Ijmak Ulama: Pilar Konsensus dalam Syariat Islam

Simbol Konsensus Ulama الإجماع Al-Ijma'

Ijmak ulama, atau konsensus para mujtahid, merupakan salah satu fondasi utama dalam metodologi hukum Islam, dikenal sebagai ushul fiqh. Kedudukannya yang diakui secara luas menjadikannya sumber hukum Syariah ketiga, setelah Al-Qur'an dan Sunnah. Konsep ini adalah manifestasi kolektif dari otoritas keilmuan umat, memastikan bahwa interpretasi dan aplikasi hukum tetap relevan, stabil, dan sesuai dengan semangat dasar ajaran Islam.

Secara bahasa, Ijmak (الإجماع) berarti kesepakatan, tekad bulat, atau pengumpulan pendapat. Dalam konteks terminologi syariat, definisi yang paling umum diterima adalah kesepakatan seluruh ulama mujtahid dari kalangan umat Nabi Muhammad SAW pada suatu masa tertentu setelah wafatnya beliau, atas hukum syar’i mengenai suatu peristiwa atau masalah tertentu (waqi’ah).

Kepentingan Ijmak tidak hanya terletak pada penetapan hukum bagi masalah-masalah baru yang tidak memiliki nash eksplisit (teks) dalam Al-Qur'an atau Sunnah, tetapi juga berfungsi sebagai penguat dan penjelas (ta'kid dan bayan) terhadap hukum yang sudah ada. Keberadaan Ijmak menjamin adanya kestabilan dan kesatuan dalam praktik keagamaan di kalangan umat, sebuah keutamaan yang mutlak diperlukan dalam menghadapi keragaman pendapat individual.

Dasar Hukum (Hujjiyah) Ijmak

Para ulama ushul fiqh sepakat bahwa Ijmak adalah sumber hukum yang mengikat (hujjah qath'iyyah), meskipun terdapat perdebatan mengenai kriteria dan jenis Ijmak yang dapat mencapai tingkat kepastian absolut. Landasan utama otoritas Ijmak ditemukan dalam sumber-sumber syariat primer, terutama Al-Qur'an dan Hadis Nabi SAW. Konsensus ini menunjukkan bahwa Ijmak bukanlah sekadar pendapat mayoritas, melainkan suatu jaminan ilahi atas kebenaran kolektif umat.

Dalil dari Al-Qur'an

Ayat yang paling sering dijadikan sandaran utama dalam menetapkan legitimasi Ijmak adalah firman Allah SWT dalam Surah An-Nisa’ ayat 115:

"Dan barang siapa menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali." (QS. An-Nisa: 115)

Para ahli ushul fiqh berargumen bahwa ayat ini secara implisit melarang menentang 'jalan orang-orang mukmin' (غير سبيل المؤمنين). Jika 'jalan orang-orang mukmin' diartikan sebagai kesepakatan mereka atas suatu hukum (Ijmak), maka mengikuti jalan yang berbeda dari kesepakatan tersebut akan membawa kepada ancaman siksa neraka. Ini menunjukkan bahwa kesepakatan kolektif umat, yang diwakili oleh para mujtahid, adalah suatu kebenaran yang tidak boleh dilanggar. Menyelisihi Ijmak setara dengan menyelisihi perintah Allah dan Rasul-Nya, karena umat ini, secara keseluruhan, dijamin tidak akan bersepakat dalam kesesatan.

Dalil dari Sunnah Nabi SAW

Beberapa hadis Nabi Muhammad SAW juga memberikan legitimasi kuat terhadap Ijmak. Di antara hadis-hadis yang paling sering dikutip adalah:

Rukun dan Syarat Sahnya Ijmak

Ijmak tidak dapat diklaim terjadi kecuali terpenuhi rukun-rukun dan syarat-syarat tertentu yang sangat ketat. Ketatnya syarat ini menjamin bahwa Ijmak yang dihasilkan benar-benar merepresentasikan kebenaran syar’i, bukan sekadar pendapat pribadi atau kepentingan kelompok. Perbedaan pandangan antara mazhab-mazhab besar seringkali berpusat pada seberapa ketat syarat-syarat ini harus diterapkan dalam praktik.

Rukun-Rukun Pokok Ijmak:

  1. Adanya Mujtahid: Harus ada sekelompok ulama yang memenuhi kriteria ijtihad (mujtahid), yaitu memiliki pengetahuan mendalam tentang Al-Qur'an, Sunnah, bahasa Arab, Ushul Fiqh, dan ilmu-ilmu penunjang lainnya.
  2. Konsensus Seluruh Mujtahid: Kesepakatan harus melibatkan seluruh mujtahid yang hidup pada periode terjadinya masalah (waqi’ah). Mayoritas tidaklah cukup; yang dibutuhkan adalah kesepakatan menyeluruh. Inilah yang membedakan Ijmak dari sekadar pendapat jumhur (mayoritas).
  3. Kesepakatan Mengenai Hukum Syar’i Praktis: Kesepakatan harus berkaitan dengan hukum syar'i amali (hukum praktis, seperti wajib, haram, mubah), bukan sekadar masalah rasional atau akidah.
  4. Terjadi Setelah Wafat Nabi: Ijmak yang diakui sebagai sumber hukum independen hanya terjadi setelah masa kenabian, karena pada masa Nabi, Rasulullah SAW adalah sumber otoritas tertinggi yang dapat mengoreksi atau menguatkan pendapat.
  5. Kesepakatan Dinyatakan Jelas: Pendapat semua mujtahid harus diekspresikan, baik secara lisan, tulisan, maupun tindakan, menunjukkan persetujuan mereka.

Jenis-Jenis Ijmak dalam Ushul Fiqh

Ijmak dibagi menjadi beberapa jenis berdasarkan cara para mujtahid menyatakan kesepakatan mereka. Pembagian ini sangat penting karena memengaruhi tingkat kepastian hukum (hujjiyah) yang dihasilkan. Secara umum, Ijmak dibagi menjadi dua kategori utama, dengan perbedaan besar dalam kekuatan argumennya:

1. Ijmak Sarih (Ijmak Jelas/Eksplisit)

Ijmak Sarih (الإجماع الصريح) adalah kesepakatan yang terjadi ketika setiap mujtahid secara jelas menyatakan pendapatnya atau fatwanya mengenai suatu masalah, dan semua pendapat tersebut bersepakat pada satu hukum yang sama. Semua mazhab sepakat bahwa Ijmak Sarih merupakan Hujjah Qath'iyyah (dalil yang pasti dan mengikat secara absolut).

Karakteristik Ijmak Sarih:

2. Ijmak Sukuti (Ijmak Diam/Implisit)

Ijmak Sukuti (الإجماع السكوتي) terjadi ketika beberapa mujtahid mengeluarkan fatwa atau pendapat mengenai suatu masalah, dan fatwa tersebut tersebar luas, namun mujtahid lainnya yang mengetahui fatwa tersebut memilih untuk diam dan tidak menyatakan persetujuan atau penolakan mereka. Ini adalah jenis Ijmak yang paling banyak diperdebatkan di kalangan ulama ushul fiqh.

Perdebatan Mengenai Hujjiyah Ijmak Sukuti:

Perdebatan utama berkisar pada apakah diamnya mujtahid lain dapat diartikan sebagai persetujuan (ridha) ataukah hanya karena keengganan berpendapat (tawaqquf) atau ketakutan berargumentasi (khauf).

Meskipun demikian, dalam praktik modern, banyak lembaga fatwa seringkali bergantung pada semacam Ijmak Sukuti yang dimodifikasi, di mana kejelasan ketiadaan penolakan dari institusi keilmuan besar dianggap sebagai indikasi penerimaan umum.

Perkembangan Historis dan Feasibility Ijmak

Konsep Ijmak, meskipun idealnya mutlak, menghadapi tantangan praktis dan historis seiring dengan meluasnya wilayah Islam dan menjamurnya mazhab fiqh yang berbeda.

Ijmak Para Sahabat (Ijma' as-Shahabah)

Semua ulama sepakat bahwa Ijmak yang paling kuat dan tidak terbantahkan adalah Ijmak yang dicapai oleh para sahabat Nabi SAW. Hal ini dikarenakan kedekatan mereka dengan sumber syariat dan pemahaman mereka yang murni terhadap konteks nash. Ijmak Sahabat dianggap sebagai Ijmak Qath'i yang mengikat seluruh generasi setelahnya. Contohnya termasuk penetapan hukum waris certain, atau hukuman bagi peminum khamr.

Feasibility Ijmak Setelah Generasi Awal

Setelah generasi sahabat dan tabi'in, para ulama mulai mempertanyakan apakah Ijmak Sarih yang murni dan menyeluruh masih mungkin terjadi:

1. Pandangan Imam Syafi'i (Syafi'iyyah)

Imam Syafi'i dikenal sangat ketat dalam mendefinisikan dan menerima Ijmak. Ia menyatakan bahwa Ijmak yang secara definitif dapat dipastikan terjadi hanyalah Ijmak para sahabat. Setelah itu, dengan tersebarnya ulama ke berbagai penjuru dunia (Kufah, Bashrah, Madinah, Mesir), menjadi mustahil untuk melacak dan memastikan konsensus seluruh mujtahid. Ia skeptis terhadap klaim Ijmak setelah periode awal kecuali dalam kasus-kasus yang sangat terbatas.

2. Pandangan Imam Malik (Malikiyyah)

Imam Malik memiliki pandangan yang unik terkait Ijmak, khususnya mengenai Ijmak Ahl al-Madinah (Konsensus Penduduk Madinah). Bagi Imam Malik, praktik dan konsensus penduduk Madinah, terutama generasi tabi'in, memiliki otoritas yang lebih tinggi daripada Ijmak mujtahid di wilayah lain. Hal ini didasarkan pada keyakinan bahwa Madinah adalah tempat Nabi menetap dan tempat praktik Sunnah paling murni terpelihara. Namun, mayoritas ulama ushul menolak menjadikan Ijmak Ahl al-Madinah sebagai Ijmak universal yang mengikat di luar mazhab Maliki, karena Ijmak harus melibatkan seluruh umat, bukan hanya satu kota.

3. Pandangan Hanabilah dan Hanafiyah

Mereka cenderung lebih praktis dalam penerimaan Ijmak, meskipun tetap mengakui kesulitan mencapai Ijmak Sarih. Mereka seringkali mengandalkan Ijmak yang didasarkan pada dalil (Ijmak al-Mustanad), di mana konsensus itu sendiri adalah bukti adanya dalil yang jelas, meskipun dalil tersebut tidak dapat diidentifikasi secara pasti oleh generasi berikutnya.

Kedudukan Ijmak dalam Hierarki Sumber Hukum

Dalam teori Ushul Fiqh, Ijmak menempati posisi yang sangat tinggi, berada langsung di bawah Al-Qur'an dan Sunnah. Hierarki ini mencerminkan prinsip bahwa hukum harus berasal dari wahyu (nash) terlebih dahulu, dan Ijmak hanya datang untuk menetapkan hukum di mana nash tidak bersifat eksplisit, atau untuk memperkuat interpretasi nash.

Ijmak sebagai Pembatas Ijtihad

Setelah suatu hukum ditetapkan melalui Ijmak, para mujtahid di generasi berikutnya tidak lagi diizinkan untuk melakukan ijtihad mengenai masalah yang sama. Ijmak menutup pintu ijtihad (Sadd adz-Dzara’i' al-Ijtihadiyyah) pada poin tersebut, menjadikannya hukum pasti yang harus diikuti. Hal ini penting untuk mencegah kekacauan hukum dan memastikan konsistensi Syariat.

Ijmak berfungsi sebagai penjamin kebenaran. Ketika konsensus tercapai, ini menandakan bahwa semua jalur ijtihad yang mungkin telah ditutup dan semua bukti (adillah) telah dipertimbangkan, menghasilkan kepastian hukum yang tidak dapat diubah lagi. Kepastian ini adalah buah dari janji Nabi SAW bahwa umat ini tidak akan bersepakat atas kesesatan.

Hubungan Ijmak dengan Qiyas

Ijmak dan Qiyas (analogi) adalah dua sumber hukum yang berada pada tingkat yang berbeda. Qiyas digunakan untuk memperluas hukum dari nash ke masalah baru yang memiliki sebab hukum (illat) yang sama. Namun, jika Ijmak telah terjadi, maka Qiyas yang bertentangan dengan Ijmak tersebut harus ditolak. Ini menunjukkan superioritas Ijmak dalam hierarki dalil.

Ijmak sendiri kadang-kadang didasarkan pada Qiyas (analogi yang kuat). Jika suatu Ijmak didasarkan pada Qiyas, maka status Ijmak tersebut mungkin dianggap Zhanni (spekulatif) oleh sebagian kecil ulama. Namun, begitu Ijmak Sarih terbentuk, dasar dalilnya (apakah nash atau qiyas) tidak lagi relevan, dan yang mengikat adalah Ijmak itu sendiri.

Aplikasi Ijmak di Era Kontemporer

Meskipun kesulitan praktis untuk mencapai Ijmak Sarih universal telah diakui sejak berabad-abad yang lalu, konsep Ijmak tetap vital dalam fiqh kontemporer. Para ulama modern menginterpretasikan dan menerapkan semangat Ijmak melalui lembaga-lembaga fatwa kolektif.

Lembaga Fiqh Kolektif

Di era modern, Ijmak berusaha dicapai melalui konferensi dan majelis fiqh internasional dan nasional, seperti:

Keputusan yang diambil oleh lembaga-lembaga ini sering disebut Ijmak Mu'ashir (Konsensus Kontemporer) atau Qarar Jamai’ (Keputusan Kolektif). Meskipun secara definisi formal mungkin tidak memenuhi syarat ketat Ijmak seluruh mujtahid di dunia, keputusan kolektif ini membawa bobot otoritas moral dan legal yang sangat tinggi, berfungsi sebagai Ijmak dalam praktik modern (Ijmak 'Amali) untuk isu-isu baru seperti transaksi keuangan syariah, transplantasi organ, dan teknologi bioetika.

Tantangan dalam Mencapai Ijmak Kontemporer

Tantangan utama dalam mencapai Ijmak di masa kini meliputi:

  1. Globalisasi dan Keragaman Fiqih: Penyebaran mujtahid yang sangat luas dengan latar belakang mazhab yang berbeda.
  2. Kompleksitas Isu: Banyak isu kontemporer (misalnya, rekayasa genetika) yang memerlukan pengetahuan mendalam di bidang ilmu modern, yang mungkin tidak dimiliki oleh setiap ulama fiqh.
  3. Kurangnya Komitmen Universal: Tidak semua ulama dari semua mazhab terlibat dalam setiap majelis fatwa, sehingga konsensus yang dihasilkan mungkin hanya bersifat regional atau mazhabiah.

Oleh karena itu, banyak ulama modern membedakan antara Ijmak (yang dianggap telah selesai pada masa Salaf) dan Ittifaq atau Ghalabah al-Zhan (konsensus mayoritas yang kuat), yang merupakan hasil dari majelis fiqh saat ini. Walau demikian, dalam praktiknya, keputusan kolektif ini sering diperlakukan sebagai hukum yang mengikat oleh lembaga peradilan syariah.

Ijmak dan Konteks Masail Khilafiyah

Penting untuk dipahami bahwa Ijmak hanya berlaku untuk masalah-masalah yang disepakati secara menyeluruh. Jika suatu masalah masih menjadi perdebatan sengit di kalangan mujtahid—disebut Masail Khilafiyah (masalah perbedaan pendapat)—maka tidak ada Ijmak yang terjadi, dan umat diizinkan untuk mengikuti salah satu pendapat yang kuat (rajih) sesuai dengan mazhab mereka atau hasil ijtihad pribadi.

Banyak masalah yang pada pandangan pertama terlihat sebagai Ijmak, ternyata setelah diteliti lebih dalam, terdapat satu atau dua suara mujtahid yang menyelisihi. Keberadaan satu mujtahid yang menyelisihi (al-Mukhalif) sudah cukup untuk menggugurkan status Ijmak Sarih. Dalam kasus ini, hukum tersebut dikategorikan sebagai Khilafiyyah, dan bukan lagi merupakan hukum qath'i.

Ijmak sejati adalah benteng pertahanan umat Islam, sebuah titik kesatuan hukum yang memastikan bahwa tidak ada kebimbangan fundamental mengenai prinsip-prinsip Syariah. Ijmak menjamin bahwa pokok-pokok ibadah dan muamalah (seperti kewajiban shalat lima waktu, haramnya riba, dan keabsahan jual beli) akan selalu dipegang teguh oleh seluruh umat tanpa pengecualian.


Penegasan Mendalam Mengenai Konsep Istinbath dan Ijmak

Metode Istinbath al-Ahkam (pengambilan hukum) adalah proses kompleks yang melibatkan urutan logis dalam penggunaan dalil. Ijmak menempati posisi sentral dalam proses ini. Ketika seorang mujtahid menghadapi masalah baru (nawazil), langkah pertama selalu mencari nash (Al-Qur'an dan Sunnah). Jika nash tidak ditemukan atau bersifat ambigu, barulah dilakukan pemeriksaan terhadap Ijmak yang mungkin telah terjadi sebelumnya.

Ijmak sebagai Bentuk Ijtihad Kolektif

Ijmak dapat dipandang sebagai bentuk tertinggi dari Ijtihad, yaitu ijtihad kolektif. Sementara ijtihad individual (ijtihad fardiy) berpotensi mengandung kesalahan—karena "setiap mujtahid benar, atau salah dalam pandangan para ulama" (karena hanya satu yang tepat di sisi Allah)—Ijmak, dengan jaminan kenabian, dianggap terhindar dari kesalahan kolektif. Inilah yang memberikan Ijmak status hujjah qath'iyyah.

Pemahaman mengenai sumber utama (Al-Qur'an dan Sunnah) harus disaring melalui pemahaman kolektif, terutama generasi awal. Ijmak Sahabat merupakan interpretasi praktis dan konsisten terhadap wahyu. Menolak Ijmak Sahabat secara tidak langsung berarti menolak cara Sahabat memahami Al-Qur'an dan Sunnah, yang merupakan jalan yang paling dekat dengan petunjuk Nabi SAW.

Isu Kebolehan Ijtihad Kontra Ijmak

Secara mutlak, tidak diperbolehkan bagi seorang mujtahid di kemudian hari untuk melakukan ijtihad yang bertentangan dengan Ijmak yang telah ditetapkan secara sah (Ijmak Sarih Qath'i). Hukum yang telah disepakati melalui Ijmak dianggap telah final. Menyelisihi Ijmak Sarih dapat dianggap sebagai tindakan bid'ah atau bahkan kufur dalam beberapa kasus fundamental yang terkait dengan rukun Islam.

Namun, dalam kasus Ijmak Sukuti atau konsensus yang dalilnya diragukan (Ijmak Zhanni), beberapa ulama modern berpendapat bahwa ijtihad baru dapat dilakukan jika ada dalil yang lebih kuat (nash yang tegas) yang terungkap kemudian, meskipun ini adalah pandangan minoritas. Mayoritas ulama tetap berpegang pada prinsip bahwa Ijmak yang sah tidak dapat diganggu gugat.

Analisis Kritis Terhadap Syarat Ijmak

Kompleksitas dalam menetapkan suatu masalah sebagai Ijmak didorong oleh persyaratan ketat yang harus dipenuhi. Marilah kita telaah lebih jauh syarat-syarat tersebut:

1. Keterlibatan Seluruh Mujtahid (Istighraq)

Syarat mutlak ini, yang mengharuskan setiap mujtahid di seluruh dunia Islam pada periode tersebut menyepakati hukum, adalah alasan utama mengapa Ijmak murni sangat sulit dibuktikan pasca abad ketiga Hijriyah. Secara teoritis, jika ada satu mujtahid di Yaman atau Khurasan yang menolak, Ijmak itu batal. Kriteria ini memaksa para ulama untuk beralih pada bentuk 'konsensus mayoritas' atau membatasi klaim Ijmak pada masa-masa dan tempat-tempat tertentu saja.

2. Pengetahuan tentang Dalil (Mustanad al-Ijmak)

Ijmak harus didasarkan pada dalil syar’i, baik nash, qiyas, atau maslahat mursalah. Ijmak yang murni didasarkan pada akal semata tidak dianggap sebagai hujjah dalam fiqh. Para ulama sering menanyakan: apakah hukum ini didasarkan pada Ijmak yang mana dalilnya hilang (telah dilupakan), ataukah Ijmak tersebut adalah dalil itu sendiri?

3. Ijmak Harus Praktis dan Aktual (Waqi’ah)

Ijmak harus berkaitan dengan masalah yang telah terjadi dan memerlukan penetapan hukum. Tidak sah menetapkan Ijmak untuk masalah hipotetis yang belum pernah muncul. Ini memastikan bahwa upaya kolektif para mujtahid fokus pada kebutuhan hukum umat yang riil.

Peran dan Kekuatan Jaminan Umat (Ismah al-Ummah)

Inti dari otoritas Ijmak terletak pada konsep Ismah al-Ummah (perlindungan umat dari kesalahan kolektif). Ini adalah sebuah keyakinan teologis yang mendasari metodologi fiqh. Berbeda dengan Nabi SAW yang dilindungi dari kesalahan (Ismah al-Anbiya') secara individu, umat Islam dilindungi dari kesalahan hanya dalam kapasitas kolektif mereka, khususnya melalui kesepakatan para mujtahid.

Jaminan ini tidak berarti bahwa setiap individu muslim tidak dapat berbuat salah, atau bahkan seorang mujtahid tidak dapat keliru. Namun, ketika seluruh mujtahid, dengan proses ijtihad yang berbeda-beda, mencapai kesimpulan yang sama, maka jaminan kenabian (لا تجتمع أمتي على ضلالة) berlaku. Kesepakatan ini menjadi bukti bahwa hukum yang ditetapkan adalah hukum Allah yang dimaksudkan.

Oleh karena itu, Ijmak ulama bukan sekadar konsensus demokratis atau suara mayoritas manusiawi; ia adalah penemuan kolektif atas kehendak Ilahi yang tersembunyi di balik nash atau melalui jalan ijtihad yang sah.

Sub-Kategori Ijmak dan Konsekuensinya

Selain Sarih dan Sukuti, para ulama ushul sering membahas kategori Ijmak berdasarkan subjeknya:

a. Ijmak Qauli (Kesepakatan Perkataan)

Ketika mujtahid menyatakan hukum melalui fatwa lisan atau tertulis. Ini adalah bentuk Ijmak Sarih yang paling jelas.

b. Ijmak Fi’li (Kesepakatan Perbuatan)

Ketika mujtahid bersepakat melalui tindakan atau praktik mereka terhadap suatu masalah, meskipun mereka tidak secara eksplisit mengeluarkan fatwa. Contohnya, praktik pelaksanaan adzan dan iqamah yang disepakati secara fi’li oleh para Sahabat.

c. Ijmak Qabli (Ijmak Sebelumnya)

Merujuk pada konsensus yang telah dicapai oleh generasi sebelumnya. Ini adalah kategori Ijmak yang paling mengikat generasi berikutnya (al-Khalaf), yang wajib mematuhinya. Ini adalah inti dari prinsip bahwa Ijmak tidak dapat dibatalkan oleh ijtihad baru.

d. Ijmak Ba’di (Ijmak Setelahnya)

Merujuk pada konsensus yang dicapai oleh generasi mujtahid yang lebih baru. Kekuatannya bergantung pada apakah konsensus ini bertentangan atau menguatkan Ijmak Qabli. Jika bertentangan, maka Ijmak Ba'di tidak sah, kecuali terjadi perubahan signifikan pada konteks atau dalil asal, yang mana sangat jarang terjadi dan selalu diperdebatkan.

Ijmak dan Masa Depan Fiqh

Di masa depan, peran Ijmak cenderung akan bergeser dari penetapan hukum baru yang mutlak (Qath'i) ke arah standardisasi interpretasi (Taqnin al-Fiqh). Lembaga-lembaga fiqh kolektif akan terus bekerja untuk mencapai Ittifaq dalam rangka meminimalisasi perbedaan mazhab dalam isu-isu global seperti ekonomi syariah dan bioetika. Upaya ini memastikan bahwa walaupun Ijmak Sarih yang ideal sulit dicapai, semangat konsensus dan persatuan umat tetap dijaga.

Pengakuan terhadap Ijmak sebagai sumber hukum juga mencerminkan sifat dinamis dan responsif Syariah. Ijmak memungkinkan Syariah untuk menangani masalah baru tanpa harus menyimpang dari prinsip-prinsip dasar yang termaktub dalam Al-Qur'an dan Sunnah. Ketika menghadapi kekosongan hukum (faragh tasyri'i), Ijmak mengisi kekosongan tersebut dengan otoritas kolektif yang dijamin oleh wahyu.

Ijmak adalah bukti kekuatan keilmuan umat Islam, di mana keragaman individu dan mazhab disatukan dalam satu suara hukum. Ini adalah realisasi dari tanggung jawab kolektif para pewaris Nabi untuk menjaga dan menerapkan Syariat secara benar, adil, dan konsisten di setiap zaman dan tempat.

Penutup

Ijmak ulama adalah manifestasi kekuatan persatuan ilmu dan keimanan. Sebagai sumber hukum ketiga, ia menyediakan kepastian dan stabilitas hukum bagi umat Islam di seluruh dunia. Walaupun syarat untuk mencapai Ijmak Sarih sangat ketat, menjadikannya fenomena langka pasca periode sahabat, semangat konsensus ini terus hidup dalam kerja keras para mujtahid kontemporer melalui majelis fiqh. Memahami Ijmak berarti memahami bagaimana hukum Islam memastikan otoritas kebenaran kolektif di atas keragaman pendapat individual, menjaga Syariah tetap utuh dan relevan hingga akhir zaman.

Integrasi Lanjutan: Kedalaman Konsep Ijmak

Mempertimbangkan Ijmak dalam konteks yang lebih luas, kita harus mengakui bahwa keberhasilannya sebagai sumber hukum sangat bergantung pada definisi mujtahid. Kriteria untuk menjadi mujtahid adalah kunci, meliputi penguasaan bahasa Arab (terutama tata bahasa dan retorika), pemahaman ilmu nashikh dan mansukh (ayat yang menghapus dan dihapus), asbabun nuzul (sebab turunnya ayat), dan asbabul wurud (sebab munculnya hadis).

Jika ada satu ulama yang secara hakiki memenuhi syarat mujtahid tetapi tidak dilibatkan atau tidak menyatakan persetujuan, maka Ijmak yang diklaim akan cacat. Inilah beban pembuktian (burden of proof) yang sangat berat bagi mereka yang mengklaim telah terjadi Ijmak mutlak pada periode-periode setelah tiga generasi pertama Islam.

Debat mengenai Ijmak tidak hanya bersifat metodologis (ushuliy), tetapi juga memiliki implikasi teologis. Para teolog Mu’tazilah, misalnya, memiliki pandangan yang berbeda mengenai Ismah al-Ummah dibandingkan dengan Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Mayoritas Ahlus Sunnah, dari berbagai mazhab, percaya pada jaminan Ismah yang diberikan kepada umat secara kolektif, menjadikan Ijmak sebagai sumber hukum yang qath’i.

Dalam praktik historis, Ijmak sering kali dipandang melalui lensa mazhab. Ketika Mazhab Hanafi, misalnya, mengklaim Ijmak, klaim tersebut seringkali terbatas pada konsensus para ulama mazhab mereka sendiri atau ulama Kufah, bukan seluruh mujtahid global. Meskipun ini bukan Ijmak dalam arti terminologi ushul fiqh yang ketat, klaim ini tetap memiliki otoritas yang mengikat bagi pengikut mazhab tersebut.

Pentingnya membedakan antara Ijmak yang didasarkan pada nash qath'i (pasti) dan Ijmak yang didasarkan pada nash zhanni (dugaan kuat) adalah krusial. Ijmak yang didasarkan pada nash qath'i tidak mungkin salah. Sementara Ijmak yang didasarkan pada nash zhanni, meskipun mengikat, secara teoritis lebih rentan terhadap perdebatan mengenai interpretasi dalil dasarnya.

Namun, sekali lagi, keunikan Ijmak adalah bahwa setelah kesepakatan tercapai, para ulama umumnya berhenti menyelidiki dalil dasarnya, dan Ijmak itu sendiri menjadi dalil. Ini adalah mekanisme Syariah untuk bergerak dari perbedaan pendapat menuju kesatuan hukum, sebuah transisi dari kemungkinan (zhann) menuju kepastian (qath').

Ijmak dan Prinsip Maslahah

Dalam beberapa kasus, Ijmak dapat didasarkan pada prinsip Maslahah Mursalah (kemaslahatan yang tidak memiliki dalil spesifik). Contoh historis terkenal adalah Ijmak para Sahabat untuk membukukan Al-Qur'an. Tindakan ini tidak diperintahkan secara eksplisit dalam Al-Qur'an atau Sunnah, tetapi diyakini sebagai kemaslahatan mutlak yang diperlukan untuk menjaga agama. Ketika para Sahabat sepakat atas keharusan pembukuan Al-Qur'an demi maslahah, Ijmak ini menjadi hujjah yang qath'i, menunjukkan bahwa Maslahah Mursalah yang disepakati bersama oleh seluruh mujtahid dapat menjadi dasar hukum yang mengikat.

Dengan demikian, Ijmak ulama tidak hanya berfungsi sebagai mekanisme verifikasi hukum, tetapi juga sebagai alat adaptasi Syariah. Ia memungkinkan sistem hukum Islam untuk merespons kebutuhan zaman sambil tetap teguh pada fondasi teologisnya. Konsensus ulama adalah jaminan bahwa ijtihad yang dilakukan tetap berada dalam koridor Syariah yang otentik dan terpelihara.

Kesimpulan yang paling mendasar adalah bahwa Ijmak adalah sumber kestabilan dan keutuhan. Tanpa Ijmak, Syariah akan rentan terhadap fluktuasi pendapat individu yang tak terbatas. Ijmak adalah titik akhir dari pencarian hukum, sebuah penegasan bahwa pada isu-isu fundamental, umat Islam tidak dibiarkan tanpa bimbingan kolektif yang pasti.

Proses Ijmak, meskipun idealnya memerlukan pelibatan semua mujtahid, dalam praktiknya mencerminkan otoritas keilmuan di pusat-pusat peradaban Islam. Para mujtahid terdahulu memahami bahwa pencapaian Ijmak adalah tugas yang paling mulia, karena ia menghasilkan hukum yang berada di atas ijtihad individual. Penghormatan terhadap Ijmak terdahulu adalah ciri utama dari ortodoksi Islam dan penghindaran dari bid'ah dalam ranah hukum.

Setiap pembahasan mendalam mengenai ushul fiqh pasti akan kembali kepada Ijmak. Ini adalah poros di mana interpretasi teks diuji dan dikukuhkan. Tanpa pengakuan terhadap Ijmak, rantai pengambilan hukum dari sumber primer menjadi tidak lengkap dan terputus. Karenanya, dalam setiap lembaga fiqh dan setiap kajian hukum Islam, penelusuran terhadap apakah suatu masalah telah ditetapkan melalui Ijmak adalah langkah metodologis yang tidak pernah terlewatkan.

Pengakuan ini juga menuntut tanggung jawab yang besar bagi para mujtahid kontemporer. Mereka dituntut untuk bekerja sama, bertukar pandangan, dan berusaha keras mencapai kesepakatan kolektif, meskipun hanya bersifat Ittifaq, sebagai pengganti fungsional dari Ijmak Sarih yang hampir mustahil di era ini. Kesepakatan kolektif ini, atau apa yang sering disebut sebagai Ijmak Mu'ashir, adalah jembatan yang menghubungkan tradisi Ushul Fiqh klasik dengan realitas hukum modern.

Ijmak adalah pengejawantahan dari kebenaran yang bersumber pada jaminan kenabian, yang memperkuat keyakinan bahwa Allah tidak akan membiarkan umat Muhammad SAW bersepakat pada kesesatan. Doktrin ini, yang tertanam kuat dalam metodologi fiqh, menjadikan Ijmak sebuah otoritas yang tidak hanya bersifat hukum, tetapi juga teologis dan historis. Ia mewakili suara kolektif keilmuan Islam sepanjang masa.

Dalam memahami struktur Syariah, Ijmak adalah penjamin konsistensi. Ia mengamankan hukum-hukum esensial agar tidak menjadi subjek perubahan atau revisi berdasarkan selera atau pemahaman yang dangkal. Melalui Ijmak, stabilitas hukum dicapai, memungkinkan umat untuk beribadah dan bermuamalah dengan keyakinan penuh pada kepastian hukum Ilahi.

Konsensus para ulama, meskipun sulit dicapai secara total di setiap masa, adalah aspirasi tertinggi dalam ijtihad. Upaya untuk mencapainya adalah bentuk ibadah kolektif. Ijmak, oleh karena itu, tetap menjadi salah satu topik paling penting dan paling banyak dibahas dalam studi Ushul Fiqh, karena ia mendefinisikan batas antara otoritas yang mengikat (Qath'iyyah) dan ranah perbedaan pendapat yang diizinkan (Khilafiyyah Zhanniyyah).

Pembahasan mengenai Ijmak seringkali diperluas hingga mencakup konsep-konsep seperti Qawl ash-Shahabi (pendapat seorang sahabat) dan Ijmak al-Ahl al-Hall wa al-’Aqd (konsensus para pengambil keputusan). Walaupun Qawl ash-Shahabi bukan Ijmak, jika tidak ada satupun Sahabat yang menentang, maka ia mendekati Ijmak Sukuti yang memiliki bobot kuat, terutama bagi mazhab Hanbali.

Intinya adalah, Ijmak ulama adalah mekanisme verifikasi dan konsolidasi. Ia memastikan bahwa setelah segala daya upaya ijtihad dilakukan, hasilnya disaring dan disepakati oleh tubuh keilmuan umat, sehingga memberikan legitimasi tertinggi yang dapat dicapai setelah nash.

Kajian mendalam tentang Ijmak juga mencakup bagaimana ia bisa terbentuk. Tidak selalu Ijmak terjadi melalui pertemuan formal. Seringkali, Ijmak terjadi secara bertahap, ketika fatwa dari berbagai wilayah secara independen mencapai kesimpulan yang sama, dan tidak ada satupun suara ulama mujtahid yang menentang kesimpulan tersebut selama periode yang signifikan. Pembentukan Ijmak yang organik ini—meskipun sulit dibuktikan secara historis—menambah bobot teologisnya.

Ijmak adalah bukti bahwa kebenaran Syariah bersifat trans-individual. Hukum Islam tidak bergantung pada kecemerlangan satu individu saja, tetapi pada kecemerlangan kolektif umat yang diwakili oleh para pewaris kenabian, yaitu para ulama mujtahid. Penghormatan terhadap Ijmak adalah penghormatan terhadap integritas hukum Islam secara keseluruhan.

Dengan demikian, Ijmak bukan hanya sekadar teori ushul fiqh, melainkan pilar praktis yang menjaga kesatuan interpretasi dan aplikasi Syariah di tengah keragaman mazhab dan tantangan zaman. Konsensus ulama adalah pelabuhan yang aman bagi hukum Islam.

Pengkajian mendalam lebih lanjut harus menyentuh isu taqlid (mengikuti mazhab) dan kaitannya dengan Ijmak. Ketika Ijmak telah terbentuk, kewajiban bagi muslim awam (non-mujtahid) adalah melakukan taqlid qath'i (mengikuti secara pasti) terhadap hukum Ijmak tersebut, tanpa ada pilihan untuk mengikuti pendapat yang menyimpang, karena pendapat yang menyimpang dari Ijmak dianggap tidak sah secara syar’i.

Ijmak ulama, dalam segala bentuk dan tingkat kepastiannya, tetap merupakan harta karun metodologis yang memastikan kesinambungan dan validitas hukum Islam di setiap kurun waktu.