Hiwang: Perhiasan Emas Pra-Kolonial dan Kekayaan Nusantara yang Terlupakan

Hiwang, sebuah nama yang mungkin asing bagi banyak orang, namun menyimpan sejarah gemilang peradaban maritim di Asia Tenggara. Ia bukan sekadar perhiasan; Hiwang adalah artefak yang berbicara tentang status sosial, keterampilan metalurgi tingkat tinggi, dan jaringan perdagangan global yang menghubungkan Nusantara jauh sebelum era kolonial. Dalam untaian emas yang rumit ini, tersembunyi kisah kejayaan leluhur kita yang menguasai lautan dan seni ukir logam.

I. Definisi, Asal-Usul, dan Konteks Terminologi Hiwang

Dalam ranah arkeologi Asia Tenggara, Hiwang merujuk secara spesifik pada jenis perhiasan telinga atau anting-anting pra-kolonial yang ditemukan terutama di kepulauan Filipina bagian selatan dan beberapa wilayah Indonesia bagian timur, meskipun hubungan kebudayaan Maritim Austronesia memungkinkan penyebarannya yang lebih luas.

1. Etimologi dan Makna Kultural

Secara etimologi, kata Hiwang sering dikaitkan dengan bahasa-bahasa Austronesia yang merujuk pada benda yang digantungkan atau dikenakan pada telinga. Meskipun variasinya banyak, ciri khas utama Hiwang adalah materialnya yang dominan terbuat dari emas murni atau paduan emas, serta bentuknya yang masif namun detail.

Hiwang merupakan bagian dari tradisi yang lebih besar dalam penggunaan perhiasan emas di kawasan yang kaya akan sumber daya logam ini. Kawasan ini, yang sering disebut sebagai "Kepulauan Emas" oleh catatan-catatan kuno Tiongkok dan India, memiliki tradisi metalurgi yang independen dan sangat maju. Artefak ini menjadi bukti nyata bahwa sebelum kedatangan bangsa Eropa, masyarakat di Nusantara telah memiliki peradaban kompleks dengan strata sosial yang jelas, di mana emas memainkan peran sentral.

2. Perbedaan dengan Artefak Serupa

Penting untuk membedakan Hiwang dari perhiasan telinga pra-kolonial lainnya, seperti Lingling-o yang lebih dikenal di Vietnam Utara dan Taiwan, meskipun secara morfologi terdapat kesamaan fungsi. Lingling-o cenderung memiliki bentuk J atau C tertutup dengan bukaan sempit, seringkali terbuat dari giok (nefrit), kemudian bertransformasi menjadi emas. Hiwang, di sisi lain, seringkali lebih berfokus pada teknik kawat (filigri) dan granulasi, menunjukkan puncak keahlian pandai emas lokal di wilayah Filipina-Indonesia.

Namun, dalam konteks arkeologi maritim, ketiga jenis artefak ini—Hiwang, Lingling-o, dan perhiasan sejenis yang ditemukan di situs-situs Jawa dan Sumatera—merefleksikan suatu kesatuan budaya material Austronesia. Mereka semua berfungsi sebagai penanda status yang kuat, menghubungkan pemakainya dengan dunia spiritual dan hierarki sosial tertinggi. Perbedaan detail dalam desain dan teknik seringkali hanya menunjukkan variasi lokal dalam tradisi metalurgi yang mendasarinya.

Kepadatan dan kemurnian emas pada Hiwang menunjukkan bahwa perhiasan ini tidak dibuat untuk konsumsi massa. Hanya segelintir individu, umumnya datu (pemimpin), bangsawan, atau tokoh spiritual tinggi, yang berhak mengenakannya. Emas pada zaman itu bukan hanya alat tukar, melainkan manifestasi fisik dari kekuatan ilahi dan koneksi kosmik. Hiwang adalah perantara antara dunia manusia dan dunia roh, sebuah konsep yang mendalam dalam kepercayaan animisme yang dianut masyarakat pra-kolonial.

II. Latar Belakang Sejarah: Peradaban Emas di Nusantara

Untuk memahami Hiwang, kita harus menengok kembali pada peradaban maritim yang berkembang antara abad ke-5 hingga abad ke-15 Masehi. Periode ini adalah puncak kejayaan kerajaan-kerajaan perdagangan yang memanfaatkan kekayaan alam regional, terutama emas.

1. Sumber Emas dan Jaringan Perdagangan

Nusantara dikenal kaya akan deposit emas aluvial. Area seperti Butuan (Filipina Selatan), Kalimantan, Sumatera (terutama Jambi), dan Sulawesi Tengah, adalah pusat penambangan emas yang menghasilkan bijih dengan kemurnian tinggi. Emas yang digunakan untuk Hiwang sebagian besar berasal dari sumber lokal, yang kemudian diolah oleh pandai emas yang sangat terampil.

Jaringan perdagangan yang masif menghubungkan komunitas-komunitas pembuat Hiwang ini dengan Tiongkok, India, dan Kekaisaran Srivijaya serta Majapahit. Emas, sebagai komoditas utama, diperdagangkan sebagai bijih, batangan, dan dalam bentuk perhiasan yang telah selesai, termasuk Hiwang. Keterlibatan dalam perdagangan internasional ini tidak hanya membawa kemakmuran, tetapi juga memperkenalkan teknik-teknik baru dalam metalurgi dan desain, meskipun pandai emas lokal selalu mengadaptasinya sesuai dengan estetika dan kepercayaan setempat.

Buktinya terlihat dari kemiripan beberapa motif Hiwang dengan motif-motif yang ditemukan di perhiasan dari Dinasti Tang di Tiongkok atau perhiasan dari periode Cola di India Selatan. Namun, penggabungan motif-motif ini dengan elemen-elemen khas Austronesia, seperti spiral yang melambangkan air dan kesuburan, atau desain hewan mitologis, menghasilkan karya seni yang unik dan otentik Nusantara.

2. Masyarakat Hierarkis dan Fungsi Emas

Masyarakat pra-kolonial di wilayah tersebut umumnya terstruktur secara hierarkis. Di puncak piramida sosial terdapat datu atau rajah, diikuti oleh bangsawan, orang bebas, dan di bagian bawah terdapat budak atau kelompok pekerja. Emas memainkan peran penting dalam memvisualisasikan hierarki ini. Semakin banyak dan semakin rumit perhiasan yang dikenakan, semakin tinggi status seseorang.

Hiwang, sebagai perhiasan yang paling dekat dengan kepala—pusat spiritual dan intelektual—memiliki nilai simbolis yang luar biasa. Ia adalah mahkota mini yang menempel di telinga, seringkali dikenakan berpasangan, atau bahkan dalam jumlah yang banyak, menutupi seluruh daun telinga, menunjukkan kemegahan yang luar biasa bagi pemakainya. Beratnya emas juga menjadi indikator langsung dari kekayaan yang dimiliki, di mana Hiwang yang paling megah bisa mencapai puluhan bahkan ratusan gram emas murni.

III. Tipologi dan Teknik Metalurgi Hiwang

Salah satu aspek yang paling memukau dari Hiwang adalah keterampilan teknis yang diperlukan untuk membuatnya. Pandai emas pra-kolonial menguasai teknik yang sangat kompleks, setara dengan yang ada di peradaban besar lainnya di dunia, tetapi dilakukan dengan peralatan yang relatif primitif (dibandingkan dengan standar modern).

Ilustrasi Hiwang Kuno Ilustrasi sederhana perhiasan telinga kuno Hiwang yang terbuat dari emas, menunjukkan bentuk spiral dan detail filigri.

Hiwang adalah perhiasan telinga emas yang sering menggunakan teknik granulasi dan filigri. Bentuknya dapat bervariasi dari spiral hingga bentuk C yang masif.

1. Teknik Granulasi (Granulation)

Granulasi adalah teknik menyolder bola-bola emas yang sangat kecil (granula) ke permukaan logam dasar, menciptakan tekstur yang rumit dan berkilau. Untuk Hiwang, teknik ini sering digunakan untuk mengisi area tertentu atau menciptakan pola geometris yang presisi. Yang menakjubkan adalah ukuran granula yang terkadang hampir mikroskopis, menuntut ketelitian luar biasa. Pandai emas harus mampu mengontrol suhu peleburan dengan tepat agar granula melebur dan menempel tanpa kehilangan bentuknya atau meleburkan emas dasarnya.

Penguasaan granulasi di Nusantara, yang mencapai puncaknya dalam pembuatan Hiwang dan perhiasan sejenis, menunjukkan pemahaman mendalam tentang sifat-sifat termal emas. Ini bukan hanya teknik dekoratif; ia menambah dimensi visual yang membuat perhiasan tersebut tampak berkilauan di bawah sinar matahari, meningkatkan efek kemewahan dan keajaiban.

2. Teknik Filigri (Filigree)

Filigri melibatkan penggunaan kawat emas yang sangat halus, seringkali lebih tipis dari rambut manusia, yang dililit, dipilin, dan dibentuk menjadi desain-desain terbuka yang rumit. Banyak Hiwang yang ditemukan memiliki badan utama yang masif, tetapi dihiasi dengan pola filigri yang membentuk motif flora, fauna, atau motif kosmik.

Kawat-kawat ini harus ditarik secara manual dan seragam, sebuah proses yang sangat melelahkan. Kemudian, mereka disolder ke permukaan Hiwang, menciptakan efek renda emas yang rapuh namun kokoh. Filigri memungkinkan pandai emas menciptakan ilusi cahaya dan bayangan, memberikan Hiwang tampilan yang ringan meskipun sebenarnya terbuat dari emas padat.

3. Klasifikasi Tipologi Hiwang

Meskipun terdapat variasi regional, Hiwang dapat diklasifikasikan berdasarkan bentuk dasarnya:

Setiap tipe ini menuntut penguasaan teknik yang berbeda. Hiwang tipe spiral memerlukan pemanasan dan pembentukan yang presisi, sementara tipe C yang masif seringkali memerlukan teknik repoussé (mengetok dari belakang) untuk menciptakan relief dan volume pada permukaan emas yang tebal. Pengujian metalurgi modern sering mengungkap bahwa emas yang digunakan memiliki kemurnian antara 18 hingga 22 karat, menunjukkan akses mudah terhadap bahan mentah berkualitas tinggi.

IV. Hiwang dalam Konteks Arkeologi: Penemuan Penting

Sebagian besar pengetahuan kita tentang Hiwang berasal dari penemuan arkeologi yang spektakuler pada pertengahan hingga akhir abad ke-20, terutama di wilayah Filipina Selatan dan beberapa area di Indonesia, yang menggarisbawahi kekayaan Kerajaan Butuan dan jaringan maritimnya.

1. Harta Karun Butuan (Butuan Gold Hoard)

Penemuan paling signifikan yang menampilkan Hiwang dalam jumlah besar adalah di sekitar Butuan, Mindanao Utara, Filipina (yang secara historis memiliki hubungan erat dengan kerajaan-kerajaan di Kalimantan dan Sulawesi). Sejak tahun 1970-an, sejumlah besar artefak emas telah ditemukan, termasuk Hiwang, topeng kematian, perhiasan tubuh, dan mangkuk emas.

Hiwang dari Butuan dikenal karena ukurannya yang besar dan penggunaan teknik filigri yang menakjubkan. Penemuan ini, seringkali ditemukan di kuburan perahu (balangay), menunjukkan bahwa individu yang dimakamkan adalah figur penting yang dikubur dengan kekayaan yang mencerminkan status mereka di dunia selanjutnya. Analisis terhadap Hiwang Butuan menunjukkan bahwa perhiasan tersebut berasal dari abad ke-10 hingga ke-13 Masehi, menandai puncak kejayaan maritim Butuan sebagai pusat perdagangan utama Asia Tenggara.

2. Hubungan dengan Situs Indonesia

Meskipun istilah ‘Hiwang’ lebih sering diasosiasikan dengan temuan Filipina, artefak perhiasan telinga emas dengan teknik dan bentuk yang serupa telah ditemukan di beberapa situs di Indonesia Timur dan Tengah, menunjukkan adanya kesinambungan budaya maritim. Misalnya, penemuan perhiasan emas di Sulawesi dan Maluku sering kali mencerminkan keahlian yang serupa dalam granulasi dan filigri, menunjukkan bahwa pandai emas di seluruh kepulauan berbagi pengetahuan teknik dan mungkin bahkan berpindah-pindah mengikuti jalur perdagangan.

Di Jawa, emas pra-kolonial dikenal karena bentuknya yang lebih sering berupa cakram (anting-anting mas) atau patung-patung kecil, dipengaruhi oleh tradisi Hindu-Buddha. Namun, perhiasan telinga yang lebih bersifat 'primal' atau animistik, yang memiliki kesamaan dengan Hiwang dalam hal penggunaan bentuk spiral kosmik dan kawat yang dipilin, menunjukkan adanya lapisan budaya yang lebih tua yang melintasi batas-batas kerajaan besar.

3. Bukti Perdagangan dan Migrasi Budaya

Kehadiran Hiwang dengan bahan dan desain yang sangat mirip di situs yang terpisah ratusan mil menunjukkan adanya interaksi budaya yang intens. Pertukaran antara pulau-pulau tidak hanya terbatas pada komoditas, tetapi juga melibatkan transfer teknologi dan ide-ide estetika.

Para pandai emas mungkin adalah pengrajin keliling, yang membawa cetakan, alat, dan teknik mereka dari satu pelabuhan ke pelabuhan lainnya, menghasilkan variasi lokal dari desain dasar Hiwang. Ini menegaskan bahwa konsep 'Nusantara' sebagai unit budaya dan ekonomi telah ada lama sebelum kedatangan kekuatan asing, diikat oleh bahasa, pelayaran, dan, dalam hal ini, seni pembuatan emas yang luar biasa.

Penelitian geokimia modern pada bijih emas yang digunakan dalam Hiwang dapat membantu melacak asal usul material tersebut, memberikan petunjuk yang lebih konkret tentang jalur perdagangan mana yang paling aktif dan komunitas mana yang berfungsi sebagai pusat produksi utama Hiwang selama periode pra-kolonial.

V. Makna Sosial dan Spiritual Hiwang

Hiwang jauh melampaui fungsinya sebagai ornamen. Ia adalah penanda identitas, kekuasaan, dan hubungan spiritual yang mendalam bagi pemakainya. Nilai intrinsiknya (berat emas) hanya sebagian dari nilainya; nilai simbolisnya tak ternilai.

1. Penanda Status Elit dan Kekayaan

Hiwang adalah simbol kemewahan dan legitimasi kekuasaan. Di masyarakat yang didominasi oleh sistem datu, hak untuk mengenakan perhiasan emas masif seperti Hiwang diwariskan atau diperoleh melalui pencapaian luar biasa dalam perang atau perdagangan. Seorang pemimpin yang mengenakan Hiwang secara efektif mengumumkan kepada seluruh komunitasnya—dan kepada pengunjung asing—bahwa ia adalah individu yang kaya, kuat, dan dilindungi oleh roh leluhur.

Bagi para elit, emas adalah representasi kekayaan yang tidak membusuk, melambangkan keabadian kekuasaan mereka. Ketika Hiwang dikuburkan bersama pemiliknya, ini menandakan bahwa status tinggi itu berlanjut ke alam baka. Praktik penguburan dengan harta emas yang masif adalah umum di peradaban Maritim Austronesia, menegaskan keyakinan akan kebutuhan material di kehidupan setelah mati.

2. Dimensi Kosmik dan Spiritual

Dalam kepercayaan animisme kuno, telinga bukan hanya organ pendengaran fisik, tetapi juga jalur penting untuk mendengar bisikan roh, leluhur, dan dewa. Hiwang, yang melingkari telinga, berfungsi sebagai pelindung dan penguat. Ia melindungi pemakainya dari roh jahat dan pada saat yang sama, membantu memfasilitasi komunikasi dengan dunia spiritual.

Bentuk-bentuk yang sering digunakan pada Hiwang, seperti spiral, melambangkan perjalanan kosmik, air, dan kesuburan abadi. Emas itu sendiri dianggap sebagai materi yang "hidup" atau material yang paling dekat dengan matahari atau dewa tertinggi. Oleh karena itu, mengenakan Hiwang menjadikan pemakainya lebih dekat dengan kesucian dan kekuatan kosmik.

Hiwang juga sering dihiasi dengan pola geometris yang diyakini memiliki kekuatan magis atau menjadi peta kosmos. Setiap lekukan kawat filigri atau setiap titik granulasi dapat mewakili bintang, laut, atau gunung, mencerminkan pemahaman rumit leluhur tentang alam semesta dan tempat mereka di dalamnya.

3. Ritual dan Transisi Kehidupan

Dalam beberapa tradisi yang terkait dengan perhiasan telinga emas, Hiwang dikenakan sebagai bagian dari ritual transisi. Ini mungkin dikenakan saat inisiasi menjadi dewasa, pelantikan sebagai pemimpin baru, atau sebagai bagian integral dari upacara pemakaman. Dalam konteks pemakaman, jika Hiwang tersebut adalah bagian dari harta yang dikuburkan (misalnya, sebagai bagian dari topeng kematian atau perhiasan yang melekat pada jenazah), ia dipandang sebagai tiket masuk atau bekal bagi jiwa di perjalanan menuju alam baka.

Kesatuan antara perhiasan dan ritual menunjukkan bahwa Hiwang bukanlah benda mati, tetapi artefak yang memiliki peran aktif dalam kehidupan sosial dan spiritual masyarakat pra-kolonial. Setiap Hiwang membawa sejarahnya sendiri—siapa yang memakainya, bagaimana ia diperoleh, dan ritual apa yang telah dilaluinya. Pemahaman mendalam ini penting untuk menghindari Hiwang hanya dilihat sebagai 'emas', melainkan sebagai 'sejarah yang dibentuk'.

VI. Studi Kasus Mendalam: Kontinuitas dan Variasi Regional

Untuk benar-benar mengapresiasi kompleksitas Hiwang, kita perlu melihat bagaimana desain dan fungsinya beradaptasi di berbagai wilayah maritim Asia Tenggara. Meskipun Filipina (Butuan) adalah pusat penemuan Hiwang yang paling terkenal, jejak-jejaknya juga memberikan wawasan tentang kesinambungan budaya hingga ke Indonesia bagian timur.

1. Hiwang di Mindanao dan Visayas

Di wilayah Filipina Selatan, Hiwang seringkali dikaitkan dengan kerajaan-kerajaan yang belum terpengaruh kuat oleh Hinduisme atau Buddhisme India, tetapi secara langsung berinteraksi dengan Tiongkok dan dunia Islam melalui perdagangan. Hiwang di sini cenderung menampilkan desain yang lebih "naturalistik" atau "primal"—menggunakan motif spiral yang kuat, bentuk binatang mitos (seringkali Naga atau Manusia Burung), dan sangat berlimpah dalam teknik granulasi.

Perbedaan regional juga terlihat; Hiwang dari Surigao, misalnya, mungkin lebih tebal dan masif, menunjukkan cadangan emas lokal yang kaya, sementara Hiwang dari Palawan mungkin menunjukkan pengaruh yang lebih halus, terinspirasi oleh interaksi dengan tradisi keramik dan giok yang ada di wilayah tersebut.

2. Hiwang dan Tradisi Emas di Indonesia Timur

Di Indonesia, terutama di Sulawesi dan Maluku, penggunaan perhiasan telinga emas yang masif dan rumit juga merupakan penanda status yang kuat, meskipun mungkin tidak selalu disebut 'Hiwang'. Artefak serupa sering kali memiliki bentuk yang lebih cenderung berupa cakram besar atau liontin yang terpasang di telinga, menggunakan teknik filigri dan granulasi yang hampir identik dengan yang ditemukan di Butuan.

Di Sulawesi Tengah, misalnya, perhiasan emas kuno yang ditemukan seringkali memiliki kemiripan kuat dalam teknik pengolahan kawat. Hal ini menunjukkan adanya pertukaran teknologi pengrajin emas melintasi Laut Sulu dan Laut Sulawesi, yang berfungsi sebagai "jalan tol" perdagangan di zaman pra-kolonial.

Kontinuitas ini menggarisbawahi tesis bahwa seluruh kepulauan, dari Sumatera hingga Pasifik, beroperasi dalam satu "Oikumene" maritim, di mana pengetahuan metalurgi yang spesifik (seperti cara membuat bubuk emas halus untuk granulasi) adalah rahasia dagang yang berharga dan dihormati oleh semua elit di wilayah tersebut.

VII. Tantangan Pelestarian dan Relevansi Kontemporer

Warisan Hiwang menghadapi tantangan besar, baik dari penjarahan artefak maupun dari kurangnya kesadaran publik. Namun, pengakuan atas nilai Hiwang semakin meningkat, menjadikannya kunci untuk memahami identitas sejarah Asia Tenggara.

1. Penjarahan dan Hilangnya Konteks Arkeologi

Sayangnya, banyak Hiwang yang ditemukan dalam konteks penjarahan ilegal (looting). Ketika artefak diambil tanpa catatan lokasi, kedalaman, dan asosiasi dengan artefak lain, Hiwang kehilangan sebagian besar nilai ilmiahnya. Konteks arkeologi adalah segalanya; ia yang memberi tahu kita siapa pemakainya, kapan ia dibuat, dan dengan siapa ia berinteraksi. Hiwang yang dicuri dan diperdagangkan secara ilegal di pasar seni global menjadi sekadar objek emas tanpa cerita, memutus narasi sejarah.

Upaya pelestarian modern melibatkan pemetaan situs secara digital, kerja sama dengan komunitas lokal untuk melindungi situs bersejarah, dan edukasi publik mengenai pentingnya menjaga konteks arkeologi. Museum-museum regional kini berfungsi sebagai penjaga utama koleksi Hiwang yang tersisa, memamerkannya sebagai bukti peradaban yang mandiri dan maju.

2. Hiwang dalam Identitas Modern

Meskipun Hiwang adalah artefak kuno, ia memiliki relevansi yang kuat dalam pembangunan identitas kontemporer di Asia Tenggara. Bagi generasi muda di Filipina dan Indonesia, Hiwang berfungsi sebagai simbol kebanggaan terhadap keterampilan dan kekayaan leluhur pra-kolonial. Artefak ini menantang narasi sejarah yang seringkali hanya berfokus pada periode kolonial atau pengaruh India-Tiongkok.

Desainer perhiasan modern sering mengambil inspirasi dari bentuk spiral dan filigri Hiwang, menerjemahkan desain kuno menjadi karya kontemporer. Penggunaan kembali motif-motif ini membantu menjaga ingatan kolektif tentang keunggulan metalurgi leluhur dan nilai estetik yang luar biasa dari warisan Austronesia. Hal ini juga mendukung industri kerajinan lokal untuk menghidupkan kembali teknik-teknik pembuatan perhiasan yang hampir punah, seperti teknik granulasi yang sangat sulit.

3. Hiwang dan Kekuatan Emas

Emas, pada dasarnya, adalah logam abadi. Ketahanan Hiwang terhadap korosi selama berabad-abad menjadikannya medium yang sempurna untuk menyimpan sejarah. Emas yang membentuk Hiwang telah menyaksikan perubahan peradaban, kedatangan agama baru, dan munculnya kerajaan-kerajaan. Mempelajari Hiwang adalah mempelajari cara leluhur memandang nilai, status, dan kosmos. Ia adalah cerminan dari masyarakat yang menghargai keindahan, detail, dan yang paling penting, keterampilan pengrajin yang mampu mengubah logam kasar menjadi karya seni yang memukau.

Hiwang, sebagai perhiasan telinga emas pra-kolonial, mewakili puncak keahlian metalurgi di Nusantara. Kisahnya adalah kisah tentang jaringan perdagangan global, masyarakat yang kompleks dan hierarkis, serta pemahaman spiritual yang mendalam tentang kekuasaan dan alam semesta. Melalui Hiwang, kita dapat melihat bahwa peradaban di Asia Tenggara tidak hanya menerima pengaruh, tetapi juga menjadi pusat inovasi dan kekayaan yang tak tertandingi di masanya.

Warisan emas Hiwang terus bersinar, menjadi pengingat abadi akan kemegahan leluhur maritim kita.