Gordang Sambilan: Harmoni Leluhur dari Tanah Mandailing

Ilustrasi Gordang Sambilan Visualisasi sembilan gendang tradisional Mandailing, Gordang Sambilan, dengan sarune dan gong.
Visualisasi sederhana Gordang Sambilan dan instrumen pendukungnya.

Pendahuluan: Detak Jantung Budaya Mandailing

Di tengah keragaman budaya Indonesia yang memukau, tersembunyi sebuah permata tak ternilai dari Tanah Mandailing, Sumatera Utara: Gordang Sambilan. Lebih dari sekadar alat musik, Gordang Sambilan adalah jantung dari kebudayaan Batak Mandailing, sebuah warisan leluhur yang kaya akan filosofi, sejarah, dan nilai-nilai spiritual. Ia adalah suara yang mengiringi suka dan duka, penanda setiap peristiwa penting dalam siklus kehidupan masyarakatnya, serta jembatan penghubung antara dunia nyata dan alam gaib.

Kata "Gordang" merujuk pada gendang besar, dan "Sambilan" berarti sembilan. Sesuai namanya, Gordang Sambilan adalah seperangkat sembilan gendang besar yang dimainkan secara bersamaan, menghasilkan harmoni ritmis yang kompleks dan mendalam. Namun, ensambel ini tidak hanya terdiri dari gendang sembilan. Ia juga dilengkapi dengan instrumen lain seperti serunai (alat tiup tradisional), ogung (gong), dan terkadang tondi-tondi atau duk-duk (gendang kecil tambahan), yang semuanya berpadu menciptakan orkestrasi yang magis dan penuh makna.

Bagi masyarakat Mandailing, Gordang Sambilan bukan sekadar instrumen hiburan. Peranannya jauh melampaui itu. Ia adalah simbol kebesaran, kemuliaan, keberanian, dan identitas. Suaranya diyakini mampu memanggil roh leluhur, mengusir roh jahat, serta memberikan berkat dan perlindungan. Oleh karena itu, penggunaan Gordang Sambilan selalu terikat pada upacara-upacara adat penting (horja godang) yang sakral, mulai dari pernikahan agung, pengangkatan raja atau pemimpin adat, hingga upacara kematian untuk menghormati para leluhur.

Memahami Gordang Sambilan berarti menyelami kedalaman budaya Batak Mandailing. Dari asal-usul mitologisnya hingga peran kontemporernya dalam melestarikan identitas, setiap aspek Gordang Sambilan adalah cerminan dari kekayaan warisan tak benda yang patut dijaga dan dilestarikan. Artikel ini akan mengajak Anda menelusuri seluk-beluk Gordang Sambilan, mengungkap misteri di balik setiap pukulannya, serta menyingkap nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya.

Dalam setiap dentum Gordang Sambilan, terdapat cerita ribuan tahun. Dalam setiap tiupan serunai, ada melodi kebijaksanaan. Dan dalam setiap gemuruh gong, terdapat gema panggilan dari masa lalu yang terus hidup di masa kini. Mari kita bersama-sama menjelajahi dunia Gordang Sambilan, sebuah keajaiban budaya yang tak lekang oleh waktu, sebuah harmoni leluhur yang terus bergema di hati masyarakat Mandailing.

Sejarah dan Asal Usul: Jejak Waktu yang Terukir dalam Ritme

Sejarah Gordang Sambilan terjalin erat dengan perjalanan panjang kebudayaan Batak Mandailing. Akar-akar keberadaannya dapat ditelusuri jauh ke masa lampau, mengakar pada periode kerajaan-kerajaan kuno di Sumatera Utara. Meskipun catatan tertulis yang spesifik tentang awal mula Gordang Sambilan sangat terbatas, bukti-bukti lisan dan tradisi yang diwariskan secara turun-temurun memberikan gambaran yang kaya akan asal-usulnya.

Banyak sejarawan dan budayawan meyakini bahwa Gordang Sambilan telah ada sejak zaman pra-Islam di Mandailing, kemungkinan besar berkembang bersamaan dengan sistem kepercayaan animisme dan dinamisme yang kuat di masyarakat setempat. Pada masa itu, alat musik ini digunakan dalam berbagai ritual untuk berkomunikasi dengan arwah leluhur dan entitas supranatural lainnya. Kehadirannya menjadi esensial dalam ritual memohon kesuburan, mengusir roh jahat, atau bahkan dalam persiapan perang. Fungsi sakral inilah yang membentuk fondasi Gordang Sambilan sebagai alat musik yang memiliki kekuatan spiritual.

Beberapa legenda lokal mengisahkan bahwa Gordang Sambilan pertama kali dibawa oleh para leluhur Mandailing yang bermigrasi, atau bahkan diciptakan atas petunjuk dewata dalam mimpi seorang datu (pemuka adat/dukun). Salah satu cerita populer menyebutkan bahwa ide sembilan gendang ini terinspirasi dari sembilan bintang di langit atau sembilan penjuru mata angin, yang melambangkan kesempurnaan dan keutuhan alam semesta. Versi lain mengaitkannya dengan jumlah marga-marga awal di Mandailing, yang menunjukkan betapa dalam Gordang Sambilan terintegrasi dengan struktur sosial dan silsilah masyarakat.

Pada masa kerajaan-kerajaan seperti Mandailing Natal dan Raja Gordang, instrumen ini memegang peranan sentral dalam upacara penobatan raja atau kepala suku. Dentuman Gordang Sambilan mengesahkan kekuasaan, melambangkan keagungan pemimpin, dan sekaligus menjadi deklarasi kekuatan serta legitimasi di mata rakyat. Setiap upacara besar kerajaan pasti diiringi oleh Gordang Sambilan, menjadikannya simbol status dan otoritas yang tak tergantikan.

Seiring berjalannya waktu dan masuknya pengaruh Islam ke Tanah Mandailing, Gordang Sambilan mengalami akulturasi budaya. Meskipun beberapa ritual animisme mungkin berkurang intensitasnya, fungsi Gordang Sambilan sebagai pengiring upacara adat yang bersifat sosial dan budaya tetap bertahan, bahkan semakin menguat. Islamisasi tidak menghilangkan keberadaan Gordang Sambilan, melainkan justru memperkaya maknanya, menempatkannya sebagai bagian integral dari identitas Mandailing yang religius sekaligus tradisional.

Transformasi ini menunjukkan adaptabilitas Gordang Sambilan dalam menghadapi perubahan zaman. Dari instrumen ritual magis, ia juga berkembang menjadi alat pengiring dalam upacara sukacita seperti pernikahan (horja mangaloksa), menyambut tamu penting, hingga perayaan panen (manyabur). Esensinya sebagai penghubung dengan leluhur dan penanda peristiwa penting tetap dipertahankan, bahkan diperkuat dengan nilai-nilai baru yang diserap dari agama dan budaya yang berkembang.

Hingga kini, Gordang Sambilan terus menjadi penjaga memori kolektif masyarakat Mandailing. Setiap ritme dan melodi adalah narasi tak tertulis tentang perjuangan, kebahagiaan, kesedihan, dan keberanian para leluhur. Keberadaannya adalah bukti nyata dari ketahanan dan kekayaan budaya yang mampu bertahan dari gempuran modernisasi, menjadikannya warisan yang tak ternilai harganya bagi generasi mendatang.

Proses pewarisan Gordang Sambilan berlangsung secara turun-temurun, dari satu generasi ke generasi berikutnya. Para pandai Gordang (pembuat gendang) dan pargordang (pemain gendang) mewariskan keahlian mereka melalui pelatihan dan praktik langsung, menjaga agar pengetahuan dan teknik tidak hilang ditelan waktu. Tradisi lisan ini, ditambah dengan praktik berkelanjutan dalam setiap upacara adat, memastikan bahwa Gordang Sambilan akan terus bergema dan hidup di Tanah Mandailing.

Anatomi Suara: Instrumen Gordang Sambilan

Keunikan Gordang Sambilan tidak hanya terletak pada fungsinya, tetapi juga pada komposisi instrumennya yang membentuk satu kesatuan orkestra tradisional yang harmonis. Ensambel Gordang Sambilan terdiri dari beberapa jenis instrumen, yang masing-masing memiliki peran dan karakteristik suara yang khas. Komponen utamanya adalah sembilan gendang besar, namun tidak lengkap tanpa kehadiran alat musik pendukung lainnya.

1. Gordang (Sembilan Gendang Besar)

Ilustrasi Gordang Gambar sederhana sebuah gendang Gordang dengan tali pengikat.
Visualisasi gendang Gordang.

Inilah inti dari Gordang Sambilan. Sembilan gendang ini terbuat dari kayu pilihan yang kokoh, seperti kayu nangka atau kemiri, yang dilubangi bagian tengahnya. Kedua ujung gendang ditutup dengan kulit kerbau atau kulit lembu yang telah dikeringkan dan direntangkan kuat menggunakan tali rotan atau ijuk. Perbedaan ukuran gendang menciptakan variasi nada, dari yang paling rendah (bass) hingga paling tinggi (treble).

2. Sarune (Serunai)

Ilustrasi Sarune Gambar sederhana alat musik tiup sarune Mandailing.
Visualisasi sarune.

Sarune adalah alat musik tiup ganda yang menjadi melodi utama dalam ensambel Gordang Sambilan. Terbuat dari kayu dengan bagian ujungnya yang berbentuk corong (disebut "bungo sarune" atau bunga serunai) yang terbuat dari daun lontar atau logam tipis. Sarune adalah "suara" yang paling vokal, seringkali dianggap sebagai penghubung antara manusia dan dunia roh. Melodinya yang merdu namun terkadang melengking memberikan nuansa magis pada setiap pertunjukan.

3. Ogung (Gong)

Ilustrasi Ogung (Gong) Gambar sederhana sebuah gong tradisional.
Visualisasi ogung (gong).

Ogung adalah instrumen perkusi dari perunggu atau logam lain yang berbentuk bundar. Fungsinya dalam Gordang Sambilan adalah sebagai penanda tempo dan penyeimbang harmoni. Dentingan ogung yang dalam dan bergaung memberikan efek atmosferik dan seringkali menandai pergantian segmen dalam suatu upacara.

4. Tondi-tondi atau Duk-duk (Gendang Kecil Tambahan)

Meskipun tidak selalu ada dalam setiap pertunjukan, tondi-tondi atau duk-duk adalah gendang kecil yang kadang ditambahkan untuk memperkaya tekstur suara. Fungsinya adalah sebagai pengisi ritme minor, memberikan aksen-aksen cepat yang menambah dinamika pada keseluruhan musik Gordang Sambilan. Kehadirannya bisa membuat ritme menjadi lebih padat dan kompleks.

Secara keseluruhan, setiap instrumen dalam Gordang Sambilan tidak berdiri sendiri. Mereka saling melengkapi, menciptakan sebuah simfoni yang mencerminkan filosofi kesatuan dan kebersamaan dalam masyarakat Mandailing. Pemilihan bahan, proses pembuatan, hingga cara memainkannya, semuanya mengandung nilai-nilai luhur yang telah diwariskan dari generasi ke generasi.

Fungsi dan Peran dalam Upacara Adat: Jalinan Kehidupan Mandailing

Gordang Sambilan bukan sekadar pertunjukan seni. Ia adalah penjelmaan dari kehidupan spiritual dan sosial masyarakat Batak Mandailing. Perannya sangat sentral dalam berbagai upacara adat atau "horja" (pesta/ritual) yang menandai setiap tahapan penting dalam kehidupan individu maupun komunitas. Kehadiran Gordang Sambilan dalam suatu upacara menunjukkan bahwa acara tersebut adalah horja godang (pesta besar) yang sakral dan penting.

1. Upacara Horja Godang (Pesta Besar)

Gordang Sambilan adalah jantung dari setiap horja godang, sebuah perayaan atau ritual yang melibatkan banyak orang dan memiliki makna sosial serta spiritual yang mendalam.

2. Upacara Kematian (Manirpang, Mangongkal Holing)

Meskipun sering diasosiasikan dengan perayaan, Gordang Sambilan juga memiliki peran penting dalam upacara kematian, khususnya bagi tokoh adat atau orang yang dihormati. Musik yang dimainkan dalam konteks ini sangat berbeda dengan musik pernikahan atau perayaan.

3. Ritual Pengobatan atau Tolak Bala (Panguras)

Pada masa lampau, dan masih ada dalam beberapa komunitas tradisional, Gordang Sambilan juga digunakan dalam ritual pengobatan atau tolak bala yang dipimpin oleh datu. Musiknya diyakini memiliki kekuatan untuk:

Setiap irama dan melodi yang dihasilkan oleh Gordang Sambilan memiliki "odor" (pola ritme dan melodi) yang spesifik untuk setiap jenis upacara. Odor ini tidak hanya sekadar musik, tetapi juga merupakan kode budaya yang menyampaikan pesan tertentu, mengatur suasana, dan memandu jalannya ritual. Kemampuan untuk memainkan odor yang tepat pada momen yang tepat adalah salah satu bentuk keahlian tertinggi seorang pargordang dan pangoloi.

Singkatnya, Gordang Sambilan adalah narator budaya masyarakat Mandailing. Ia menceritakan kisah-kisah kehidupan, merayakan momen-momen penting, dan menjadi pengingat akan ikatan yang tak terputus dengan masa lalu, leluhur, dan nilai-nilai yang mereka pegang teguh.

Makna Filosofis dan Simbolisme: Bahasa Roh dari Tanah Mandailing

Di balik gemuruh dan kemerduan suara Gordang Sambilan, tersembunyi kekayaan makna filosofis dan simbolisme yang mendalam, mencerminkan pandangan hidup masyarakat Batak Mandailing. Setiap aspek, mulai dari jumlah gendang, bahan pembuatannya, hingga harmoni suara yang dihasilkan, memancarkan kearifan lokal yang telah diwariskan secara turun-temurun.

1. Angka Sembilan: Kesempurnaan dan Keselarasan

Angka "sembilan" dalam Gordang Sambilan adalah elemen simbolis yang paling menonjol dan memiliki banyak interpretasi. Secara umum, angka sembilan melambangkan:

2. Bahan Baku: Refleksi Alam dan Kehidupan

Bahan-bahan alami yang digunakan untuk membuat Gordang Sambilan—kayu dan kulit hewan—juga sarat dengan makna simbolis:

3. Harmoni Suara: Keselarasan Hidup dan Komunikasi Spiritual

Harmoni yang dihasilkan oleh sembilan gendang, ditambah tiupan sarune dan denting ogung, juga memiliki makna filosofis yang mendalam:

4. Peran Pargordang dan Pangoloi

Pemain Gordang (pargordang) dan pemain sarune (pangoloi) juga memiliki peran simbolis:

Dengan demikian, Gordang Sambilan adalah sebuah ensiklopedia hidup dari kearifan lokal Mandailing. Setiap bagiannya, setiap suaranya, dan setiap ritual yang diiringinya adalah jalinan makna yang mendalam, mengajarkan tentang keselarasan dengan alam, penghormatan kepada leluhur, persatuan komunitas, dan siklus kehidupan yang abadi. Melalui Gordang Sambilan, masyarakat Mandailing tidak hanya melestarikan seni musik, tetapi juga menjaga api spiritual dan identitas budaya mereka agar tidak padam ditelan zaman.

Teknik Memainkan Gordang Sambilan: Seni dan Keahlian Pargordang

Memainkan Gordang Sambilan bukanlah sekadar memukul gendang atau meniup serunai. Ia adalah sebuah seni yang menuntut keahlian tinggi, koordinasi presisi, pemahaman mendalam tentang budaya, dan bahkan kepekaan spiritual. Para pemain Gordang Sambilan, atau yang dikenal sebagai "pargordang" (untuk pemain gendang) dan "pangoloi" (untuk pemain sarune), menjalani proses pembelajaran yang panjang dan dedikasi yang tak tergoyahkan untuk menguasai warisan leluhur ini.

1. Posisi dan Peran Pargordang

Dalam pertunjukan Gordang Sambilan, para pargordang duduk berjejer di belakang deretan sembilan gendang. Setiap pargordang bertanggung jawab atas beberapa gendang, tergantung pada kompleksitas ritme dan jumlah pemain yang tersedia. Biasanya, ada tiga hingga lima pargordang yang bekerja sama, dengan satu pargordang utama yang bertindak sebagai pemimpin.

2. Keahlian Pangoloi (Pemain Sarune)

Pangoloi adalah pemain sarune yang memegang peran melodi utama. Keahlian seorang pangoloi sangat krusial karena suara sarune sering diibaratkan sebagai "suara yang berbicara" dalam upacara adat.

3. Odor: Pola Ritme dan Melodi yang Bermakna

Kata "odor" dalam konteks Gordang Sambilan merujuk pada pola ritme dan melodi yang spesifik untuk setiap upacara. Odor bukan hanya rangkaian nada, melainkan sebuah narasi musikal yang menyampaikan pesan tertentu:

Setiap odor memiliki struktur, tempo, dan nuansa emosionalnya sendiri. Menguasai odor berarti menguasai bahasa budaya Mandailing yang diekspresikan melalui musik.

4. Proses Pewarisan dan Pembelajaran

Keahlian memainkan Gordang Sambilan diwariskan secara turun-temurun, biasanya dari ayah ke anak, atau dari guru ke murid dalam sistem sanggar atau komunitas adat.

Teknik memainkan Gordang Sambilan adalah perpaduan antara keahlian musikal, pemahaman budaya yang mendalam, dan kepekaan spiritual. Ini bukan hanya pertunjukan, tetapi juga sebuah ritus yang hidup, di mana setiap pukulan dan tiupan adalah ungkapan dari jiwa dan identitas masyarakat Mandailing yang tak lekang oleh waktu.

Tantangan dan Pelestarian: Melanjutkan Gema Leluhur di Era Modern

Sebagai salah satu warisan budaya tak benda yang paling berharga, Gordang Sambilan menghadapi berbagai tantangan di tengah arus globalisasi dan modernisasi. Namun, di balik tantangan tersebut, terdapat pula upaya-upaya gigih yang dilakukan untuk memastikan bahwa gema leluhur ini akan terus hidup dan beresonansi bagi generasi mendatang.

1. Tantangan di Era Modern

2. Upaya Pelestarian

Meskipun menghadapi tantangan, berbagai pihak, mulai dari komunitas adat, pemerintah daerah, hingga individu-individu peduli, terus berupaya melestarikan Gordang Sambilan:

Pelestarian Gordang Sambilan adalah tugas kolektif yang membutuhkan sinergi dari berbagai pihak. Dengan upaya yang berkelanjutan, harapan untuk Gordang Sambilan agar terus menggema dan menjadi kebanggaan masyarakat Mandailing, bahkan dunia, akan tetap menyala. Harmoni leluhur ini adalah jembatan yang menghubungkan masa lalu dengan masa depan, sebuah identitas yang tak boleh padam.

Gordang Sambilan di Era Kontemporer: Menjelajah Batas, Memperkuat Identitas

Di tengah pesatnya laju modernisasi dan globalisasi, Gordang Sambilan, yang sarat dengan nilai-nilai tradisional dan spiritual, menemukan jalannya untuk tetap relevan dan bahkan berkembang. Keberadaannya di era kontemporer bukan hanya sebagai relik masa lalu, melainkan sebagai entitas budaya yang dinamis, mampu beradaptasi, dan terus memperkuat identitas Mandailing di kancah yang lebih luas.

1. Panggung Nasional dan Internasional

Gordang Sambilan tidak lagi hanya terbatas pada upacara adat di desa-desa Mandailing. Kesenian ini telah mulai merambah panggung nasional, ditampilkan dalam berbagai festival budaya, acara kenegaraan, hingga misi kebudayaan ke luar negeri. Penampilan ini tidak hanya memperkenalkan keindahan musik Gordang Sambilan kepada audiens yang lebih luas, tetapi juga membawa nama Mandailing ke arena global, membuktikan kekayaan budaya Indonesia.

2. Kolaborasi dengan Musisi Modern

Salah satu strategi adaptasi yang menarik adalah kolaborasi antara musisi Gordang Sambilan dengan seniman dari genre musik modern. Kolaborasi ini menciptakan karya-karya baru yang inovatif, memadukan ritme tradisional Gordang Sambilan dengan melodi pop, jazz, atau bahkan elektronik. Tujuannya adalah untuk:

3. Pengembangan sebagai Daya Tarik Pariwisata

Pemerintah daerah dan pegiat pariwisata mulai melihat potensi Gordang Sambilan sebagai daya tarik wisata budaya. Pertunjukan Gordang Sambilan diselenggarakan di lokasi-lokasi wisata, memberikan pengalaman autentik bagi wisatawan yang ingin mengenal lebih dekat budaya Mandailing.

4. Memperkuat Identitas Mandailing

Dalam dunia yang semakin homogen, Gordang Sambilan berfungsi sebagai jangkar yang kuat bagi identitas Batak Mandailing. Kehadirannya yang terus-menerus dalam berbagai platform—baik tradisional maupun modern—menjadi pengingat akan akar budaya yang kaya dan unik.

Transformasi Gordang Sambilan di era kontemporer adalah bukti ketahanan dan relevansi budaya tradisional. Dengan inovasi yang bijaksana dan dukungan yang kuat, Gordang Sambilan tidak hanya akan bertahan, tetapi juga akan terus bersinar, menyebarkan harmoni leluhur Mandailing ke seluruh penjuru dunia, dan memperkuat identitas yang berakar kuat namun tetap terbuka pada perubahan.

Penutup: Gema Tak Berkesudahan

Gordang Sambilan, dengan sembilan gendang megah, tiupan sarune yang melengking, dan dentuman ogung yang berwibawa, adalah lebih dari sekadar alat musik. Ia adalah sebuah monumen hidup dari kebudayaan Batak Mandailing, sebuah warisan leluhur yang tak ternilai, sarat akan sejarah, filosofi, dan nilai-nilai spiritual yang mendalam. Dari upacara sakral kelahiran hingga perpisahan abadi, dari kegembiraan pernikahan hingga keagungan penobatan raja, Gordang Sambilan selalu hadir, menjadi narator utama dalam setiap jalinan kehidupan masyarakatnya.

Angka sembilan yang menjadi esensi namanya melambangkan kesempurnaan dan keterikatan dengan alam semesta serta leluhur. Bahan-bahan alami yang membentuknya, seperti kayu dan kulit, adalah refleksi kekuatan alam dan siklus kehidupan. Harmoni yang tercipta dari setiap pukulan dan tiupan adalah simbol persatuan dalam keragaman, serta jembatan komunikasi antara dunia nyata dan alam gaib. Setiap "odor" yang dimainkan bukan sekadar melodi, melainkan sebuah bahasa spiritual yang menyampaikan pesan-pesan penting dari hati ke hati, dari generasi ke generasi.

Di tengah gempuran modernisasi dan tantangan globalisasi, Gordang Sambilan menunjukkan ketahanannya. Upaya-upaya pelestarian melalui pendidikan, festival budaya, dokumentasi, hingga kolaborasi dengan musik modern, adalah bukti nyata komitmen untuk menjaga warisan ini tetap hidup. Ia tidak hanya bertahan, tetapi juga beradaptasi, menemukan panggung-panggung baru, dan terus memperkuat identitas Mandailing di kancah nasional maupun internasional.

Gordang Sambilan adalah jantung yang terus berdetak, mengalirkan darah kehidupan budaya Mandailing. Ia adalah suara kebijaksanaan leluhur yang tak pernah usai menggema, mengingatkan akan pentingnya akar budaya, kebersamaan, dan penghormatan terhadap alam serta spiritualitas. Sebagai masyarakat Indonesia, kita memiliki tanggung jawab moral untuk menjaga dan melestarikan warisan tak ternilai ini, memastikan bahwa gema Gordang Sambilan akan terus bergema melintasi waktu, menginspirasi, dan menjadi kebanggaan bagi seluruh bangsa.

Mari kita terus merayakan dan mendukung keberadaan Gordang Sambilan, agar harmoni leluhur dari Tanah Mandailing ini tidak hanya menjadi catatan sejarah, melainkan sebuah melodi yang abadi, hidup dalam setiap detak jantung generasi mendatang.