Hukum Positif: Pilar Keadilan dan Ketertiban dalam Masyarakat

Hukum adalah fondasi peradaban manusia, sebuah sistem norma yang mengatur perilaku individu dan interaksi antar kelompok dalam masyarakat. Tanpa hukum, akan terjadi kekacauan dan anarki, di mana kepentingan pribadi akan saling bertabrakan tanpa batasan yang jelas. Dalam studi hukum, salah satu konsep paling fundamental dan paling sering dibahas adalah "hukum positif." Hukum positif merupakan jantung dari sistem hukum modern yang kita kenal dan alami dalam kehidupan sehari-hari. Ini adalah jembatan antara teori dan praktik, antara cita-cita keadilan dan realitas penegakan.

Memahami hukum positif tidak hanya penting bagi para ahli hukum atau penegak hukum, tetapi juga bagi setiap warga negara. Pengetahuan tentang hukum positif memungkinkan kita untuk mengetahui hak dan kewajiban kita, batasan-batasan yang ada dalam bertindak, serta mekanisme untuk mencari keadilan. Artikel ini akan mengupas tuntas tentang hukum positif, mulai dari definisi dan sejarahnya, perbedaannya dengan konsep hukum lain seperti hukum alam, sumber-sumbernya, klasifikasi, tujuan, fungsi, hingga perannya yang krusial dalam masyarakat dan contoh-contoh penerapannya di Indonesia. Kita akan menjelajahi berbagai dimensi hukum positif untuk mendapatkan pemahaman yang komprehensif dan mendalam.

1. Pengertian Hukum Positif

Secara etimologis, istilah "positif" berasal dari bahasa Latin "positivus" yang berarti "ditetapkan" atau "diletakkan." Dalam konteks hukum, ini merujuk pada hukum yang secara eksplisit dibuat, ditetapkan, diberlakukan, dan diakui oleh otoritas yang berwenang dalam suatu masyarakat pada waktu dan tempat tertentu. Hukum positif adalah hukum yang nyata dan berlaku, bukan sekadar ideal atau cita-cita.

1.1. Definisi Umum

Hukum positif adalah keseluruhan asas dan kaidah hukum yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, yang berlaku pada waktu dan tempat tertentu, serta dibuat oleh lembaga yang berwenang atau diakui oleh suatu negara. Ini adalah hukum yang dapat dilihat, diidentifikasi, dan ditegakkan. Ia memiliki bentuk yang konkret, baik tertulis dalam undang-undang, putusan pengadilan, maupun kebiasaan yang telah diakui secara hukum.

Karakteristik utama hukum positif adalah sifatnya yang diberlakukan (posited). Artinya, hukum ini bukan muncul secara alamiah atau inheren, melainkan merupakan produk dari kehendak manusia yang diorganisir dalam bentuk institusi negara atau komunitas. Ia mencerminkan konsensus atau keputusan politik yang mengatur perilaku untuk menjaga ketertiban dan mencapai tujuan-tujuan sosial yang telah disepakati.

1.2. Definisi Menurut Para Ahli

Banyak ahli hukum dan filsuf telah memberikan definisi dan perspektif tentang hukum positif, masing-masing dengan penekanan yang berbeda. Memahami pandangan mereka akan memperkaya pemahaman kita tentang konsep ini.

1.2.1. John Austin (Aliran Positivisme Analitis)

Salah satu tokoh paling berpengaruh dalam positivisme hukum adalah John Austin. Dalam karyanya "The Province of Jurisprudence Determined," Austin mendefinisikan hukum sebagai "perintah dari seorang penguasa (sovereign) yang didukung oleh ancaman sanksi." Menurut Austin, hukum positif memiliki empat elemen kunci:

  • Perintah (Command): Aturan yang dinyatakan oleh seseorang dengan kekuasaan.
  • Penguasa (Sovereign): Seseorang atau badan yang secara umum ditaati oleh mayoritas masyarakat dan tidak tunduk pada perintah atasan.
  • Sanksi (Sanction): Konsekuensi negatif yang akan dikenakan jika perintah tersebut tidak ditaati.
  • Kewajiban (Duty): Keharusan bagi warga negara untuk mematuhi perintah tersebut.

Bagi Austin, fokus utama hukum adalah pada fakta keberadaan dan penegakannya, terlepas dari nilai moral atau etika. Aspek moralitas tidak relevan dalam menentukan apakah sesuatu itu "hukum" atau bukan. Ini adalah pandangan yang sangat formalistik dan empiris.

1.2.2. Hans Kelsen (Teori Hukum Murni)

Hans Kelsen, melalui "Teori Hukum Murni" (Pure Theory of Law), berusaha membersihkan studi hukum dari elemen-elemen non-hukum seperti moral, politik, atau sosiologi. Kelsen melihat hukum sebagai sistem norma-norma yang tersusun secara hierarkis. Di puncak hierarki ini terdapat "Grundnorm" (norma dasar) yang hipotetis, yang memberikan validitas pada norma-norma di bawahnya.

Menurut Kelsen, hukum adalah sistem koersif yang mengatur perilaku manusia melalui ancaman sanksi yang ditetapkan secara institusional. Validitas suatu norma hukum berasal dari norma hukum yang lebih tinggi, bukan dari nilai moralnya. Hukum positif bagi Kelsen adalah sistem norma-norma objektif yang mengatur penciptaan dan penerapan paksaan.

1.2.3. H.L.A. Hart (Konsep Hukum)

H.L.A. Hart, dalam bukunya "The Concept of Law," mengkritik pandangan Austin dan Kelsen dengan mengembangkan teori yang lebih kompleks. Hart membedakan antara "aturan primer" (primary rules) dan "aturan sekunder" (secondary rules).

  • Aturan Primer: Aturan yang mengatur perilaku warga negara (misalnya, hukum pidana, hukum kontrak).
  • Aturan Sekunder: Aturan tentang aturan. Ini mencakup:
    • Rule of Recognition (Aturan Pengenalan): Kriteria untuk mengidentifikasi apa yang merupakan hukum dalam suatu sistem hukum tertentu. Ini adalah jantung dari sistem hukum bagi Hart.
    • Rule of Change (Aturan Perubahan): Aturan yang memungkinkan pembuatan, penghapusan, atau amandemen aturan primer.
    • Rule of Adjudication (Aturan Ajudikasi): Aturan yang memberikan kewenangan kepada individu untuk memutuskan apakah aturan primer telah dilanggar dan menetapkan prosedur penegakannya.

Hart berpendapat bahwa keberadaan aturan pengenalan adalah ciri khas sistem hukum yang matang. Hukum positif, dalam pandangan Hart, adalah kombinasi dari aturan primer dan sekunder ini, yang keberadaannya diterima secara umum oleh pejabat publik dan dipatuhi oleh warga negara.

1.2.4. Jeremy Bentham

Sebelum Austin, Jeremy Bentham, seorang filsuf utilitarian, juga memiliki kontribusi besar terhadap positivisme hukum. Bentham melihat hukum sebagai alat untuk mencapai kebahagiaan terbesar bagi jumlah terbesar orang. Ia berpendapat bahwa hukum haruslah jelas, dapat diakses, dan berasal dari kehendak penguasa. Karyanya banyak menginspirasi Austin dalam mengembangkan teori perintah.

1.3. Ciri-Ciri Hukum Positif

Dari berbagai definisi di atas, dapat disarikan beberapa ciri khas utama hukum positif:

  1. Ditetapkan oleh Otoritas Berwenang: Hukum positif dibuat atau diakui oleh lembaga yang memiliki kekuasaan legislatif atau yudikatif dalam suatu negara (misalnya, parlemen, presiden, pengadilan).
  2. Berlaku pada Waktu dan Tempat Tertentu: Hukum positif memiliki ruang lingkup temporal (tempus delicti) dan spasial (locus delicti) yang jelas. Ia berlaku untuk suatu masyarakat tertentu pada periode tertentu dan dapat berubah seiring waktu.
  3. Memiliki Bentuk yang Jelas: Umumnya hukum positif memiliki bentuk tertulis (undang-undang, peraturan, konstitusi) yang mempermudah identifikasi dan penegakannya. Meskipun demikian, ada juga hukum positif yang tidak tertulis tetapi diakui secara resmi, seperti hukum adat yang telah dikodifikasi atau diakui oleh negara.
  4. Dapat Dipaksakan (Coercive): Hukum positif didukung oleh kekuatan negara untuk penegakannya. Pelanggaran terhadap hukum positif akan menimbulkan sanksi yang telah ditetapkan.
  5. Memiliki Sanksi yang Tegas: Setiap pelanggaran terhadap hukum positif akan diikuti dengan konsekuensi hukum (sanksi) yang jelas dan terukur, baik pidana, perdata, maupun administratif.
  6. Dapat Diubah dan Dihapuskan: Karena dibuat oleh manusia, hukum positif dapat diubah, dicabut, atau disesuaikan dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat. Proses perubahan ini juga diatur oleh hukum positif itu sendiri (melalui aturan sekunder, seperti yang diutarakan Hart).
  7. Cenderung Formalistik: Penilaian terhadap hukum positif lebih didasarkan pada prosedur pembentukannya dan keberadaan formalnya, daripada pada nilai moral atau keadilannya secara intrinsik (meskipun pada praktiknya, moralitas sering memengaruhi pembentukan hukum).

Ciri-ciri ini membedakan hukum positif dari konsep hukum lainnya, seperti hukum alam atau hukum ideal, yang akan kita bahas di bagian selanjutnya.

Simbol Hukum Positif Ilustrasi timbangan keadilan, buku hukum, dan palu hakim, melambangkan penegakan hukum positif. Lex Dura

2. Perbedaan Hukum Positif dengan Hukum Alam dan Hukum Ideal

Untuk memahami hukum positif secara lebih mendalam, penting untuk membedakannya dengan konsep hukum lain yang sering menjadi perdebatan dalam filsafat hukum, yaitu hukum alam dan hukum ideal. Meskipun ketiganya sama-sama berbicara tentang "hukum," landasan, sumber, dan sifat keberlakuan mereka sangat berbeda.

2.1. Hukum Positif vs. Hukum Alam

Hukum alam adalah seperangkat prinsip moral dan etika yang diyakini bersifat universal, abadi, dan melekat pada kodrat manusia atau tatanan ilahi. Hukum alam dianggap lebih tinggi dari hukum buatan manusia dan menjadi standar untuk menilai keadilan hukum positif. Tokoh-tokoh seperti Thomas Aquinas, John Locke, dan Jean-Jacques Rousseau adalah pendukung konsep hukum alam.

Perbedaan mendasar antara hukum positif dan hukum alam dapat dirangkum sebagai berikut:

  • Sumber:
    • Hukum Positif: Dibuat, ditetapkan, dan diberlakukan oleh otoritas manusia (negara, lembaga legislatif).
    • Hukum Alam: Berasal dari Tuhan, akal budi manusia, atau tatanan alam semesta; tidak dibuat oleh manusia.
  • Sifat:
    • Hukum Positif: Relatif, dapat berubah, berlaku pada waktu dan tempat tertentu.
    • Hukum Alam: Absolut, universal, abadi, tidak berubah.
  • Bentuk:
    • Hukum Positif: Umumnya tertulis (undang-undang, peraturan), meskipun ada juga yang tidak tertulis tetapi diakui secara resmi.
    • Hukum Alam: Tidak tertulis, hadir dalam hati nurani atau akal budi manusia.
  • Penegakan:
    • Hukum Positif: Ditegakkan secara formal oleh lembaga negara dengan sanksi konkret.
    • Hukum Alam: Ditegakkan oleh hati nurani, moral, atau konsekuensi alami; tidak ada lembaga formal yang menegakkannya secara hukum positif.
  • Validitas:
    • Hukum Positif: Validitasnya berasal dari prosedur pembentukan yang benar dan pengakuan oleh otoritas.
    • Hukum Alam: Validitasnya berasal dari kebenaran intrinsik, keadilan moral, atau kesesuaian dengan tatanan ilahi/alami.

Positivis hukum berpendapat bahwa validitas hukum tidak tergantung pada moralitasnya, sedangkan penganut hukum alam berpendapat bahwa hukum yang tidak adil bukanlah hukum yang sah. Meskipun ada perbedaan, banyak sistem hukum modern mencoba mengintegrasikan prinsip-prinsip hukum alam ke dalam hukum positif, terutama dalam bidang hak asasi manusia.

2.2. Hukum Positif vs. Hukum Ideal

Hukum ideal adalah konsep hukum yang bersifat futuristik atau aspiratif. Ini adalah hukum yang diharapkan atau dicita-citakan untuk ada di masa depan, sebagai representasi dari tatanan hukum yang paling sempurna dan adil. Hukum ideal seringkali menjadi inspirasi bagi perubahan dan reformasi hukum positif.

Perbedaan dengan hukum positif adalah sebagai berikut:

  • Waktu Keberlakuan:
    • Hukum Positif: Ius constitutum, yaitu hukum yang sudah ada dan berlaku saat ini.
    • Hukum Ideal: Ius constituendum, yaitu hukum yang akan dibentuk atau dicita-citakan untuk masa depan.
  • Sifat:
    • Hukum Positif: Nyata, konkret, dapat ditegakkan.
    • Hukum Ideal: Konseptual, abstrak, bersifat harapan atau visi.
  • Fungsi:
    • Hukum Positif: Mengatur perilaku dan menjaga ketertiban yang ada.
    • Hukum Ideal: Memberikan arah dan tujuan bagi pengembangan hukum positif, mendorong perbaikan dan penyesuaian dengan nilai-nilai keadilan yang lebih tinggi.

Hukum ideal seringkali menjadi motivasi bagi legislator dan para ahli hukum untuk mereformasi hukum positif agar lebih mendekati konsep keadilan universal. Misalnya, cita-cita keadilan sosial dan HAM seringkali menjadi dasar bagi pembentukan undang-undang baru.

3. Sumber-Sumber Hukum Positif

Hukum positif tidak muncul begitu saja. Ia berasal dari berbagai sumber yang diakui dan diresmikan oleh sistem hukum suatu negara. Pemahaman tentang sumber-sumber ini sangat penting untuk mengetahui bagaimana hukum terbentuk dan di mana kita dapat menemukannya.

3.1. Undang-Undang (Legislation)

Undang-undang adalah sumber hukum positif yang paling utama dan formal dalam sistem hukum modern, terutama di negara-negara dengan tradisi hukum sipil (civil law) seperti Indonesia. Undang-undang dibuat oleh lembaga legislatif (parlemen) atau badan yang diberi wewenang untuk itu, dan memiliki kekuatan mengikat setelah diundangkan secara sah.

3.1.1. Hierarki Peraturan Perundang-undangan

Di Indonesia, sistem perundang-undangan memiliki hierarki yang jelas, diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (sebagaimana diubah terakhir dengan UU No. 13 Tahun 2022). Hierarki ini menjamin bahwa peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Urutan hierarki tersebut adalah:

  1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945): Konstitusi negara, merupakan hukum dasar tertulis tertinggi.
  2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR): Meskipun tidak lagi menjadi sumber hukum hierarkis di bawah UUD, beberapa TAP MPR yang masih relevan tetap menjadi acuan.
  3. Undang-Undang (UU) / Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu): UU dibuat oleh DPR bersama Presiden, sementara Perppu dikeluarkan Presiden dalam keadaan darurat dan harus disetujui DPR.
  4. Peraturan Pemerintah (PP): Dibuat oleh Presiden untuk melaksanakan undang-undang.
  5. Peraturan Presiden (Perpres): Dibuat oleh Presiden untuk menjalankan perintah peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dalam menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan.
  6. Peraturan Daerah Provinsi (Perda Provinsi): Dibuat oleh DPRD Provinsi bersama Gubernur untuk mengatur otonomi daerah provinsi dan tugas pembantuan.
  7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota (Perda Kabupaten/Kota): Dibuat oleh DPRD Kabupaten/Kota bersama Bupati/Wali Kota untuk mengatur otonomi daerah kabupaten/kota dan tugas pembantuan.

Selain itu, terdapat pula peraturan lain seperti Peraturan Bank Indonesia, Peraturan Menteri, Peraturan Lembaga, yang kedudukannya diakui sepanjang diperintahkan oleh peraturan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan. Asas lex superior derogat legi inferiori (hukum yang lebih tinggi mengesampingkan hukum yang lebih rendah) berlaku dalam hierarki ini.

3.2. Kebiasaan (Custom)

Kebiasaan adalah tindakan atau perilaku yang dilakukan secara terus-menerus dalam masyarakat, dan kemudian dianggap sebagai norma yang mengikat secara hukum. Agar suatu kebiasaan menjadi sumber hukum positif, ia harus memenuhi dua unsur:

  • Unsur Material (Faktual): Adanya perilaku yang tetap, ajeg, berulang-ulang, dan berlangsung lama dalam masyarakat.
  • Unsur Intelektual (Psikologis): Adanya keyakinan hukum (opinio necessitatis atau opinio juris sive necessitatis) di kalangan masyarakat bahwa kebiasaan tersebut memang wajib ditaati sebagai hukum.

Di Indonesia, hukum adat merupakan contoh paling nyata dari kebiasaan yang menjadi hukum positif, terutama dalam mengatur kehidupan masyarakat adat terkait tanah, perkawinan, warisan, dan penyelesaian sengketa. Meskipun tidak selalu tertulis dalam undang-undang formal, hukum adat diakui keberadaannya oleh UUD 1945 dan undang-undang lainnya sepanjang tidak bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

3.3. Yurisprudensi (Case Law / Precedent)

Yurisprudensi adalah putusan-putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap dan kemudian diikuti oleh hakim-hakim lain dalam kasus-kasus serupa. Meskipun Indonesia menganut sistem hukum sipil (civil law) yang tidak secara kaku menganut doktrin stare decisis (yaitu, putusan pengadilan sebelumnya secara mutlak mengikat pengadilan yang lebih rendah atau yang setingkat), yurisprudensi tetap memiliki peran penting sebagai sumber hukum.

Putusan pengadilan yang berulang kali diambil dalam kasus yang sama dapat membentuk preseden dan menjadi pedoman bagi hakim lain. Terutama putusan Mahkamah Agung yang bersifat kasasi atau peninjauan kembali seringkali menjadi yurisprudensi penting yang memengaruhi perkembangan hukum di Indonesia. Yurisprudensi berfungsi mengisi kekosongan hukum, menafsirkan undang-undang yang kabur, atau bahkan mengembangkan hukum baru seiring perubahan zaman.

3.4. Traktat (Treaties)

Traktat atau perjanjian internasional adalah kesepakatan tertulis antara dua negara atau lebih yang bertujuan untuk menciptakan hak dan kewajiban hukum. Ketika suatu traktat diratifikasi oleh suatu negara (melalui undang-undang atau peraturan presiden), maka traktat tersebut menjadi bagian dari hukum positif negara tersebut dan mengikat warganya.

Contoh traktat yang menjadi sumber hukum positif di Indonesia antara lain adalah Konvensi Jenewa, berbagai konvensi hak asasi manusia PBB, perjanjian ekstradisi, dan perjanjian perdagangan internasional. Traktat memainkan peran yang semakin penting dalam era globalisasi, di mana interaksi antarnegara semakin intens.

3.5. Doktrin (Doctrine)

Doktrin adalah pendapat atau ajaran para ahli hukum terkemuka yang diakui dan digunakan sebagai dasar dalam pengambilan putusan hakim atau dalam pengembangan ilmu hukum. Meskipun doktrin bukan sumber hukum yang mengikat secara langsung, pendapat-pendapat para ahli hukum seringkali menjadi referensi dan inspirasi bagi pembuat undang-undang dan hakim.

Contohnya, dalam bidang hukum pidana, teori-teori tentang kesalahan, niat, atau pembuktian yang dikembangkan oleh para sarjana hukum seringkali diadopsi dalam praktik peradilan. Di bidang hukum tata negara, pandangan para ahli konstitusi sering menjadi dasar dalam penafsiran UUD 1945. Doktrin membantu dalam membentuk pemahaman dan aplikasi hukum yang konsisten dan rasional.

3.6. Prinsip Hukum Umum

Prinsip hukum umum adalah asas-asas dasar yang mendasari semua sistem hukum dan diakui secara universal. Prinsip-prinsip ini tidak selalu tertulis secara eksplisit dalam satu undang-undang, tetapi menjadi landasan filosofis dan etis bagi pembentukan dan penegakan hukum positif. Contoh prinsip hukum umum antara lain:

  • Asas praduga tak bersalah (presumption of innocence).
  • Asas keadilan (justice).
  • Asas proporsionalitas (proportionality).
  • Asas itikad baik (bona fide).
  • Asas hukum tidak berlaku surut (non-retroactive).
  • Asas pacta sunt servanda (janji harus ditepati).

Prinsip-prinsip ini sering digunakan oleh hakim untuk mengisi kekosongan hukum atau untuk menafsirkan peraturan perundang-undangan yang ambigu, sehingga berperan penting dalam memberikan keadilan substantif dalam kerangka hukum positif.

Sumber-Sumber Hukum Positif Ilustrasi buku undang-undang, tangan berjabat (traktat), palu (yurisprudensi), dan ikon diskusi (doktrin) di sekitar pusat hukum. HUKUM UU Adat Yuris Traktat

4. Klasifikasi Hukum Positif

Hukum positif sangat beragam dan kompleks, sehingga diperlukan klasifikasi untuk memudahkan pemahaman dan studi. Klasifikasi ini dapat didasarkan pada berbagai kriteria, seperti bentuk, isi, waktu berlaku, tempat berlaku, atau sifatnya.

4.1. Berdasarkan Bentuknya

4.1.1. Hukum Tertulis (Written Law)

Hukum tertulis adalah hukum yang dikodifikasikan atau dicatat dalam bentuk dokumen resmi. Ini adalah bentuk hukum positif yang paling umum dalam sistem hukum modern. Contohnya adalah Undang-Undang Dasar, undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan daerah, dan berbagai bentuk peraturan perundang-undangan lainnya. Keuntungan utama dari hukum tertulis adalah kejelasan, kepastian hukum, dan aksesibilitas yang lebih mudah bagi masyarakat.

4.1.2. Hukum Tidak Tertulis (Unwritten Law)

Hukum tidak tertulis adalah hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat, diakui sebagai norma yang mengikat meskipun tidak dikodifikasikan dalam dokumen resmi. Contoh paling nyata adalah hukum adat dan kebiasaan yang telah diakui secara hukum. Meskipun tidak tertulis, keberadaannya diakui dan ditegakkan oleh otoritas, seringkali melalui putusan pengadilan. Hukum tidak tertulis memiliki kelebihan dalam hal adaptabilitas terhadap perubahan sosial yang cepat, namun mungkin kurang dalam hal kepastian hukum dibandingkan hukum tertulis.

4.2. Berdasarkan Isinya (Kepentingan yang Diatur)

4.2.1. Hukum Publik

Hukum publik adalah hukum yang mengatur hubungan antara negara dengan individu, atau antara lembaga negara dengan lembaga negara lainnya. Hukum publik lebih berorientasi pada kepentingan umum dan tata negara. Ciri khasnya adalah adanya hubungan yang bersifat vertikal, di mana negara (sebagai pemegang kekuasaan) berada dalam posisi superior terhadap individu atau lembaga. Cabang-cabang hukum publik meliputi:

  • Hukum Tata Negara: Mengatur organisasi negara, kekuasaan lembaga negara, hubungan antar lembaga, dan hak-hak dasar warga negara (misalnya, UUD 1945, UU tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD).
  • Hukum Administrasi Negara (Hukum Tata Usaha Negara): Mengatur kegiatan pemerintah dalam menjalankan tugas-tugasnya (misalnya, UU tentang Administrasi Pemerintahan, peraturan tentang pelayanan publik).
  • Hukum Pidana: Mengatur perbuatan-perbuatan yang dilarang dan ancaman sanksi pidana bagi pelanggarnya, serta prosedur penegakannya (misalnya, KUHP, UU Narkotika).
  • Hukum Internasional Publik: Mengatur hubungan antarnegara dan entitas internasional (misalnya, Konvensi Wina tentang Hubungan Diplomatik, Piagam PBB).

4.2.2. Hukum Privat (Hukum Sipil)

Hukum privat adalah hukum yang mengatur hubungan antara individu dengan individu lainnya, atau antara individu dengan badan hukum privat. Hukum privat lebih berorientasi pada kepentingan pribadi atau golongan. Hubungan yang diatur bersifat horizontal, di mana pihak-pihak berada dalam kedudukan yang setara. Cabang-cabang hukum privat meliputi:

  • Hukum Perdata: Mengatur hak dan kewajiban individu dalam hubungan keluarga, perkawinan, warisan, kekayaan, perjanjian, dan perbuatan melawan hukum (misalnya, KUHPerdata, UU Perkawinan, UU Warisan).
  • Hukum Dagang (Hukum Bisnis): Mengatur hubungan antara pelaku usaha dalam kegiatan bisnis, termasuk kontrak dagang, perusahaan, kepailitan, dan hak kekayaan intelektual (misalnya, KUHD, UU Perseroan Terbatas).
  • Hukum Acara Perdata: Mengatur prosedur penyelesaian sengketa perdata di pengadilan.
  • Hukum Internasional Privat: Mengatur konflik hukum dalam kasus-kasus yang melibatkan elemen asing, misalnya perkawinan campuran atau kontrak lintas negara.

4.3. Berdasarkan Waktu Berlakunya

4.3.1. Ius Constitutum (Hukum Positif Saat Ini)

Ius constitutum adalah hukum yang telah ada, dibentuk, dan berlaku pada saat ini dalam suatu masyarakat atau negara tertentu. Ini adalah hukum positif yang sedang beroperasi dan ditegakkan. Seluruh undang-undang, peraturan, dan kebiasaan yang diakui dan berlaku hari ini adalah bagian dari ius constitutum.

4.3.2. Ius Constituendum (Hukum yang Dicita-citakan)

Ius constituendum adalah hukum yang diharapkan atau dicita-citakan untuk berlaku di masa depan. Ini adalah konsep hukum yang belum ada tetapi sedang dalam proses pembentukan, perencanaan, atau merupakan aspirasi. Contohnya adalah rancangan undang-undang (RUU) atau ide-ide reformasi hukum yang masih dalam tahap diskusi dan perumusan. Ius constituendum adalah cerminan dari hukum ideal yang ingin dicapai.

4.4. Berdasarkan Tempat Berlakunya

4.4.1. Hukum Nasional

Hukum nasional adalah hukum yang berlaku dalam wilayah kedaulatan suatu negara tertentu. Setiap negara memiliki sistem hukum nasionalnya sendiri yang unik, meskipun mungkin ada pengaruh dari sistem hukum negara lain atau hukum internasional. Di Indonesia, seluruh undang-undang dan peraturan yang dibuat oleh lembaga negara Indonesia adalah hukum nasional.

4.4.2. Hukum Internasional

Hukum internasional adalah hukum yang mengatur hubungan antara negara-negara, organisasi internasional, dan kadang-kadang juga individu (dalam kasus kejahatan internasional). Hukum internasional bertujuan untuk menciptakan ketertiban dan kerja sama di antara subjek hukum internasional. Sumber utamanya adalah traktat, kebiasaan internasional, dan prinsip hukum umum. Ketika suatu negara meratifikasi traktat internasional, ia menjadi bagian dari hukum nasional negara tersebut dan mengikat warga negaranya.

4.4.3. Hukum Asing

Hukum asing adalah hukum suatu negara lain. Hukum asing dapat diterapkan dalam suatu negara (misalnya, Indonesia) dalam kasus-kasus tertentu yang melibatkan elemen asing, seperti dalam kasus hukum perdata internasional (misalnya, perkawinan antara dua warga negara yang berbeda, atau kontrak dengan perusahaan asing).

4.5. Berdasarkan Sifatnya

4.5.1. Hukum Memaksa (Dwingend Recht / Imperative Law)

Hukum memaksa adalah hukum yang harus ditaati dan tidak dapat dikesampingkan atau diubah oleh para pihak melalui perjanjian. Hukum ini bersifat mutlak dan wajib ditaati demi kepentingan umum atau ketertiban sosial. Contohnya adalah sebagian besar ketentuan dalam hukum pidana (larangan membunuh, mencuri) dan hukum tata negara. Para pihak tidak dapat sepakat untuk tidak menerapkan hukum pidana. Pelanggaran terhadapnya akan menimbulkan sanksi yang tegas.

4.5.2. Hukum Mengatur (Aanvullend Recht / Dispositive Law)

Hukum mengatur adalah hukum yang dapat dikesampingkan oleh para pihak apabila mereka telah membuat pengaturan sendiri melalui perjanjian. Hukum ini berlaku jika para pihak tidak mengatur hal tersebut secara spesifik dalam kesepakatan mereka. Sifatnya melengkapi atau sebagai pelengkap. Contohnya banyak ditemukan dalam hukum perdata, seperti ketentuan tentang pewarisan atau kontrak jual-beli yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk menentukan syarat-syaratnya, selama tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan.

5. Tujuan dan Fungsi Hukum Positif

Hukum positif dibentuk dan ditegakkan bukan tanpa tujuan. Ada berbagai cita-cita dan kebutuhan masyarakat yang ingin dicapai melalui keberadaan dan penerapan hukum positif. Tujuan dan fungsi ini saling terkait dan merupakan pilar utama keberlangsungan masyarakat yang tertib dan adil.

5.1. Tujuan Hukum Positif

5.1.1. Kepastian Hukum (Rechtssicherheit)

Salah satu tujuan utama hukum positif adalah menciptakan kepastian hukum. Ini berarti bahwa setiap orang harus tahu apa yang diharapkan dari mereka, apa yang dilarang, dan apa konsekuensi dari tindakan mereka. Dengan adanya aturan yang jelas, tertulis, dan dapat diakses, masyarakat dapat merencanakan tindakan mereka, menghindari konflik, dan memperkirakan hasil dari sengketa. Kepastian hukum memberikan prediktabilitas dan stabilitas dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan politik. Tanpa kepastian hukum, masyarakat akan hidup dalam ketidakjelasan dan rasa takut.

5.1.2. Keadilan (Gerechtigkeit)

Meskipun positivisme hukum sering memisahkan hukum dari moral, pada praktiknya, setiap sistem hukum yang baik selalu berupaya mencapai keadilan. Keadilan di sini dapat diartikan dalam berbagai bentuk: keadilan distributif (pembagian sumber daya yang adil), keadilan komutatif (kesetaraan dalam pertukaran), atau keadilan retributif (hukuman yang setimpal dengan pelanggaran). Hukum positif berusaha menciptakan kerangka di mana hak dan kewajiban didistribusikan secara adil dan di mana pelanggaran dapat diatasi dengan cara yang proporsional.

Namun, perlu diakui bahwa keadilan seringkali merupakan cita-cita yang sulit dicapai secara sempurna. Hukum positif, sebagai produk manusia, tidak luput dari ketidaksempurnaan dan bisa saja menghasilkan keputusan yang tidak adil. Oleh karena itu, hukum positif harus selalu diupayakan untuk mendekati standar keadilan.

5.1.3. Kemanfaatan (Zweckmäßigkeit / Utilitas)

Hukum positif juga bertujuan untuk memberikan kemanfaatan bagi masyarakat luas. Artinya, hukum harus dapat memberikan solusi atas permasalahan sosial, mendukung pembangunan, dan meningkatkan kesejahteraan umum. Undang-undang yang memfasilitasi perdagangan, melindungi lingkungan, atau menyediakan layanan publik adalah contoh bagaimana hukum positif berusaha menciptakan kemanfaatan. Kemanfaatan seringkali menjadi pertimbangan dalam proses legislasi, di mana dampak sosial dan ekonomi dari suatu peraturan dievaluasi.

5.1.4. Ketertiban dan Keteraturan Sosial

Secara paling dasar, hukum positif bertujuan untuk menciptakan dan menjaga ketertiban serta keteraturan dalam masyarakat. Dengan adanya aturan yang jelas dan sanksi bagi pelanggarnya, masyarakat dapat hidup berdampingan tanpa kekacauan. Hukum mengatur interaksi sosial, menyelesaikan konflik, dan mencegah tindakan anarkis. Tanpa ketertiban, tujuan-tujuan lain seperti keadilan dan kemanfaatan akan sulit dicapai.

5.1.5. Perlindungan Hak Asasi Manusia

Dalam negara hukum modern, salah satu tujuan krusial hukum positif adalah melindungi hak asasi manusia setiap individu. Konstitusi dan undang-undang seringkali memuat ketentuan yang menjamin kebebasan berpendapat, hak hidup, hak milik, dan hak-hak dasar lainnya. Hukum positif menyediakan mekanisme untuk menegakkan hak-hak ini dan memberikan sanksi bagi pihak yang melanggarnya.

5.2. Fungsi Hukum Positif

Untuk mencapai tujuan-tujuan di atas, hukum positif menjalankan beberapa fungsi esensial dalam masyarakat:

5.2.1. Sebagai Pedoman Perilaku

Hukum positif berfungsi sebagai petunjuk atau panduan bagi individu dalam bertindak. Ia memberitahu kita apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, serta bagaimana cara melakukannya. Dengan demikian, hukum membentuk ekspektasi perilaku yang konsisten dalam masyarakat.

5.2.2. Sebagai Alat Pengendalian Sosial (Social Control)

Dengan adanya sanksi, hukum positif berfungsi untuk mengendalikan perilaku masyarakat agar sesuai dengan norma-norma yang telah ditetapkan. Ia mencegah kejahatan, menyelesaikan sengketa, dan memulihkan ketertiban ketika terjadi pelanggaran.

5.2.3. Sebagai Mekanisme Penyelesaian Sengketa

Ketika terjadi konflik atau perselisihan antarindividu atau kelompok, hukum positif menyediakan prosedur formal untuk menyelesaikannya secara damai dan adil, misalnya melalui pengadilan, arbitrase, atau mediasi. Ini menghindari penggunaan kekerasan atau main hakim sendiri.

5.2.4. Sebagai Alat Perubahan Sosial (Social Engineering)

Hukum positif tidak hanya menjaga status quo, tetapi juga dapat digunakan sebagai instrumen untuk mendorong perubahan sosial yang diinginkan. Misalnya, undang-undang lingkungan dapat mengubah perilaku masyarakat terhadap alam, atau undang-undang kesetaraan gender dapat mengubah norma-norma sosial. Roscoe Pound adalah salah satu ahli hukum yang banyak membahas fungsi hukum sebagai "social engineering."

5.2.5. Sebagai Alat Alokasi Kekuasaan dan Sumber Daya

Hukum positif mengatur bagaimana kekuasaan dibagi di antara lembaga-lembaga negara, serta bagaimana sumber daya negara dialokasikan dan dikelola. Ini mencegah penyalahgunaan kekuasaan dan memastikan distribusi yang adil.

5.2.6. Sebagai Dasar Pembentukan Lembaga

Semua lembaga negara, mulai dari presiden, parlemen, pengadilan, hingga kementerian dan lembaga non-struktural, dibentuk dan beroperasi berdasarkan hukum positif. Hukum positif memberikan legitimasi dan kerangka kerja bagi eksistensi dan fungsi lembaga-lembaga tersebut.

6. Peran dan Signifikansi Hukum Positif dalam Masyarakat

Dalam kehidupan sehari-hari, hukum positif memiliki peran yang sangat sentral dan signifikansi yang tidak dapat diabaikan. Ia membentuk struktur masyarakat, memengaruhi setiap aspek kehidupan individu, dan menjadi penentu arah bagi perkembangan suatu bangsa.

6.1. Menciptakan Lingkungan yang Stabil dan Prediktif

Salah satu kontribusi terbesar hukum positif adalah kemampuannya untuk menciptakan stabilitas. Dengan adanya aturan yang jelas dan dapat diprediksi, individu dan entitas bisnis dapat membuat rencana jangka panjang tanpa rasa takut akan ketidakpastian. Kontrak dapat dipercaya, hak milik terlindungi, dan konsekuensi pelanggaran sudah diketahui. Stabilitas ini esensial untuk investasi, pertumbuhan ekonomi, dan kemajuan sosial.

6.2. Memastikan Keberlangsungan Negara Hukum (Rechtsstaat)

Hukum positif adalah inti dari konsep negara hukum (Rechtsstaat atau Rule of Law). Dalam negara hukum, semua tindakan pemerintah dan warga negara harus didasarkan pada hukum yang berlaku. Ini berarti tidak ada kekuasaan absolut dan semua tunduk pada hukum. Hukum positif menyediakan kerangka konstitusional dan legislatif yang membatasi kekuasaan, melindungi kebebasan sipil, dan memastikan akuntabilitas.

6.3. Mendorong Pembangunan Ekonomi dan Sosial

Dengan menyediakan kerangka kerja yang teratur, hukum positif menjadi katalisator bagi pembangunan. Hukum kontrak yang kuat mendorong transaksi bisnis, hukum properti melindungi investasi, hukum ketenagakerjaan mengatur hubungan industrial, dan hukum lingkungan mendorong pembangunan berkelanjutan. Tanpa kerangka hukum yang solid, pembangunan akan terhambat oleh ketidakpastian, korupsi, dan konflik.

6.4. Memediasi Konflik dan Mencegah Kekerasan

Masyarakat adalah kumpulan individu dengan kepentingan yang beragam, yang tak terhindarkan akan memicu konflik. Hukum positif menyediakan saluran resmi dan damai untuk menyelesaikan perselisihan, mulai dari perselisihan kecil antar tetangga hingga sengketa besar antar perusahaan atau bahkan antar negara. Sistem peradilan dan alternatif penyelesaian sengketa yang diatur oleh hukum positif mencegah masyarakat untuk mengambil jalan kekerasan dalam menyelesaikan masalah mereka.

6.5. Mengukuhkan Nilai-Nilai Sosial dan Moral

Meskipun positivisme menekankan pemisahan hukum dan moralitas, hukum positif seringkali mencerminkan dan mengukuhkan nilai-nilai moral yang dominan dalam masyarakat. Hukum yang melarang pencurian, pembunuhan, penipuan, atau diskriminasi adalah manifestasi dari nilai-nilai moral tentang keadilan, kejujuran, dan kesetaraan. Dengan demikian, hukum positif berperan dalam membentuk dan mempertahankan etika kolektif masyarakat.

6.6. Memberikan Legitimasi pada Kekuasaan

Kekuasaan negara, termasuk kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif, memperoleh legitimasinya dari hukum positif, terutama dari konstitusi. Hukum positif mendefinisikan batas-batas kekuasaan, prosedur penggunaannya, dan mekanisme pengawasannya. Tanpa legitimasi hukum, kekuasaan akan dianggap sebagai tirani atau otoritarian.

Peran Hukum Positif dalam Masyarakat Ilustrasi sekelompok orang yang diatur oleh garis-garis hukum, melambangkan ketertiban dan perlindungan dalam masyarakat. LAW

7. Kritik dan Tantangan Terhadap Hukum Positif

Meskipun memiliki peran yang sangat penting, hukum positif tidak luput dari kritik dan menghadapi berbagai tantangan. Kritik ini seringkali datang dari perspektif filsafat hukum lain atau dari realitas sosial yang kompleks.

7.1. Rigiditas dan Kesenjangan dengan Keadilan Substantif

Salah satu kritik utama terhadap hukum positif adalah sifatnya yang cenderung kaku (rigid). Karena berpegang pada teks tertulis dan prosedur formal, hukum positif kadang-kadang kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan situasi unik atau nilai-nilai keadilan substantif yang berkembang. Penerapan hukum secara literal (dura lex sed lex - undang-undang itu keras, tetapi itu adalah undang-undang) dapat menimbulkan hasil yang dirasakan tidak adil dalam kasus-kasus tertentu. Hal ini menyoroti ketegangan antara kepastian hukum dan keadilan.

7.2. Potensi Penyalahgunaan Kekuasaan

Karena hukum positif dibuat oleh otoritas yang berwenang, ada potensi bagi kekuasaan tersebut untuk disalahgunakan. Hukum dapat dibuat untuk melayani kepentingan kelompok tertentu, menindas minoritas, atau melegitimasi praktik-praktik yang tidak etis. Sejarah menunjukkan banyak rezim otoriter yang menggunakan hukum positif untuk tujuan represif, meskipun hukum tersebut dibentuk melalui prosedur yang "legal" secara formal. Ini menunjukkan bahwa validitas formal tidak selalu sama dengan keadilan moral.

7.3. Kesenjangan antara Hukum dan Realitas Sosial

Hukum positif seringkali terlambat dalam merespons perubahan sosial yang cepat. Ketika masyarakat berkembang, nilai-nilai berubah, dan teknologi baru muncul, hukum positif mungkin belum memiliki aturan yang memadai untuk mengatasi tantangan baru tersebut. Kesenjangan ini dapat menyebabkan ketidakpatuhan, ketidakpuasan, atau ketidakmampuan hukum untuk menyelesaikan masalah yang sebenarnya. Contoh paling nyata adalah tantangan hukum di era digital dan kecerdasan buatan.

7.4. Masalah Penegakan Hukum

Keberadaan hukum positif yang baik di atas kertas tidak menjamin keadilan atau ketertiban jika penegakannya lemah, korup, atau tidak konsisten. Tantangan dalam penegakan hukum meliputi:

  • Korupsi: Praktik suap atau kolusi dalam lembaga penegak hukum dapat merusak integritas hukum.
  • Ketidakmampuan Aparat: Kurangnya sumber daya, pelatihan, atau kompetensi aparat penegak hukum dapat menghambat implementasi hukum.
  • Selektivitas Penegakan: Hukum kadang-kadang hanya ditegakkan pada kelompok tertentu, sementara kelompok lain dibiarkan, menciptakan persepsi ketidakadilan.
  • Minimnya Kesadaran Hukum Masyarakat: Kurangnya pemahaman atau kepatuhan masyarakat terhadap hukum juga menjadi tantangan.

7.5. Pengaruh Politik dan Kepentingan

Proses pembentukan hukum positif adalah proses politik. Oleh karena itu, hukum positif seringkali merupakan hasil kompromi antara berbagai kepentingan politik, ekonomi, dan sosial. Hal ini dapat menyebabkan hukum yang kurang ideal, ambigu, atau bahkan bertentangan dengan tujuan keadilan yang lebih luas.

7.6. Pluralisme Hukum

Di banyak negara, termasuk Indonesia, terdapat pluralisme hukum di mana hukum positif (nasional) harus hidup berdampingan dengan sistem hukum lain, seperti hukum adat atau hukum agama. Mengharmoniskan berbagai sistem hukum ini tanpa mengurangi efektivitas hukum positif atau melanggar hak-hak komunitas menjadi tantangan tersendiri.

8. Contoh Penerapan Hukum Positif di Indonesia

Indonesia adalah negara hukum yang sangat bergantung pada sistem hukum positif. Hampir setiap aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara diatur oleh hukum positif. Berikut adalah beberapa contoh penerapannya:

8.1. Konstitusi: Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945)

UUD 1945 adalah puncak dari hierarki hukum positif di Indonesia. Ia mengatur dasar negara, bentuk negara, sistem pemerintahan, pembagian kekuasaan antar lembaga negara (eksekutif, legislatif, yudikatif), hak dan kewajiban warga negara, serta prinsip-prinsip dasar lainnya. Semua undang-undang di bawahnya harus sesuai dengan UUD 1945. Mahkamah Konstitusi bertugas menguji apakah suatu undang-undang bertentangan dengan UUD 1945.

8.2. Hukum Pidana: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

KUHP merupakan contoh klasik hukum positif yang mengatur tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang dan dianggap sebagai tindak pidana, beserta sanksi pidananya. Pasal-pasal dalam KUHP mendefinisikan pencurian, pembunuhan, penipuan, dan berbagai kejahatan lainnya, serta memberikan dasar bagi proses peradilan pidana. KUHP ini adalah salah satu instrumen utama negara untuk menjaga ketertiban umum.

8.3. Hukum Perdata: Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)

KUHPerdata mengatur hubungan antarindividu dalam aspek-aspek seperti perkawinan, warisan, hak milik, perikatan (kontrak), dan perbuatan melawan hukum. Hukum ini memberikan kerangka bagi masyarakat untuk berinteraksi secara damai dan adil dalam hubungan privat mereka. Misalnya, ketika seseorang membuat perjanjian sewa-menyewa, hak dan kewajiban kedua belah pihak diatur oleh KUHPerdata atau undang-undang terkait lainnya.

8.4. Hukum Administrasi Negara: Undang-Undang Pelayanan Publik

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik adalah contoh hukum positif yang mengatur bagaimana pemerintah harus memberikan layanan kepada masyarakat. Ini menetapkan standar pelayanan, hak dan kewajiban penerima dan pemberi layanan, serta mekanisme pengaduan. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kualitas, akuntabilitas, dan transparansi pelayanan publik.

8.5. Hukum Lingkungan: Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah hukum positif yang bertujuan untuk melindungi lingkungan, mencegah pencemaran, dan mengatur pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan. Undang-undang ini mengatur tentang izin lingkungan, analisis dampak lingkungan (AMDAL), sanksi bagi pencemar, dan mekanisme ganti rugi. Ini menunjukkan bagaimana hukum positif digunakan untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan.

8.6. Sistem Peradilan

Seluruh struktur dan prosedur sistem peradilan di Indonesia, mulai dari Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi, Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama, Pengadilan Tata Usaha Negara, hingga Mahkamah Konstitusi, diatur secara ketat oleh hukum positif. Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang tentang Mahkamah Agung, Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi, dan berbagai undang-undang acara (Hukum Acara Pidana, Hukum Acara Perdata, dll.) adalah contoh bagaimana hukum positif membentuk dan mengatur jalannya keadilan.

8.7. Hukum Adat yang Diakui

Meskipun sebagian besar hukum positif Indonesia adalah hukum tertulis, beberapa aspek hukum adat juga diakui dan dihormati sebagai hukum positif sepanjang tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan prinsip-prinsip hukum nasional. Misalnya, dalam kasus warisan atau tanah di beberapa daerah, hukum adat masih menjadi pedoman yang mengikat dan ditegakkan.

9. Evolusi dan Dinamika Hukum Positif

Hukum positif bukanlah entitas statis; ia terus-menerus berevolusi dan beradaptasi seiring dengan perubahan masyarakat. Dinamika ini didorong oleh berbagai faktor, mulai dari perkembangan sosial, teknologi, hingga globalisasi.

9.1. Perubahan Sosial dan Kebutuhan Hukum Baru

Masyarakat terus berubah. Pergeseran nilai-nilai moral, munculnya masalah sosial baru (misalnya, kejahatan siber, diskriminasi baru), atau perubahan demografi semuanya menuntut respons dari sistem hukum. Hukum positif harus mampu menyesuaikan diri dengan kebutuhan-kebutuhan ini untuk tetap relevan dan efektif. Proses amandemen undang-undang, pembentukan undang-undang baru, atau interpretasi ulang hukum lama oleh pengadilan adalah bagian dari dinamika ini.

Sebagai contoh, munculnya media sosial dan internet melahirkan kebutuhan akan hukum positif yang mengatur informasi dan transaksi elektronik, yang kemudian diwujudkan dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Demikian pula, isu-isu lingkungan memicu lahirnya berbagai peraturan tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

9.2. Globalisasi dan Hukum Internasional

Di era globalisasi, interaksi antarnegara semakin intensif, baik dalam perdagangan, investasi, migrasi, maupun isu-isu lintas batas seperti terorisme dan perubahan iklim. Hal ini menyebabkan hukum positif suatu negara tidak bisa lagi berdiri sendiri. Perjanjian internasional dan norma-norma hukum internasional semakin memengaruhi hukum nasional. Ratifikasi traktat-traktat internasional oleh suatu negara berarti negara tersebut mengadopsi norma-norma tersebut ke dalam hukum positifnya.

Misalnya, konvensi hak asasi manusia internasional telah banyak memengaruhi rumusan hak-hak warga negara dalam konstitusi dan undang-undang nasional di berbagai negara, termasuk Indonesia.

9.3. Perkembangan Teknologi dan Tantangan Hukum

Kemajuan teknologi, seperti kecerdasan buatan (AI), bioteknologi, blockchain, dan ruang siber, menciptakan tantangan hukum yang belum pernah ada sebelumnya. Hukum positif dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan baru: Siapa yang bertanggung jawab jika AI membuat keputusan yang merugikan? Bagaimana mengatur kepemilikan aset digital? Bagaimana melindungi privasi data di era digital? Hukum positif harus berinovasi untuk dapat mengatur dan mengantisipasi dampak dari teknologi ini, memastikan bahwa teknologi digunakan untuk kemaslahatan tanpa merugikan hak-hak individu atau ketertiban sosial.

9.4. Peran Yurisprudensi dan Doktrin dalam Pengembangan Hukum

Selain perubahan legislasi, yurisprudensi (putusan pengadilan) dan doktrin (pandangan para ahli hukum) juga berperan penting dalam evolusi hukum positif. Putusan-putusan pengadilan dapat menafsirkan undang-undang dengan cara baru, mengisi kekosongan hukum, atau bahkan menciptakan norma baru yang kemudian menjadi preseden. Demikian pula, tulisan dan argumen para sarjana hukum dapat memengaruhi pemikiran legislator dan hakim, mendorong perubahan atau penyempurnaan hukum.

9.5. Dinamika Hubungan Antara Hukum dan Politik

Hukum positif adalah produk dari proses politik. Oleh karena itu, dinamika politik dalam suatu negara akan selalu memengaruhi arah dan isi hukum positif. Perubahan pemerintahan, ideologi politik yang berkuasa, atau tekanan dari kelompok masyarakat sipil dapat mendorong reformasi hukum atau sebaliknya, menghambatnya. Memahami hubungan yang kompleks antara hukum dan politik ini sangat penting untuk memahami mengapa hukum positif mengambil bentuk tertentu pada waktu tertentu.

10. Kesimpulan

Hukum positif adalah tulang punggung dari setiap masyarakat yang terorganisir. Ini adalah seperangkat aturan yang nyata, dibuat, ditetapkan, dan ditegakkan oleh otoritas yang berwenang pada waktu dan tempat tertentu. Berbeda dengan hukum alam yang bersifat universal dan ideal, hukum positif bersifat relatif, dapat diubah, dan mencerminkan kehendak serta kebutuhan masyarakat pada suatu masa.

Melalui berbagai sumber seperti undang-undang, kebiasaan, yurisprudensi, traktat, dan doktrin, hukum positif bertujuan untuk mencapai kepastian hukum, keadilan, kemanfaatan, serta ketertiban sosial. Ia berfungsi sebagai pedoman perilaku, alat pengendalian sosial, mekanisme penyelesaian sengketa, dan bahkan instrumen perubahan sosial.

Peran hukum positif sangat fundamental dalam menciptakan lingkungan yang stabil dan prediktif, memastikan keberlangsungan negara hukum, mendorong pembangunan, memediasi konflik, mengukuhkan nilai-nilai, dan memberikan legitimasi pada kekuasaan. Namun, hukum positif juga menghadapi kritik terkait rigiditasnya, potensi penyalahgunaan kekuasaan, kesenjangan dengan realitas sosial, dan tantangan dalam penegakannya.

Di Indonesia, hukum positif terwujud dalam hierarki perundang-undangan yang ketat, mulai dari UUD 1945 hingga peraturan daerah, serta dalam berbagai kitab hukum dan undang-undang khusus. Penerapannya terlihat dalam setiap sendi kehidupan, dari pengaturan hak dan kewajiban warga negara, hubungan bisnis, hingga sistem peradilan.

Sebagai entitas yang dinamis, hukum positif terus-menerus berevolusi untuk merespons perubahan sosial, perkembangan teknologi, dan dampak globalisasi. Oleh karena itu, studi dan pemahaman yang mendalam tentang hukum positif adalah esensial bagi siapa pun yang ingin memahami bagaimana masyarakat kita bekerja, bagaimana keadilan ditegakkan, dan bagaimana kita dapat berkontribusi pada pembangunan sistem hukum yang lebih baik dan lebih responsif terhadap tantangan masa depan.