(Ilustrasi Keadilan dalam Pembagian Sumber Daya)
Dalam khazanah peribahasa Melayu dan kearifan lokal Nusantara, terdapat mutiara kebijaksanaan yang menggarisbawahi fondasi utama kehidupan komunal: keadilan dalam distribusi dan kesetaraan dalam hasil. Peribahasa tersebut berbunyi, “Hati gajah sama dilapah, hati kuman sama dicecah.” Ungkapan ini, meskipun terdengar sederhana, mengandung filosofi sosial yang mendalam, mengatur cara masyarakat tradisional menghadapi kelimpahan maupun kekurangan. Esensinya adalah bahwa apa pun hasilnya, baik itu keuntungan besar (seperti gajah yang merupakan buruan raksasa) maupun hasil kecil (kuman yang melambangkan sedikitnya), semuanya harus dibagi secara merata dan adil di antara anggota komunitas. Prinsip ini bukan sekadar aturan praktis berburu, melainkan sebuah pakta sosial yang menjaga keutuhan, menghilangkan iri hati, dan menjamin keberlangsungan kerjasama.
Artikel ini akan menelusuri secara komprehensif makna, relevansi, dan implementasi dari prinsip ‘Hati Gajah Sama Dilapah’ dalam berbagai spektrum kehidupan—dari akar tradisionalnya hingga penerapannya dalam struktur masyarakat modern, politik, dan ekonomi. Kita akan melihat bagaimana peribahasa ini menjadi pilar etika komunal yang menuntut transparansi, kesetiaan, dan kesediaan untuk berbagi beban dan nikmat secara absolut. Filosofi ini mengajarkan bahwa nilai kebersamaan jauh lebih tinggi daripada nilai kontribusi individu semata, sebuah pelajaran penting yang seringkali terabaikan dalam sistem yang terlalu mengagungkan kompetisi dan individualisme.
Pembagian yang setara atas ‘hati gajah’—yang melambangkan hasil tangkapan terbesar, keuntungan luar biasa, atau sumber daya yang melimpah—adalah ujian terberat bagi solidaritas. Jika keuntungan kecil saja sudah dibagi, maka keuntungan besar harus dibagi dengan lebih ketat dan tanpa pengecualian. Kegagalan dalam mempraktikkan prinsip ini ketika kekayaan berlimpah akan segera merusak kepercayaan dan memicu perpecahan yang irreversibel. Maka dari itu, ‘Hati Gajah Sama Dilapah’ berdiri sebagai mercusuar moralitas, menuntut setiap individu untuk menanggalkan keserakahan demi harmoni kolektif.
Untuk memahami kedalaman peribahasa ini, kita perlu membedah setiap unsurnya. ‘Hati’ seringkali melambangkan inti, pusat, atau bagian paling berharga. ‘Gajah’ bukan hanya merujuk pada hewan besar; ia adalah metafora untuk keberhasilan yang monumental, rezeki yang sangat besar, atau proyek yang sangat menantang. Mendapatkan gajah adalah hasil dari upaya kolektif yang berisiko tinggi. ‘Sama dilapah’ berarti dibagi secara setara, diiris, dan disebarkan ke setiap anggota. Dalam konteks budaya berburu, daging buruan besar harus segera dibagi dan dikonsumsi agar tidak rusak, memaksa proses distribusi yang cepat dan adil.
Inklusi frase ‘hati kuman sama dicecah’ memberikan dimensi keseimbangan yang penting. Ini mengajarkan konsistensi moral. Ketika hasil yang didapat sangat kecil (sekecil kuman), pembagiannya tetap harus dilakukan, meskipun hanya berupa ‘cecahan’ atau sedikit sentuhan. Ini adalah prinsip universalitas: baik besar maupun kecil, kelimpahan maupun kekurangan, standar keadilan harus tetap sama. Jika seseorang bersedia berbagi bahkan yang terkecil, ia pasti akan adil ketika menghadapi yang terbesar. Sebaliknya, pemimpin yang pelit atas hasil kecil, pasti akan menjadi predator atas hasil yang besar.
Filosofi pembagian ini lahir dari realitas hidup komunal. Dalam masyarakat tradisional, terutama yang sangat bergantung pada perburuan atau pertanian kolektif, kelangsungan hidup satu individu terikat erat dengan kelangsungan hidup seluruh kelompok. Jika ada individu yang kelaparan atau merasa dicurangi setelah usaha kolektif yang berisiko, ia mungkin tidak akan mau berpartisipasi dalam perburuan berikutnya. Prinsip ‘Hati Gajah Sama Dilapah’ adalah mekanisme pencegahan konflik internal (conflict prevention mechanism) yang memastikan solidaritas tetap terjaga, menjamin bahwa setiap anggota memiliki insentif untuk berkontribusi maksimal tanpa takut dieksploitasi oleh anggota yang lebih kuat atau licik.
Meskipun pada permukaan peribahasa ini menuntut pembagian yang setara (equality), dalam praktiknya di masyarakat komunal, distribusi sering kali beroperasi pada spektrum antara kesetaraan (semua dapat porsi yang sama) dan keadilan (equity, yang mungkin berarti porsi yang lebih besar untuk yang sakit, tua, atau yang memiliki keluarga besar). Namun, prinsip ‘hati gajah’ sering kali ditekankan pada kesetaraan absolut ketika menyangkut bagian inti atau simbolis (hati) dari hasil buruan. Ini memastikan bahwa tidak ada pihak yang dapat mengklaim hak kepemilikan yang lebih tinggi hanya berdasarkan peran mereka dalam perburuan (misalnya, pemburu utama). Kepemilikan kolektif atas hasil adalah mutlak, dan pembagian porsi yang sama berfungsi sebagai pengakuan atas risiko dan usaha yang ditanggung bersama.
Mengapa hati (bagian dalam, vital) yang dipilih sebagai fokus pembagian? Hati adalah organ yang melambangkan keberanian, kehidupan, dan yang paling berharga. Pembagian hati secara setara adalah tindakan simbolis yang lebih kuat daripada sekadar pembagian daging: ia adalah pembagian kehormatan, pembagian risiko, dan pembagian keberhasilan. Itu adalah janji komunal bahwa tidak ada yang ditinggalkan, dan tidak ada yang boleh menjadi raja atau tiran atas jerih payah bersama. Simbolisme ini memperkuat gagasan bahwa semua nyawa di dalam komunitas memiliki nilai intrinsik yang setara, tanpa memandang status atau kekuasaan temporer.
Kekuatan peribahasa ini terletak pada kemampuannya untuk diterapkan melampaui konteks perburuan hutan. Ia menjadi etika panduan yang relevan dalam setiap dimensi kehidupan yang melibatkan sumber daya, kekuasaan, atau hasil bersama. Ketika diterjemahkan ke dalam konteks modern, ‘hati gajah’ dapat berupa keuntungan perusahaan, anggaran negara, warisan keluarga, atau bahkan pengakuan publik atas suatu penemuan ilmiah yang dilakukan oleh tim.
Dalam dunia korporasi yang didominasi oleh sistem bonus berbasis performa, prinsip ‘Hati Gajah Sama Dilapah’ menawarkan koreksi yang berharga terhadap kesenjangan upah yang kian melebar. Jika ‘hati gajah’ adalah keuntungan tahunan yang luar biasa, pembagiannya tidak boleh hanya mengalir ke puncak piramida (CEO atau pemegang saham mayoritas) sementara pekerja di lini depan (yang secara kolektif menghasilkan keuntungan tersebut) hanya menerima kenaikan gaji minimal. Penerapan prinsip ini menuntut model pembagian keuntungan yang transparan, di mana setiap kontributor—dari manajemen puncak hingga staf dukungan—merasakan secara substansial hasil dari keberhasilan kolektif.
Dalam konteks kemitraan bisnis (partnership), prinsip ini sangat krusial. Ketika dua atau lebih individu memulai usaha, kesepakatan pembagian, baik modal, beban kerja, maupun keuntungan, harus didasarkan pada keadilan yang ketat. Jika sebuah proyek menghasilkan keuntungan tak terduga (hati gajah), upaya untuk mengakuisisi lebih banyak porsi berdasarkan klaim kontribusi yang lebih besar (seringkali dilebih-lebihkan pasca-keberhasilan) adalah pelanggaran terhadap pakta sosial. Prinsip ini menuntut integritas yang teguh: keuntungan luar biasa pun harus dibagi sesuai kesepakatan awal atau setara, sehingga menghindari potensi pengkhianatan yang dapat menghancurkan kemitraan yang sukses. Pembagian yang tidak adil saat panen besar adalah penyebab utama dari keruntuhan perusahaan rintisan dan konflik internal bisnis keluarga.
Pada skala nasional, ‘hati gajah’ adalah sumber daya alam, hasil pajak, dan kekayaan yang diperoleh dari sektor strategis. Peribahasa ini menjadi seruan keras terhadap praktik korupsi dan ketidakmerataan pembangunan. Negara yang memegang teguh prinsip ini akan memastikan bahwa hasil kekayaan nasional (minyak, gas, tambang, hasil hutan) dibagi secara adil ke seluruh wilayah dan lapisan masyarakat, bukan hanya terpusat di ibu kota atau dinikmati oleh segelintir oligarki. Keadilan regional dan otonomi daerah yang efektif adalah manifestasi modern dari ‘Hati Gajah Sama Dilapah’.
Ketika suatu daerah menghasilkan devisa besar melalui ekspor atau sumber daya alam, prinsip keadilan menuntut adanya alokasi kembali yang substansial kepada daerah penghasil tersebut. Kegagalan untuk mempraktikkan pembagian yang adil ini akan memicu gerakan separatisme, protes sosial, dan rasa pengkhianatan oleh pemerintah pusat. Keadilan dalam pembagian sumber daya bukanlah belas kasihan, melainkan keharusan etis yang diwariskan oleh leluhur: buruan yang didapat bersama harus dinikmati bersama. Distribusi yang merata menciptakan stabilitas politik dan legitimasi kekuasaan.
Konteks keluarga adalah laboratorium utama di mana prinsip ini diuji. Ketika orang tua meninggalkan warisan yang besar, atau ketika salah satu anak mencapai kesuksesan finansial yang luar biasa, bagaimana pembagian keuntungan (atau beban) ini ditangani? ‘Hati gajah’ dalam keluarga bisa berupa warisan, atau bahkan tanggung jawab merawat orang tua yang sakit. Prinsip ini menuntut bahwa warisan dibagi seadil-adilnya, dan lebih penting lagi, beban tanggung jawab juga dipikul bersama. Saudara yang sukses secara finansial tidak boleh menggunakan kekayaan tersebut untuk memanipulasi atau mendominasi saudara lainnya.
Pembagian yang setara di sini tidak selalu berarti uang yang sama persis, tetapi pengakuan yang setara atas kontribusi dan kebutuhan. Jika seorang anak telah mengabdikan waktu bertahun-tahun merawat orang tua (kontribusi non-finansial), keadilan menuntut pengakuan atas pengorbanan itu, bahkan jika pembagian harta dibagi secara rata. Yang terpenting, tidak boleh ada rasa iri atau dicurangi, karena kerukunan keluarga adalah hasil buruan kolektif yang paling berharga, dan ia akan hancur seketika jika prinsip keserakahan dibiarkan berkuasa atas pembagian kekayaan yang besar.
Meskipun prinsip ini ideal, penerapannya seringkali gagal di bawah tekanan dua kekuatan utama: Keserakahan Individu (Greed) dan Klaim Eksklusivitas Kontribusi. Ketika gajah berhasil diburu, naluri egois seringkali muncul, mendorong pihak yang paling kuat atau yang merasa paling berjasa untuk menuntut porsi yang lebih besar, melanggar pakta komunal.
Seringkali, individu atau kelompok yang memiliki keahlian khusus (misalnya, pemodal, penemu, atau pemburu utama yang berhasil melepaskan panah pertama) mulai berargumen bahwa kontribusi mereka secara kualitatif lebih tinggi, sehingga mereka berhak mendapatkan porsi yang tidak setara. Prinsip ‘Hati Gajah Sama Dilapah’ secara tegas menolak argumen ini dalam konteks komunalitas. Ia menegaskan bahwa perburuan gajah tidak mungkin berhasil tanpa peran serta setiap orang—dari yang menyediakan tali, yang mengalihkannya, hingga yang memasak hasil buruan. Keberhasilan adalah produk dari sistem, bukan dari genius tunggal.
Penolakan terhadap klaim eksklusif ini adalah perlindungan terhadap stratifikasi sosial yang eksesif. Jika porsi mayoritas selalu diberikan kepada satu pihak, maka dalam beberapa generasi, masyarakat akan terpecah menjadi kelas pemilik sumber daya dan kelas pekerja yang terpinggirkan. Prinsip ini menjaga agar kekayaan terdistribusi ulang secara berkala melalui pembagian yang radikal, memastikan bahwa basis kekuasaan ekonomi tidak pernah menjadi monopoli abadi. Dalam banyak tradisi, kegagalan dalam pembagian yang adil dianggap sebagai aib moral yang dapat membawa kutukan atau bencana sosial bagi seluruh kelompok.
Ketika ‘hati gajah’ tidak dibagi secara adil, efeknya jauh melampaui kerugian material. Dampak psikologis yang ditimbulkan adalah hilangnya kepercayaan fundamental terhadap sistem dan sesama anggota. Rasa dikhianati dan dieksploitasi akan mematikan semangat gotong royong dan kerjasama. Mengapa seseorang harus berusaha keras dalam proyek kolektif berikutnya jika dia tahu bahwa hasil dari keringatnya akan dicuri oleh pihak yang lebih berkuasa atau lebih dekat dengan pemimpin?
Ketidakadilan distribusi ini melahirkan kebencian dan iri hati, yang merupakan racun paling mematikan bagi ikatan komunal. Jika kebencian tersebut dibiarkan membesar, ia akan termanifestasi dalam bentuk sabotase, pengkhianatan diam-diam, atau bahkan kekerasan terbuka. Oleh karena itu, bagi masyarakat yang mengandalkan kebersamaan untuk bertahan hidup, pembagian yang adil bukan hanya masalah etika, tetapi masalah kelangsungan hidup praktis. Keseimbangan emosional komunitas sangat bergantung pada kepastian bahwa, saat rezeki datang, semua orang akan diperlakukan setara. Kegagalan membagi hati gajah berarti memilih kehancuran internal di atas kelimpahan material.
Dalam sistem yang menjunjung tinggi ‘Hati Gajah Sama Dilapah’, peran pemimpin (baik itu kepala suku, tetua adat, atau CEO perusahaan yang beretika) adalah peran yang sangat berat dan krusial. Pemimpin harus menjadi fasilitator dan penjamin keadilan, bukan pihak yang mendapatkan porsi terbesar.
Kepemimpinan yang berhasil menjamin keadilan harus bersifat transparan. Proses ‘dilapah’ (mengiris dan membagi) harus dilakukan di depan umum, tanpa rahasia, dan dengan perhitungan yang jelas. Transparansi menghilangkan spekulasi dan tuduhan kecurangan. Pemimpin sejati adalah orang yang bersedia mengambil porsi yang sama dengan yang lain—atau bahkan porsi yang lebih kecil—sebagai tindakan simbolis untuk menjamin kepercayaan rakyatnya. Sebaliknya, pemimpin yang menggunakan posisinya untuk mendapatkan ‘hati gajah’ secara eksklusif akan kehilangan moralitasnya dan memicu pemberontakan.
Tanggung jawab pemimpin adalah mengukur dan menyeimbangkan. Mereka harus memastikan bahwa formula pembagian yang disepakati (apakah itu benar-benar rata, atau adil berdasarkan kebutuhan) diterapkan tanpa pandang bulu. Mereka adalah wasit etika. Jika pemimpin gagal menjalankan fungsi ini, atau lebih buruk lagi, jika pemimpin itu sendiri yang menjadi serakah, maka seluruh struktur sosial akan runtuh. Kehancuran moral dimulai di puncak. Oleh karena itu, filosofi ‘Hati Gajah’ juga merupakan ujian integritas bagi setiap figur otoritas.
Pemimpin juga bertugas menjaga keseimbangan antara ‘gajah’ (kelimpahan) dan ‘kuman’ (kekurangan). Ketika masa sulit datang, dan yang didapat hanya ‘hati kuman’ (rezeki kecil), pemimpin harus memastikan bahwa yang sedikit itu pun dibagi. Ini adalah waktu ketika kesetiaan diuji. Pemimpin yang adil saat kaya, tetapi egois saat miskin, adalah pemimpin yang lemah. Konsistensi dalam pembagian, terlepas dari skala hasilnya, adalah inti dari kepemimpinan yang berintegritas. Memastikan setiap anggota mendapatkan ‘cecahan’ saat kesulitan, memberikan harapan dan memperkuat keyakinan bahwa ketika kelimpahan kembali, pembagian besar akan menyusul.
Peran kepemimpinan ini menuntut kepekaan sosial yang tinggi dan kemampuan untuk menahan godaan kekuasaan. Kekuatan gajah dapat memabukkan. Seorang pemimpin yang melayani prinsip keadilan lebih tinggi daripada egonya sendiri adalah aset terpenting bagi komunitas. Ia menjadi teladan hidup bahwa prinsip komunalitas jauh lebih penting daripada ambisi pribadi, sebuah pelajaran yang sangat dibutuhkan di era di mana politisi dan eksekutif seringkali menempatkan keuntungan pribadi di atas kesejahteraan kolektif.
Dalam masyarakat global kontemporer yang cenderung memuja meritokrasi ekstrem dan individualisme, prinsip ‘Hati Gajah Sama Dilapah’ berdiri sebagai kritik yang kuat. Meritokrasi, dalam bentuknya yang paling murni, berargumen bahwa hadiah harus setara dengan usaha dan kemampuan individu. Namun, peribahasa ini menantang ide tersebut, terutama dalam konteks di mana kesuksesan hanya mungkin terjadi karena adanya infrastruktur, keamanan, dan dukungan kolektif.
Dalam perburuan gajah, siapa yang pantas mendapat porsi terbesar? Apakah pemanah yang membunuh? Atau penjejak yang menemukan gajah? Atau penyembuh yang merawat luka pemburu? Prinsip Hati Gajah berpendapat bahwa semua kontribusi ini adalah bagian dari rantai nilai yang tidak terpisahkan. Tanpa penjejak, tidak ada gajah. Tanpa penyembuh, perburuan berikutnya tidak akan terjadi. Oleh karena itu, keberhasilan yang monumental harus dikembalikan kepada kolektivitas yang memungkinkannya terjadi.
Transferensi ke dunia modern: Seorang CEO mungkin genius, tetapi tanpa pabrik yang dibangun oleh pekerja, tanpa modal yang disediakan oleh komunitas, dan tanpa pasar yang diatur oleh hukum negara, kejeniusannya tidak akan menghasilkan miliaran. ‘Hati Gajah Sama Dilapah’ mengajarkan bahwa ketika hasil mencapai skala raksasa, klaim jasa individu harus dibatasi oleh kewajiban sosial. Keberhasilan yang luar biasa adalah keberhasilan bersama, dan distribusinya harus mencerminkan pengakuan atas jaringan dukungan kolektif yang rumit tersebut.
Prinsip keadilan dalam pembagian hasil yang melimpah secara inheren menciptakan jaring pengaman sosial. Dengan memastikan bahwa tidak ada anggota yang tertinggal saat masa makmur, komunitas mengurangi risiko kemiskinan dan penderitaan ekstrem ketika masa paceklik tiba. Ketika setiap orang memiliki sedikit cadangan dari ‘hati gajah’ sebelumnya, mereka lebih kuat menghadapi ‘hati kuman’ di masa depan. Ini adalah sistem asuransi komunal yang jauh lebih efektif daripada model asuransi berbasis pasar yang seringkali eksklusif dan mahal.
Ini juga memupuk rasa memiliki dan loyalitas. Anggota komunitas tidak perlu takut gagal, karena mereka tahu bahwa sistem akan selalu menjamin dasar kelangsungan hidup mereka, asalkan mereka tetap setia pada pakta kerjasama. Hilangnya rasa takut akan kemiskinan ekstrem adalah bahan bakar terbesar bagi inovasi dan produktivitas, karena individu dapat mengambil risiko yang lebih besar dan berkreasi tanpa dibebani oleh kekhawatiran tentang keselamatan dasar mereka.
Untuk mencapai pemahaman yang mendalam mengenai implikasi etis dari peribahasa ini, kita perlu merinci bagaimana prinsip ini akan beroperasi jika diterapkan secara kaku dan idealistik dalam berbagai skenario modern yang kompleks. Volume kerangka pemikiran ini sangat penting untuk menangkap keseluruhan spektrum keadilan yang dituntut oleh ‘Hati Gajah Sama Dilapah’.
Bayangkan sebuah proyek pembangunan energi terbarukan raksasa, sebut saja Pembangkit Listrik Tenaga Angin (PLTA) yang didanai oleh negara dan dibangun di wilayah pedalaman. PLTA ini, ‘hati gajah’ dalam konteks ini, akan menghasilkan miliaran dolar dalam bentuk energi dan mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil. Pembangunan ini merelokasi beberapa komunitas lokal dan mengubah lanskap lingkungan mereka.
Menurut prinsip ‘Hati Gajah Sama Dilapah’, pembagian keuntungan tidak boleh hanya dilihat dari aspek keuangan semata. Pembagian harus mencakup kompensasi yang lebih dari sekadar adil bagi masyarakat yang direlokasi, hak kepemilikan saham dalam proyek (bukan hanya ganti rugi satu kali), dan jaminan bahwa infrastruktur pendukung proyek (listrik, air bersih, jalan) menjadi aset permanen yang dapat dinikmati setara oleh komunitas lokal. Jika proyek ini menghasilkan keuntungan luar biasa (gajah), keuntungannya harus dialokasikan kembali untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat sekitar hingga setidaknya menyamai standar di kota-kota besar. Kegagalan melakukan ini, dan hanya memberikan remah-remah, adalah tindakan yang sangat bertentangan dengan pakta ‘hati gajah’.
Sebuah tim peneliti di universitas menemukan terobosan medis yang berpotensi menyembuhkan penyakit kronis dan menghasilkan paten yang bernilai triliunan. Dalam sistem individualistik, biasanya profesor utama dan universitas yang menaungi mendapatkan porsi terbesar. Namun, tim ini terdiri dari laboran junior, teknisi yang bekerja lembur, mahasiswa doktoral yang melakukan eksperimen berulang, dan staf administrasi yang mengamankan dana riset awal.
Penerapan ‘Hati Gajah Sama Dilapah’ menuntut bahwa hasil paten tersebut, yang merupakan ‘hati gajah’, dibagi secara substansial melampaui hirarki akademik. Laboran dan teknisi, yang mungkin tidak disebutkan dalam paten tetapi yang karyanya sangat penting bagi eksekusi, harus mendapatkan persentase yang signifikan dari royalti. Pembagian ini bukan hanya tentang menghormati kontribusi intelektual, tetapi juga kontribusi waktu, risiko, dan pengorbanan kolektif. Ini memastikan bahwa penemuan di masa depan tidak didorong oleh ambisi egois, tetapi oleh komitmen kolektif terhadap tujuan yang lebih besar, dengan jaminan bahwa setiap orang akan menikmati hasilnya secara adil.
Setelah bencana alam dahsyat, bantuan internasional dan nasional mengalir deras, menciptakan ‘hati gajah’ berupa logistik, dana, dan sumber daya rekonstruksi yang besar. Proses distribusinya adalah ujian moralitas yang sesungguhnya. Prinsip ini menuntut bahwa bantuan tersebut harus dibagi secara merata kepada semua korban yang berhak, tanpa memandang afiliasi politik, agama, atau status sosial mereka.
Dalam situasi ini, ‘sama dilapah’ berarti tidak ada pihak yang boleh menimbun bantuan atau menggunakannya sebagai alat politik. Transparansi dalam gudang penyimpanan dan daftar penerima bantuan adalah wajib. Setiap upaya untuk menyalurkan bantuan hanya kepada kerabat atau pendukung politik adalah pengkhianatan terhadap prinsip ini. Kehancuran (bencana) adalah beban bersama, dan pemulihan (bantuan) harus menjadi keuntungan bersama. Bahkan jika porsi bantuan itu kecil ('kuman'), ia harus tetap dibagikan secara adil. Kegagalan di sini seringkali menyebabkan kerusuhan sosial yang memperparah dampak bencana itu sendiri.
Meskipun dunia telah berevolusi dari masyarakat berburu, tantangan mendasar tentang bagaimana manusia berbagi kekayaan dan kekuasaan tetap tidak berubah. Keserakahan dan ketidakadilan distribusi tetap menjadi sumber utama konflik dan ketidakstabilan global. Prinsip ‘Hati Gajah Sama Dilapah’ menawarkan peta jalan etis yang, jika diikuti, dapat mengurangi kesenjangan, meningkatkan stabilitas, dan memperkuat ikatan sosial yang terkoyak oleh kapitalisme ekstrem dan oligarki.
Prinsip ini adalah panggilan untuk kembali pada nilai-nilai komunal yang menempatkan kesejahteraan kolektif di atas ambisi individu yang tidak terkendali. Ia mengajarkan kerendahan hati: bahwa hasil terbesar kita selalu dimungkinkan oleh dukungan orang lain. Ia mengajarkan keadilan: bahwa kesetaraan dalam pembagian adalah penjamin utama perdamaian internal. Dan ia mengajarkan kebijaksanaan: bahwa keutuhan komunitas lebih berharga daripada jumlah kekayaan yang dapat dikuasai oleh satu orang.
Pengakuan bahwa ‘hati gajah’ harus ‘sama dilapah’ adalah pengakuan bahwa kita semua terikat dalam nasib yang sama. Keberhasilan seseorang, terutama ketika ia monumental, tidak boleh menjadi pemicu penderitaan bagi yang lain. Sebaliknya, ia harus menjadi sumber perayaan dan peningkatan kualitas hidup bagi seluruh jaringan yang memungkinkannya terjadi. Filosofi ini adalah warisan Nusantara yang harus dipegang teguh, bukan sebagai relik masa lalu, tetapi sebagai panduan moral yang sangat relevan untuk membangun masa depan yang lebih inklusif dan adil.
Jika kita gagal membagi gajah secara adil, kita akan mendapati diri kita terpecah-belah dan lemah. Sebaliknya, jika kita berpegang pada pakta komunal ini, setiap kesuksesan besar akan memperkuat kita, membuat komunitas kita lebih tangguh, dan menjamin bahwa solidaritas adalah hasil buruan yang paling berharga dan yang harus selalu dibagi tanpa reservasi.
Peribahasa ini, dalam segala kepenuhannya, adalah ringkasan singkat dari keharusan etis: Keadilan harus ditegakkan, bahkan ketika kelimpahan menggiurkan dan godaan untuk menimbun sangat kuat. Hati gajah, simbol kemakmuran terbesar, harus diiris, diukur, dan dibagikan dengan tangan yang jujur dan hati yang tulus. Hanya dengan demikianlah kita dapat memastikan keberlanjutan dari upaya kolektif, menjaga martabat setiap anggota, dan memupuk masyarakat yang teguh berdiri atas dasar kepercayaan dan kesetaraan yang murni.
Pengulangan dan penekanan filosofis ini tidak pernah cukup. Kita harus selalu mengingatkan diri kita bahwa di balik setiap hasil luar biasa, ada pengorbanan kolektif yang tak terhitung. Mengabaikan kontribusi kolektif demi memuja pahlawan tunggal adalah kesalahan terbesar peradaban modern. ‘Hati Gajah Sama Dilapah’ adalah obat penawar yang kuat terhadap penyakit individualisme yang merusak, sebuah seruan untuk kembali merangkul konsep bahwa kekayaan sejati terletak pada kekuatan ikatan, bukan pada timbunan harta benda yang hanya dinikmati segelintir orang. Mari kita pastikan bahwa setiap gajah yang kita buru bersama, dibagikan bersama, untuk menciptakan masyarakat yang adil dan sejahtera.
Pembagian yang setara memiliki dimensi sosiologis yang mendalam, beroperasi sebagai ritual penguatan ikatan. Ketika masyarakat berkumpul untuk ‘melapah’ buruan besar, tindakan fisik memotong dan mendistribusikan daging adalah sebuah upacara yang meneguhkan kembali struktur sosial dan hierarki moral. Semua mata menyaksikan, dan setiap individu memegang peran kecil dalam proses distribusi. Ritual ini secara efektif menghilangkan potensi konflik sebelum konflik itu sempat berakar.
Tanpa ritual pembagian yang transparan dan setara, keberhasilan besar dapat menjadi katalisator bagi kecemburuan yang merusak. Kecemburuan ini, dalam studi sosiologi, seringkali lebih merusak daripada kekurangan itu sendiri. Masyarakat dapat bertahan dalam kemiskinan bersama-sama dengan solidaritas yang kuat; namun, mereka cenderung runtuh ketika ada segelintir orang yang tiba-tiba makmur secara eksklusif berkat upaya kolektif. Prinsip ‘Hati Gajah Sama Dilapah’ berfungsi untuk mendemokratisasi kekayaan, mengamankan keharmonisan sosial sebagai aset yang lebih berharga daripada akumulasi material itu sendiri.
Kedermawanan yang dituntut oleh prinsip ini bukanlah kedermawanan opsional yang lahir dari kebaikan hati individu yang kaya. Ini adalah kedermawanan wajib, yang dilembagakan melalui pakta sosial. Ketika ‘hati gajah’ diperoleh, pembagiannya tidak boleh bergantung pada mood atau kemurahan hati pemimpin; ia harus menjadi keharusan struktural. Ini membedakannya dari filantropi modern, di mana orang kaya memutuskan siapa yang akan menerima sisa dari kekayaan mereka. Dalam ‘Hati Gajah’, pembagian adalah hak setiap anggota, bukan hadiah.
Etika ini mengajarkan tanggung jawab yang tidak dapat dicabut. Orang yang berhasil dalam masyarakat komunal tidak pernah ‘mandiri’ dalam arti modern. Keberhasilan mereka adalah utang kepada komunitas—utang yang dibayar melalui pembagian yang adil dan segera. Konsep utang sosial ini memastikan bahwa kekayaan berfungsi sebagai modal komunitas, bukan modal pribadi yang terisolasi. Kekuatan kolektiflah yang membiayai keberhasilan individu, sehingga kolektif pula yang berhak atas hasilnya yang melimpah.
Dalam anatomi buruan, hati seringkali adalah organ yang paling sulit dibagi secara merata, sekaligus yang paling penting dan berharga. Pemilihan hati sebagai fokus utama peribahasa ini membawa makna yang sangat spesifik. Hati adalah lambang keberanian, pusat emosi, dan secara biologis, organ vital yang menopang kehidupan. Membagi hati berarti membagi semangat dan energi kehidupan dari kesuksesan tersebut.
Jika peribahasa ini hanya berbicara tentang ‘daging gajah sama dilapah’, fokusnya mungkin hanya materialistik. Namun, dengan menekankan ‘hati gajah’, ia menaikkan standar keadilan ke ranah spiritual dan simbolis. Ini adalah pengakuan bahwa keberhasilan terbesar tidak hanya diukur dari kuantitas hasil (daging), tetapi dari inti kualitatifnya (hati). Jika inti keberhasilan dibagi secara setara, maka seluruh tubuh (daging, kulit, tulang) harus mengikuti standar yang sama atau bahkan lebih mudah untuk dibagi.
Prinsip ini mengingatkan para pemimpin bahwa bagian yang paling sensitif, paling simbolis, dan paling berpotensi menimbulkan perselisihan harus ditangani dengan kehati-hatian maksimal dan integritas total. Pembagian ‘hati’ yang tidak merata akan menciptakan luka mendalam di dalam ‘hati’ komunitas itu sendiri, sebuah luka yang jauh lebih sulit disembuhkan daripada sengketa atas bagian daging biasa.
Pakta sosial yang diwakili oleh ‘Hati Gajah Sama Dilapah’ bersifat abadi dan tidak dapat dinegosiasikan ulang setelah keberhasilan dicapai. Ini adalah janji yang dibuat saat komunitas masih lemah dan menghadapi risiko bersama, bukan janji yang diubah ketika kekuasaan dan kelimpahan sudah ada di tangan.
Dalam konteks modern, ini berarti bahwa perjanjian pembagian keuntungan dalam sebuah perusahaan rintisan, atau undang-undang pembagian hasil bumi di negara yang baru merdeka, harus dihormati tanpa syarat, terutama ketika perusahaan rintisan itu menjadi raksasa atau ketika hasil bumi menghasilkan kekayaan triliunan. Upaya untuk menafsirkan ulang perjanjian lama demi keuntungan pribadi setelah terjadi ‘hati gajah’ adalah pelanggaran etika terburuk dan merupakan akar dari banyak perselisihan hukum dan politik yang berkepanjangan.
Pakta ini menekankan bahwa integritas moral adalah mata uang yang jauh lebih langka dan berharga daripada uang tunai. Masyarakat yang mampu mempertahankan pakta ‘Hati Gajah Sama Dilapah’ dalam jangka waktu yang lama adalah masyarakat yang sangat beradab, yang menempatkan harmoni di atas hedonisme, dan keadilan di atas keuntungan sesaat. Filosofi ini adalah cerminan dari kematangan budaya yang luar biasa, sebuah warisan kebijaksanaan yang seharusnya menjadi panduan setiap pengambilan keputusan kolektif, dari ruang rapat korporat hingga gedung parlemen.
Dengan memegang teguh prinsip ini, kita memastikan bahwa setiap buruan, besar atau kecil, menjadi momen untuk memperkuat tali persaudaraan, bukan momen untuk menghitung untung-rugi yang bersifat egoistik. Hati gajah, sungguh, harus selalu sama dilapah.
Akhir Artikel