Mendalami Esensi Gerejani: Peran, Sejarah, dan Masa Depan

Kata "gerejani" seringkali kita dengar dalam percakapan sehari-hari, terutama di kalangan umat Kristen. Namun, apakah kita benar-benar memahami makna yang terkandung di baliknya? Lebih dari sekadar merujuk pada bangunan fisik gereja, istilah gerejani membawa serta spektrum makna yang luas, mencakup dimensi teologis, historis, sosial, dan praktis dari eksistensi dan fungsi gereja sebagai sebuah komunitas dan institusi. Artikel ini akan menjelajahi hakikat gerejani dalam berbagai dimensinya, mengupas sejarah, teologi, praktik, serta tantangan dan peluang yang dihadapinya di era kontemporer.

1. Membedah Definisi dan Lingkup "Gerejani"

1.1. Asal Kata dan Makna Dasar

Secara etimologi, kata "gerejani" merupakan adjektiva dari kata "gereja". Kata "gereja" sendiri berasal dari bahasa Portugis, "igreja", yang kemudian diserap ke dalam bahasa Indonesia. "Igreja" pada gilirannya berasal dari bahasa Yunani "ekklesia", yang secara harfiah berarti "kumpulan orang-orang yang dipanggil keluar". Dalam konteks Perjanjian Baru, "ekklesia" merujuk pada kumpulan orang-orang percaya yang dipanggil keluar dari dunia untuk menjadi milik Kristus dan berkumpul bersama untuk beribadah dan melayani. Oleh karena itu, "gerejani" pada dasarnya berarti sesuatu yang berkaitan dengan gereja, dalam segala aspeknya.

Frasa "yang berkaitan dengan gereja" ini sangat penting untuk dipahami secara menyeluruh. Ini tidak hanya merujuk pada hal-hal yang terjadi di dalam empat dinding gedung gereja, tetapi juga mencakup nilai-nilai, ajaran, struktur, praktik, dan bahkan identitas spiritual yang membentuk dan mendefinisikan komunitas orang percaya. Gerejani mencerminkan esensi dari keberadaan gereja itu sendiri, baik sebagai tubuh Kristus di bumi maupun sebagai sebuah institusi yang terorganisir.

1.2. Bukan Hanya Bangunan Fisik

Kesalahpahaman umum adalah menyamakan "gereja" dengan "gedung gereja." Akibatnya, "gerejani" seringkali hanya diartikan sebagai hal-hal yang berhubungan dengan aktivitas di dalam gedung tersebut. Padahal, makna gereja jauh melampaui bata dan semen. Gereja, dalam pengertian alkitabiah dan teologis, adalah umat Tuhan, komunitas orang percaya yang telah ditebus oleh Kristus dan dipersatukan oleh Roh Kudus. Dengan demikian, gerejani merujuk pada segala sesuatu yang menjadi ciri khas dan karakteristik dari komunitas ini.

Ketika kita berbicara tentang hal-hal gerejani, kita sebenarnya berbicara tentang cara hidup, cara berpikir, cara berinteraksi, dan cara melayani yang berakar pada identitas sebagai umat Kristus. Ini mencakup etika Kristen, doktrin gereja, misi penginjilan, pelayanan sosial, dan bahkan cara sebuah organisasi gereja dikelola. Pengertian yang luas ini membantu kita melihat bahwa gerejani tidak hanya terbatas pada hari Minggu, tetapi meresap ke dalam seluruh aspek kehidupan seorang Kristen dan komunitasnya.

1.3. Dimensi Rohani, Sosial, dan Institusional

Istilah gerejani meliputi setidaknya tiga dimensi utama:

  1. Dimensi Rohani: Ini adalah inti dari gereja. Gerejani mencerminkan iman, spiritualitas, persekutuan dengan Tuhan, penyembahan, doa, dan kehidupan yang dihidupi oleh Roh Kudus. Ini adalah tentang panggilan ilahi dan transformasi batin yang dialami oleh individu-individu dalam gereja. Hal-hal rohani gerejani mencakup liturgi, khotbah, sakramen, dan bimbingan rohani yang membentuk jiwa jemaat.
  2. Dimensi Sosial/Komunal: Gereja adalah komunitas. Gerejani berarti interaksi antarumat percaya, kasih persaudaraan (`koinonia`), saling menopang, melayani (`diakonia`), dan bersaksi (`martyria`) bersama. Ini adalah tentang bagaimana orang percaya hidup bersama dalam harmoni, mendukung satu sama lain, dan membangun tubuh Kristus di bumi. Dimensi ini juga mencakup bagaimana gereja berinteraksi dengan masyarakat luas, menjadi garam dan terang.
  3. Dimensi Institusional/Organisasional: Agar dapat berfungsi efektif, gereja memiliki struktur, tata kelola, aturan, dan tradisi. Gerejani juga mencakup aspek-aspek ini—dari tata ibadah, sistem kepemimpinan (penatua, diaken, pendeta), hingga administrasi dan keuangan gereja. Aspek ini memastikan kelangsungan hidup dan keteraturan pelayanan gereja, memungkinkan dimensi rohani dan sosial dapat terwujud secara terorganisir.

Dengan demikian, memahami "gerejani" berarti memahami keseluruhan ekosistem gereja, dari hati yang menyembah hingga tangan yang melayani, dan dari ajaran yang diyakini hingga struktur yang menopangnya. Ini adalah sebuah konsep yang dinamis dan multi-faceted, yang terus beradaptasi namun tetap berpegang pada inti kebenarannya.

Ilustrasi sederhana siluet gereja dengan menara dan salib kecil di puncaknya. Melambangkan aspek fisik dan spiritual gerejani.

2. Akar Historis dan Perkembangan Konsep Gerejani

2.1. Gereja Mula-mula: Ekklesia Perjanjian Baru

Konsep gerejani memiliki akar yang dalam dalam sejarah Kristen, dimulai dari gereja mula-mula yang dijelaskan dalam Kitab Kisah Para Rasul. Di Yerusalem, setelah pencurahan Roh Kudus pada hari Pentakosta, terbentuklah komunitas percaya pertama. Mereka bertekun dalam pengajaran para rasul, dalam persekutuan, dalam memecahkan roti, dan dalam doa (Kisah Para Rasul 2:42). Ini adalah bentuk gerejani yang paling murni dan organik, di mana iman dan persekutuan adalah pusatnya.

Pada masa ini, gereja tidak memiliki gedung megah atau struktur hierarki yang kompleks. Mereka berkumpul di rumah-rumah, berbagi harta, dan hidup dalam kasih. Istilah "ekklesia" yang digunakan para penulis Perjanjian Baru bukan merujuk pada suatu tempat, melainkan pada orang-orang yang dipanggil oleh Tuhan untuk menjadi umat-Nya. Konsep gerejani pada masa ini sangat kuat pada dimensi komunal dan rohani, dengan penekanan pada hidup yang bertransformasi dan kesaksian Injil.

Perkembangan gerejani pada periode ini juga mencakup munculnya pelayanan-pelayanan awal seperti diaken (untuk melayani meja) dan penatua (untuk menggembalakan jemaat), menunjukkan kebutuhan akan organisasi bahkan dalam bentuk yang paling sederhana sekalipun. Penulis surat-surat Paulus juga secara konsisten merujuk pada gereja sebagai "tubuh Kristus," menekankan kesatuan dan fungsi yang saling melengkapi dari setiap anggota, sebuah gagasan sentral dalam pemahaman gerejani.

2.2. Pembentukan Doktrin dan Struktur Awal

Seiring berjalannya waktu, gereja tumbuh dan menyebar ke seluruh Kekaisaran Romawi. Dengan pertumbuhan ini, muncul kebutuhan akan doktrin yang lebih terformulasi dan struktur yang lebih jelas. Konsili-konsili awal, seperti Konsili Nicea (325 M) dan Konsili Konstantinopel (381 M), berperan penting dalam merumuskan kredo-kredo yang menjadi landasan iman Kristen. Proses ini adalah bagian integral dari pengembangan gerejani, membentuk kerangka teologis yang diyakini oleh umat Kristen.

Struktur gereja juga mulai berkembang. Awalnya kepemimpinan yang lebih kolegial, lambat laun beralih menjadi sistem uskup yang memiliki otoritas lebih besar di wilayah tertentu. Hierarki gereja mulai terbentuk, dari uskup, presbiter (imam/penatua), hingga diaken. Perkembangan ini adalah upaya untuk menjaga kesatuan, kemurnian ajaran, dan ketertiban di tengah tantangan bidat dan penganiayaan. Gerejani mulai mencakup aspek-aspek institusional yang lebih kuat, meskipun selalu dengan tujuan mendukung dimensi rohani dan komunal.

Pada masa ini pula, bangunan-bangunan yang didedikasikan untuk ibadah mulai dibangun, meskipun konsep "gereja" tetap lebih kepada komunitas umat. Bangunan-bangunan ini menjadi pusat aktivitas gerejani, tempat umat berkumpul, diajar, dan bersekutu, memberikan dimensi fisik yang baru pada konsep yang telah ada.

2.3. Gereja Abad Pertengahan: Peran Dominan

Abad Pertengahan seringkali disebut sebagai "Zaman Keemasan Gereja" di Eropa. Pada periode ini, gereja (terutama Gereja Katolik Roma) memegang peran yang sangat dominan dalam setiap aspek kehidupan, mulai dari politik, ekonomi, pendidikan, hingga budaya. Konsep gerejani pada masa ini merangkum hampir seluruh sendi masyarakat. Gereja bukan hanya lembaga keagamaan, tetapi juga kekuatan politik yang besar, pemilik tanah yang luas, dan pelindung seni serta ilmu pengetahuan.

Katedral-katedral megah dibangun sebagai manifestasi fisik dari kekuasaan dan kemuliaan gereja. Liturgi menjadi lebih rumit dan ritualistik, dan sistem sakramen menjadi sangat sentral. Hierarki kepemimpinan gereja mencapai puncaknya dengan Paus sebagai otoritas spiritual tertinggi. Pada masa ini, "gerejani" seringkali diidentikkan dengan struktur hierarkis dan otoritas doktrinal yang kuat. Peran gereja dalam mendefinisikan moralitas dan hukum juga sangat besar, mencerminkan pengaruhnya yang luas. Pendidikan dan penulisan dikuasai oleh biara-biara dan klerus, membentuk intelektual dan budaya gerejani yang khas.

Namun, dominasi ini juga membawa tantangan, termasuk korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan, yang pada akhirnya memicu gerakan reformasi.

2.4. Reformasi Protestan dan Pluralitas Gerejani

Gerakan Reformasi Protestan pada abad ke-16, yang dipelopori oleh tokoh-tokoh seperti Martin Luther dan Yohanes Calvin, membawa perubahan radikal dalam pemahaman tentang gereja dan konsekuensinya, konsep gerejani. Reformasi menantang otoritas tunggal gereja hierarkis dan menekankan konsep "imamat am orang percaya," di mana setiap orang percaya memiliki akses langsung kepada Tuhan melalui Kristus tanpa perantara imam.

Penekanan pada `Sola Scriptura` (hanya Alkitab) sebagai otoritas tertinggi, `Sola Fide` (hanya oleh iman), dan `Sola Gratia` (hanya oleh anugerah) mengubah liturgi, teologi, dan struktur gereja secara fundamental. Konsep gerejani menjadi lebih berpusat pada Firman Tuhan dan pengalaman iman individu, meskipun tetap dalam konteks persekutuan. Ini menyebabkan fragmentasi gereja Barat menjadi berbagai denominasi Protestan yang berbeda, masing-masing dengan penafsiran dan praktik gerejani mereka sendiri.

Dengan demikian, gerejani menjadi sebuah konsep yang lebih plural. Tidak ada lagi satu-satunya "Gereja" yang dominan, melainkan banyak "gereja" dengan kekhasan masing-masing, meskipun semuanya mengaku berakar pada Injil Kristus. Aspek-aspek seperti khotbah menjadi sentral dalam ibadah, dan pendidikan jemaat melalui katekismus menjadi lebih ditekankan. Pluralitas ini adalah ciri khas gerejani modern hingga saat ini.

2.5. Gereja Modern dan Tantangan Baru

Abad ke-20 dan ke-21 membawa tantangan dan peluang baru bagi gereja. Globalisasi, sekularisasi, kemajuan teknologi, dan pluralisme agama telah mengubah lanskap tempat gereja beroperasi. Konsep gerejani terus beradaptasi.

Di satu sisi, gereja menghadapi penurunan keanggotaan di beberapa wilayah Barat dan skeptisisme yang meningkat terhadap institusi agama. Di sisi lain, gereja-gereja di Global Selatan mengalami pertumbuhan yang pesat dan munculnya berbagai gerakan karismatik dan neo-pentakosta. Teknologi digital telah memungkinkan bentuk-bentuk persekutuan dan penginjilan baru, seperti "gereja online" atau pelayanan melalui media sosial.

Konsep gerejani di era modern seringkali bergumul dengan pertanyaan tentang relevansi, autentisitas, dan misi di tengah masyarakat yang semakin kompleks. Ada penekanan baru pada keadilan sosial, pelayanan holistik, dan keterlibatan gereja dalam isu-isu global seperti lingkungan dan hak asasi manusia. Ini menunjukkan bahwa gerejani bukanlah konsep statis, melainkan terus berevolusi seiring dengan perubahan zaman, sambil tetap berpegang pada inti kebenarannya yang abadi.

3. Pilar-Pilar Teologis Gerejani: Fondasi Iman

Di balik setiap praktik dan struktur gerejani, terdapat fondasi teologis yang kuat. Pilar-pilar ini mendefinisikan apa itu gereja dan mengapa ia ada. Memahami pilar-pilar ini sangat penting untuk memahami kedalaman makna gerejani.

3.1. Kristus sebagai Kepala Gereja

Salah satu ajaran paling mendasar dalam ekklesiologi (ilmu tentang gereja) adalah bahwa Yesus Kristus adalah Kepala Gereja. Rasul Paulus dengan jelas menyatakan ini dalam surat-suratnya (Efesus 1:22-23; Kolose 1:18). Ini berarti bahwa gereja bukan organisasi manusia semata, melainkan tubuh yang hidup yang dipimpin dan diatur oleh Kristus sendiri. Segala sesuatu yang bersifat gerejani, mulai dari doktrin hingga praktik, harus berakar pada Kristus dan mengarah kepada-Nya.

Sebagai Kepala, Kristus memberikan otoritas, arahan, dan kehidupan kepada gereja. Ia adalah sumber segala berkat dan tujuan dari keberadaan gereja. Konsep ini menempatkan gereja di bawah kedaulatan ilahi, bukan di bawah kekuasaan manusia. Ini juga berarti bahwa kesatuan gereja bukanlah kesatuan organisasional semata, melainkan kesatuan di dalam Kristus. Segala keputusan gerejani, idealnya, harus mencerminkan kehendak dan karakter Kristus.

Implikasinya bagi kehidupan gerejani sangat besar: gereja dipanggil untuk meneladani Kristus, melayani seperti Kristus, dan bersaksi tentang Kristus. Setiap pelayanan, setiap ibadah, setiap ajaran, harus mengarahkan umat kepada Kristus. Tanpa Kristus sebagai Kepala, gereja hanyalah sebuah klub atau organisasi sosial tanpa tujuan ilahi.

3.2. Roh Kudus dan Kehidupan Gereja

Peran Roh Kudus sangat sentral dalam kehidupan gerejani. Kitab Kisah Para Rasul menggambarkan bagaimana Roh Kudus dicurahkan pada hari Pentakosta, memberdayakan para rasul untuk memberitakan Injil dan membentuk komunitas percaya pertama. Roh Kudus adalah agen yang menginisiasi, mempertahankan, dan memperlengkapi gereja.

Roh Kudus menginsafkan orang akan dosa, memimpin mereka kepada pertobatan, dan menyatukan mereka ke dalam tubuh Kristus. Ia memberikan karunia-karunia rohani kepada setiap anggota gereja untuk saling membangun dan melayani. Roh Kudus juga yang mengajar, menghibur, membimbing, dan menguatkan gereja dalam menghadapi tantangan. Segala aktivitas gerejani yang sejati, yang membawa buah rohani, adalah pekerjaan Roh Kudus.

Tanpa pekerjaan Roh Kudus, gereja hanyalah institusi mati. Kehadiran dan pekerjaan Roh Kuduslah yang membuat gereja menjadi hidup, dinamis, dan relevan. Doa, ibadah, khotbah, dan pelayanan—semuanya bergantung pada pimpinan dan kuasa Roh Kudus. Oleh karena itu, kehidupan gerejani sejati adalah kehidupan yang dipenuhi dan dipimpin oleh Roh Kudus.

3.3. Alkitab sebagai Fondasi Ajaran

Alkitab, Firman Tuhan yang diwahyukan, adalah fondasi utama bagi semua ajaran dan praktik gerejani. Sejak masa reformasi, prinsip Sola Scriptura (hanya Alkitab) telah menjadi pilar utama bagi banyak tradisi Protestan, menegaskan otoritas tertinggi Alkitab di atas tradisi gereja atau otoritas manusia. Namun, bahkan dalam tradisi yang menghargai tradisi (seperti Katolik Roma dan Ortodoks), Alkitab tetap diakui sebagai Firman Tuhan yang menginspirasi dan normatif.

Gerejani berarti bahwa doktrin gereja, etika Kristen, tata ibadah, dan bahkan struktur organisasional, idealnya, harus konsisten dengan ajaran Alkitab. Alkitab berfungsi sebagai cermin untuk merefleksikan kebenaran, kompas untuk menuntun arah, dan pedang untuk melawan kesalahan. Pemahaman yang benar akan Alkitab adalah esensial untuk kesehatan dan kemurnian gereja.

Oleh karena itu, pengajaran Alkitab yang setia (`ekspositori`) adalah inti dari setiap kebaktian gerejani yang sehat. Studi Alkitab, katekese, dan teologi semuanya merupakan bagian dari upaya gereja untuk memahami dan menerapkan Firman Tuhan dalam kehidupan sehari-hari umat dan dalam misinya di dunia. Pelayanan gerejani yang otentik selalu berakar pada dan diinformasikan oleh otoritas Firman Tuhan.

3.4. Konsep Koinonia (Persekutuan)

Salah satu karakteristik utama gerejani adalah `koinonia`, atau persekutuan. Ini bukan hanya sekadar berkumpul bersama, tetapi persekutuan yang mendalam, berbagi kehidupan dalam Kristus. `Koinonia` mencakup persekutuan vertikal dengan Tuhan dan persekutuan horizontal antarumat percaya.

Dalam `koinonia` gerejani, anggota gereja saling mendukung, menghibur, menegur, dan mengasihi. Mereka berbagi suka dan duka, harta benda, dan karunia rohani. Ini adalah manifestasi dari "satu tubuh" Kristus, di mana setiap anggota penting dan saling membutuhkan. Persekutuan ini juga terwujud dalam ibadah bersama, makan bersama (seperti Perjamuan Kudus), dan pelayanan bersama.

`Koinonia` adalah kekuatan pengikat gereja, menciptakan rasa memiliki dan keluarga rohani. Tanpa persekutuan yang sejati, gereja berisiko menjadi kumpulan individu yang terisolasi. Oleh karena itu, gerejani yang sehat senantiasa memupuk dan menghargai `koinonia` sebagai ekspresi nyata dari kasih Kristus yang mempersatukan.

3.5. Konsep Diakonia (Pelayanan)

`Diakonia` adalah konsep penting lain dalam gerejani, yang berarti pelayanan. Yesus sendiri datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan memberikan nyawa-Nya sebagai tebusan bagi banyak orang (Markus 10:45). Gereja, sebagai tubuh Kristus, dipanggil untuk melanjutkan misi pelayanan ini.

`Diakonia` memiliki dua dimensi: pelayanan internal antaranggota gereja (misalnya, menolong jemaat yang membutuhkan, mengunjungi orang sakit) dan pelayanan eksternal kepada masyarakat luas (misalnya, pelayanan sosial, keadilan, amal). Segala bentuk aktivitas gerejani yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan sesama, baik fisik, emosional, maupun spiritual, adalah `diakonia`.

Melalui `diakonia`, gereja menunjukkan kasih Allah secara konkret kepada dunia. Ini adalah kesaksian yang kuat tentang Injil, karena tindakan kasih seringkali berbicara lebih keras daripada kata-kata. Gerejani yang autentik selalu melibatkan `diakonia`, mendorong setiap anggota untuk menemukan cara mereka sendiri untuk melayani sesuai dengan karunia dan panggilan mereka.

3.6. Konsep Martyria (Kesaksian/Misi)

`Martyria` berarti kesaksian, dan dalam konteks gerejani, ia merujuk pada misi gereja untuk memberitakan Injil kepada dunia. Yesus memerintahkan murid-murid-Nya untuk pergi ke seluruh dunia dan menjadikan semua bangsa murid-Nya (Matius 28:19-20). Ini adalah amanat agung yang menjadi inti dari keberadaan gereja.

`Martyria` tidak hanya terbatas pada penginjilan verbal, tetapi juga mencakup kesaksian hidup yang konsisten dengan Injil. Bagaimana umat Kristen hidup, bagaimana mereka berinteraksi dengan orang lain, dan bagaimana mereka menanggapi tantangan dunia—semua ini adalah bagian dari kesaksian mereka. Gerejani yang sejati memiliki dorongan misioner yang kuat, baik secara lokal maupun global.

Setiap program gerejani, mulai dari pendidikan Kristen hingga pelayanan sosial, pada akhirnya harus mendukung misi `martyria` ini. Tujuan akhirnya adalah agar sebanyak mungkin orang mengenal Kristus dan menjadi bagian dari kerajaan-Nya. `Martyria` adalah denyut jantung gereja yang hidup, yang terus membagikan kabar baik kepada setiap generasi.

Simbol salib Kristen yang sederhana dan modern, melambangkan fondasi iman gerejani.

4. Aspek Praktis Kehidupan Gerejani

Setelah memahami definisi, sejarah, dan pilar teologisnya, kita perlu melihat bagaimana gerejani termanifestasi dalam praktik sehari-hari. Ini adalah bagian yang paling terlihat dari keberadaan gereja.

4.1. Ibadah dan Liturgi: Jantung Gerejani

Ibadah adalah pusat dari kehidupan gerejani. Ini adalah waktu di mana umat berkumpul untuk menyembah Tuhan, mendengarkan Firman-Nya, dan bersekutu satu sama lain. Setiap tradisi gereja memiliki bentuk ibadahnya sendiri, yang disebut liturgi. Liturgi bisa sangat formal dan terstruktur (seperti dalam gereja Katolik atau Ortodoks) atau lebih bebas dan spontan (seperti dalam gereja-gereja karismatik atau injili).

Namun, terlepas dari bentuknya, ibadah gerejani selalu memiliki elemen-elemen inti: pujian dan penyembahan (melalui nyanyian, musik, doa), pembacaan dan pengajaran Firman Tuhan (khotbah), persekutuan, dan terkadang perayaan sakramen. Ibadah adalah momen di mana umat diperbarui, diajar, dikuatkan, dan diingatkan akan identitas mereka di dalam Kristus.

Liturgi tidak hanya sekadar rangkaian kegiatan; ia adalah sebuah narasi iman yang menghidupkan kembali kisah keselamatan. Setiap unsur liturgi memiliki makna teologis dan historis. Melalui liturgi, gereja menyatakan imannya, memperingati karya Kristus, dan menantikan kedatangan-Nya yang kedua. Oleh karena itu, menjaga kekayaan dan kesucian ibadah adalah aspek krusial dari gerejani.

4.2. Sakramen: Tanda dan Saluran Rahmat Ilahi

Bagi sebagian besar tradisi Kristen, sakramen adalah elemen yang sangat penting dalam kehidupan gerejani. Sakramen adalah "tanda lahiriah dari anugerah batiniah" atau tindakan kudus yang dilembagakan oleh Kristus sebagai sarana untuk mengkomunikasikan rahmat-Nya kepada umat percaya. Dua sakramen utama yang diakui oleh mayoritas Protestan adalah Baptisan dan Perjamuan Kudus.

Baptisan: Merupakan tanda inisiasi ke dalam gereja dan identifikasi dengan kematian dan kebangkitan Kristus. Melalui baptisan, seorang percaya menyatakan pertobatannya, imannya kepada Kristus, dan kesediaannya untuk hidup dalam ketaatan. Ini adalah momen penting dalam perjalanan iman individu dan juga penerimaan ke dalam komunitas gereja.

Perjamuan Kudus: Juga dikenal sebagai Ekaristi atau Komuni, adalah peringatan akan pengorbanan Kristus di kayu salib. Melalui makan roti dan minum anggur, umat percaya mengenang tubuh dan darah Kristus yang diberikan untuk pengampunan dosa. Ini adalah momen persekutuan yang mendalam dengan Kristus dan dengan sesama umat percaya, serta antisipasi akan perjamuan di surga.

Tradisi Katolik Roma dan Ortodoks mengakui tujuh sakramen, termasuk Penguatan/Krisma, Pengakuan Dosa, Pengurapan Orang Sakit, Imamat, dan Pernikahan. Terlepas dari perbedaan jumlah dan penafsiran, sakramen-sakramen ini dianggap sebagai manifestasi konkret dari kehadiran Allah yang bekerja dalam kehidupan umat percaya, dan oleh karena itu, merupakan bagian yang tak terpisahkan dari praktik gerejani yang sejati.

4.3. Tata Kelola dan Organisasi Gereja

Agar dapat berfungsi dengan baik dan efektif, setiap gereja memerlukan tata kelola dan struktur organisasi. Ini adalah aspek institusional dari gerejani. Bentuk tata kelola gereja sangat bervariasi antara denominasi:

Terlepas dari modelnya, tujuan dari tata kelola gerejani adalah untuk memastikan bahwa gereja dijalankan secara tertib, transparan, dan sesuai dengan prinsip-prinsip alkitabiah. Ini melibatkan pemilihan atau penunjukan pemimpin, penetapan kebijakan, pengelolaan keuangan, dan penanganan disiplin gereja. Tata kelola yang baik memungkinkan gereja untuk fokus pada misinya tanpa gangguan internal yang tidak perlu.

Aspek ini juga mencakup regulasi internal seperti Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART), prosedur operasional standar (SOP) untuk berbagai pelayanan, serta sistem akuntabilitas. Kehidupan gerejani yang sehat membutuhkan struktur yang mendukung, bukan menghambat, pertumbuhan rohani dan pelayanan.

4.4. Pendidikan Kristen dan Katekisasi

Pendidikan adalah komponen vital dari kehidupan gerejani. Gereja memiliki tanggung jawab untuk mendidik umatnya dalam kebenaran Firman Tuhan, membantu mereka bertumbuh dalam iman, dan memperlengkapi mereka untuk melayani. Ini seringkali dilakukan melalui program katekisasi (pengajaran dasar iman), sekolah minggu untuk anak-anak, kelompok studi Alkitab, kelas pemuridan, dan seminar teologi.

Melalui pendidikan Kristen, umat belajar tentang doktrin gereja, etika Kristen, sejarah gereja, dan bagaimana menerapkan iman dalam kehidupan sehari-hari. Ini adalah proses pembentukan yang berkelanjutan, dari masa kanak-kanak hingga dewasa. Pendidikan gerejani juga bertujuan untuk mengembangkan karakter Kristen, mendorong pertumbuhan spiritual, dan mempersiapkan jemaat untuk menghadapi tantangan dunia dengan perspektif iman.

Kualitas pendidikan Kristen sangat memengaruhi kekuatan iman dan pemahaman teologis jemaat. Gereja yang mengabaikan pendidikan berisiko memiliki jemaat yang dangkal dalam iman dan mudah terombang-ambing oleh ajaran yang salah. Oleh karena itu, investasi dalam kurikulum, guru, dan fasilitas pendidikan adalah aspek penting dari gerejani yang peduli terhadap pertumbuhan rohani umatnya.

4.5. Misi dan Penginjilan: Amanat Agung

Sebagaimana telah disinggung dalam `martyria`, misi dan penginjilan adalah inti dari identitas gerejani. Gereja tidak ada hanya untuk dirinya sendiri, tetapi untuk memberitakan Kabar Baik keselamatan dalam Kristus kepada dunia. Amanat Agung Yesus (Matius 28:19-20) adalah perintah yang mengikat semua gereja dan setiap orang percaya.

Aktivitas misi dapat berupa penginjilan pribadi (saksi personal), penginjilan massal, penanaman gereja baru, dukungan untuk misionaris di luar negeri, atau proyek-proyek pelayanan yang memiliki dimensi evangelistik. Penginjilan juga tidak hanya berarti menyampaikan pesan Injil secara verbal, tetapi juga hidup sebagai teladan Kristus di tengah masyarakat, sehingga orang lain tertarik pada terang yang mereka lihat.

Organisasi gerejani seringkali memiliki departemen atau komite misi yang merencanakan dan melaksanakan strategi penginjilan. Anggaran juga dialokasikan untuk mendukung pekerjaan misi lokal dan global. Komitmen terhadap misi menunjukkan bahwa gereja memahami panggilan fundamentalnya dan tidak egois dalam mempertahankan berkat yang telah diterimanya. Gerejani yang dinamis selalu memiliki semangat misioner yang membara.

4.6. Pelayanan Sosial dan Keadilan

Selain penginjilan, pelayanan sosial dan perjuangan untuk keadilan (`diakonia`) adalah manifestasi penting lain dari gerejani. Yesus menunjukkan kepedulian yang mendalam terhadap orang miskin, orang sakit, orang tertindas, dan orang yang terpinggirkan. Gereja dipanggil untuk mengikuti teladan-Nya dalam melayani kebutuhan fisik dan sosial masyarakat.

Ini dapat berupa pendirian panti asuhan, rumah sakit, klinik kesehatan gratis, program bantuan bencana, bank makanan, pusat konseling, atau advokasi untuk hak-hak kaum minoritas dan korban ketidakadilan. Pelayanan sosial gerejani adalah ekspresi kasih Allah yang holistik, yang mengakui bahwa manusia memiliki kebutuhan fisik, emosional, dan spiritual.

Dalam konteks modern, gereja semakin dipanggil untuk berbicara tentang isu-isu keadilan sosial seperti kemiskinan struktural, ketidakadilan ekonomi, perusakan lingkungan, dan diskriminasi. Gerejani yang relevan adalah yang tidak takut untuk terlibat dalam isu-isu ini, menjadi suara bagi yang tak bersuara, dan bekerja untuk membawa transformasi yang mencerminkan nilai-nilai Kerajaan Allah. Ini adalah `diakonia` yang dihidupi, bukan hanya diucapkan.

4.7. Keuangan Gereja dan Tanggung Jawab

Aspek gerejani yang seringkali kurang dibahas tetapi sangat penting adalah pengelolaan keuangan. Gereja, sebagai sebuah organisasi, memerlukan sumber daya finansial untuk mendukung pelayanan, memelihara fasilitas, membayar staf, dan melaksanakan misi. Sumber utama keuangan gereja biasanya berasal dari persembahan, persepuluhan, dan donasi dari anggota jemaat.

Pengelolaan keuangan gerejani harus dilakukan dengan integritas, transparansi, dan akuntabilitas. Ini adalah cerminan dari prinsip-prinsip alkitabiah tentang penatalayanan yang setia. Jemaat harus yakin bahwa dana yang mereka berikan digunakan secara bijaksana untuk kemuliaan Tuhan dan perluasan Kerajaan-Nya. Audit keuangan secara berkala, laporan keuangan yang terbuka, dan keputusan anggaran yang partisipatif adalah praktik-praktik baik dalam pengelolaan keuangan gereja.

Selain untuk operasional internal, dana gereja juga sering dialokasikan untuk pelayanan sosial, misi, dan bantuan kepada gereja-gereja yang lebih kecil atau yang membutuhkan. Cara gereja mengelola uangnya adalah indikator penting dari nilai-nilai dan prioritas gerejani mereka. Penatalayanan yang baik dalam keuangan bukan hanya masalah administratif, tetapi juga spiritual, mencerminkan kepercayaan dan ketaatan kepada Tuhan.

5. Gerejani dalam Konteks Sosial dan Budaya

Gereja tidak beroperasi dalam ruang hampa; ia hidup dan berfungsi di tengah masyarakat dan budaya. Oleh karena itu, gerejani memiliki implikasi yang signifikan dalam interaksinya dengan dunia di sekitarnya.

5.1. Etika Kristen dan Nilai-nilai Sosial

Gerejani juga mencakup serangkaian nilai dan etika yang memandu perilaku individu Kristen dan komunitas gereja secara keseluruhan. Etika Kristen berakar pada ajaran Alkitab dan teladan Yesus Kristus, menekankan kasih, keadilan, belas kasihan, integritas, dan pengampunan. Nilai-nilai ini tidak hanya berlaku dalam lingkup internal gereja, tetapi juga seharusnya memancar keluar, memengaruhi masyarakat lebih luas.

Ketika gereja secara kolektif menjunjung tinggi nilai-nilai ini, ia menjadi agen moral yang kuat dalam masyarakat. Ini berarti gereja harus menjadi suara kenabian terhadap ketidakadilan, korupsi, kekerasan, dan bentuk-bentuk lain dari kejahatan sosial. Gerejani yang autentik adalah yang berani menantang norma-norma budaya yang bertentangan dengan nilai-nilai Kerajaan Allah.

Sebaliknya, jika gereja berkompromi dengan standar etika ini, ia kehilangan kredibilitas dan kemampuannya untuk mempengaruhi masyarakat. Oleh karena itu, hidup etis adalah kesaksian yang kuat dari gereja, menunjukkan kepada dunia keindahan dan kebenaran Injil melalui cara hidup anggotanya.

5.2. Hubungan Gereja dan Negara

Hubungan antara gereja dan negara adalah salah satu aspek yang paling kompleks dan seringkali diperdebatkan dalam sejarah gerejani. Model hubungan ini sangat bervariasi, dari negara teokratis (di mana gereja menguasai negara) hingga pemisahan total antara gereja dan negara.

Dalam banyak masyarakat modern, termasuk Indonesia, dianut prinsip pemisahan tetapi dengan kerja sama. Gereja memiliki kebebasan beragama dan menjalankan fungsi-fungsinya tanpa campur tangan negara, sementara negara menjamin hak-hak keagamaan warganya. Namun, gereja juga diharapkan untuk berkontribusi pada pembangunan nasional dan kesejahteraan masyarakat.

Tantangan muncul ketika ada konflik antara nilai-nilai gerejani dan kebijakan negara, atau ketika negara mencoba mengatur terlalu banyak urusan internal gereja. Gerejani yang bijaksana harus menemukan keseimbangan antara ketaatan kepada pemerintah (Roma 13:1-7) dan ketaatan kepada Tuhan di atas segalanya (Kisah Para Rasul 5:29). Ini seringkali membutuhkan kebijaksanaan, doa, dan kadang-kadang keberanian untuk menyuarakan kebenaran di hadapan kekuasaan.

5.3. Gereja dan Isu-isu Kontemporer

Gerejani tidak dapat mengabaikan isu-isu kontemporer yang memengaruhi kehidupan manusia. Perubahan iklim, kesenjangan sosial, konflik etnis dan agama, pandemi global, dan perkembangan teknologi seperti kecerdasan buatan, semuanya menimbulkan pertanyaan etis dan moral yang kompleks. Gereja memiliki tanggung jawab untuk merenungkan isu-isu ini dari perspektif iman Kristen dan memberikan tanggapan yang relevan.

Ini mungkin berarti gereja terlibat dalam advokasi lingkungan, program bantuan kemanusiaan untuk pengungsi, dialog antaragama, atau memberikan bimbingan etis tentang penggunaan teknologi. Tanggapan gerejani terhadap isu-isu ini menunjukkan apakah gereja masih relevan dan peduli terhadap dunia yang Tuhan kasihi.

Gereja dipanggil untuk menjadi "garam dan terang" di dunia (Matius 5:13-16), yang berarti ia harus secara aktif memengaruhi dan mentransformasi masyarakat, bukan hanya bersembunyi dari tantangan-tantangannya. Keterlibatan gerejani dalam isu-isu kontemporer adalah bukti dari misinya yang berkelanjutan untuk membawa keadilan, kasih, dan harapan Kristus ke dalam dunia yang sedang terluka.

6. Tantangan dan Peluang Gerejani di Era Modern

Di abad ke-21, gereja menghadapi lanskap yang terus berubah dengan cepat. Ini membawa serta tantangan besar, tetapi juga membuka peluang baru untuk pertumbuhan dan pelayanan.

6.1. Sekularisme dan Krisis Keanggotaan

Di banyak negara Barat, gereja menghadapi tantangan sekularisme yang meningkat, di mana agama semakin dipisahkan dari kehidupan publik dan pribadi. Ini menyebabkan penurunan kehadiran gereja, krisis keanggotaan, dan meningkatnya jumlah orang yang mengidentifikasi diri sebagai "tidak beragama" (`nones`). Masyarakat menjadi lebih individualistis, dan institusi agama seringkali dipandang sebagai sesuatu yang kuno atau tidak relevan.

Tantangan gerejani di sini adalah bagaimana mempertahankan relevansinya dan menyampaikan Injil di tengah budaya yang semakin acuh tak acuh terhadap agama. Ini memerlukan pendekatan yang kreatif dalam penginjilan, penekanan pada pembentukan komunitas yang otentik, dan kemampuan untuk menunjukkan bagaimana iman Kristen dapat memberikan makna dan tujuan dalam hidup yang sekuler.

Peluangnya adalah untuk meninjau kembali apa yang benar-benar esensial dalam gerejani dan melepaskan hal-hal yang tidak penting. Ini juga mendorong gereja untuk menjadi lebih otentik dan transformatif, bukan hanya sekadar menawarkan program-program kosong. Krisis ini dapat menjadi katalisator untuk pembaruan dan revitalisasi yang lebih dalam.

6.2. Pluralisme Agama dan Sinkretisme

Globalisasi telah meningkatkan kesadaran akan pluralisme agama. Di banyak masyarakat, orang hidup berdampingan dengan berbagai kepercayaan dan pandangan dunia. Tantangan gerejani adalah bagaimana bersaksi tentang keunikan Kristus sebagai jalan keselamatan di tengah budaya yang cenderung mempromosikan relativisme agama atau sinkretisme (mencampuradukkan berbagai kepercayaan).

Peluangnya adalah untuk terlibat dalam dialog antaragama yang konstruktif, belajar memahami perspektif lain, sambil tetap teguh pada keyakinan Kristen. Gereja dapat menunjukkan kasih Kristus kepada mereka yang berbeda iman, tanpa mengkompromikan kebenaran Injil. Ini juga merupakan kesempatan untuk memperkuat identitas teologis gereja dan mengartikulasikan iman Kristen dengan cara yang jelas dan persuasif kepada dunia yang beragam.

6.3. Teknologi dan Digitalisasi Gereja

Kemajuan teknologi, terutama internet dan media sosial, telah mengubah cara orang berinteraksi dan mengakses informasi. Ini membawa tantangan dan peluang besar bagi gerejani.

Tantangan: Bagaimana gereja dapat bersaing dengan "gangguan" digital yang tak ada habisnya? Bagaimana menjaga kedalaman persekutuan di era di mana hubungan seringkali dangkal dan virtual? Risiko "gereja online" yang kehilangan dimensi komunal dan sakramental secara fisik. Selain itu, penyebaran informasi yang salah dan narasi negatif tentang gereja di media sosial.

Peluang: Teknologi memungkinkan gereja untuk menjangkau khalayak yang lebih luas melalui streaming ibadah, konten digital, dan platform media sosial. Ini juga memfasilitasi komunikasi antaranggota, pendidikan jarak jauh, dan pelayanan diakonia yang lebih efisien. Gereja dapat menggunakan teknologi untuk memperluas jangkauan misinya dan melayani jemaat dengan cara-cara baru yang inovatif. Gerejani yang adaptif akan merangkul teknologi sebagai alat untuk tujuan Kerajaan Allah.

6.4. Kepemimpinan dan Relevansi

Tantangan kepemimpinan gerejani adalah bagaimana memimpin gereja agar tetap relevan dan efektif di tengah perubahan yang cepat. Pemimpin gereja harus mampu beradaptasi, berinovasi, dan menginspirasi jemaat untuk terlibat dalam misi Kristus. Pertanyaan tentang relevansi sering muncul: apakah gereja masih berbicara tentang isu-isu yang penting bagi kehidupan orang-orang saat ini? Apakah gereja mampu menawarkan harapan dan solusi yang nyata?

Peluangnya adalah untuk mengembangkan model kepemimpinan yang lebih kolaboratif, memberdayakan jemaat untuk menggunakan karunia mereka, dan fokus pada pemuridan yang mendalam. Gereja yang relevan adalah gereja yang memahami konteksnya, berani keluar dari zona nyaman, dan secara aktif mencari cara untuk menjadi berkat bagi lingkungannya. Ini juga tentang memastikan bahwa pesan Injil disampaikan dengan cara yang dapat dimengerti dan diterima oleh generasi saat ini.

6.5. Perpecahan dan Ekumenisme

Sejarah gereja ditandai oleh perpecahan yang tak terhitung jumlahnya, dari Skisma Timur-Barat hingga ribuan denominasi Protestan yang ada saat ini. Tantangan gerejani adalah bagaimana mengatasi perpecahan ini dan mencari kesatuan yang lebih besar dalam Kristus.

Gerakan ekumenisme, yang berupaya untuk mempromosikan kesatuan di antara gereja-gereja Kristen yang berbeda, adalah salah satu peluang terbesar. Meskipun perbedaan doktrinal dan praktik tetap ada, ada semakin banyak upaya untuk menemukan titik-titik persamaan dan bekerja sama dalam misi bersama. Gerejani yang matang akan mengakui bahwa kesatuan dalam Kristus lebih penting daripada perbedaan denominasional yang memecah belah.

Fokus pada `koinonia` yang lebih luas, `diakonia` bersama dalam melayani dunia, dan `martyria` yang bersatu dapat membantu gereja-gereja mengatasi hambatan dan menampilkan kesaksian yang lebih kuat tentang Kristus kepada dunia. Ini adalah perjuangan yang berkelanjutan, tetapi sangat penting untuk kredibilitas dan efektivitas gereja.

7. Masa Depan Gerejani: Visi dan Pembaruan

Meskipun menghadapi banyak tantangan, gereja memiliki janji akan keberlangsungan dan kemenangan dari Kristus sendiri. Masa depan gerejani akan bergantung pada kemampuannya untuk beradaptasi sambil tetap setia pada inti kebenarannya.

7.1. Gereja yang Relevan dan Berdampak

Masa depan gerejani adalah tentang menjadi relevan dan berdampak. Ini berarti gereja harus mampu berbicara kepada kebutuhan terdalam manusia di abad ke-21, menawarkan jawaban yang bermakna atas pertanyaan-pertanyaan eksistensial, dan menjadi sumber harapan di tengah keputusasaan.

Relevansi tidak berarti mengkompromikan Injil, melainkan menyajikannya dalam cara yang dapat dipahami dan diterima oleh budaya kontemporer. Dampak berarti gereja tidak hanya mengubah individu, tetapi juga mentransformasi masyarakat melalui kasih, keadilan, dan pelayanan. Gereja yang berdampak akan terlihat aktif dalam upaya memberdayakan masyarakat, memerangi kemiskinan, dan mempromosikan perdamaian.

Gerejani yang berorientasi masa depan akan berfokus pada pelatihan pemimpin yang visioner, memberdayakan kaum muda, dan menggunakan inovasi secara bijaksana untuk memperluas jangkauan pelayanannya. Ini adalah gereja yang berani bermimpi besar bagi Kerajaan Allah.

7.2. Inovasi dalam Pelayanan

Dunia yang berubah membutuhkan inovasi dalam pelayanan gerejani. Ini bukan berarti meninggalkan tradisi, melainkan menemukan cara-cara baru dan kreatif untuk mewujudkan misi gereja. Inovasi dapat mencakup:

Inovasi dalam gerejani tidak hanya tentang tren, tetapi tentang menemukan cara terbaik untuk memberitakan Injil dan melayani manusia dalam konteks mereka yang terus berubah. Ini memerlukan kesediaan untuk bereksperimen, belajar dari kegagalan, dan beradaptasi dengan kebutuhan jemaat dan masyarakat.

7.3. Fokus pada Pemuridan dan Pembentukan Karakter

Di tengah semua perubahan eksternal, masa depan gerejani yang kuat akan selalu berpusat pada pemuridan yang mendalam dan pembentukan karakter Kristen. Gereja tidak hanya dipanggil untuk mengumpulkan orang, tetapi untuk membentuk mereka menjadi murid-murid Kristus yang sejati, yang serupa dengan Dia.

Ini berarti penekanan pada pengajaran Alkitab yang transformatif, bimbingan rohani individu, mentoring, dan komunitas yang mendukung pertumbuhan. Pemuridan melampaui sekadar menghadiri ibadah; ini adalah tentang menjalani seluruh hidup dalam ketaatan kepada Kristus dan mengizinkan Roh Kudus mengubah kita dari dalam ke luar.

Pembentukan karakter Kristen—yang meliputi buah Roh seperti kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, dan penguasaan diri (Galatia 5:22-23)—adalah tujuan akhir dari setiap program gerejani. Gerejani yang memprioritaskan pemuridan akan menghasilkan individu-individu yang beriman teguh, beretika tinggi, dan mampu menjadi berkat di mana pun mereka berada.

7.4. Kembali pada Esensi: Kasih dan Kebenaran

Pada akhirnya, masa depan gerejani yang otentik adalah kembali pada esensi Injil: kasih dan kebenaran. Yesus mengajarkan bahwa perintah terbesar adalah mengasihi Tuhan dengan segenap hati, jiwa, akal budi, dan kekuatan, serta mengasihi sesama seperti diri sendiri (Matius 22:37-39).

Kebenaran Injil harus dipegang teguh tanpa kompromi, tetapi kebenaran ini harus selalu disampaikan dan dihidupi dalam kasih. Gereja yang hanya memiliki kebenaran tanpa kasih akan menjadi keras dan tidak menarik. Gereja yang hanya memiliki kasih tanpa kebenaran akan menjadi dangkal dan kehilangan fondasinya.

Gerejani yang kuat adalah yang secara konsisten menyeimbangkan keduanya, menyatakan kebenaran dengan kelembutan dan kasih, serta menunjukkan kasih yang berakar pada kebenaran. Ini adalah gereja yang merefleksikan karakter Kristus dengan paling jelas kepada dunia yang sedang mengamati. Dengan berpegang pada kasih dan kebenaran, gereja akan tetap menjadi mercusuar harapan dan agen transformasi di setiap zaman.

Penutup: Refleksi Akhir tentang Hakikat "Gerejani"

Setelah menelusuri berbagai dimensi dari kata "gerejani", kita dapat menyimpulkan bahwa ia adalah sebuah konsep yang kaya, mendalam, dan multifaset. Lebih dari sekadar deskripsi tentang sesuatu yang "terjadi di gereja," gerejani adalah cerminan dari identitas, tujuan, dan panggilan gereja sebagai umat Allah di dunia. Ia mencakup dimensi rohani persekutuan dengan Tuhan, dimensi komunal kasih antar sesama, dan dimensi institusional yang terorganisir untuk menjalankan misi.

Dari akar historisnya di gereja mula-mula hingga manifestasinya di era digital modern, konsep gerejani terus berevolusi dan beradaptasi. Namun, inti dasarnya tetap tak tergoyahkan: gereja adalah tubuh Kristus, yang dipimpin oleh Roh Kudus, berlandaskan Firman Tuhan, dan diutus untuk bersaksi, melayani, dan mewujudkan kasih serta keadilan-Nya di bumi.

Memahami "gerejani" secara komprehensif mendorong kita untuk melihat gereja bukan hanya sebagai sebuah bangunan atau organisasi, melainkan sebagai organisme yang hidup, dinamis, dan memiliki peran krusial dalam sejarah keselamatan dan dalam kehidupan setiap orang percaya. Setiap anggota gereja memiliki peran dalam mewujudkan hakikat gerejani ini, melalui ibadah, pelayanan, kesaksian, dan hidup yang konsisten dengan panggilan Kristus.

Tantangan yang dihadapi gereja di era modern memang tidak sedikit, dari sekularisme hingga pluralisme dan teknologi. Namun, di setiap tantangan selalu ada peluang untuk pembaruan, inovasi, dan revitalisasi. Masa depan gerejani akan dibentuk oleh gereja-gereja yang relevan, berdampak, setia pada Alkitab, inovatif dalam pelayanan, dan yang terutama, berpegang teguh pada kasih dan kebenaran Kristus.

Maka, ketika kita menggunakan kata "gerejani," marilah kita mengingat kekayaan makna yang terkandung di dalamnya. Biarlah ini menjadi pengingat akan panggilan agung gereja dan tanggung jawab setiap orang percaya untuk menjadi bagian yang hidup dari ekspresi gerejani Tuhan di dunia. Karena pada akhirnya, gerejani adalah tentang Tuhan yang bekerja melalui umat-Nya untuk membawa Kerajaan-Nya ke dalam dunia yang membutuhkan.

Semoga artikel ini memberikan pemahaman yang lebih dalam dan menginspirasi kita semua untuk lebih menghargai dan terlibat dalam aspek-aspek gerejani dalam kehidupan kita.