarang atau membatasi penangkapan ikan secara merusak (misalnya, tradisi 'Sasi' di Maluku atau larangan adat lainnya). Ketika larangan datang dari masyarakat itu sendiri, kepatuhan biasanya lebih tinggi daripada sanksi yang dipaksakan dari luar.

6.2. Inovasi Alat Tangkap dan Teknologi

Penyediaan dan pelatihan penggunaan alat tangkap yang lebih selektif dan efisien sangat penting untuk membuktikan bahwa nelayan dapat memperoleh hasil yang baik tanpa merusak lingkungan. Contohnya adalah penggunaan bubu (perangkap), pancing ulur, atau jaring insang dengan ukuran mata jaring yang sesuai standar.

6.3. Restorasi Ekosistem yang Terkena Dampak

Setelah insiden tuba, intervensi restorasi harus segera dilakukan untuk mempercepat pemulihan.

VII. Analisis Mendalam Studi Kasus Regional di Indonesia

Dampak praktik tuba bervariasi tergantung pada geografi, jenis racun yang digunakan, dan tingkat kesadaran masyarakat. Analisis studi kasus regional memberikan gambaran nyata mengenai skala ancaman ini di Nusantara.

7.1. Kasus Tuba Sianida di Perairan Terumbu Karang Sulawesi

Sulawesi, dengan keanekaragaman hayati laut yang tinggi, merupakan target utama praktik penangkapan ikan hias menggunakan sianida. Para penyelam ilegal menggunakan botol semprot yang berisi larutan sianida untuk menyemprot ikan-ikan karang, terutama yang memiliki nilai jual tinggi di pasar internasional (seperti kerapu dan ikan hias eksotik).

7.1.1. Pola Kerusakan Struktural

Di wilayah perairan sekitar Kepulauan Spermonde dan beberapa area di Teluk Tomini, terumbu karang yang sehat secara cepat berubah menjadi fragmen mati. Sianida membunuh polip karang dan juga organisme kecil yang membersihkan alga dari karang. Dalam jangka waktu kurang dari lima tahun, area yang dulunya merupakan kawasan perikanan tangkap produktif berubah menjadi ekosistem yang didominasi oleh alga, mengurangi daya tarik wisata selam, dan secara langsung mengurangi stok ikan konsumsi.

7.1.2. Respons Konservasi

Banyak komunitas di Sulawesi kini aktif membentuk kelompok Pengawas Masyarakat (Pokmaswas) yang bertugas berpatroli dan melaporkan kegiatan ilegal. Namun, tantangan logistik dan ancaman fisik dari pelaku ilegal bersenjata sering kali membuat tugas ini berisiko tinggi. Upaya restorasi karang di kawasan-kawasan ini menunjukkan pemulihan yang sangat lambat, membutuhkan dana konservasi yang terus-menerus.

7.2. Kasus Rotenone dan Pestisida di Sungai-sungai Kalimantan dan Sumatera

Di wilayah pedalaman yang kaya akan sungai dan rawa, seperti Kalimantan Tengah dan Sumatera Selatan, praktik tuba seringkali melibatkan akar tuba dan juga pestisida pertanian yang bocor atau dibeli secara sengaja untuk tujuan penangkapan ikan.

7.2.1. Ancaman terhadap Ikan Air Tawar Endemik

Sungai-sungai ini adalah rumah bagi spesies ikan air tawar endemik yang rentan, seperti Ikan Belida (Chitala Lopis) atau jenis-jenis Ikan Arwana (Scleropages formosus). Penggunaan racun di hulu sungai menghancurkan habitat pemijahan dan benih ikan, yang berakibat pada penurunan drastis populasi ikan bernilai ekonomi tinggi. Sebuah studi di salah satu anak Sungai Barito menunjukkan bahwa pasca-tuba, 90% larva ikan musnah dalam radius 5 km dari titik pelepasan racun.

7.2.2. Keterkaitan dengan Penggunaan Lahan

Di banyak kasus, racun tuba ini terkait erat dengan aktivitas pertanian dan perkebunan di sekitar sungai. Akses yang mudah terhadap pestisida yang seharusnya digunakan untuk membasmi hama tanaman dialihkan penggunaannya untuk ikan. Hal ini menunjukkan perlunya regulasi yang lebih ketat terhadap distribusi dan penggunaan bahan kimia pertanian.

7.3. Eksploitasi Tuba di Danau-danau Jawa

Meskipun Jawa memiliki kepadatan penduduk tinggi, danau dan waduk buatan di sana juga menjadi sasaran. Praktik ini seringkali didorong oleh kebutuhan mendesak untuk panen cepat.

7.3.1. Dampak pada Budidaya Keramba

Di waduk seperti Saguling atau Jatiluhur, penubaan tidak hanya merusak populasi ikan liar, tetapi seringkali digunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk merusak keramba jaring apung milik pembudidaya ikan lainnya. Racun dapat menyebar dan membunuh jutaan ikan budidaya dalam semalam, menyebabkan kerugian miliaran rupiah dan menciptakan ketidakstabilan ekonomi di kalangan pembudidaya.

7.3.2. Residu Kimia pada Air Minum

Danau dan waduk sering berfungsi ganda sebagai sumber air baku untuk air minum. Penggunaan racun, terutama pestisida persisten, menimbulkan risiko besar terhadap kualitas air yang dikonsumsi oleh jutaan penduduk, menuntut investasi yang lebih besar dalam sistem filtrasi dan pemantauan kualitas air oleh otoritas terkait.

VIII. Analisis Mendalam Mengenai Aspek Budaya dan Filosofis Tuba Tradisional

Meskipun fokus utama adalah bahaya racun modern, perlu kajian mendalam mengenai mengapa praktik tuba tradisional bertahan, dan bagaimana kearifan lokal masa lalu memiliki mekanisme pengendalian diri yang kini hilang.

8.1. Filosofi ‘Gotong Royong’ dalam Menuba

Dalam konteks tradisional, menuba seringkali merupakan aktivitas komunal, bukan individu. Ini dikenal di beberapa daerah sebagai ‘bekarang’ atau ‘mencari ikan bersama’. Pelaksanaannya diatur oleh pemuka adat (tetua adat) yang menentukan waktu, tempat, dan batas dosis racun.

8.2. Hilangnya Kontrol Adat (The Breakdown of Local Wisdom)

Di era modern, dua faktor utama menyebabkan runtuhnya kontrol adat terhadap praktik tuba:

Oleh karena itu, ketika kita membahas larangan praktik tuba, kita perlu memahami bahwa yang dilarang adalah aplikasi modern yang merusak dan komersial, bukan sekadar pelarangan total terhadap bahan alami yang mungkin masih menjadi bagian dari ritual subsisten komunitas tertentu, meskipun tetap harus diawasi ketat.

8.3. Analisis Etika Lingkungan

Dari sudut pandang etika lingkungan, praktik tuba — bahkan yang tradisional — melanggar prinsip kehati-hatian (precautionary principle) dan keberlanjutan. Praktik ini melibatkan intervensi yang drastis, membunuh biota air secara non-selektif, dan mengabaikan nilai intrinsik (nilai bawaan) dari spesies yang tidak memiliki nilai jual. Transisi ke alat tangkap lestari bukan hanya masalah ekonomi, tetapi juga masalah komitmen etis terhadap konservasi keanekaragaman hayati.

IX. Pendalaman Ilmu Toksikologi dan Degradasi Racun

Untuk memahami upaya restorasi, penting untuk mendalami bagaimana racun-racun ini berinteraksi dan terdegradasi di lingkungan perairan.

9.1. Kinetika Rotenone di Perairan

Rotenone memiliki keuntungan dibandingkan racun sintetis karena relatif cepat terdegradasi.

9.2. Persistensi Sianida

Sianida dalam bentuk bebas (CN-) di perairan memiliki toksisitas tinggi. Namun, nasibnya di lingkungan cukup kompleks:

Di laut, sianida dapat menguap (volatilisasi) sebagai hidrogen sianida (HCN) dari permukaan air, terutama jika pH air rendah (asam). Namun, sianida seringkali berikatan dengan logam berat di perairan (seperti tembaga atau besi) membentuk kompleks sianida. Kompleks-kompleks ini mungkin kurang toksik secara akut tetapi dapat bertahan lama dan terurai kembali menjadi sianida bebas di bawah kondisi kimia tertentu, menimbulkan ancaman residu yang berkepanjangan pada ekosistem karang.

9.3. Toksisitas Jangka Panjang Pestisida Organofosfat

Pestisida, seperti Malathion atau Diazinon (yang sering disalahgunakan), dirancang untuk membunuh serangga dan sangat mematikan bagi ikan. Mekanisme toksisitasnya melibatkan penghambatan enzim asetilkolinesterase, yang menyebabkan transmisi saraf yang tidak terkontrol, kejang, dan kelumpuhan (mirip dengan agen saraf).

Pengawasan terhadap jalur distribusi pestisida, terutama di wilayah dekat perairan sensitif, harus menjadi bagian integral dari strategi penanggulangan tuba.

X. Peningkatan Kapasitas Pengawasan dan Teknologi Forensik Akuatik

Meningkatkan kemampuan penegak hukum untuk mengidentifikasi, mendokumentasikan, dan menuntut pelaku tuba memerlukan investasi dalam teknologi dan pelatihan khusus.

10.1. Penggunaan Drone dan Pemantauan Jarak Jauh

Patroli fisik di perairan terpencil sangat mahal. Penggunaan Unmanned Aerial Vehicles (UAV) atau drone dilengkapi dengan kamera resolusi tinggi dapat meningkatkan efisiensi pengawasan. Drone dapat dengan cepat mengidentifikasi lokasi kapal atau aktivitas mencurigakan yang jauh dari jangkauan patroli konvensional.

10.2. Pengembangan Alat Uji Cepat di Lapangan (Field Test Kits)

Waktu adalah esensi dalam kasus tuba. Untuk mengatasi masalah pembuktian yang sulit, pengembangan dan penyediaan alat uji cepat (rapid detection test kits) untuk mendeteksi residu umum seperti sianida, rotenone, atau jenis pestisida tertentu di lokasi kejadian sangat krusial. Alat ini memungkinkan pengawas untuk mengumpulkan bukti yang sah secara hukum dalam waktu singkat sebelum racun terdilusi sepenuhnya.

10.3. Penguatan Forensik Lingkungan Akuatik

Tim forensik harus dilatih secara spesifik untuk kasus pencemaran perairan. Ini mencakup:

10.4. Pendidikan Hukum Khusus untuk Hakim dan Jaksa

Seringkali, kasus lingkungan gagal di pengadilan karena hakim dan jaksa kurang memahami kompleksitas kerusakan ekologis. Diperlukan program pelatihan khusus bagi aparat hukum untuk menghargai besarnya kerugian jangka panjang akibat praktik tuba, sehingga sanksi yang dijatuhkan benar-benar sesuai dengan ancaman ekologis yang ditimbulkan.

XI. Kesimpulan: Masa Depan Perikanan dan Konservasi

Praktik ikan kena tuba adalah manifestasi dari konflik antara kebutuhan ekonomi jangka pendek dan keberlanjutan ekologis jangka panjang. Dari penggunaan rotenone tradisional yang terkontrol hingga penyalahgunaan sianida dan pestisida modern, dampak yang ditimbulkan telah mencapai tingkat krisis di banyak wilayah perairan Indonesia.

Pemulihan stok ikan dan ekosistem yang rusak akibat tuba membutuhkan waktu puluhan tahun dan sumber daya yang sangat besar. Oleh karena itu, langkah pencegahan melalui penegakan hukum yang tegas, dibarengi dengan edukasi masyarakat yang intensif dan pengembangan mata pencaharian alternatif yang lestari, adalah satu-satunya jalan menuju konservasi perikanan yang berkelanjutan.

Masyarakat, pemerintah, dan penegak hukum harus bersatu untuk melindungi harta karun keanekaragaman hayati perairan Nusantara dari ancaman senyap ini. Masa depan sumber daya ikan Indonesia sangat bergantung pada pilihan yang kita ambil hari ini: apakah kita memilih eksploitasi cepat yang merusak, atau pengelolaan bertanggung jawab yang menjamin keseimbangan antara alam dan kesejahteraan manusia.