Pendahuluan: Permata Tersembunyi di Jawa Timur
Di jantung Jawa Timur, menjulang sebuah gunung yang tidak hanya menawarkan pesona alam yang memukau, tetapi juga menyimpan segudang jejak sejarah dan mitologi kuno. Gunung Penanggungan, sering disebut sebagai "replika miniatur Semeru" atau "gunung suci Pawitra" oleh masyarakat Majapahit kuno, adalah destinasi yang menarik bagi para pendaki, sejarawan, maupun pencinta alam. Dengan ketinggian sekitar 1.653 meter di atas permukaan laut (mdpl), Penanggungan mungkin tidak setinggi gunung-gunung lain di Jawa, namun daya tariknya terletak pada kekayaan situs purbakala yang tersebar dari kaki hingga puncaknya, serta pemandangan puncaknya yang tak kalah megah.
Artikel ini akan membawa Anda menjelajahi setiap sudut Gunung Penanggungan, mulai dari geografi dan topografinya yang unik, warisan sejarah yang terukir di batu-batuan purba, jalur-jalur pendakian yang menantang namun indah, hingga flora dan fauna yang menghuni ekosistemnya. Kita akan menyelami mitos dan legenda yang mengelilingi gunung ini, serta memberikan panduan komprehensif bagi siapa saja yang berniat menjejakkan kaki di puncaknya. Mari kita mulai perjalanan menyingkap tabir keindahan dan misteri Gunung Penanggungan, sebuah permata yang tak lekang oleh waktu dan zaman.
Geografi dan Topografi: Siluet Kerucut yang Memikat
Gunung Penanggungan terletak di perbatasan tiga kabupaten di Jawa Timur: Mojokerto, Pasuruan, dan Malang. Secara administratif, sebagian besar wilayah puncaknya berada di Kabupaten Mojokerto. Gunung ini merupakan bagian dari kompleks pegunungan yang lebih besar, yaitu gugusan Pegunungan Arjuno-Welirang, namun Penanggungan berdiri agak terpisah dengan bentuk kerucutnya yang khas dan sangat simetris, menjadikannya mudah dikenali dari kejauhan.
Ketinggian puncaknya yang mencapai 1.653 mdpl menjadikannya salah satu puncak yang cukup mudah diakses bagi pendaki pemula hingga menengah. Meskipun demikian, topografinya menawarkan variasi yang menarik, dari kaki gunung yang landai dengan lahan pertanian dan hutan produksi, hingga lereng yang curam dengan vegetasi hutan pegunungan yang lebih lebat, dan akhirnya puncak berbatu yang terbuka. Bentuk kerucut yang hampir sempurna ini adalah hasil dari aktivitas vulkanik purba, dan inilah yang memberikan Penanggungan julukan "miniatur Semeru", mengingat bentuk kerucut Semeru yang juga sangat simetris.
Di sekitar kaki Penanggungan, terdapat berbagai aliran sungai kecil yang menjadi sumber kehidupan bagi masyarakat sekitar, serta beberapa mata air suci yang telah dikenal sejak zaman dahulu kala, seperti Candi Jolotundo. Keberadaan mata air ini tidak hanya penting secara ekologis, tetapi juga memiliki nilai historis dan spiritual yang mendalam, seringkali menjadi tempat ritual dan meditasi bagi masyarakat kuno.
Struktur geologi Penanggungan terdiri dari batuan vulkanik yang keras, yang telah mengalami proses erosi dan pelapukan selama ribuan tahun, membentuk fitur-fitur alam yang menarik seperti punggung bukit yang tajam dan lembah-lembah kecil. Kekhasan geologis inilah yang juga berkontribusi pada terjaganya situs-situs purbakala di lereng-lerengnya, melindungi mereka dari kerusakan yang lebih parah.
Sejarah dan Mitos: Jejak Peradaban di Gunung Suci Pawitra
Gunung Penanggungan bukan hanya sekadar gunung, melainkan sebuah living museum yang menyimpan ribuan tahun sejarah peradaban Jawa kuno. Sejak abad ke-10 Masehi, gunung ini telah dianggap suci, terutama pada masa Kerajaan Kahuripan, Kediri, hingga puncaknya pada masa Kerajaan Majapahit. Dalam berbagai naskah kuno seperti Nagarakretagama, gunung ini disebut sebagai "Gunung Pawitra", tempat bersemayamnya para dewa dan roh leluhur.
Gunung Pawitra dan Majapahit
Bagi masyarakat Majapahit, Gunung Penanggungan adalah replika Mahameru (gunung suci dalam mitologi Hindu-Buddha) di Jawa. Kepercayaan ini melahirkan tradisi pembangunan situs-situs pemujaan, pertapaan, dan petirtaan di lereng-lerengnya. Puncak-puncaknya dianggap sebagai tempat bersemayamnya para dewa, sedangkan lereng-lerengnya menjadi lokasi ideal untuk membangun candi-candi yang berfungsi sebagai tempat pemujaan dan ritual suci.
Banyak raja dan bangsawan Majapahit yang dikaitkan dengan Gunung Penanggungan, baik untuk bersemadi, mencari wangsit, atau bahkan membangun pertapaan pribadi. Konon, Raja Airlangga dari Kerajaan Kahuripan pernah menghabiskan masa pertapaannya di lereng Penanggungan sebelum akhirnya berhasil mendirikan kerajaannya. Jejak-jejak keberadaan mereka dapat ditemukan dalam bentuk candi-candi dan prasasti yang tersebar luas.
Situs Purbakala yang Melimpah
Salah satu keunikan Penanggungan adalah jumlah situs purbakala yang luar biasa banyaknya, diperkirakan mencapai lebih dari 100 situs yang tersebar dari ketinggian 800 mdpl hingga puncaknya. Situs-situs ini meliputi candi, punden berundak, pertapaan, arca, relief, dan petirtaan. Bentuknya yang berundak-undak menyerupai terasering adalah ciri khas arsitektur megalitik yang berpadu dengan pengaruh Hindu-Buddha.
Situs-situs ini bukan hanya bangunan fisik, tetapi juga merupakan narasi visual dari kepercayaan dan filosofi masyarakat kuno. Relief-relief yang terpahat pada bebatuan seringkali menggambarkan kisah-kisah epik seperti Ramayana atau Mahabharata, simbol-simbol kosmologi, serta representasi dewa-dewi Hindu atau Buddha. Fungsi utama situs-situs ini adalah sebagai tempat pemujaan dan ritual, di mana masyarakat Majapahit berinteraksi dengan kekuatan ilahi dan leluhur mereka.
Mitos dan Legenda Lokal
Seperti gunung-gunung lain di Indonesia, Penanggungan juga kaya akan mitos dan legenda. Salah satu legenda yang paling terkenal adalah kisah asal-usul gunung ini yang terkait dengan Gunung Semeru. Konon, Gunung Semeru yang merupakan paku bumi Pulau Jawa, dipindahkan dari India. Dalam perjalanannya, fragmen-fragmen Semeru yang terjatuh membentuk gunung-gunung kecil di Jawa, dan Penanggungan adalah salah satu di antaranya, inilah mengapa ia disebut "miniatur Semeru".
Mitos lain menyebutkan Penanggungan sebagai tempat bersemayamnya roh-roh penjaga yang diyakini menjaga kesucian gunung. Para pendaki seringkali diingatkan untuk menjaga sikap dan perkataan selama di gunung, sebagai bentuk penghormatan terhadap keberadaan tak kasat mata ini. Kepercayaan ini turut menjaga kelestarian alam dan situs-situs purbakala dari tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab.
Cerita rakyat juga sering mengaitkan Penanggungan dengan kisah-kisah percintaan antara pangeran dan putri, atau petualangan para kesatria yang mencari kesaktian melalui pertapaan di lereng-lerengnya. Kisah-kisah ini menambah dimensi mistis dan romantis pada citra Gunung Penanggungan, membuatnya menjadi lebih dari sekadar objek geografis, melainkan bagian integral dari identitas budaya Jawa.
Jalur Pendakian: Menapaki Jejak Langkah Sejarah
Gunung Penanggungan menawarkan beberapa jalur pendakian resmi yang masing-masing memiliki karakteristik dan daya tarik tersendiri. Meskipun tergolong gunung yang ramah pendaki, persiapan yang matang tetap diperlukan. Berikut adalah beberapa jalur pendakian populer menuju puncak Penanggungan:
1. Jalur Tamiajeng (Mojokerto)
Jalur Tamiajeng adalah jalur pendakian paling populer dan sering digunakan. Terletak di Desa Tamiajeng, Kecamatan Trawas, Kabupaten Mojokerto, jalur ini dikenal karena fasilitasnya yang cukup lengkap di pos perizinan dan relatif lebih mudah diakses. Jalur ini juga dikenal memiliki banyak situs purbakala yang dapat ditemui sepanjang perjalanan.
- Basecamp (Pos Perizinan): Di sini pendaki melakukan registrasi, mendapatkan informasi, dan bisa menyewa ojek untuk menuju Pos Perizinan kedua (Pos I). Fasilitas seperti warung, toilet, dan area parkir tersedia.
- Pos I (Sumber): Setelah naik ojek atau jalan kaki sekitar 30-45 menit dari basecamp, pendaki akan tiba di Pos I. Dari sini, perjalanan akan dilanjutkan dengan berjalan kaki. Jalur awal didominasi oleh tanah berbatu dan cenderung menanjak moderat melalui hutan pinus.
- Pos II (Candi Putri): Sekitar 1,5 - 2 jam dari Pos I. Di Pos II ini terdapat sebuah situs candi kuno yang disebut Candi Putri. Area ini cukup lapang dan sering dijadikan tempat beristirahat oleh pendaki. Pemandangan ke arah lembah mulai terlihat jelas.
- Pos III (Candi Gentong): Sekitar 1 - 1,5 jam dari Pos II. Nama Candi Gentong diberikan karena bentuknya yang menyerupai gentong. Jalur menuju Pos III mulai terasa lebih menanjak dan kadang licin saat musim hujan. Vegetasi mulai bervariasi dengan pepohonan yang lebih rapat.
- Pos IV (Punden Berundak): Sekitar 1,5 - 2 jam dari Pos III. Di sinilah terdapat struktur punden berundak yang menjadi ciri khas Penanggungan. Pemandangan dari Pos IV sangat indah, dan beberapa pendaki memilih untuk berkemah di area ini karena tempatnya cukup luas dan relatif datar. Dari sini, puncak sudah terlihat jelas, namun tanjakan akan semakin curam.
- Puncak Pawitra: Sekitar 1 - 1,5 jam dari Pos IV. Bagian terakhir pendakian ini adalah yang paling menantang. Jalur didominasi oleh bebatuan cadas yang curam, membutuhkan fokus dan kehati-hatian ekstra. Pendaki harus melewati jalur berbatu yang kadang membutuhkan teknik scrambling ringan. Setelah melewati rintangan tersebut, puncak Penanggungan atau Puncak Pawitra akan menyambut dengan pemandangan 360 derajat yang luar biasa.
Total waktu pendakian melalui jalur Tamiajeng biasanya berkisar antara 4-7 jam, tergantung kecepatan dan kondisi fisik pendaki.
2. Jalur Jolotundo (Mojokerto)
Jalur Jolotundo menawarkan pengalaman yang berbeda. Dimulai dari Petirtaan Jolotundo, sebuah situs pemandian kuno yang terkenal, jalur ini cenderung lebih sejalur dan jarang dilalui, namun menawarkan keindahan alam yang masih sangat alami dan beberapa situs purbakala tersembunyi. Jalur ini cocok bagi pendaki yang mencari ketenangan dan petualangan yang lebih.
- Basecamp (Petirtaan Jolotundo): Pendaki dapat memulai dari area Petirtaan Jolotundo. Tidak ada pos perizinan resmi seperti Tamiajeng, namun disarankan untuk melapor ke warga setempat atau pengelola petirtaan.
- Pos I (Hutan Kaki Gunung): Jalur awal melewati area perkebunan dan hutan bambu, kemudian masuk ke hutan tropis yang lebih lebat. Tanjakan masih landai.
- Pos II (Sumber Air): Setelah berjalan sekitar 1,5 - 2 jam. Di sini sering ditemukan sumber air alami yang dapat digunakan untuk mengisi persediaan. Jalur mulai menanjak lebih signifikan.
- Pos III (Situs Tersembunyi): Sekitar 1,5 jam dari Pos II. Jalur ini terkenal dengan beberapa situs-situs kecil yang mungkin tidak sepopuler di Tamiajeng, namun tetap memiliki nilai sejarah. Medan semakin menantang dengan akar-akar pohon dan bebatuan licin.
- Menuju Puncak: Setelah sekitar 2-3 jam dari Pos III, jalur ini akan bertemu dengan jalur Tamiajeng di sekitar Pos IV atau menuju Puncak langsung. Trek menuju puncak tetap berupa bebatuan terjal yang membutuhkan kewaspadaan.
Total waktu pendakian melalui jalur Jolotundo bisa lebih lama, sekitar 6-9 jam, karena medan yang lebih alami dan kurang jelas penandaannya di beberapa titik.
3. Jalur Ngoro (Mojokerto)
Jalur Ngoro, tepatnya dari Dusun Kedungudi, Desa Kutogirang, Kecamatan Ngoro, merupakan salah satu jalur alternatif yang semakin populer. Jalur ini menawarkan pemandangan yang berbeda dan seringkali lebih sepi dibandingkan Tamiajeng.
- Basecamp Ngoro: Pendaftaran dan fasilitas dasar tersedia.
- Pos I (Hutan Pinus): Jalur awal melewati hutan pinus yang teduh, relatif landai namun terus menanjak.
- Pos II (Area Terbuka): Sekitar 1,5 - 2 jam dari Pos I. Area ini mulai terbuka dengan pandangan ke arah lembah.
- Pos III (Punden Tertinggi): Jalur ini dikenal memiliki beberapa punden berundak di ketinggian yang cukup. Medan mulai berbatu dan menanjak curam.
- Puncak: Dari Pos III, waktu tempuh ke puncak bisa 2-3 jam lagi dengan medan yang semakin menantang seperti jalur Tamiajeng.
Jalur Ngoro memakan waktu sekitar 5-8 jam untuk mencapai puncak.
Perbandingan Jalur Pendakian
- Tamiajeng: Paling populer, fasilitas lengkap, banyak situs candi, jalur relatif jelas, cocok untuk pemula-menengah.
- Jolotundo: Lebih sepi, alami, pengalaman "penjelajahan", situs tersembunyi, cocok untuk pendaki berpengalaman atau yang mencari ketenangan.
- Ngoro: Alternatif yang baik, menawarkan pemandangan berbeda, relatif sepi, cocok untuk pendaki menengah.
Apapun jalur yang dipilih, pastikan untuk selalu menjaga etika pendakian, tidak membuang sampah, dan menghormati situs-situs bersejarah yang Anda temui. Gunung Penanggungan adalah warisan berharga yang harus dijaga bersama.
Flora dan Fauna: Kekayaan Ekosistem Penanggungan
Meskipun sering dianggap sebagai gunung yang relatif rendah, Gunung Penanggungan menyimpan kekayaan flora dan fauna yang beragam, menjadikannya sebuah ekosistem yang penting di Jawa Timur. Keberadaan berbagai jenis tumbuhan dan hewan ini menambah daya tarik alami gunung, sekaligus menjadi indikator kesehatan lingkungan.
Keanekaragaman Flora
Ekosistem Penanggungan dapat dibagi menjadi beberapa zona vegetasi berdasarkan ketinggian. Di kaki gunung, area didominasi oleh lahan pertanian milik masyarakat, perkebunan kopi, serta hutan produksi seperti hutan pinus dan jati. Hutan pinus ini seringkali menjadi area teduh yang menyejukkan di awal jalur pendakian, terutama di jalur Tamiajeng dan Ngoro.
Semakin tinggi, vegetasi berubah menjadi hutan tropis dataran rendah hingga hutan pegunungan. Pohon-pohon besar dengan tajuk rapat mulai mendominasi, menciptakan suasana hutan yang lembap dan sejuk. Beberapa jenis pohon yang dapat ditemukan antara lain berbagai spesies cemara gunung, akasia, dan jenis-jenis perdu serta semak belukar yang tumbuh subur di antara bebatuan. Berbagai jenis anggrek hutan dan tumbuhan paku epifit juga dapat ditemukan menempel di batang-batang pohon, menunjukkan kelembaban dan kesuburan tanah.
Di area puncak dan punggung bukit yang lebih terbuka, vegetasi didominasi oleh rumput-rumputan, edelweis jawa (walaupun tidak sebanyak di gunung-gunung tinggi lainnya), serta beberapa jenis bunga liar yang tahan terhadap kondisi lingkungan yang lebih ekstrem. Kehadiran lumut dan lichen di bebatuan juga menandakan kebersihan udara di ketinggian tersebut.
Keanekaragaman Fauna
Gunung Penanggungan menjadi rumah bagi berbagai jenis satwa liar, meskipun tidak mudah untuk melihatnya secara langsung karena sifat mereka yang cenderung pemalu dan menghindari manusia. Beberapa jenis mamalia yang dapat ditemui antara lain:
- Kera Ekor Panjang (Macaca fascicularis): Kawanan kera ini sering terlihat di area hutan yang lebih rendah, terutama di sekitar sumber air atau dekat perkebunan warga. Mereka sering berinteraksi dengan pendaki, meskipun sebaiknya tidak diberi makan.
- Lutung Jawa (Trachypithecus auratus): Spesies primata endemik Jawa yang dilindungi. Lutung ini memiliki bulu hitam mengkilap atau oranye kecoklatan pada individu muda. Mereka lebih pemalu daripada kera ekor panjang.
- Musang (Viverridae): Beberapa jenis musang, seperti musang luwak atau musang rase, menghuni hutan Penanggungan dan aktif mencari makan di malam hari.
- Tupai dan Bajing: Berbagai jenis tupai dan bajing dapat terlihat melompat di antara pepohonan, menambah suasana hidup hutan.
- Kelelawar: Gua-gua kecil atau celah bebatuan di lereng gunung menjadi tempat tinggal bagi beberapa koloni kelelawar.
Selain mamalia, Penanggungan juga merupakan habitat bagi berbagai jenis burung. Para pengamat burung (birdwatcher) dapat menemukan berbagai spesies, mulai dari burung hutan kecil yang lincah hingga burung elang yang terbang melayang di langit. Suara kicauan burung seringkali menjadi teman setia selama pendakian, menambah suasana alami yang menenangkan.
Reptil seperti ular dan kadal, serta serangga yang beraneka ragam juga melengkapi ekosistem Penanggungan. Penting bagi para pendaki untuk selalu berhati-hati dan menjaga jarak dengan satwa liar, serta tidak mengganggu habitat mereka. Konservasi flora dan fauna di Penanggungan adalah tanggung jawab kita bersama, untuk memastikan kekayaan hayatinya tetap lestari untuk generasi mendatang.
Pesona Puncak: Panorama Negeri di Atas Awan
Mencapai Puncak Pawitra di Gunung Penanggungan adalah pengalaman yang tak terlupakan, sebuah hadiah setimpal setelah perjuangan menanjak. Meskipun ketinggiannya tidak mencapai ribuan meter seperti gunung-gunung besar lainnya, pemandangan dari puncak Penanggungan sungguh memukau dan memiliki karakteristiknya sendiri yang unik. Puncak ini seringkali menawarkan sensasi "negeri di atas awan," terutama saat musim kemarau atau setelah hujan yang menyisakan kabut tipis di lembah.
Pemandangan 360 Derajat yang Spektakuler
Dari Puncak Pawitra, pandangan mata dapat menjelajahi hamparan panorama 360 derajat yang luas. Di arah utara, kita akan disuguhi pemandangan megah Gunung Welirang dan Arjuno yang menjulang tinggi, kadang diselimuti kabut tipis yang menambah kesan mistis. Siluet Gunung Lawu di kejauhan juga seringkali terlihat saat cuaca sangat cerah.
Ke arah timur dan selatan, terbentang luas dataran rendah Jawa Timur dengan pola sawah hijau yang memukau, permukiman penduduk yang tampak seperti miniatur, dan garis pantai Laut Jawa di kejauhan yang samar. Terkadang, jika beruntung, kita dapat melihat selat Madura dan pulau Madura di cakrawala, menambahkan dimensi lautan ke dalam pemandangan gunung.
Pemandangan matahari terbit (sunrise) dari puncak Penanggungan adalah salah satu momen yang paling dicari. Langit yang bergradasi dari gelap pekat menjadi oranye keemasan, lalu merah muda dan biru cerah, dengan siluet gunung-gunung lain sebagai latar belakang, menciptakan lukisan alam yang tiada duanya. Begitu pula dengan matahari terbenam (sunset) yang melukis langit dengan warna-warna hangat sebelum kegelapan malam menyelimuti.
Vegetasi dan Kondisi Puncak
Area puncak Penanggungan didominasi oleh batuan cadas vulkanik yang terbuka. Vegetasi di puncak sangat minim, terdiri dari beberapa jenis rumput liar, lumut, dan kadang-kadang terlihat edelweis jawa yang tumbuh di celah-celah bebatuan. Kondisi ini membuat puncak terasa sangat lapang dan memberikan sensasi kebebasan yang luar biasa.
Karena sifatnya yang terbuka, puncak Penanggungan bisa sangat berangin, terutama saat musim kemarau. Suhu di puncak juga bisa cukup dingin, bahkan di siang hari. Oleh karena itu, persiapan pakaian hangat sangat disarankan meskipun Anda mendaki di pagi hari.
Sensasi Pencapaian dan Spiritual
Lebih dari sekadar pemandangan, mencapai Puncak Pawitra memberikan sensasi pencapaian pribadi yang mendalam. Setiap langkah, setiap tetes keringat, dan setiap tantangan yang berhasil diatasi terasa terbayar lunas. Ada rasa bangga dan puas yang melingkupi, memicu semangat dan energi positif.
Bagi sebagian pendaki, terutama yang memahami sejarah dan mitologi gunung ini, puncak Penanggungan juga menawarkan dimensi spiritual. Berdiri di titik tertinggi "Gunung Pawitra" yang diyakini sebagai tempat bersemayamnya para dewa, seolah menghubungkan diri dengan alam semesta dan warisan leluhur. Suasana hening dan damai di puncak seringkali dimanfaatkan untuk refleksi atau meditasi singkat.
Penting untuk diingat bahwa puncak gunung adalah tempat yang sakral. Jagalah kebersihan, jangan merusak lingkungan, dan hargai setiap momen yang Anda alami di sana. Bawalah pulang hanya foto dan kenangan, tinggalkan hanya jejak kaki, dan biarkan keindahan Penanggungan tetap abadi.
Situs-situs Purbakala: Mengurai Benang Merah Masa Lalu
Kekayaan arkeologi Gunung Penanggungan adalah daya tarik utamanya yang membedakan gunung ini dari gunung-gunung lain di Indonesia. Dengan lebih dari 100 situs yang tersebar di lereng-lerengnya, Penanggungan adalah sebuah kompleks percandian dan pertapaan alami terbesar di Jawa Timur, bahkan mungkin di Indonesia. Situs-situs ini didominasi oleh punden berundak, candi kecil, gua pertapaan, dan petirtaan, yang sebagian besar berasal dari periode Majapahit (abad ke-13 hingga ke-15 Masehi) dan sebelumnya.
Para peneliti dan arkeolog telah lama tertarik pada Penanggungan karena kepadatannya situs-situs ini. Berikut adalah beberapa situs purbakala penting yang dapat ditemui di Gunung Penanggungan, terutama di jalur pendakian Tamiajeng yang paling populer:
1. Candi Putri
Terletak di ketinggian sekitar 800 mdpl di jalur Tamiajeng, Candi Putri adalah salah satu situs pertama yang akan ditemui pendaki. Candi ini berupa struktur punden berundak dengan beberapa teras yang mengarah ke atas. Meskipun tidak ditemukan banyak sisa-sisa bangunan candi yang utuh, fondasi dan susunan batunya menunjukkan keberadaan sebuah kompleks pemujaan. Konon, nama "Putri" berasal dari legenda lokal atau sebagai tempat pertapaan para putri kerajaan.
2. Candi Gentong
Berada di atas Candi Putri, di ketinggian sekitar 1.000 mdpl. Candi Gentong mendapatkan namanya dari bentuk strukturnya yang menyerupai gentong atau wadah air besar. Situs ini juga merupakan punden berundak yang terdiri dari beberapa tingkat. Di sekitarnya, seringkali ditemukan pecahan-pecahan keramik kuno atau arca kecil, menandakan aktivitas keagamaan yang intens di masa lalu. Candi ini menawarkan pemandangan yang mulai terbuka ke arah dataran rendah.
3. Candi Sinta
Situs ini mungkin sedikit tersembunyi dibandingkan Candi Putri dan Gentong, namun keberadaannya sangat penting. Candi Sinta merupakan punden berundak yang lebih kompleks, seringkali dengan relief-relief sederhana yang menggambarkan cerita-cerita pewayangan atau simbol-simbol kosmologi. Nama Sinta mungkin mengacu pada tokoh dalam epos Ramayana, menunjukkan pengaruh Hindu yang kuat.
4. Candi Naga
Salah satu situs yang menarik karena adanya relief naga, makhluk mitologi yang sering dikaitkan dengan kekuatan air dan penjaga kesucian. Keberadaan naga ini menunjukkan aspek kepercayaan yang berakar pada mitologi pra-Hindu atau perpaduan dengan kepercayaan lokal.
5. Goa Botol
Bukan candi, melainkan sebuah ceruk atau gua kecil yang sering digunakan sebagai tempat pertapaan. Ditemukan di ketinggian yang lebih tinggi, Goa Botol memberikan gambaran tentang praktik spiritual para petapa kuno yang mencari kesunyian dan kedekatan dengan alam serta dewa-dewa.
6. Candi Pura
Terletak lebih dekat ke puncak, di ketinggian sekitar 1.400 mdpl. Candi Pura adalah salah satu situs tertinggi yang masih teridentifikasi. Strukturnya berupa susunan batu-batu yang membentuk sebuah altar atau tempat persembahan. Dari lokasi ini, pemandangan ke arah puncak Penanggungan sangat jelas, menunjukkan posisinya yang strategis untuk ritual keagamaan yang mungkin dilakukan saat melihat puncak suci.
7. Kompleks Punden Berundak Puncak
Di sekitar puncak utama, terdapat beberapa punden berundak yang lebih besar dan kompleks. Ini adalah titik-titik pemujaan tertinggi, yang diyakini sebagai tempat paling suci untuk berkomunikasi dengan para dewa. Struktur ini menjadi bukti kuat bahwa Gunung Penanggungan adalah "Gunung Pawitra" yang sangat dihormati oleh peradaban Majapahit. Dari punden ini, upacara-upacara besar mungkin dilakukan dengan latar belakang pemandangan alam yang megah.
8. Petirtaan Jolotundo
Meskipun berada di kaki gunung, Petirtaan Jolotundo (yang menjadi titik awal jalur pendakian Jolotundo) adalah situs yang sangat penting. Ini adalah pemandian kuno yang indah dengan relief-relief detail yang menceritakan kisah mitologi. Airnya yang jernih dan diyakini memiliki khasiat tertentu menjadikannya tempat suci dan sumber air penting bagi masyarakat sekitar sejak berabad-abad lalu. Pembangunannya yang diperkirakan pada masa Raja Airlangga, menunjukkan betapa strategisnya lokasi ini.
Situs-situs ini bukan sekadar tumpukan batu, melainkan jendela menuju masa lalu, menceritakan kisah kepercayaan, seni, arsitektur, dan peradaban yang pernah berjaya di tanah Jawa. Melestarikan situs-situs ini adalah tanggung jawab kita bersama, agar warisan budaya yang tak ternilai harganya ini dapat terus dipelajari dan dihormati oleh generasi mendatang. Saat mendaki, selalu ingat untuk tidak menyentuh, merusak, atau mengambil bagian dari situs-situs ini.
Tips dan Persiapan Pendakian: Menuju Puncak dengan Aman
Pendakian Gunung Penanggungan, meskipun tidak seberat gunung-gunung tinggi lainnya, tetap memerlukan persiapan yang matang agar perjalanan Anda aman, nyaman, dan berkesan. Berikut adalah panduan lengkap untuk persiapan pendakian Penanggungan:
1. Persiapan Fisik dan Mental
- Latihan Fisik: Lakukan latihan kardio (jogging, bersepeda) dan latihan kekuatan kaki (squat, lunges) setidaknya 2-3 minggu sebelum pendakian. Latih juga jalan kaki dengan beban ransel.
- Istirahat Cukup: Pastikan tubuh dalam kondisi prima dengan tidur yang cukup sebelum hari H.
- Kesehatan: Periksa kondisi kesehatan Anda. Jika memiliki riwayat penyakit tertentu, konsultasikan dengan dokter.
- Mental Positif: Siapkan mental untuk menghadapi tanjakan, kelelahan, dan cuaca yang tidak menentu. Nikmati setiap prosesnya.
2. Perlengkapan Wajib
- Ransel Gunung: Kapasitas 30-45 liter cukup untuk pendakian sehari atau semalam.
- Pakaian:
- Baju ganti (minimal 2 set): Bahan dry-fit atau cepat kering.
- Jaket gunung (windbreaker/waterproof): Penting untuk menahan angin dan dingin di puncak.
- Celana panjang lapangan/trekking: Bahan ringan dan kuat.
- Raincoat/jas hujan: Wajib dibawa meskipun musim kemarau.
- Kaos kaki: Minimal 2 pasang.
- Topi/kupluk dan sarung tangan: Melindungi dari dingin dan sengatan matahari.
- Alas Kaki:
- Sepatu gunung: Yang nyaman, tahan air, dan memiliki grip yang baik.
- Sandal gunung (opsional): Untuk di basecamp atau santai.
- Logistik:
- Air minum: Minimal 2-3 liter per orang per hari. Meskipun ada sumber air, lebih baik membawa cukup.
- Makanan ringan: Roti, biskuit, cokelat, buah, sereal bar, dll.
- Makanan berat (jika camping): Nasi instan, lauk pauk kering, mie instan, dll. Sesuaikan dengan selera.
- Peralatan Tambahan:
- Headlamp/senter: Wajib, terutama jika mendaki malam atau turun malam.
- Power bank: Untuk mengisi daya ponsel atau headlamp.
- P3K standar: Obat pribadi, plester, antiseptik, perban, dll.
- Trash bag: Kantong sampah untuk membawa pulang semua sampah Anda.
- Tisu basah/kering.
- Sunscreen dan lip balm.
- Trekking pole (opsional): Membantu keseimbangan dan mengurangi beban lutut.
- Tenda dan sleeping bag (jika camping).
- Matras.
- Kompor portabel dan nesting (jika camping).
3. Logistik dan Perbekalan
- Makanan: Pilih makanan yang berenergi tinggi, mudah dimasak/dimakan, dan tidak terlalu berat.
- Air: Pastikan Anda membawa cukup air, terutama jika mendaki di musim kemarau. Sumber air di jalur mungkin tidak selalu tersedia atau bersih.
- Pembagian Beban: Jika mendaki berkelompok, bagilah beban logistik secara merata.
4. Etika Pendakian (Leave No Trace)
- Bawa Turun Sampah Anda: Ini adalah aturan emas. Jangan tinggalkan apapun selain jejak kaki, jangan ambil apapun selain foto.
- Hormati Situs Sejarah: Jangan menyentuh, merusak, atau mengambil bagian dari candi dan situs purbakala. Hargai nilai sejarah dan spiritualnya.
- Jaga Kebersihan Sumber Air: Jangan mencemari sumber air.
- Tidak Membuat Api Sembarangan: Hindari risiko kebakaran hutan, terutama di musim kemarau. Gunakan kompor portabel untuk memasak.
- Tidak Merusak Flora dan Fauna: Jangan memetik bunga, mencoret pohon, atau mengganggu satwa liar.
- Jaga Ketenangan: Hindari berteriak atau membuat suara bising yang mengganggu pendaki lain atau ketenangan alam.
5. Izin dan Registrasi
- Lapor di Basecamp: Selalu lakukan registrasi di pos perizinan resmi (misalnya di Tamiajeng atau Ngoro). Informasikan jumlah anggota tim, rencana jalur, dan nomor kontak darurat. Ini penting untuk keselamatan Anda.
- Biaya Retribusi: Siapkan sejumlah uang untuk biaya retribusi masuk dan parkir.
6. Waktu Terbaik Mendaki
- Musim Kemarau (Mei - Oktober): Merupakan waktu terbaik karena cuaca cerah, jalur tidak licin, dan pandangan puncak lebih jelas. Namun, siapkan air minum yang lebih banyak karena sumber air bisa kering.
- Musim Hujan (November - April): Jalur akan sangat licin dan berlumpur. Risiko kabut tebal, angin kencang, dan badai lebih tinggi. Namun, vegetasi akan sangat hijau dan segar. Jika mendaki di musim hujan, pastikan perlengkapan antiair lengkap dan sangat berhati-hati.
7. Navigasi dan Keamanan
- Peta dan Kompas/GPS: Bawa peta jalur dan manfaatkan aplikasi GPS di ponsel (pastikan sudah mengunduh peta offline).
- Pendaki Berpengalaman: Jika Anda pemula, sebaiknya mendaki dengan pendaki yang lebih berpengalaman atau menggunakan jasa pemandu.
- Informasi Cuaca: Selalu periksa perkiraan cuaca sebelum dan selama pendakian.
- Jangan Mendaki Sendirian: Mendaki berkelompok lebih aman.
Dengan persiapan yang matang dan sikap yang bertanggung jawab, pendakian Gunung Penanggungan akan menjadi pengalaman yang aman, penuh makna, dan tak terlupakan.
Keamanan dan Mitigasi Risiko: Prioritas Utama
Meskipun Gunung Penanggungan dianggap ramah bagi pendaki pemula, setiap pendakian gunung memiliki risiko. Memahami risiko dan cara memitigasinya adalah kunci untuk menjaga keselamatan diri dan kelompok. Berikut adalah beberapa aspek keamanan dan mitigasi risiko yang perlu diperhatikan:
1. Risiko Cuaca Ekstrem
- Perubahan Cuaca Mendadak: Di gunung, cuaca bisa berubah sangat cepat. Awalnya cerah bisa tiba-tiba berkabut tebal disertai hujan deras atau badai.
- Mitigasi: Selalu periksa prakiraan cuaca, bawa jas hujan/ponco, jaket hangat, dan selalu siapkan rencana cadangan untuk berlindung atau berbalik arah jika cuaca memburuk. Jangan memaksakan diri jika cuaca sangat ekstrem.
2. Hypothermia
- Penyebab: Suhu tubuh turun drastis karena paparan dingin, angin kencang, atau pakaian basah.
- Gejala: Menggigil tak terkontrol, kelelahan, kebingungan, bicara melantur.
- Mitigasi: Gunakan pakaian berlapis (layering system), segera ganti pakaian basah dengan yang kering, konsumsi makanan dan minuman hangat, serta cari tempat berlindung dari angin dan hujan.
3. Tersesat
- Penyebab: Kurangnya penanda jalur, kabut tebal, atau kelalaian dalam navigasi.
- Mitigasi: Selalu ikuti jalur resmi, jangan memisahkan diri dari kelompok, hafalkan tanda-tanda jalur, gunakan peta dan kompas/GPS (dengan peta offline yang sudah diunduh), dan jika tersesat, tetap tenang, jangan panik, dan segera hubungi bantuan jika ada sinyal. Ingat prinsip STOP (Stop, Think, Observe, Plan).
4. Cedera
- Penyebab: Tergelincir, terpeleset, tersandung batu atau akar, salah langkah.
- Mitigasi: Gunakan sepatu yang sesuai dan nyaman, berjalan dengan hati-hati, terutama di jalur licin atau berbatu, manfaatkan trekking pole untuk menjaga keseimbangan, dan selalu perhatikan langkah. Bawa kotak P3K yang lengkap untuk penanganan awal.
5. Dehidrasi dan Heat Stroke
- Penyebab: Kurangnya asupan cairan, terutama saat cuaca panas atau aktivitas fisik yang berat.
- Mitigasi: Minum air secara teratur meskipun tidak haus, bawa cadangan air yang cukup, dan hindari mendaki di bawah terik matahari yang ekstrem.
6. Pertemuan dengan Satwa Liar
- Risiko: Gigitan serangga, ular, atau interaksi negatif dengan primata.
- Mitigasi: Jangan mengganggu satwa liar, simpan makanan dengan baik agar tidak menarik perhatian hewan, dan selalu waspada terhadap lingkungan sekitar. Jika bertemu ular atau hewan berbahaya, jaga jarak dan biarkan mereka lewat.
7. Nomor Darurat dan Komunikasi
- Penting: Catat nomor kontak basecamp, tim SAR lokal, dan teman atau keluarga yang tidak ikut mendaki.
- Komunikasi: Bawa ponsel yang terisi penuh dan power bank. Sinyal mungkin tidak selalu ada di semua titik, namun di beberapa area puncak atau punggung bukit seringkali ada sinyal.
Keselamatan adalah tanggung jawab bersama. Selalu prioritaskan keamanan di atas segalanya. Jangan pernah meremehkan gunung, dan selalu persiapkan diri dengan sebaik-baiknya. Komunikasi yang baik dalam kelompok juga sangat penting untuk memitigasi risiko.
Aktivitas Lain di Sekitar Penanggungan: Menjelajahi Pesona Mojokerto
Pendakian Gunung Penanggungan tidak hanya terbatas pada puncak dan situs-situs purbakalanya. Area di sekitar kaki gunung, terutama di Kabupaten Mojokerto dan Pasuruan, menawarkan berbagai destinasi wisata menarik lainnya yang dapat melengkapi pengalaman petualangan Anda. Setelah lelah mendaki, Anda bisa bersantai atau menjelajahi kekayaan budaya dan alam di sekitarnya.
1. Petirtaan Jolotundo
Seperti yang telah disebutkan, Petirtaan Jolotundo adalah sebuah pemandian kuno peninggalan Raja Airlangga yang memiliki nilai sejarah dan spiritual tinggi. Terletak di lereng timur Gunung Penanggungan, petirtaan ini dikelilingi oleh pepohonan rindang dan memiliki arsitektur yang indah dengan relief-relief di dindingnya. Airnya yang jernih dan segar diyakini memiliki khasiat tertentu dan sering digunakan untuk ritual. Mengunjungi Jolotundo adalah cara yang bagus untuk merasakan aura sejarah dan ketenangan.
2. Air Terjun Dlundung
Terletak di Desa Ketapanrame, Trawas, Mojokerto, Air Terjun Dlundung adalah destinasi populer lainnya. Air terjun ini menawarkan pemandangan alam yang asri dengan gemericik air yang menenangkan. Aksesnya cukup mudah dan fasilitas di sekitar air terjun juga cukup memadai, menjadikannya tempat yang cocok untuk bersantai bersama keluarga setelah pendakian.
3. Pemandian Air Panas Padusan Pacet
Jika tubuh terasa pegal setelah pendakian, pemandian air panas Padusan di Pacet adalah pilihan yang tepat. Air panas alami dari pegunungan diyakini dapat merelaksasi otot dan menyegarkan kembali tubuh. Area ini juga dilengkapi dengan fasilitas rekreasi lainnya, menjadikannya destinasi lengkap untuk melepas penat.
4. Candi Jedong
Tidak jauh dari Penanggungan, terdapat situs Candi Jedong yang merupakan gerbang kuno menuju kompleks pegunungan yang dianggap suci. Candi ini menawarkan arsitektur khas Majapahit dan menjadi bukti lain kejayaan peradaban di masa lalu. Mengunjungi Candi Jedong dapat memperkaya pemahaman Anda tentang sejarah lokal.
5. Agrowisata dan Kuliner Lokal
Daerah Trawas dan Pacet yang berada di kaki gunung dikenal sebagai kawasan agrowisata. Anda bisa mengunjungi perkebunan kopi, buah-buahan, atau sayuran. Jangan lewatkan juga untuk mencicipi kuliner lokal khas Mojokerto dan Pasuruan, seperti Onde-onde Mojokerto, sate kelinci, atau berbagai olahan hasil pertanian segar. Warung-warung makan di sepanjang jalan menuju basecamp juga seringkali menyajikan masakan rumahan yang lezat dan hangat, cocok untuk mengisi perut setelah berpetualang.
6. Desa Wisata
Beberapa desa di sekitar Penanggungan kini mulai dikembangkan sebagai desa wisata yang menawarkan pengalaman hidup pedesaan, budaya lokal, dan kerajinan tangan. Berinteraksi dengan masyarakat lokal dapat memberikan wawasan baru tentang kehidupan di sekitar gunung suci ini.
Dengan berbagai pilihan aktivitas di sekitarnya, Gunung Penanggungan menawarkan pengalaman wisata yang komprehensif, tidak hanya bagi para pendaki tetapi juga bagi mereka yang mencari ketenangan alam, kekayaan sejarah, atau sekadar ingin menikmati suasana pedesaan yang sejuk.
Konservasi dan Kelestarian: Menjaga Warisan untuk Masa Depan
Keindahan alam dan kekayaan sejarah Gunung Penanggungan adalah anugerah yang tak ternilai harganya. Namun, dengan semakin meningkatnya popularitas sebagai destinasi pendakian dan wisata, tekanan terhadap lingkungan dan situs-situs purbakala pun semakin besar. Oleh karena itu, upaya konservasi dan pelestarian menjadi sangat krusial agar warisan ini dapat terus dinikmati oleh generasi mendatang.
Pentingnya Konservasi Lingkungan
Ekosistem Gunung Penanggungan, dengan flora dan faunanya yang beragam, adalah bagian integral dari keseimbangan alam di Jawa Timur. Hutan di lereng gunung berfungsi sebagai daerah tangkapan air yang penting, mencegah erosi, dan menyediakan oksigen. Rusaknya hutan berarti hilangnya habitat satwa, berkurangnya pasokan air bersih, dan meningkatnya risiko bencana alam seperti banjir dan tanah longsor di daerah sekitarnya.
Ancaman terhadap lingkungan Penanggungan meliputi:
- Sampah Anorganik: Pendaki yang tidak bertanggung jawab seringkali meninggalkan sampah plastik, botol, dan kemasan makanan di sepanjang jalur atau di area camping. Sampah ini tidak hanya merusak pemandangan, tetapi juga mencemari tanah dan air, serta membahayakan satwa liar.
- Kebakaran Hutan: Kegiatan pembukaan lahan yang ilegal, puntung rokok sembarangan, atau api unggun yang tidak padam sempurna dapat memicu kebakaran hutan, terutama di musim kemarau.
- Perburuan Liar dan Penebangan Ilegal: Meskipun jarang, praktik perburuan satwa liar atau penebangan pohon secara ilegal masih menjadi ancaman bagi keanekaragaman hayati Penanggungan.
- Vandalisme: Tindakan vandalisme seperti pencoretan batu atau pepohonan, serta perusakan fasilitas umum.
Untuk mengatasi hal ini, diperlukan kesadaran kolektif. Setiap pendaki dan pengunjung harus menerapkan prinsip "Leave No Trace" (Tidak Meninggalkan Jejak) dengan membawa pulang semua sampah mereka, tidak membuat api sembarangan, dan menghormati lingkungan alam.
Pelestarian Situs Purbakala
Situs-situs purbakala di Penanggungan adalah bukti bisu kejayaan peradaban masa lalu. Punden berundak, candi, dan petirtaan adalah aset budaya yang tak ternilai, yang harus dijaga dari kerusakan. Tekanan yang dihadapi situs-situs ini meliputi:
- Perusakan Fisik: Pengambilan batu, pencoretan, atau bahkan pembongkaran situs oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.
- Erosi dan Pelapukan Alami: Faktor alam seperti hujan, angin, dan lumut juga dapat mempercepat kerusakan situs jika tidak dirawat.
- Kurangnya Edukasi: Sebagian pengunjung mungkin tidak menyadari nilai penting situs-situs ini, sehingga tanpa sengaja merusaknya.
Pemerintah daerah melalui Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Timur, bersama dengan komunitas peduli sejarah dan pendaki, telah melakukan upaya-upaya pelestarian. Ini meliputi survei dan inventarisasi situs, pembersihan rutin, serta sosialisasi tentang pentingnya menjaga situs. Para pendaki diharapkan untuk tidak menyentuh, menduduki, atau merusak situs-situs ini, serta melaporkan jika melihat ada tindakan perusakan.
Peran Masyarakat dan Komunitas
Masyarakat lokal di sekitar kaki Penanggungan memegang peranan penting dalam konservasi. Banyak dari mereka yang secara turun-temurun menjaga gunung ini dan situs-situsnya. Komunitas pendaki dan pegiat lingkungan juga aktif dalam kegiatan bersih-bersih gunung, penanaman pohon, dan kampanye edukasi. Kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan komunitas adalah kunci keberhasilan upaya pelestarian ini.
Mari kita bersama-sama menjadi agen perubahan positif. Setiap langkah kita di Gunung Penanggungan harus diiringi dengan kesadaran akan tanggung jawab untuk menjaga keaslian alam dan warisan budaya yang ada. Dengan demikian, Gunung Penanggungan akan tetap menjadi "Gunung Pawitra" yang suci, indah, dan kaya makna bagi generasi yang akan datang.
Kesimpulan: Petualangan yang Menginspirasi
Gunung Penanggungan adalah sebuah permata di Jawa Timur yang menawarkan lebih dari sekadar pendakian. Ia adalah sebuah narasi panjang tentang alam, sejarah, dan spiritualitas yang terangkum dalam setiap jengkal lereng dan puncaknya. Dari siluet kerucutnya yang memikat, ribuan situs purbakala yang tersebar luas, hingga keanekaragaman hayati yang menaunginya, Penanggungan mengundang kita untuk menjelajahi, merenung, dan terinspirasi.
Setiap langkah di jalur pendakiannya bukan hanya perjalanan fisik menuju puncak, melainkan juga sebuah perjalanan menyingkap tabir masa lalu, menghargai jejak peradaban Majapahit kuno, dan merasakan koneksi mendalam dengan alam semesta. Pemandangan dari Puncak Pawitra yang megah, diselimuti keheningan dan angin sejuk, memberikan sensasi pencapaian yang tak terlupakan dan pandangan baru tentang keindahan negeri ini.
Namun, semua keindahan dan kekayaan ini juga membawa tanggung jawab besar. Tanggung jawab kita sebagai pengunjung, pendaki, dan bagian dari masyarakat, untuk senantiasa menjaga dan melestarikan warisan berharga ini. Melalui praktik pendakian yang bertanggung jawab, menghormati situs-situs sejarah, serta berpartisipasi aktif dalam upaya konservasi, kita memastikan bahwa "Gunung Pawitra" akan terus berdiri tegak, memancarkan pesonanya, dan menginspirasi generasi-generasi selanjutnya.
Jadi, siapkan diri Anda, buka hati Anda, dan biarkan Gunung Penanggungan menceritakan kisahnya kepada Anda. Petualangan di Penanggungan adalah sebuah pengalaman yang tidak hanya memperkaya fisik, tetapi juga jiwa dan pikiran.