Konsep ibu susuan (Rådha'ah) adalah sebuah institusi sosial dan legal yang telah mengakar dalam berbagai peradaban selama ribuan tahun, namun mencapai dimensi teologis dan jurisprudensi yang mendalam dalam konteks Islam. Jauh melampaui sekadar penyediaan nutrisi, praktik ini membentuk ikatan kekeluargaan yang sakral, mengubah status individu, dan memetakan larangan perkawinan yang abadi. Artikel ini akan menelusuri secara komprehensif peran ibu susuan, meninjau relevansi historisnya, mengupas tuntas implikasi hukumnya dalam Fiqh, serta menganalisis bagaimana konsep ini berinteraksi dengan tantangan dan etika modern.
Secara harfiah, ibu susuan adalah seorang wanita yang menyusui anak orang lain. Dalam banyak masyarakat pra-modern, ibu susuan, atau sering disebut sebagai 'wet nurse', menjadi kebutuhan vital, terutama dalam situasi di mana ibu kandung meninggal, sakit, atau tidak mampu memproduksi ASI, atau bahkan karena tuntutan sosial dan status. Praktik ini bukan sekadar solusi biologis, tetapi sebuah mekanisme sosial yang memperluas jaringan dukungan keluarga dan komunitas.
Sejak zaman Mesir Kuno, peradaban Yunani, hingga Kekaisaran Romawi, keberadaan ibu susuan dicatat dalam dokumen sejarah dan artefak. Di kalangan bangsawan dan kerajaan, peran ini sering kali dipegang oleh wanita dari status sosial tertentu, yang menjamin anak kerajaan mendapatkan gizi terbaik sambil memungkinkan ibu kandung untuk segera kembali menjalankan tugas kenegaraan atau sosial. Hubungan antara anak yang disusui dan ibu susuannya seringkali berlangsung seumur hidup, ditandai dengan rasa hormat dan afiliasi yang mendalam.
Di Jazirah Arab, terutama di suku Quraisy, merupakan tradisi yang dihargai untuk mengirimkan bayi-bayi ke kawasan pedalaman gurun. Tujuan utama dari praktik ini adalah untuk mendapatkan udara yang lebih bersih, menjauhkan bayi dari penyakit kota, dan yang paling penting, agar bayi dapat tumbuh dengan kefasihan bahasa Arab murni dari para ibu susuan di kabilah-kabilah Badui. Contoh paling terkenal dari tradisi ini adalah Nabi Muhammad ﷺ yang disusui oleh Halimah As-Sa'diyah. Ikatan ini menunjukkan betapa kuatnya ikatan yang terbentuk; ikatan yang dihargai oleh masyarakat Arab hingga diakui dan dilegitimasi oleh syariat yang kemudian datang.
Dalam Islam, status ibu susuan diangkat dari sekadar perjanjian sosial menjadi dasar hukum yang memiliki konsekuensi abadi, khususnya dalam hal pembentukan mahram. Fiqh (yurisprudensi Islam) menetapkan bahwa menyusui di bawah kondisi tertentu menciptakan ikatan yang setara dengan hubungan darah (nasab) dalam hal larangan pernikahan. Prinsip mendasarnya adalah: "Apa yang diharamkan karena nasab, diharamkan pula karena susuan."
Agar susuan dapat membentuk mahramiyyah (hubungan kemahraman), para ulama Fiqh (fuqaha) dari berbagai mazhab menetapkan serangkaian syarat ketat. Perbedaan mendasar antar mazhab seringkali terletak pada kuantitas dan waktu pemberian susuan.
Kesepakatan mayoritas ulama (Jumhur) menetapkan bahwa susuan hanya menghasilkan kemahraman jika terjadi selama anak masih berada dalam masa menyusui. Batasan ini didasarkan pada firman Allah SWT dalam Surah Al-Baqarah ayat 233, yang menyebutkan penyusuan sempurna selama dua tahun (haulain kamilain). Oleh karena itu, jika seorang anak telah melewati usia dua tahun penuh, susuan yang ia terima tidak akan membentuk ikatan mahram, karena ASI yang dikonsumsi dianggap sebagai makanan biasa, bukan nutrisi primer yang membentuk perkembangan fundamental.
Ini adalah titik perbedaan terbesar di antara mazhab-mazhab besar Islam, yang menentukan keabsahan dan kekuatan ikatan Rådha'ah:
Pendapat yang dipegang kuat oleh Mazhab Syafi'i dan Hanbali, serta didukung oleh riwayat Aisyah r.a., adalah bahwa mahramiyyah hanya terbentuk setelah anak menyusu sebanyak lima kali susuan yang terpisah dan mengenyangkan (khams radha’at ma’lumat). Ini berarti setiap sesi susuan harus benar-benar dihitung sebagai satu kali, dan anak harus melepaskan puting dengan kemauan sendiri atau setelah merasa kenyang.
Riwayat ini menjadi dasar hukum utama bagi Mazhab Syafi'i, menekankan bahwa kuantitas yang sedikit atau sesekali tidak cukup untuk membentuk ikatan kekeluargaan yang permanen. Penetapan angka lima ini menunjukkan ketelitian syariat dalam membedakan antara susuan yang sekadar lewat dan susuan yang benar-benar memiliki implikasi hukum keluarga.
Sebaliknya, Mazhab Hanafi dan Maliki umumnya berpendapat bahwa hanya diperlukan satu kali susuan saja (sekali tetes atau sekali minum) yang sampai ke perut anak. Bagi mereka, sekali susuan yang terjadi dalam batas waktu dua tahun sudah cukup untuk menetapkan ikatan kemahraman, tanpa perlu mencapai hitungan lima kali. Dasar pemikiran ini adalah bahwa efek biologis dan spiritual dari air susu sudah tercapai, sehingga hukumnya berlaku. Namun, Mazhab Maliki menambahkan syarat bahwa susuan harus mencapai perut anak dengan pasti, bukan hanya melalui sisa di mulut.
Karena implikasi larangan pernikahan yang sangat serius, penetapan adanya hubungan ibu susuan harus didasarkan pada kepastian. Jika ada perselisihan, diperlukan kesaksian yang dapat dipercaya atau pengakuan dari pihak-pihak terkait. Dalam banyak kasus, khususnya pada zaman modern, dokumentasi medis atau pengakuan orang tua kandung dan ibu susuan menjadi penting untuk mencegah terjadinya pernikahan yang tidak sah secara syariat.
Konsep yang paling kompleks dan paling penting dalam hukum ibu susuan adalah perluasan jaringan mahram. Anak yang disusui (disebut Ar-Radhi') menjadi "anak" dari ibu susuan (Al-Murdhi'ah) dan "anak" dari suami ibu susuan (yang disebut pemilik air susu, karena air susu biasanya dianggap berasal dari kehamilannya). Semua garis keturunan dan hubungan sampingan dari kedua belah pihak ini terpengaruh.
Anak yang disusui haram menikah dengan:
Singkatnya, anak susuan itu memiliki kedudukan yang sama persis dengan anak kandung (kecuali dalam beberapa hal warisan dan nafkah yang tidak diwajibkan secara mutlak).
Hubungan mahram juga meluas ke samping, menciptakan kompleksitas dalam pernikahan:
Meskipun efek hukum Rådha'ah sangat luas, ada beberapa batasan penting yang membedakannya dari nasab:
Selain implikasi hukum, peran ibu susuan secara sosial memiliki dimensi etis dan psikologis yang mendalam. Dalam tradisi Islam, menghormati ibu susuan adalah sebuah kewajiban moral, sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad ﷺ kepada Halimah As-Sa'diyah.
Saat seorang wanita setuju menjadi ibu susuan, ia memikul tanggung jawab yang besar, tidak hanya memberikan nutrisi fisik tetapi juga transfer etika dan moral. Para ulama zaman dahulu sering menekankan pentingnya memilih ibu susuan yang salehah, berakhlak mulia, dan sehat, karena diyakini bahwa kualitas air susu dapat membawa pengaruh spiritual dan karakter pada bayi.
Penyusuan adalah sebuah amanah. Ibu susuan harus memastikan bahwa bayi mendapatkan hak susunya secara penuh dan adil, sebagaimana disepakati dengan orang tua kandung. Dalam masyarakat tradisional, perjanjian susuan ini seringkali disertai dengan kontrak sosial yang jelas, mencakup durasi, kompensasi (jika ada), dan harapan terhadap perawatan anak.
Meskipun anak susuan tumbuh dan kembali kepada orang tua kandungnya, ikatan emosional yang terbentuk selama masa krusial dua tahun pertama kehidupan seringkali tak terhapuskan. Ikatan ini diakui secara sosial dan dihormati dalam keluarga. Saudara-saudara susuan seringkali memiliki hubungan dekat, saling mengunjungi, dan berbagi dalam acara keluarga, memperluas jangkauan afeksi dan solidaritas.
Penghormatan terhadap ibu susuan bukan hanya sekadar etiket, tetapi cerminan dari pengakuan terhadap peran vitalnya dalam kelangsungan hidup dan pembentukan identitas anak. Mengabaikan atau meremehkan ikatan ini dianggap bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan spiritualitas dalam Islam.
Di era kontemporer, praktik ibu susuan secara tradisional semakin jarang, terutama di lingkungan perkotaan yang modern. Namun, kebutuhan untuk menyediakan ASI bagi bayi yang tidak dapat disusui oleh ibu kandungnya tetap ada, memunculkan tantangan baru, terutama terkait etika dan penentuan mahram.
Kemunculan Bank ASI (Human Milk Banks) sebagai solusi medis modern telah memunculkan perdebatan Fiqh yang intens. Bank ASI mengumpulkan, memproses, dan mendistribusikan ASI dari berbagai donor kepada bayi-bayi yang membutuhkan, seperti bayi prematur atau bayi dengan kondisi medis tertentu. Pertanyaan mendasarnya adalah: Apakah ASI yang dicampur dan didistribusikan secara kolektif ini membentuk ikatan mahram?
Pendapat ulama kontemporer terbagi:
Oleh karena itu, dalam konteks Islam, Bank ASI umumnya hanya direkomendasikan untuk kasus medis yang sangat darurat, di mana penyelamatan nyawa bayi lebih diutamakan, dan dengan persyaratan bahwa keluarga penerima harus berusaha keras mencatat identitas donor jika memungkinkan, atau menghindari pernikahan dengan keluarga yang berpotensi memiliki hubungan susuan.
Jika praktik ibu susuan dilakukan secara individual (bukan melalui Bank ASI), kewajiban utama adalah dokumentasi. Orang tua kandung dan ibu susuan harus mencatat secara terperinci:
Dokumentasi ini sangat penting untuk diteruskan kepada anak susuan agar mereka mengetahui daftar mahramnya di masa depan. Kegagalan dalam mencatat riwayat susuan dapat menimbulkan kesulitan hukum dan dilema etis puluhan tahun kemudian.
Hukum susuan memiliki detail yang luar biasa kompleks. Untuk mencapai pemahaman mendalam, kita harus menelusuri beberapa kasus spesifik yang sering menjadi pertanyaan dalam yurisprudensi Islam.
Apakah susuan harus melalui puting secara langsung? Ulama sepakat bahwa jika ASI diperah dan diberikan kepada bayi melalui botol, sendok, atau pipa (seperti dalam kasus medis), selama ASI tersebut mencapai lambung anak dan terjadi dalam masa dua tahun, hukum mahram tetap berlaku. Bentuk penyampaian ASI tidak mengubah substansi hukum, asalkan materialnya adalah air susu manusia.
Siapakah "Ayah Susuan" jika wanita yang menyusui belum pernah menikah atau tidak memiliki suami saat menyusui? Mayoritas ulama berpendapat bahwa air susu manusia selalu berasal dari proses kehamilan, yang mana kehamilan tersebut pasti disebabkan oleh seorang laki-laki (kecuali kasus yang sangat langka yang tidak relevan di sini). Jika wanita itu janda atau bercerai, air susu itu berasal dari suaminya yang telah meninggal atau diceraikan. Laki-laki inilah yang secara hukum dipertimbangkan sebagai "Ayah Susuan," dan anak-anaknya dari pernikahan itu menjadi saudara susuan.
Namun, jika seorang wanita hamil dari perzinaan (naudzubillah), dan kemudian menyusui, maka ia menjadi ibu susuan. Dalam pandangan ulama, anak susuan tetap menjadi mahram bagi wanita itu dan anak-anak kandungnya, tetapi tidak ada "Ayah Susuan" yang sah secara hukum, karena perzinaan tidak membentuk ikatan pernikahan. Konsekuensi mahram hanya akan berlaku pada sisi Ibu Susuan dan keturunannya saja.
Jika ASI dicampur dengan zat lain, misalnya air, gula, atau obat, sebelum diberikan kepada bayi, apakah hukum susuan tetap berlaku? Para fuqaha menetapkan bahwa hukum susuan tetap berlaku selama proporsi ASI mendominasi campuran tersebut. Jika ASI hanya setetes dan sisanya adalah air, maka diragukan keabsahan mahramnya. Namun, karena sulit menentukan proporsi dominan, sebagian ulama berhati-hati dan menyarankan agar tetap menghindari pernikahan dengan keluarga tersebut (ihtiyat), kecuali jika benar-benar yakin bahwa proporsi ASI sangat sedikit atau tidak berpengaruh.
Kompleksitas ini semakin relevan dalam kasus Bank ASI, di mana susu dari beberapa donor dicampur dalam satu wadah, menghilangkan kemungkinan melacak lima kali susuan yang mengenyangkan dari satu individu, atau bahkan memastikan dominasi ASI murni dari satu sumber.
Filosofi di balik hukum Rådha'ah adalah pengakuan terhadap pengaruh biologis dan psikologis air susu. Para ahli biologi modern mungkin tidak mengakui ikatan genetik yang sama dengan nasab, tetapi mereka mengakui peran vital nutrisi awal dalam pembentukan sistem kekebalan dan perkembangan emosional bayi. Islam mengakui adanya 'hubungan lain' yang lahir dari kedekatan fisik dan nutrisi, yang menciptakan keintiman setara dengan ikatan darah.
Tujuan utama dari penetapan mahram susuan adalah untuk melindungi masyarakat dari pernikahan yang secara spiritual atau emosional terasa tidak pantas (incest). Karena anak yang disusui tumbuh dalam asuhan dan menerima bagian tubuh (susu) dari wanita tersebut, keintiman hubungan ini mengharuskan adanya penghormatan dan larangan pernikahan yang sama dengan yang diberikan kepada ibu kandung.
Larangan pernikahan ini juga berfungsi sebagai pencegah keraguan di masa depan. Dengan hukum yang jelas dan kaku, masyarakat dapat hidup dalam kepastian hukum keluarga, mencegah pernikahan yang berpotensi melanggar syariat dan menghancurkan keharmonisan keluarga.
Dalam konteks sosial modern, di mana mobilitas tinggi dan jarak antar keluarga semakin jauh, risiko melupakan ikatan susuan meningkat. Oleh karena itu, tanggung jawab untuk menyimpan catatan dan menginformasikan generasi berikutnya mengenai hubungan mahram susuan menjadi sangat penting. Ini adalah bagian dari menjaga nasab (keturunan) yang diwajibkan dalam Islam.
Jika seorang laki-laki ingin menikahi seorang wanita, dan ada potensi hubungan susuan, ia wajib melakukan penyelidikan yang mendalam. Kecurigaan atau keraguan sedikit pun mengenai adanya hubungan susuan harus ditindaklanjuti dengan konsultasi kepada ulama, dan seringkali, disarankan untuk menghindari pernikahan tersebut sebagai langkah kehati-hatian (ihtiyat).
Meskipun aspek hukum adalah yang paling mendominasi diskusi Fiqh, aspek psikologis tidak boleh diabaikan. Bagi bayi, ibu susuan adalah sosok yang memberikan kenyamanan dan makanan, menjadikannya figur attachment yang mendalam. Ikatan ini—walaupun bukan ikatan genetik—adalah fondasi bagi kepercayaan dan kasih sayang yang tulus. Pengakuan syariat terhadap ikatan ini menegaskan bahwa kasih sayang yang diberikan oleh ibu susuan memiliki nilai yang setara dengan kasih sayang ibu kandung dalam membentuk kerangka hubungan yang haram untuk dinodai oleh pernikahan.
Institusi ibu susuan, dengan segala kerumitan hukum dan kedalaman sejarahnya, berfungsi sebagai pengingat akan pentingnya kasih sayang dan nutrisi di masa awal kehidupan. Ia mengajarkan bahwa ikatan kekeluargaan tidak selalu harus dibatasi oleh darah semata, tetapi juga dapat dibentuk melalui tindakan welas asih dan pemberian yang suci.
Pentingnya pelestarian informasi mengenai ibu susuan dan pemahaman yang benar tentang Fiqh Rådha'ah menjadi semakin krusial di dunia modern yang serba cepat, memastikan bahwa prinsip-prinsip syariat tetap terjaga demi menjaga kesucian nasab dan keutuhan keluarga Muslim.
Keseluruhan tinjauan ini menunjukkan bahwa ibu susuan bukan hanya bagian dari sejarah, melainkan sebuah subjek hukum Islam yang hidup dan relevan, menuntut kehati-hatian, kepastian, dan penghormatan yang mendalam dari setiap Muslim.
***
Untuk memahami sepenuhnya bagaimana mahram susuan ditetapkan, penting untuk kembali ke perbedaan mendasar antar mazhab, khususnya terkait kuantitas. Perbedaan ini bukan hanya masalah akademis, tetapi memiliki implikasi praktis yang besar bagi umat Islam di berbagai belahan dunia.
Mazhab Hanafi berpegang pada prinsip umum bahwa jika sesuatu telah mencapai perut, maka efek hukumnya telah terjadi. Mereka berdalil bahwa hadis dan ayat Al-Qur'an secara umum berbicara tentang "menyusui" (radha'ah) tanpa menetapkan batasan jumlah. Bagi mereka, sekali susuan sudah cukup. Dalil utama mereka adalah keumuman ayat Al-Qur'an, yang menyatakan bahwa ibu yang menyusui anak adalah ibu susuan, tidak mensyaratkan frekuensi. Selain itu, mereka berpendapat bahwa sulit bagi masyarakat awam untuk menghitung dan memastikan lima kali susuan yang mengenyangkan, sehingga syariat haruslah mudah diterapkan.
Namun, dalam pandangan Mazhab Hanafi, susuan tersebut harus memiliki dampak nyata, artinya air susu harus benar-benar masuk ke tenggorokan bayi dan mencapai perut. Jika bayi hanya mengisap, tetapi tidak ada yang tertelan, maka tidak terbentuk mahram. Pendekatan ini menekankan pada subtansi biologis dan minimnya kesulitan dalam pembuktian.
Mazhab Syafi'i dan Hanbali menjadikan hadis sahih dari Aisyah r.a. sebagai dalil pokok. Aisyah r.a. meriwayatkan bahwa awalnya hukum susuan yang mengharamkan adalah sepuluh kali, kemudian dihapuskan (mansukh) dan diganti menjadi lima kali susuan yang terpisah dan diketahui (khams radha'at ma'lumat). Hadis ini dianggap sebagai penetapan spesifik (takhshish) yang mengkhususkan keumuman ayat Al-Qur'an tentang menyusui.
Para pengikut mazhab ini berargumen bahwa penetapan angka lima memberikan kepastian hukum yang tinggi. Mereka menegaskan bahwa jika syariat menetapkan angka tertentu, maka angka tersebut harus dipatuhi. Definisi "satu kali susuan" di sini juga ketat: ini adalah saat bayi mulai menyusu hingga ia melepaskan puting dengan sukarela, baik karena kenyang atau karena berpindah ke aktivitas lain, sebelum kembali menyusu lagi. Jika ia berhenti sesaat untuk bernapas, itu masih dihitung sebagai satu kali.
Penekanan pada 'lima kali' juga mencerminkan perlindungan terhadap ketidakpastian. Mereka berpendapat, jika hanya satu kali saja sudah mengharamkan, maka banyak orang akan kesulitan mengingatnya, sehingga dapat menimbulkan keraguan (syubhat) dalam banyak pernikahan.
Mazhab Maliki umumnya sejalan dengan Hanafi, bahwa susuan yang sedikit (sekali) sudah cukup. Namun, Mazhab Maliki sangat ketat dalam hal batasan usia. Mereka sangat menekankan bahwa jika anak sudah melewati masa perkembangan yang fundamental (sekitar dua tahun), susu yang diminum tidak lagi memiliki efek pembentukan mahram. Sebagian ulama Maliki bahkan memperbolehkan hingga anak mulai makan, asalkan nutrisi utama mereka masih berupa ASI, namun batas dua tahun tetap menjadi pijakan utama.
Dalam masyarakat yang memiliki keragaman mazhab, bagaimana seseorang harus bertindak? Umumnya, ulama kontemporer menyarankan untuk mengikuti pandangan yang paling berhati-hati (ihtiyat). Karena Mazhab Syafi'i dan Hanbali mensyaratkan lima kali, dan Mazhab Hanafi/Maliki mensyaratkan minimal satu kali, maka jika terjadi lima kali susuan yang pasti dalam masa dua tahun, semua mazhab sepakat bahwa mahram telah terbentuk. Jika terjadi kurang dari lima kali, maka seseorang yang menganut mazhab Syafi'i tidak akan menganggapnya mahram, sementara yang bermazhab Hanafi akan menganggapnya demikian. Dalam kasus keraguan pernikahan, memilih pandangan yang mengharamkan (Hanafi/Maliki) sering dianggap lebih aman untuk menjaga kemurnian pernikahan.
Dalam sejarah, peran ibu susuan sering kali terkait erat dengan aspek ekonomi dan status sosial. Menyusui anak orang lain sering kali merupakan bentuk profesi atau layanan yang dibayar.
Syariat Islam mengakui bahwa seorang wanita berhak meminta upah atas jasa menyusui, karena itu adalah sebuah pekerjaan yang membutuhkan waktu, tenaga, dan kesehatan. Kontrak upah ini harus adil dan disepakati di awal. Allah SWT berfirman: "Jika mereka menyusukan anakmu, maka berikanlah upah mereka..." (QS. At-Talaq: 6).
Penting untuk dicatat bahwa upah ini dibayarkan atas layanan menyusui dan merawat anak, bukan atas air susu itu sendiri, karena air susu manusia, seperti halnya darah dan anggota tubuh, tidak diperjualbelikan. Upah tersebut dimaksudkan untuk menopang kehidupan ibu susuan agar ia dapat memberikan perawatan dan nutrisi yang optimal.
Di masa lalu, ibu susuan sering mendapatkan status sosial yang lebih tinggi dalam rumah tangga bangsawan atau kerajaan. Mereka tidak hanya merawat bayi, tetapi sering kali menjadi wali spiritual atau pengasuh yang memiliki pengaruh besar. Anak yang disusui (terutama jika ia adalah pangeran atau orang penting) sering memberikan perlindungan dan kehormatan abadi kepada keluarga ibu susuannya. Hubungan ini melanggengkan ikatan sosial dan ekonomi antara dua keluarga yang mungkin memiliki latar belakang status yang berbeda.
Etika juga menuntut bahwa ibu susuan harus dijamin kesehatannya. Syarat utama menjadi ibu susuan yang baik adalah memiliki kesehatan fisik dan mental yang prima. Orang tua kandung berkewajiban memastikan bahwa gaya hidup, pola makan, dan lingkungan ibu susuan kondusif untuk menghasilkan ASI yang berkualitas, yang secara hukum akan menjadi darah daging anak mereka.
Keseluruhan institusi ibu susuan adalah cerminan kompleksitas hukum yang berusaha menyeimbangkan kebutuhan biologis, perlindungan moral, dan realitas sosial-ekonomi, memastikan bahwa setiap anak mendapatkan hak nutrisinya tanpa mengorbankan integritas garis keturunan dan larangan pernikahan yang ditetapkan oleh syariat.
***