Gordang Sambilan: Harmoni Leluhur dari Tanah Mandailing
Visualisasi sederhana Gordang Sambilan dan instrumen pendukungnya.
Pendahuluan: Detak Jantung Budaya Mandailing
Di tengah keragaman budaya Indonesia yang memukau, tersembunyi sebuah permata tak ternilai dari Tanah Mandailing, Sumatera Utara: Gordang Sambilan. Lebih dari sekadar alat musik, Gordang Sambilan adalah jantung dari kebudayaan Batak Mandailing, sebuah warisan leluhur yang kaya akan filosofi, sejarah, dan nilai-nilai spiritual. Ia adalah suara yang mengiringi suka dan duka, penanda setiap peristiwa penting dalam siklus kehidupan masyarakatnya, serta jembatan penghubung antara dunia nyata dan alam gaib.
Kata "Gordang" merujuk pada gendang besar, dan "Sambilan" berarti sembilan. Sesuai namanya, Gordang Sambilan adalah seperangkat sembilan gendang besar yang dimainkan secara bersamaan, menghasilkan harmoni ritmis yang kompleks dan mendalam. Namun, ensambel ini tidak hanya terdiri dari gendang sembilan. Ia juga dilengkapi dengan instrumen lain seperti serunai (alat tiup tradisional), ogung (gong), dan terkadang tondi-tondi atau duk-duk (gendang kecil tambahan), yang semuanya berpadu menciptakan orkestrasi yang magis dan penuh makna.
Bagi masyarakat Mandailing, Gordang Sambilan bukan sekadar instrumen hiburan. Peranannya jauh melampaui itu. Ia adalah simbol kebesaran, kemuliaan, keberanian, dan identitas. Suaranya diyakini mampu memanggil roh leluhur, mengusir roh jahat, serta memberikan berkat dan perlindungan. Oleh karena itu, penggunaan Gordang Sambilan selalu terikat pada upacara-upacara adat penting (horja godang) yang sakral, mulai dari pernikahan agung, pengangkatan raja atau pemimpin adat, hingga upacara kematian untuk menghormati para leluhur.
Memahami Gordang Sambilan berarti menyelami kedalaman budaya Batak Mandailing. Dari asal-usul mitologisnya hingga peran kontemporernya dalam melestarikan identitas, setiap aspek Gordang Sambilan adalah cerminan dari kekayaan warisan tak benda yang patut dijaga dan dilestarikan. Artikel ini akan mengajak Anda menelusuri seluk-beluk Gordang Sambilan, mengungkap misteri di balik setiap pukulannya, serta menyingkap nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya.
Dalam setiap dentum Gordang Sambilan, terdapat cerita ribuan tahun. Dalam setiap tiupan serunai, ada melodi kebijaksanaan. Dan dalam setiap gemuruh gong, terdapat gema panggilan dari masa lalu yang terus hidup di masa kini. Mari kita bersama-sama menjelajahi dunia Gordang Sambilan, sebuah keajaiban budaya yang tak lekang oleh waktu, sebuah harmoni leluhur yang terus bergema di hati masyarakat Mandailing.
Sejarah dan Asal Usul: Jejak Waktu yang Terukir dalam Ritme
Sejarah Gordang Sambilan terjalin erat dengan perjalanan panjang kebudayaan Batak Mandailing. Akar-akar keberadaannya dapat ditelusuri jauh ke masa lampau, mengakar pada periode kerajaan-kerajaan kuno di Sumatera Utara. Meskipun catatan tertulis yang spesifik tentang awal mula Gordang Sambilan sangat terbatas, bukti-bukti lisan dan tradisi yang diwariskan secara turun-temurun memberikan gambaran yang kaya akan asal-usulnya.
Banyak sejarawan dan budayawan meyakini bahwa Gordang Sambilan telah ada sejak zaman pra-Islam di Mandailing, kemungkinan besar berkembang bersamaan dengan sistem kepercayaan animisme dan dinamisme yang kuat di masyarakat setempat. Pada masa itu, alat musik ini digunakan dalam berbagai ritual untuk berkomunikasi dengan arwah leluhur dan entitas supranatural lainnya. Kehadirannya menjadi esensial dalam ritual memohon kesuburan, mengusir roh jahat, atau bahkan dalam persiapan perang. Fungsi sakral inilah yang membentuk fondasi Gordang Sambilan sebagai alat musik yang memiliki kekuatan spiritual.
Beberapa legenda lokal mengisahkan bahwa Gordang Sambilan pertama kali dibawa oleh para leluhur Mandailing yang bermigrasi, atau bahkan diciptakan atas petunjuk dewata dalam mimpi seorang datu (pemuka adat/dukun). Salah satu cerita populer menyebutkan bahwa ide sembilan gendang ini terinspirasi dari sembilan bintang di langit atau sembilan penjuru mata angin, yang melambangkan kesempurnaan dan keutuhan alam semesta. Versi lain mengaitkannya dengan jumlah marga-marga awal di Mandailing, yang menunjukkan betapa dalam Gordang Sambilan terintegrasi dengan struktur sosial dan silsilah masyarakat.
Pada masa kerajaan-kerajaan seperti Mandailing Natal dan Raja Gordang, instrumen ini memegang peranan sentral dalam upacara penobatan raja atau kepala suku. Dentuman Gordang Sambilan mengesahkan kekuasaan, melambangkan keagungan pemimpin, dan sekaligus menjadi deklarasi kekuatan serta legitimasi di mata rakyat. Setiap upacara besar kerajaan pasti diiringi oleh Gordang Sambilan, menjadikannya simbol status dan otoritas yang tak tergantikan.
Seiring berjalannya waktu dan masuknya pengaruh Islam ke Tanah Mandailing, Gordang Sambilan mengalami akulturasi budaya. Meskipun beberapa ritual animisme mungkin berkurang intensitasnya, fungsi Gordang Sambilan sebagai pengiring upacara adat yang bersifat sosial dan budaya tetap bertahan, bahkan semakin menguat. Islamisasi tidak menghilangkan keberadaan Gordang Sambilan, melainkan justru memperkaya maknanya, menempatkannya sebagai bagian integral dari identitas Mandailing yang religius sekaligus tradisional.
Transformasi ini menunjukkan adaptabilitas Gordang Sambilan dalam menghadapi perubahan zaman. Dari instrumen ritual magis, ia juga berkembang menjadi alat pengiring dalam upacara sukacita seperti pernikahan (horja mangaloksa), menyambut tamu penting, hingga perayaan panen (manyabur). Esensinya sebagai penghubung dengan leluhur dan penanda peristiwa penting tetap dipertahankan, bahkan diperkuat dengan nilai-nilai baru yang diserap dari agama dan budaya yang berkembang.
Hingga kini, Gordang Sambilan terus menjadi penjaga memori kolektif masyarakat Mandailing. Setiap ritme dan melodi adalah narasi tak tertulis tentang perjuangan, kebahagiaan, kesedihan, dan keberanian para leluhur. Keberadaannya adalah bukti nyata dari ketahanan dan kekayaan budaya yang mampu bertahan dari gempuran modernisasi, menjadikannya warisan yang tak ternilai harganya bagi generasi mendatang.
Proses pewarisan Gordang Sambilan berlangsung secara turun-temurun, dari satu generasi ke generasi berikutnya. Para pandai Gordang (pembuat gendang) dan pargordang (pemain gendang) mewariskan keahlian mereka melalui pelatihan dan praktik langsung, menjaga agar pengetahuan dan teknik tidak hilang ditelan waktu. Tradisi lisan ini, ditambah dengan praktik berkelanjutan dalam setiap upacara adat, memastikan bahwa Gordang Sambilan akan terus bergema dan hidup di Tanah Mandailing.
Anatomi Suara: Instrumen Gordang Sambilan
Keunikan Gordang Sambilan tidak hanya terletak pada fungsinya, tetapi juga pada komposisi instrumennya yang membentuk satu kesatuan orkestra tradisional yang harmonis. Ensambel Gordang Sambilan terdiri dari beberapa jenis instrumen, yang masing-masing memiliki peran dan karakteristik suara yang khas. Komponen utamanya adalah sembilan gendang besar, namun tidak lengkap tanpa kehadiran alat musik pendukung lainnya.
1. Gordang (Sembilan Gendang Besar)
Visualisasi gendang Gordang.
Inilah inti dari Gordang Sambilan. Sembilan gendang ini terbuat dari kayu pilihan yang kokoh, seperti kayu nangka atau kemiri, yang dilubangi bagian tengahnya. Kedua ujung gendang ditutup dengan kulit kerbau atau kulit lembu yang telah dikeringkan dan direntangkan kuat menggunakan tali rotan atau ijuk. Perbedaan ukuran gendang menciptakan variasi nada, dari yang paling rendah (bass) hingga paling tinggi (treble).
Ukuran dan Penamaan: Sembilan gendang ini memiliki ukuran yang berjenjang, biasanya dimulai dari yang terbesar hingga terkecil. Penamaannya bervariasi tergantung daerah, namun secara umum dapat dikelompokkan menjadi:
Gordang Jantan (Induk): Gendang-gendang terbesar yang menghasilkan suara bas paling dalam. Ini adalah "pemimpin" ritme dan memberikan pondasi suara. Biasanya ada dua atau tiga gendang yang masuk kategori ini.
Gordang Pangindungi/Pangambat: Gendang berukuran menengah yang berfungsi sebagai pengisi ritme dan jembatan antara Gordang Jantan dan Gordang Anak.
Gordang Anak: Gendang-gendang terkecil yang menghasilkan nada tinggi dan biasanya berperan dalam mengisi melodi atau variasi ritme yang kompleks.
Bahan dan Pembuatan: Proses pembuatan Gordang sangatlah detail dan memakan waktu. Kayu dipilih dengan cermat, dikeringkan, dan diukir. Kulit hewan direndam, dikerok, dan dijemur hingga elastis namun kuat, lalu dipasangkan pada badan gendang dengan sistem pasak dan tali yang dapat dikencangkan untuk mengatur tegangan kulit, sehingga menghasilkan nada yang diinginkan. Setiap tahapan pembuatan diyakini memiliki nilai spiritual dan harus dilakukan dengan hati-hati serta penghormatan.
Fungsi Suara: Setiap gendang memiliki fungsi musikal yang spesifik. Gordang jantan memberikan dasar ritme yang stabil dan kuat. Gordang pengiring mengisi kekosongan dengan pola ritme yang lebih cepat, sementara Gordang anak menambahkan detail dan aksen, menciptakan tekstur suara yang kaya dan berlapis.
2. Sarune (Serunai)
Visualisasi sarune.
Sarune adalah alat musik tiup ganda yang menjadi melodi utama dalam ensambel Gordang Sambilan. Terbuat dari kayu dengan bagian ujungnya yang berbentuk corong (disebut "bungo sarune" atau bunga serunai) yang terbuat dari daun lontar atau logam tipis. Sarune adalah "suara" yang paling vokal, seringkali dianggap sebagai penghubung antara manusia dan dunia roh. Melodinya yang merdu namun terkadang melengking memberikan nuansa magis pada setiap pertunjukan.
Peran Melodi: Sarune memainkan melodi utama yang sering disebut "odor". Odor adalah pola melodi khas yang disesuaikan dengan jenis upacara atau ritual. Pemain sarune (disebut "pangoloi" atau "parsarune") harus memiliki keahlian tinggi, termasuk teknik pernapasan sirkular agar dapat memainkan melodi tanpa putus, menciptakan kontinuitas suara yang menenangkan atau membangkitkan semangat.
Simbolisme Suara: Suara sarune sering diibaratkan sebagai "pembicara" yang menyampaikan pesan dari dan kepada arwah leluhur, atau sebagai penyeru yang memanggil kekuatan alam. Kehadirannya sangat penting untuk kesempurnaan setiap upacara adat.
3. Ogung (Gong)
Visualisasi ogung (gong).
Ogung adalah instrumen perkusi dari perunggu atau logam lain yang berbentuk bundar. Fungsinya dalam Gordang Sambilan adalah sebagai penanda tempo dan penyeimbang harmoni. Dentingan ogung yang dalam dan bergaung memberikan efek atmosferik dan seringkali menandai pergantian segmen dalam suatu upacara.
Penanda Ritme: Ogung berfungsi sebagai penanda ketukan utama dan "pengunci" ritme. Pukulannya yang berat memberikan fondasi akustik yang solid untuk gendang-gendang dan melodi sarune.
Jenis Ogung: Dalam beberapa ensambel, digunakan beberapa jenis ogung dengan ukuran berbeda untuk menghasilkan variasi nada. Ada ogung yang besar dan berat untuk nada rendah, dan ogung yang lebih kecil untuk nada yang lebih tinggi.
4. Tondi-tondi atau Duk-duk (Gendang Kecil Tambahan)
Meskipun tidak selalu ada dalam setiap pertunjukan, tondi-tondi atau duk-duk adalah gendang kecil yang kadang ditambahkan untuk memperkaya tekstur suara. Fungsinya adalah sebagai pengisi ritme minor, memberikan aksen-aksen cepat yang menambah dinamika pada keseluruhan musik Gordang Sambilan. Kehadirannya bisa membuat ritme menjadi lebih padat dan kompleks.
Secara keseluruhan, setiap instrumen dalam Gordang Sambilan tidak berdiri sendiri. Mereka saling melengkapi, menciptakan sebuah simfoni yang mencerminkan filosofi kesatuan dan kebersamaan dalam masyarakat Mandailing. Pemilihan bahan, proses pembuatan, hingga cara memainkannya, semuanya mengandung nilai-nilai luhur yang telah diwariskan dari generasi ke generasi.
Fungsi dan Peran dalam Upacara Adat: Jalinan Kehidupan Mandailing
Gordang Sambilan bukan sekadar pertunjukan seni. Ia adalah penjelmaan dari kehidupan spiritual dan sosial masyarakat Batak Mandailing. Perannya sangat sentral dalam berbagai upacara adat atau "horja" (pesta/ritual) yang menandai setiap tahapan penting dalam kehidupan individu maupun komunitas. Kehadiran Gordang Sambilan dalam suatu upacara menunjukkan bahwa acara tersebut adalah horja godang (pesta besar) yang sakral dan penting.
1. Upacara Horja Godang (Pesta Besar)
Gordang Sambilan adalah jantung dari setiap horja godang, sebuah perayaan atau ritual yang melibatkan banyak orang dan memiliki makna sosial serta spiritual yang mendalam.
Pernikahan (Horja Mangaloksa): Dalam upacara pernikahan adat Mandailing yang megah, Gordang Sambilan memiliki peran krusial. Dentumannya mengiringi prosesi pengantin, mulai dari penyambutan tamu, saat memasuki rumah adat, hingga puncak acara pernikahan. Musik Gordang Sambilan pada pernikahan mencerminkan kegembiraan, doa restu untuk kebahagiaan pasangan, dan harapan akan keturunan yang berlimpah. Ritme yang dimainkan biasanya ceria dan dinamis, menunjukkan suka cita dan perayaan.
Mendirikan atau Meresmikan Rumah Adat: Ketika sebuah rumah adat (bagas godang) dibangun atau diresmikan, Gordang Sambilan dimainkan untuk memohon berkah dari leluhur, kekuatan, dan perlindungan bagi penghuninya. Ini adalah simbol permulaan yang baik dan harapan akan kemakmuran.
Pengangkatan Raja atau Pemimpin Adat (Pangulubalang): Salah satu fungsi paling sakral Gordang Sambilan adalah mengiringi upacara pengangkatan raja atau pemimpin adat. Musiknya melambangkan legitimasi kekuasaan, keagungan kedudukan, dan keberanian pemimpin baru. Ini adalah pengumuman resmi kepada seluruh masyarakat dan arwah leluhur tentang adanya pemimpin baru yang akan menjaga adat dan kesejahteraan komunitas. Ritme yang dimainkan seringkali megah dan penuh wibawa.
Panen Raya (Manyabur): Setelah musim panen tiba, masyarakat Mandailing merayakan kesuburan tanah dan melimpahnya hasil bumi dengan upacara manyabur. Gordang Sambilan dimainkan sebagai ungkapan syukur kepada Tuhan dan leluhur atas berkat yang telah diberikan. Ritme dalam upacara ini seringkali menggambarkan kegembiraan dan harapan untuk panen yang lebih baik di masa depan.
Marsialap Ari dan Marsombu Sihol: Ini adalah ritual yang melibatkan pertemuan besar antar keluarga atau marga untuk mempererat tali silaturahmi, menyelesaikan masalah, atau hanya sekadar melepas rindu (marsombu sihol). Gordang Sambilan hadir untuk memeriahkan suasana dan memberikan nuansa kebersamaan serta kehormatan pada pertemuan tersebut.
2. Upacara Kematian (Manirpang, Mangongkal Holing)
Meskipun sering diasosiasikan dengan perayaan, Gordang Sambilan juga memiliki peran penting dalam upacara kematian, khususnya bagi tokoh adat atau orang yang dihormati. Musik yang dimainkan dalam konteks ini sangat berbeda dengan musik pernikahan atau perayaan.
Menghormati Arwah Leluhur: Dalam upacara kematian, Gordang Sambilan dimainkan dengan ritme yang lambat, khidmat, dan penuh duka. Tujuannya adalah untuk menghormati arwah yang meninggal, mengantar kepergiannya ke alam baka, dan memohon agar arwah tersebut mendapatkan tempat yang layak di sisi leluhur. Musiknya menciptakan suasana yang syahdu dan membantu proses pelepasan.
Mangongkal Holing: Upacara ini adalah penggalian kembali tulang-belulang leluhur yang sudah lama meninggal untuk ditempatkan di sebuah makam yang lebih permanen atau tugu kehormatan. Gordang Sambilan mengiringi seluruh prosesi, menunjukkan penghormatan tertinggi kepada leluhur dan memperkuat ikatan kekeluargaan serta silsilah.
3. Ritual Pengobatan atau Tolak Bala (Panguras)
Pada masa lampau, dan masih ada dalam beberapa komunitas tradisional, Gordang Sambilan juga digunakan dalam ritual pengobatan atau tolak bala yang dipimpin oleh datu. Musiknya diyakini memiliki kekuatan untuk:
Memanggil Kekuatan Spiritual: Ritme tertentu diyakini dapat memanggil roh-roh pelindung atau arwah leluhur untuk membantu menyembuhkan penyakit atau mengusir roh-roh jahat yang mengganggu.
Media Komunikasi Spiritual: Gordang Sambilan berfungsi sebagai jembatan komunikasi antara datu dengan alam gaib, memfasilitasi dialog spiritual untuk mencari solusi atas permasalahan yang dihadapi masyarakat.
Setiap irama dan melodi yang dihasilkan oleh Gordang Sambilan memiliki "odor" (pola ritme dan melodi) yang spesifik untuk setiap jenis upacara. Odor ini tidak hanya sekadar musik, tetapi juga merupakan kode budaya yang menyampaikan pesan tertentu, mengatur suasana, dan memandu jalannya ritual. Kemampuan untuk memainkan odor yang tepat pada momen yang tepat adalah salah satu bentuk keahlian tertinggi seorang pargordang dan pangoloi.
Singkatnya, Gordang Sambilan adalah narator budaya masyarakat Mandailing. Ia menceritakan kisah-kisah kehidupan, merayakan momen-momen penting, dan menjadi pengingat akan ikatan yang tak terputus dengan masa lalu, leluhur, dan nilai-nilai yang mereka pegang teguh.
Makna Filosofis dan Simbolisme: Bahasa Roh dari Tanah Mandailing
Di balik gemuruh dan kemerduan suara Gordang Sambilan, tersembunyi kekayaan makna filosofis dan simbolisme yang mendalam, mencerminkan pandangan hidup masyarakat Batak Mandailing. Setiap aspek, mulai dari jumlah gendang, bahan pembuatannya, hingga harmoni suara yang dihasilkan, memancarkan kearifan lokal yang telah diwariskan secara turun-temurun.
1. Angka Sembilan: Kesempurnaan dan Keselarasan
Angka "sembilan" dalam Gordang Sambilan adalah elemen simbolis yang paling menonjol dan memiliki banyak interpretasi. Secara umum, angka sembilan melambangkan:
Kesempurnaan dan Keagungan: Dalam banyak budaya, angka sembilan sering dihubungkan dengan kesempurnaan, kelengkapan, dan kemuliaan. Dalam konteks Mandailing, sembilan gendang ini melambangkan kesempurnaan dalam ritual adat, keagungan upacara, dan kekuatan spiritual yang utuh.
Keterikatan dengan Leluhur dan Alam Semesta: Beberapa interpretasi mengaitkan angka sembilan dengan sembilan marga leluhur awal Mandailing, menunjukkan persatuan dan akar silsilah yang kuat. Ada pula yang menghubungkannya dengan sembilan penjuru mata angin atau sembilan lapisan langit dan bumi, yang menggambarkan keselarasan manusia dengan alam semesta dan dunia gaib.
Siklus Kehidupan: Sembilan juga bisa melambangkan siklus kehidupan yang berkesinambungan, dari kelahiran, pertumbuhan, hingga kematian, yang semuanya diiringi oleh Gordang Sambilan dalam upacara-upacara adat.
2. Bahan Baku: Refleksi Alam dan Kehidupan
Bahan-bahan alami yang digunakan untuk membuat Gordang Sambilan—kayu dan kulit hewan—juga sarat dengan makna simbolis:
Kayu (Pohon): Kayu yang digunakan untuk badan gendang, seperti kayu nangka atau kemiri, dipilih karena kekuatannya dan resonansi suaranya. Pohon sendiri melambangkan kehidupan, pertumbuhan, akar yang kokoh, dan koneksi dengan bumi. Penggunaan kayu menunjukkan bahwa musik Gordang Sambilan berakar pada alam dan kehidupan itu sendiri.
Kulit Hewan (Kerbau atau Lembu): Kulit kerbau atau lembu yang menjadi membran gendang melambangkan kekuatan, ketahanan, dan kesuburan. Kerbau adalah hewan yang sangat dihormati dalam budaya pertanian di Nusantara, sering menjadi simbol kemakmuran dan kekayaan. Kulitnya yang tebal dan kuat memberikan suara yang dalam dan berwibawa, mencerminkan kekuatan pesan yang disampaikan melalui musik.
Tali dan Pasak: Tali rotan atau ijuk yang mengencangkan kulit melambangkan ikatan, persatuan, dan keteguhan. Ini bisa diinterpretasikan sebagai ikatan kekeluargaan yang erat dalam masyarakat Mandailing, serta keteguhan dalam memegang adat dan tradisi.
3. Harmoni Suara: Keselarasan Hidup dan Komunikasi Spiritual
Harmoni yang dihasilkan oleh sembilan gendang, ditambah tiupan sarune dan denting ogung, juga memiliki makna filosofis yang mendalam:
Kesatuan dalam Keragaman: Setiap gendang memiliki ukuran, nada, dan peran yang berbeda, namun ketika dimainkan bersama, mereka menciptakan satu harmoni yang utuh. Ini melambangkan prinsip persatuan dan kebersamaan dalam masyarakat Mandailing, di mana setiap individu dengan perannya masing-masing, berkontribusi pada keutuhan komunitas. Ini adalah refleksi dari filosofi Dalihan Na Tolu (tiga tungku kekerabatan) yang menjadi pilar kehidupan sosial Mandailing.
Musik sebagai Doa dan Penghubung: Suara Gordang Sambilan diyakini sebagai medium komunikasi antara manusia dengan leluhur atau dunia spiritual. Ritme dan melodi tertentu adalah "bahasa" yang dapat dipahami oleh entitas gaib, menyampaikan permohonan, rasa syukur, atau pesan penting lainnya. Ini menjadikan Gordang Sambilan bukan sekadar pertunjukan, melainkan sebuah ritual doa yang kuat.
Ritme sebagai Siklus Kehidupan: Perubahan ritme Gordang Sambilan dari lambat ke cepat, dari khidmat ke riang, mencerminkan siklus kehidupan manusia dan alam. Ada ritme untuk kelahiran dan pernikahan (kegembiraan), ada pula ritme untuk kematian (kedukaan), semuanya dalam satu kesatuan perjalanan hidup.
4. Peran Pargordang dan Pangoloi
Pemain Gordang (pargordang) dan pemain sarune (pangoloi) juga memiliki peran simbolis:
Penjaga Tradisi: Mereka adalah penjaga utama warisan budaya ini, yang tidak hanya menguasai teknik bermain, tetapi juga memahami makna dan filosofi di balik setiap nada. Kehadiran mereka dalam setiap upacara menegaskan kontinuitas tradisi.
Pemimpin Spiritual: Dalam beberapa konteks ritual, pargordang dan pangoloi juga berperan sebagai pemimpin spiritual yang memandu jalannya upacara melalui musik, mengarahkan energi dan fokus peserta.
Dengan demikian, Gordang Sambilan adalah sebuah ensiklopedia hidup dari kearifan lokal Mandailing. Setiap bagiannya, setiap suaranya, dan setiap ritual yang diiringinya adalah jalinan makna yang mendalam, mengajarkan tentang keselarasan dengan alam, penghormatan kepada leluhur, persatuan komunitas, dan siklus kehidupan yang abadi. Melalui Gordang Sambilan, masyarakat Mandailing tidak hanya melestarikan seni musik, tetapi juga menjaga api spiritual dan identitas budaya mereka agar tidak padam ditelan zaman.
Teknik Memainkan Gordang Sambilan: Seni dan Keahlian Pargordang
Memainkan Gordang Sambilan bukanlah sekadar memukul gendang atau meniup serunai. Ia adalah sebuah seni yang menuntut keahlian tinggi, koordinasi presisi, pemahaman mendalam tentang budaya, dan bahkan kepekaan spiritual. Para pemain Gordang Sambilan, atau yang dikenal sebagai "pargordang" (untuk pemain gendang) dan "pangoloi" (untuk pemain sarune), menjalani proses pembelajaran yang panjang dan dedikasi yang tak tergoyahkan untuk menguasai warisan leluhur ini.
1. Posisi dan Peran Pargordang
Dalam pertunjukan Gordang Sambilan, para pargordang duduk berjejer di belakang deretan sembilan gendang. Setiap pargordang bertanggung jawab atas beberapa gendang, tergantung pada kompleksitas ritme dan jumlah pemain yang tersedia. Biasanya, ada tiga hingga lima pargordang yang bekerja sama, dengan satu pargordang utama yang bertindak sebagai pemimpin.
Pargordang Induk (Pemimpin): Pemain gendang terbesar biasanya adalah pemimpin ensambel. Ia memulai ritme, memberikan isyarat kepada pemain lain, dan bertanggung jawab atas keselarasan keseluruhan. Pukulannya seringkali paling kuat dan paling dalam, menjadi fondasi ritme.
Pargordang Pengisi (Pangambat): Pemain lain mengisi ritme dengan pola-pola yang lebih cepat dan bervariasi, menciptakan tekstur suara yang kaya. Mereka harus sangat peka terhadap ritme pemimpin dan mampu berimprovisasi dalam batas-batas odor yang ditentukan.
Teknik Pukulan: Gendang dipukul menggunakan tangan kosong, baik telapak tangan maupun jari, atau kadang dengan alat pemukul kayu kecil. Variasi pukulan (keras, lembut, cepat, lambat, di tengah membran, di tepi membran) menghasilkan berbagai timbre dan nuansa suara yang penting untuk mengungkapkan emosi dan makna dari sebuah odor.
2. Keahlian Pangoloi (Pemain Sarune)
Pangoloi adalah pemain sarune yang memegang peran melodi utama. Keahlian seorang pangoloi sangat krusial karena suara sarune sering diibaratkan sebagai "suara yang berbicara" dalam upacara adat.
Pernapasan Sirkular: Salah satu teknik paling menantang yang harus dikuasai pangoloi adalah pernapasan sirkular (circular breathing). Teknik ini memungkinkan pemain untuk terus meniup dan menghasilkan suara tanpa jeda, bahkan saat menarik napas. Ini menciptakan melodi yang berkelanjutan dan tanpa putus, yang sangat penting untuk mempertahankan suasana spiritual dalam upacara.
Variasi Odor: Pangoloi harus menguasai berbagai "odor" atau melodi tradisional yang berbeda untuk setiap jenis upacara. Odor ini tidak hanya sekadar melodi, tetapi juga pola emosi dan spiritualitas yang harus disampaikan dengan tepat. Improvisasi diperbolehkan, tetapi harus tetap dalam koridor odor yang sah.
Interaksi: Pangoloi harus berinteraksi erat dengan pargordang, menyelaraskan melodi sarune dengan ritme gendang, menciptakan dialog musikal yang dinamis dan kohesif.
3. Odor: Pola Ritme dan Melodi yang Bermakna
Kata "odor" dalam konteks Gordang Sambilan merujuk pada pola ritme dan melodi yang spesifik untuk setiap upacara. Odor bukan hanya rangkaian nada, melainkan sebuah narasi musikal yang menyampaikan pesan tertentu:
Odor Mangaloksa: Ritme dan melodi yang ceria dan penuh semangat, khusus untuk upacara pernikahan, melambangkan kegembiraan dan harapan.
Odor Horja Godang: Ritme yang megah dan berwibawa, digunakan untuk upacara besar seperti pengangkatan raja, menunjukkan kebesaran dan kekuatan.
Odor Manirpang: Ritme yang lambat dan khidmat, digunakan dalam upacara kematian, mencerminkan rasa duka dan penghormatan kepada arwah.
Odor Manyabur: Ritme syukur dan kegembiraan atas panen raya, penuh dengan nuansa kesuburan dan keberlimpahan.
Setiap odor memiliki struktur, tempo, dan nuansa emosionalnya sendiri. Menguasai odor berarti menguasai bahasa budaya Mandailing yang diekspresikan melalui musik.
4. Proses Pewarisan dan Pembelajaran
Keahlian memainkan Gordang Sambilan diwariskan secara turun-temurun, biasanya dari ayah ke anak, atau dari guru ke murid dalam sistem sanggar atau komunitas adat.
Pembelajaran Langsung: Proses pembelajaran seringkali berlangsung secara langsung, melalui observasi, imitasi, dan praktik intensif. Calon pargordang atau pangoloi akan mulai dengan mempelajari pola-pola dasar, kemudian secara bertahap menguasai kompleksitas ritme dan melodi.
Pemahaman Spiritual: Selain teknik musikal, calon pemain juga diajarkan tentang makna filosofis, etika, dan spiritualitas yang melekat pada Gordang Sambilan. Mereka harus memahami kapan dan mengapa setiap odor dimainkan, serta bagaimana musik ini berinteraksi dengan ritual.
Dedikasi dan Kesabaran: Menguasai Gordang Sambilan membutuhkan dedikasi, kesabaran, dan latihan yang tak henti-henti, seringkali selama bertahun-tahun. Ini adalah jalan hidup bagi para seniman tradisi ini.
Teknik memainkan Gordang Sambilan adalah perpaduan antara keahlian musikal, pemahaman budaya yang mendalam, dan kepekaan spiritual. Ini bukan hanya pertunjukan, tetapi juga sebuah ritus yang hidup, di mana setiap pukulan dan tiupan adalah ungkapan dari jiwa dan identitas masyarakat Mandailing yang tak lekang oleh waktu.
Tantangan dan Pelestarian: Melanjutkan Gema Leluhur di Era Modern
Sebagai salah satu warisan budaya tak benda yang paling berharga, Gordang Sambilan menghadapi berbagai tantangan di tengah arus globalisasi dan modernisasi. Namun, di balik tantangan tersebut, terdapat pula upaya-upaya gigih yang dilakukan untuk memastikan bahwa gema leluhur ini akan terus hidup dan beresonansi bagi generasi mendatang.
1. Tantangan di Era Modern
Kurangnya Minat Generasi Muda: Salah satu ancaman terbesar adalah berkurangnya minat generasi muda terhadap seni tradisional. Daya tarik musik modern, hiburan digital, dan gaya hidup urban seringkali menggeser perhatian mereka dari warisan budaya seperti Gordang Sambilan yang membutuhkan dedikasi dan latihan panjang.
Kompetisi dengan Musik Populer: Musik populer dengan genre yang beragam dan aksesibilitas yang mudah melalui media digital menjadi pesaing utama. Gordang Sambilan, dengan ritualnya yang spesifik dan penggunaan terbatas pada upacara adat, kadang dianggap kurang "relevan" atau "kekinian" oleh sebagian kalangan.
Keterbatasan Media dan Dokumentasi: Kurangnya dokumentasi yang komprehensif, baik dalam bentuk audio, visual, maupun tulisan, membuat penyebaran pengetahuan tentang Gordang Sambilan menjadi terbatas. Banyak pengetahuan yang masih bersifat lisan dan rentan hilang jika tidak diwariskan dengan baik.
Regenerasi Pemain: Jumlah pargordang dan pangoloi yang mahir semakin menyusut. Proses pembelajaran yang panjang dan tidak adanya insentif yang cukup bagi para seniman tradisi ini membuat regenerasi menjadi masalah serius.
Komodifikasi dan Sakralitas: Ketika Gordang Sambilan ditampilkan di luar konteks ritualnya (misalnya untuk pariwisata atau festival), ada risiko terjadinya komodifikasi yang dapat mengikis nilai sakral dan makna filosofisnya. Penting untuk menemukan keseimbangan agar nilai luhurnya tetap terjaga.
2. Upaya Pelestarian
Meskipun menghadapi tantangan, berbagai pihak, mulai dari komunitas adat, pemerintah daerah, hingga individu-individu peduli, terus berupaya melestarikan Gordang Sambilan:
Pendidikan di Sanggar dan Sekolah: Banyak sanggar seni lokal dan bahkan beberapa sekolah mulai memperkenalkan Gordang Sambilan ke dalam kurikulum atau kegiatan ekstrakurikuler. Ini bertujuan untuk menanamkan kecintaan dan pemahaman tentang alat musik ini sejak dini. Program magang di bawah bimbingan sesepuh adat juga menjadi cara efektif.
Festival dan Pertunjukan Budaya: Penyelenggaraan festival budaya lokal, regional, hingga nasional yang menampilkan Gordang Sambilan membantu meningkatkan visibilitas dan apresiasi masyarakat. Festival ini juga menjadi ajang bagi para seniman untuk berinteraksi dan berbagi pengetahuan.
Dokumentasi dan Penelitian: Peneliti, budayawan, dan lembaga kebudayaan aktif mendokumentasikan Gordang Sambilan melalui rekaman audio-visual, tulisan, dan penelitian ilmiah. Dokumentasi ini penting untuk referensi dan pembelajaran di masa depan.
Dukungan Pemerintah dan Komunitas Adat: Pemerintah daerah seringkali memberikan dukungan dalam bentuk dana untuk pembinaan sanggar, penyelenggaraan acara, atau pengakuan resmi sebagai warisan budaya tak benda. Komunitas adat juga berperan vital dalam menjaga tradisi upacara yang melibatkan Gordang Sambilan.
Adaptasi dan Inovasi Kontekstual: Beberapa seniman mencoba mengadaptasi Gordang Sambilan ke dalam format yang lebih kontemporer, misalnya dengan kolaborasi musik modern atau aransemen baru, tanpa menghilangkan esensi aslinya. Pendekatan ini diharapkan dapat menarik minat generasi muda sambil tetap menjaga orisinalitas instrumen dan musikalitasnya.
Promosi Pariwisata Budaya: Mempromosikan Gordang Sambilan sebagai daya tarik pariwisata budaya dapat memberikan manfaat ekonomi bagi komunitas dan meningkatkan kesadaran publik. Namun, hal ini harus dilakukan dengan hati-hati agar tidak mengorbankan nilai-nilai sakralnya.
Pelestarian Gordang Sambilan adalah tugas kolektif yang membutuhkan sinergi dari berbagai pihak. Dengan upaya yang berkelanjutan, harapan untuk Gordang Sambilan agar terus menggema dan menjadi kebanggaan masyarakat Mandailing, bahkan dunia, akan tetap menyala. Harmoni leluhur ini adalah jembatan yang menghubungkan masa lalu dengan masa depan, sebuah identitas yang tak boleh padam.
Gordang Sambilan di Era Kontemporer: Menjelajah Batas, Memperkuat Identitas
Di tengah pesatnya laju modernisasi dan globalisasi, Gordang Sambilan, yang sarat dengan nilai-nilai tradisional dan spiritual, menemukan jalannya untuk tetap relevan dan bahkan berkembang. Keberadaannya di era kontemporer bukan hanya sebagai relik masa lalu, melainkan sebagai entitas budaya yang dinamis, mampu beradaptasi, dan terus memperkuat identitas Mandailing di kancah yang lebih luas.
1. Panggung Nasional dan Internasional
Gordang Sambilan tidak lagi hanya terbatas pada upacara adat di desa-desa Mandailing. Kesenian ini telah mulai merambah panggung nasional, ditampilkan dalam berbagai festival budaya, acara kenegaraan, hingga misi kebudayaan ke luar negeri. Penampilan ini tidak hanya memperkenalkan keindahan musik Gordang Sambilan kepada audiens yang lebih luas, tetapi juga membawa nama Mandailing ke arena global, membuktikan kekayaan budaya Indonesia.
Festival Budaya: Partisipasi dalam festival seni dan budaya di berbagai kota besar Indonesia memberikan kesempatan bagi kelompok Gordang Sambilan untuk berinteraksi dengan seniman dari daerah lain dan mendapatkan apresiasi yang lebih luas.
Duta Budaya: Beberapa kelompok Gordang Sambilan terpilih untuk menjadi duta budaya Indonesia dalam acara-acara internasional, menampilkan keunikan dan keindahan musik mereka di mata dunia. Ini adalah bentuk pengakuan atas nilai universal yang dimiliki Gordang Sambilan.
2. Kolaborasi dengan Musisi Modern
Salah satu strategi adaptasi yang menarik adalah kolaborasi antara musisi Gordang Sambilan dengan seniman dari genre musik modern. Kolaborasi ini menciptakan karya-karya baru yang inovatif, memadukan ritme tradisional Gordang Sambilan dengan melodi pop, jazz, atau bahkan elektronik. Tujuannya adalah untuk:
Menarik Minat Generasi Muda: Dengan sentuhan modern, Gordang Sambilan menjadi lebih mudah diakses dan menarik bagi generasi muda yang mungkin merasa asing dengan bentuk aslinya.
Memperkaya Khazanah Musik: Kolaborasi menciptakan suara baru yang unik, menunjukkan bahwa Gordang Sambilan memiliki fleksibilitas untuk bereksplorasi tanpa kehilangan identitasnya.
Eksplorasi Kreatif: Musisi tradisional dan modern belajar satu sama lain, memperluas wawasan musikal dan menciptakan jembatan antara tradisi dan inovasi.
3. Pengembangan sebagai Daya Tarik Pariwisata
Pemerintah daerah dan pegiat pariwisata mulai melihat potensi Gordang Sambilan sebagai daya tarik wisata budaya. Pertunjukan Gordang Sambilan diselenggarakan di lokasi-lokasi wisata, memberikan pengalaman autentik bagi wisatawan yang ingin mengenal lebih dekat budaya Mandailing.
Paket Wisata Budaya: Beberapa operator tur menawarkan paket wisata yang mencakup kunjungan ke sanggar Gordang Sambilan, lokakarya singkat tentang instrumen, dan pertunjukan langsung.
Pusat Kebudayaan: Pengembangan pusat kebudayaan di Mandailing yang secara khusus menampilkan dan mengajarkan Gordang Sambilan dapat menjadi magnet bagi wisatawan domestik maupun mancanegara.
Ekonomi Kreatif: Ini juga membuka peluang ekonomi bagi para pemain Gordang Sambilan dan pengrajin instrumen, membantu mereka melestarikan warisan budaya sambil tetap menopang hidup.
4. Memperkuat Identitas Mandailing
Dalam dunia yang semakin homogen, Gordang Sambilan berfungsi sebagai jangkar yang kuat bagi identitas Batak Mandailing. Kehadirannya yang terus-menerus dalam berbagai platform—baik tradisional maupun modern—menjadi pengingat akan akar budaya yang kaya dan unik.
Kebanggaan Lokal: Generasi muda Mandailing yang melihat Gordang Sambilan diakui di tingkat nasional dan internasional akan merasakan kebanggaan yang lebih besar terhadap warisan budaya mereka.
Edukasi Budaya: Gordang Sambilan menjadi media efektif untuk mengedukasi masyarakat luas tentang Mandailing, bukan hanya melalui musiknya, tetapi juga melalui cerita-cerita, filosofi, dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
Fondasi Spiritual: Bagi masyarakat Mandailing sendiri, Gordang Sambilan tetap menjadi fondasi spiritual yang tak tergantikan, penghubung dengan leluhur dan nilai-nilai adat yang terus relevan dalam menghadapi tantangan zaman.
Transformasi Gordang Sambilan di era kontemporer adalah bukti ketahanan dan relevansi budaya tradisional. Dengan inovasi yang bijaksana dan dukungan yang kuat, Gordang Sambilan tidak hanya akan bertahan, tetapi juga akan terus bersinar, menyebarkan harmoni leluhur Mandailing ke seluruh penjuru dunia, dan memperkuat identitas yang berakar kuat namun tetap terbuka pada perubahan.
Penutup: Gema Tak Berkesudahan
Gordang Sambilan, dengan sembilan gendang megah, tiupan sarune yang melengking, dan dentuman ogung yang berwibawa, adalah lebih dari sekadar alat musik. Ia adalah sebuah monumen hidup dari kebudayaan Batak Mandailing, sebuah warisan leluhur yang tak ternilai, sarat akan sejarah, filosofi, dan nilai-nilai spiritual yang mendalam. Dari upacara sakral kelahiran hingga perpisahan abadi, dari kegembiraan pernikahan hingga keagungan penobatan raja, Gordang Sambilan selalu hadir, menjadi narator utama dalam setiap jalinan kehidupan masyarakatnya.
Angka sembilan yang menjadi esensi namanya melambangkan kesempurnaan dan keterikatan dengan alam semesta serta leluhur. Bahan-bahan alami yang membentuknya, seperti kayu dan kulit, adalah refleksi kekuatan alam dan siklus kehidupan. Harmoni yang tercipta dari setiap pukulan dan tiupan adalah simbol persatuan dalam keragaman, serta jembatan komunikasi antara dunia nyata dan alam gaib. Setiap "odor" yang dimainkan bukan sekadar melodi, melainkan sebuah bahasa spiritual yang menyampaikan pesan-pesan penting dari hati ke hati, dari generasi ke generasi.
Di tengah gempuran modernisasi dan tantangan globalisasi, Gordang Sambilan menunjukkan ketahanannya. Upaya-upaya pelestarian melalui pendidikan, festival budaya, dokumentasi, hingga kolaborasi dengan musik modern, adalah bukti nyata komitmen untuk menjaga warisan ini tetap hidup. Ia tidak hanya bertahan, tetapi juga beradaptasi, menemukan panggung-panggung baru, dan terus memperkuat identitas Mandailing di kancah nasional maupun internasional.
Gordang Sambilan adalah jantung yang terus berdetak, mengalirkan darah kehidupan budaya Mandailing. Ia adalah suara kebijaksanaan leluhur yang tak pernah usai menggema, mengingatkan akan pentingnya akar budaya, kebersamaan, dan penghormatan terhadap alam serta spiritualitas. Sebagai masyarakat Indonesia, kita memiliki tanggung jawab moral untuk menjaga dan melestarikan warisan tak ternilai ini, memastikan bahwa gema Gordang Sambilan akan terus bergema melintasi waktu, menginspirasi, dan menjadi kebanggaan bagi seluruh bangsa.
Mari kita terus merayakan dan mendukung keberadaan Gordang Sambilan, agar harmoni leluhur dari Tanah Mandailing ini tidak hanya menjadi catatan sejarah, melainkan sebuah melodi yang abadi, hidup dalam setiap detak jantung generasi mendatang.