Hukum pidana formal, seringkali diidentikkan dengan Hukum Acara Pidana, merupakan serangkaian kaidah hukum yang mengatur bagaimana negara, melalui aparatur penegak hukumnya, melaksanakan dan menerapkan hukum pidana materiil. Tanpa eksistensi hukum pidana formal, ketentuan-ketentuan mengenai perbuatan yang dilarang (delik) dan sanksi (pidana) yang termuat dalam hukum pidana materiil (seperti KUHP) hanya akan menjadi norma pasif tanpa daya laku.
Secara fundamental, fungsi utama dari hukum pidana formal adalah menjembatani antara terjadinya dugaan tindak pidana di masyarakat dengan putusan yang sah dari lembaga peradilan. Ia mengatur setiap langkah prosedural, mulai dari tahap awal penemuan dugaan pelanggaran (penyelidikan), pengumpulan bukti (penyidikan), penuntutan, pemeriksaan di muka sidang pengadilan, hingga pelaksanaan putusan hakim. Hukum ini bukan sekadar alat administratif, melainkan benteng perlindungan hak asasi manusia (HAM) bagi setiap warga negara yang bersinggungan dengan proses peradilan pidana.
Di Indonesia, sumber utama dari hukum pidana formal adalah Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang diresmikan melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981. KUHAP merupakan tonggak penting yang menggantikan peraturan lama peninggalan kolonial. Kehadiran KUHAP membawa filosofi baru, terutama penekanan kuat pada asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) dan hak-hak tersangka/terdakwa. Selain KUHAP, ketentuan hukum pidana formal juga tersebar dalam berbagai undang-undang khusus, seperti undang-undang tindak pidana korupsi, tindak pidana narkotika, dan undang-undang peradilan anak, yang memiliki prosedur acara khusus (lex specialis).
Memahami hukum pidana formal harus didahului dengan membedakannya dari hukum pidana materiil. Hukum pidana materiil menentukan: a) Perbuatan apa yang merupakan tindak pidana, b) Siapa yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindak pidana tersebut, dan c) Hukuman apa yang harus dijatuhkan. Sementara itu, hukum pidana formal, sebagai hukum yang bersifat prosedural, menentukan: a) Bagaimana cara membuktikan terjadinya tindak pidana, b) Bagaimana cara menahan dan memeriksa subjek yang diduga bersalah, dan c) Bagaimana proses persidangan harus dijalankan secara sah dan adil. Kesatuan antara keduanya adalah mutlak; hukum materiil tanpa formal tidak dapat diimplementasikan, dan hukum formal tanpa materiil tidak memiliki objek yang diatur.
Timbangan Keadilan: Representasi Asas Keseimbangan Hak Prosedural.
Eksistensi hukum pidana formal di Indonesia dilandasi oleh sejumlah asas yang menjadi ruh dalam seluruh proses penegakan hukum. Asas-asas ini berfungsi sebagai rambu-rambu bagi aparat penegak hukum dan menjamin bahwa proses peradilan dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip negara hukum (rechtsstaat).
Asas ini adalah yang paling utama dan menjadi ciri khas peradilan modern. Ia menyatakan bahwa setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di muka sidang pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) yang menyatakan kesalahannya. Konsekuensi logis dari asas ini adalah beban pembuktian (burden of proof) sepenuhnya berada di tangan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dan bukan pada terdakwa. Proses penyidikan dan penuntutan harus didasarkan pada upaya mencari dan menemukan kebenaran materiil, bukan sekadar membenarkan praduga awal.
Meskipun terdapat asas legalitas yang mewajibkan penuntutan dilakukan terhadap setiap delik yang memenuhi unsur hukum, KUHAP juga mengenal modifikasi melalui Asas Oportunitas, khususnya yang dijalankan oleh Kejaksaan Agung. Asas legalitas dalam konteks acara pidana mewajibkan semua tindakan hukum harus didasarkan pada undang-undang. Namun, asas oportunitas (Diskresi Penuntutan) memberi kewenangan kepada JPU untuk mengesampingkan perkara demi kepentingan umum, walaupun secara normatif delik tersebut terbukti. Hal ini menimbulkan perdebatan mendalam terkait batasan kekuasaan JPU dalam mengambil keputusan non-yudisial.
Tujuan dari asas ini adalah memastikan bahwa proses pencarian keadilan tidak berlarut-larut. Keadilan yang terlambat pada hakikatnya adalah penolakan terhadap keadilan. Proses peradilan harus diselenggarakan secara efisien, tidak rumit (sederhana dalam prosedur), dan terjangkau secara ekonomi bagi masyarakat luas. Implementasi asas ini tercermin dalam batas waktu penahanan yang ketat pada setiap tingkatan peradilan dan prosedur pemeriksaan cepat (Acara Cepat) untuk tindak pidana ringan.
Hukum pidana formal harus menciptakan keseimbangan antara kepentingan negara (dalam hal ini adalah penegakan hukum dan perlindungan masyarakat dari kejahatan) dengan kepentingan individu (perlindungan hak-hak tersangka/terdakwa). KUHAP memfasilitasi hal ini dengan memberikan hak kepada aparat untuk melakukan penahanan (kepentingan negara), tetapi juga mewajibkan penyediaan penasihat hukum bagi tersangka (perlindungan hak individu).
Pada prinsipnya, seluruh pemeriksaan di sidang pengadilan harus dilakukan secara terbuka untuk umum, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang (misalnya, sidang kasus kesusilaan atau anak). Asas keterbukaan ini adalah manifestasi dari pengawasan publik terhadap proses peradilan, menjamin transparansi, dan mencegah praktik penyimpangan oleh hakim atau JPU. Putusan hakim harus pula diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum.
Analisis filosofis dari asas-asas ini menunjukkan bahwa hukum pidana formal tidak hanya berbicara tentang bagaimana menghukum orang yang bersalah, tetapi juga bagaimana memastikan bahwa yang tidak bersalah terlindungi, dan bahwa proses penetapan kesalahan dilakukan dengan cara yang paling bermartabat dan sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan universal. Pengabaian terhadap satu asas dapat mencederai keseluruhan integritas sistem peradilan pidana.
Proses pidana formal di Indonesia terbagi menjadi beberapa fase utama yang masing-masing memiliki kewenangan dan prosedur yang sangat spesifik. Kesalahan prosedural (error in procedendo) pada salah satu tahap dapat berakibat fatal, mulai dari dibatalkannya hasil penyidikan hingga tidak diterimanya tuntutan di pengadilan.
Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan apakah penyidikan perlu atau tidak dilakukan. Fokus utamanya adalah menemukan ‘peristiwa’ pidana. Penyelidik (biasanya anggota kepolisian) memiliki wewenang terbatas, seperti menerima laporan, mencari keterangan dan barang bukti, serta melakukan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang, untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Ini adalah tahap krusial di mana hak-hak dasar individu paling rentan dilanggar. Penyidik (Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu) memiliki wewenang yang luas.
Kaca Pembesar: Representasi Tahap Penemuan Bukti (Penyidikan).
Penuntutan adalah tindakan Jaksa Penuntut Umum (JPU) untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang. Keputusan untuk menuntut didasarkan pada hasil penyidikan yang dinilai cukup. Dokumen terpenting pada tahap ini adalah Surat Dakwaan. Hukum pidana formal menuntut Surat Dakwaan harus memenuhi syarat formal dan materiil.
Peran JPU sangat sentral, karena ia bertindak mewakili kepentingan negara dan masyarakat dalam persidangan. JPU harus mampu membuktikan bahwa terdakwa benar-benar melakukan perbuatan pidana dan memenuhi semua unsur delik yang didakwakan.
Tahap pemeriksaan adalah puncak dari hukum pidana formal. Ini adalah panggung di mana hakim memutuskan nasib terdakwa berdasarkan alat bukti sah yang dihadirkan di muka sidang. Pemeriksaan dilakukan oleh Majelis Hakim (kecuali untuk perkara tunggal), dipimpin oleh Hakim Ketua. Proses ini meliputi pembacaan dakwaan, pemeriksaan saksi dan ahli, pemeriksaan terdakwa, pembacaan tuntutan (requisitoir) oleh JPU, pembelaan (pleidoi) oleh penasihat hukum/terdakwa, dan akhirnya putusan hakim (vonis).
Hukum pidana formal Indonesia menganut sistem pembuktian negatif-stelsel terbatas, artinya putusan hakim harus didasarkan pada dua hal kumulatif: Keyakinan Hakim dan Alat Bukti yang Sah berdasarkan undang-undang. Alat bukti yang sah menurut KUHAP adalah:
Keterangan saksi harus memenuhi syarat formil dan materiil; satu saksi bukanlah saksi (unus testis nullus testis), sehingga diperlukan minimal dua alat bukti sah lainnya, atau minimal satu saksi ditambah alat bukti lainnya yang mendukung keyakinan hakim.
Hukum formal mewajibkan hakim untuk mencantumkan alasan-alasan yang jelas mengenai alat bukti mana yang digunakan dan mengapa alat bukti tersebut meyakinkan. Ini adalah wujud dari pertanggungjawaban hakim kepada publik dan menjadi dasar untuk pemeriksaan di tingkat banding atau kasasi.
Hukum pidana formal menjamin hak terdakwa dan JPU untuk mengajukan upaya hukum jika tidak menerima putusan pengadilan tingkat pertama. Terdapat dua jenis upaya hukum utama:
PK hanya dapat diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya kepada MA. Tujuannya adalah mencari kebenaran yang sesungguhnya apabila ditemukan ‘novum’ (bukti baru) yang pada saat sidang dahulu belum ditemukan, atau terdapat kekhilafan/kekeliruan nyata dari hakim. PK tidak menunda pelaksanaan pidana (eksekusi), kecuali pidana mati.
Inti dari hukum pidana formal yang modern adalah perlindungan hak asasi manusia. Hak-hak ini harus dijamin dari tahap penyelidikan hingga upaya hukum, guna menghindari peradilan sesat (miscarriage of justice).
Ini adalah hak fundamental. KUHAP mewajibkan pemberian bantuan hukum gratis bagi tersangka/terdakwa yang diancam pidana 5 tahun atau lebih, serta bagi mereka yang tidak mampu. Penasihat hukum (advokat) memiliki peran vital dalam mengawasi proses penyidikan, memastikan hak klien terpenuhi, dan menyusun pembelaan yang kuat. Tanpa pendampingan hukum yang efektif, asas keseimbangan pihak tidak akan terwujud.
Meskipun tidak secara eksplisit disebut sebagai “hak untuk diam” seperti dalam sistem common law, KUHAP menjamin bahwa keterangan terdakwa diberikan secara bebas dan sukarela. Terdakwa memiliki hak untuk tidak menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya di sidang. Pengakuan (bekentenis) di luar sidang tidak dapat serta merta menjadi alat bukti yang sah jika tidak didukung oleh alat bukti lain yang sah.
Jika tersangka/terdakwa tidak memahami bahasa Indonesia, atau mengalami tuna rungu atau tuna wicara, hukum pidana formal mewajibkan penyidik, penuntut, dan hakim menyediakan penerjemah atau juru bahasa yang disumpah. Ini menjamin proses komunikasi hukum berjalan efektif dan hak untuk membela diri dapat dilaksanakan sepenuhnya.
Praperadilan adalah mekanisme kontrol yuridis terhadap tindakan represif aparat penegak hukum. Ia berfungsi untuk menguji sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan (SP3), penghentian penuntutan, dan permintaan ganti rugi/rehabilitasi. Pengajuan praperadilan merupakan implementasi nyata dari prinsip negara hukum, memastikan bahwa kekuasaan penyidik dan JPU dibatasi oleh prosedur hukum yang ketat.
Keberhasilan pelaksanaan hukum pidana formal sangat bergantung pada profesionalisme dan integritas subjek-subjek hukum yang terlibat di dalamnya. Setiap subjek memiliki batasan kewenangan yang diatur secara detail dalam KUHAP.
Kepolisian sebagai gerbang pertama (front line) dalam proses pidana memikul beban besar. Peran mereka adalah memastikan bahwa bukti permulaan yang cukup didapatkan secara sah dan tidak melanggar hak asasi. Kewenangan diskresioner yang dimiliki penyidik (seperti dalam melakukan penangkapan mendesak) harus selalu diimbangi dengan prinsip akuntabilitas dan pengawasan internal yang ketat.
JPU dikenal sebagai ‘Dominus Litis’ (Penguasa Perkara), memegang kendali penuh atas penuntutan. Selain wewenang penuntutan, JPU juga bertugas sebagai pelaksana putusan hakim (eksekutor). Kontrol terhadap JPU dalam hukum pidana formal sangat penting, terutama terkait penggunaan diskresi penuntutan, di mana transparansi dan justifikasi keputusan menjadi krusial.
Hakim adalah puncak dari proses formal. Dalam persidangan, hakim bertindak sebagai pihak yang pasif dan imparsial. Ia tidak boleh mencari bukti sendiri, melainkan menilai bukti yang diajukan oleh JPU dan terdakwa. Keputusan hakim harus berdasarkan hukum, tidak memihak, dan mampu mencerminkan nilai-nilai keadilan substantif, melampaui keadilan prosedural belaka.
Kemandirian hakim dalam hukum pidana formal adalah esensial. Kebebasan hakim dari intervensi eksekutif atau legislatif menjamin putusan yang dihasilkan murni didasarkan pada fakta dan hukum yang berlaku, serta keyakinan yang bertanggung jawab.
Palu Hakim: Representasi Tahap Pengadilan dan Putusan.
Dalam perkembangannya, hukum pidana formal menghadapi berbagai tantangan yang menuntut penyesuaian terhadap dinamika kejahatan modern dan tuntutan masyarakat akan keadilan yang lebih humanis dan restoratif.
Dalam beberapa tahun terakhir, konsep keadilan restoratif telah diintegrasikan ke dalam hukum pidana formal Indonesia, terutama di tingkat kepolisian dan kejaksaan. Keadilan restoratif menawarkan alternatif penanganan perkara pidana ringan dengan mengedepankan pemulihan korban, permintaan maaf, dan penyelesaian damai tanpa harus melalui proses pengadilan yang panjang. Meskipun demikian, penerapan RJ dalam KUHAP masih bersifat parsial dan terbatas, menimbulkan tantangan dalam hal standardisasi dan batasan tindak pidana yang dapat diselesaikan melalui mekanisme ini.
KUHAP disusun pada tahun 1981, jauh sebelum era kejahatan siber (cybercrime). Hal ini menimbulkan kesulitan besar dalam menyerap alat bukti elektronik (seperti data digital, email, rekaman CCTV) ke dalam lima jenis alat bukti sah yang diakui. Meskipun UU ITE telah membantu, harmonisasi antara KUHAP dan undang-undang khusus terkait bukti digital masih menjadi pekerjaan rumah terbesar dalam ranah hukum pidana formal.
Hukum formal modern harus secara jelas mengatur bagaimana penyitaan data digital dilakukan (misalnya, penyitaan server di luar yurisdiksi), bagaimana integritas data dijamin (chain of custody), dan bagaimana ahli forensik digital harus memberikan keterangan di pengadilan, agar bukti tersebut sah dan meyakinkan.
Salah satu kritik terhadap implementasi hukum pidana formal adalah potensi penyalahgunaan wewenang, terutama terkait penahanan yang tidak proporsional dan penghentian perkara yang tidak transparan. Meskipun mekanisme praperadilan telah disediakan, perlunya penguatan sistem pengawasan internal dan eksternal, termasuk peran lembaga pengawas independen, sangat mendesak untuk menjamin setiap tindakan represif dilakukan sesuai koridor hukum.
Perdebatan sentral dalam hukum pidana formal adalah ketegangan antara keadilan prosedural (procedural justice) dan keadilan substantif (substantive justice). Hukum pidana formal secara mutlak berkutat pada keadilan prosedural: apakah langkah-langkah yang diambil oleh negara sudah sesuai dengan undang-undang? Apakah hak-hak tersangka sudah dipenuhi? Keadilan formal menuntut bahwa aturan main harus diikuti, bahkan jika hasilnya mungkin dirasa kurang adil secara substansi (misalnya, terdakwa lolos karena cacat formal dakwaan).
Namun, tujuan akhir dari seluruh proses formal adalah tercapainya keadilan substantif, yaitu penetapan putusan yang benar-benar mencerminkan kebenaran materiil (apakah terdakwa benar-benar bersalah) dan memberikan hukuman yang setimpal. Hukum pidana formal mencoba untuk memastikan bahwa keadilan substantif dicapai melalui prosedur yang adil, bukan dengan mengabaikan prosedur. Jika prosedur dilanggar, maka hasil substantifnya akan cacat, bahkan jika putusan akhirnya benar secara fakta.
KUHAP menekankan 'kebenaran materiil', yang berarti proses hukum tidak boleh berhenti hanya pada kebenaran formil. Hakim wajib aktif menggali kebenaran, memastikan alat bukti yang digunakan murni dan tidak direkayasa. Ini membedakan sistem hukum Indonesia yang cenderung aktif-inkuisitorial (meski bergeser ke arah adversarial) dari sistem yang murni pasif.
Pengakuan negara terhadap potensi kegagalan hukum pidana formal ditunjukkan melalui ketentuan mengenai rehabilitasi dan kompensasi. Seseorang yang ditahan, ditangkap, atau dituntut tanpa dasar hukum yang sah, atau yang kemudian divonis bebas/lepas (vrijspraak/onslag) berhak menuntut rehabilitasi (pemulihan nama baik) dan kompensasi (ganti rugi finansial) dari negara. Ketentuan ini berfungsi sebagai katup pengaman dan pengakuan bahwa kesalahan prosedural atau substansif oleh aparat penegak hukum harus dipertanggungjawabkan oleh negara.
Kompensasi dan rehabilitasi merupakan wujud tanggung jawab negara terhadap kerugian yang diderita warga negara akibat proses hukum yang tidak adil atau salah. Hukum formal mengatur secara rinci prosedur dan syarat pengajuan permohonan kompensasi ini, yang umumnya diajukan melalui mekanisme praperadilan.
Hukum pidana formal juga mengatur batasan waktu bagi negara untuk menuntut dan melaksanakan pidana (daluwarsa). Daluwarsa kewenangan menuntut adalah prinsip yang mengakui bahwa setelah jangka waktu tertentu, kepentingan negara untuk menuntut seseorang atas suatu kejahatan harus gugur, demi kepastian hukum. Jangka waktu ini bervariasi tergantung beratnya ancaman pidana. Demikian pula, daluwarsa menjalankan pidana (eksekusi) berarti putusan pidana yang telah inkracht tidak dapat lagi dieksekusi setelah lewatnya batas waktu yang ditentukan undang-undang. Ini menunjukkan adanya batas temporal bagi intervensi negara dalam kehidupan individu, bahkan dalam hal penegakan hukum.
Regulasi mengenai daluwarsa ini menunjukkan komitmen hukum pidana formal terhadap asas kepastian hukum. Individu tidak boleh diancam penuntutan selamanya; pada titik tertentu, mereka berhak atas ketenangan dan kepastian bahwa masa lalu pidananya telah selesai secara yuridis.
Hukum pidana formal adalah tiang penyangga utama bagi penegakan supremasi hukum dan hak asasi manusia di Indonesia. Ia adalah mekanisme yang memastikan bahwa penggunaan kekerasan dan kekuasaan negara terhadap warga negara dilakukan dalam batas-batas yang diakui dan dilegitimasi oleh undang-undang.
Konsolidasi hukum pidana formal di masa depan memerlukan upaya berkelanjutan dalam tiga aspek: pertama, reformasi legislasi untuk mengintegrasikan secara penuh tantangan modern seperti kejahatan siber dan keadilan restoratif, sekaligus menyederhanakan prosedur yang rumit. Kedua, peningkatan kapasitas dan integritas seluruh aparatur penegak hukum, mulai dari penyelidik hingga hakim, agar prinsip-prinsip KUHAP tidak hanya menjadi norma tekstual tetapi terinternalisasi dalam praktik. Ketiga, penguatan mekanisme pengawasan dan pertanggungjawaban, khususnya melalui penguatan peran praperadilan dan lembaga pengawas eksternal, untuk meminimalkan penyalahgunaan wewenang.
Penerapan hukum pidana formal yang efektif dan berkeadilan adalah prasyarat mutlak bagi terciptanya negara hukum yang demokratis dan menghormati martabat setiap warga negaranya. Setiap tahapan, setiap prosedur, dan setiap hak yang dijamin di dalamnya harus dimaknai sebagai upaya kolektif untuk menjamin bahwa kebenaran materiil ditemukan dan keadilan prosedural ditegakkan tanpa kompromi.