Dalam khazanah bahasa dan budaya Nusantara, kata “bertitah” memiliki resonansi yang begitu mendalam, melampaui sekadar berbicara atau berucap. Ia merujuk pada sebuah aksi verbal yang sarat makna, dilakukan oleh seorang yang memiliki wibawa, otoritas, dan kebijaksanaan. Ketika seseorang bertitah, bukan hanya deretan kata yang terucap, melainkan sebuah pernyataan yang membawa dampak, menggariskan arah, dan seringkali menjadi fondasi bagi tatanan sosial, hukum, atau bahkan peradaban. Istilah ini sering dikaitkan dengan raja, sultan, pemimpin adat, atau individu yang dihormati karena kearifan dan posisi mereka. Titah adalah manifestasi dari pemikiran mendalam, pertimbangan cermat, dan tanggung jawab besar yang dipikul oleh penuturnya.
Sejak zaman dahulu kala, di berbagai kerajaan dan komunitas adat di seluruh kepulauan, seorang pemimpin yang bertitah adalah pemandangan yang lazim dan krusial. Titah bisa berbentuk perintah, fatwa, nasihat, atau bahkan ramalan. Kekuatan sebuah titah terletak pada otoritas moral dan legal yang dimiliki oleh pemberinya, serta kepercayaan penuh dari mereka yang mendengarkan. Ia bukan sekadar komunikasi satu arah; melainkan sebuah ikatan tak terlihat antara pemimpin dan rakyatnya, antara masa lalu yang diwariskan dan masa depan yang dirancang. Artikel ini akan menyelami lebih jauh makna, sejarah, filosofi, dan relevansi "bertitah" dalam konteks masa kini, mengungkap mengapa gema dari kata-kata yang diucapkan dengan wibawa ini tetap relevan dan powerful hingga detik ini.
Menelusuri jejak historis "bertitah" membawa kita jauh ke masa lampau, ke era di mana tatanan sosial masih sangat sederhana namun hierarki kekuasaan dan kearifan sudah terbentuk. Di komunitas-komunitas awal, para tetua suku atau dukun seringkali bertitah untuk memberikan petunjuk tentang perburuan, pertanian, ritual, atau penyelesaian konflik. Titah mereka adalah hukum tak tertulis yang ditaati, sebuah cerminan dari pengalaman hidup dan kedekatan mereka dengan alam serta kekuatan spiritual yang dipercaya.
Seiring berkembangnya peradaban dan munculnya kerajaan-kerajaan, konsep bertitah semakin terinstitusionalisasi. Raja atau sultan adalah pusat kekuasaan, dan titah mereka memiliki bobot yang absolut. Dari istana-istana megah di Jawa, Sumatera, Kalimantan, hingga Sulawesi, para penguasa bertitah untuk menetapkan undang-undang, mengeluarkan dekrit perang atau damai, mengumumkan pembangunan besar, atau bahkan mengatur detail kecil kehidupan rakyatnya. Titah ini sering kali dituliskan pada prasasti, lontar, atau dihafalkan dan diwariskan secara lisan, menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah dan identitas suatu bangsa.
Dalam mitologi dan legenda, titah bahkan memiliki dimensi ilahi. Dewa-dewi bertitah melalui perantara, memberikan wahyu atau ramalan yang membentuk takdir alam semesta dan manusia. Kisah-kisah epik sering menggambarkan bagaimana sebuah titah dewa bisa mengubah jalannya sejarah, menimbulkan bencana atau membawa berkah. Ini menunjukkan betapa kuatnya persepsi masyarakat tentang kekuatan kata-kata yang diucapkan oleh entitas yang lebih tinggi, yang sarat dengan kekuasaan dan kebenaran mutlak. Oleh karena itu, bagi rakyat jelata, titah seorang pemimpin bukan sekadar ucapan biasa; ia adalah manifestasi kehendak yang lebih besar, sesuatu yang harus ditaati dengan penuh penghormatan dan keyakinan.
Sebuah titah yang sejati tidak lahir dari kekosongan atau emosi sesaat. Ada filosofi mendalam yang melatarbelakangi setiap kata yang diucapkan ketika seorang pemimpin bertitah. Filosofi ini bertumpu pada setidaknya tiga pilar utama: kebijaksanaan, keadilan, dan visi.
Pilar pertama dan terpenting adalah kebijaksanaan. Seorang yang bertitah dengan bobot haruslah seorang yang bijaksana, yang telah melalui berbagai pengalaman hidup, merenungi berbagai persoalan, dan mampu melihat jauh ke depan melampaui batas pandangan umum. Kebijaksanaan memungkinkan pemimpin untuk memahami akar masalah, memperkirakan konsekuensi dari setiap keputusan, dan memilih jalan terbaik yang tidak hanya menguntungkan saat ini tetapi juga berkesinambungan di masa depan. Titah yang bijaksana adalah yang mampu menenangkan kegelisahan, memberikan solusi konkret, dan menginspirasi kepercayaan. Tanpa kebijaksanaan, titah hanyalah omong kosong yang tak berbobot, atau lebih buruk lagi, bisa membawa kehancuran.
Proses bertitah yang bijaksana seringkali melibatkan konsultasi dengan para penasihat, ulama, cendekiawan, dan bahkan perenungan spiritual. Pemimpin tidak serta-merta bertitah begitu saja. Mereka mempertimbangkan setiap aspek, menimbang baik dan buruk, mencari keseimbangan antara berbagai kepentingan. Ini adalah beban berat yang harus ditanggung, sebab sebuah titah yang salah bisa memiliki implikasi yang luas dan merugikan seluruh komunitas. Oleh karena itu, rakyat percaya bahwa ketika pemimpin mereka bertitah, itu adalah hasil dari puncak pemikiran dan pengalaman yang telah teruji.
Pilar kedua adalah keadilan. Sebuah titah yang adil adalah fondasi bagi masyarakat yang kokoh dan harmonis. Keadilan dalam titah berarti bahwa setiap keputusan atau perintah yang dikeluarkan haruslah mempertimbangkan hak-hak dan kesejahteraan semua pihak, tanpa memandang status sosial, kekayaan, atau kekuatan. Titah yang adil akan menciptakan rasa aman dan kepercayaan di antara rakyat, bahwa pemimpin mereka bertitah demi kebaikan bersama, bukan untuk kepentingan pribadi atau golongan tertentu.
Keadilan dalam konteks bertitah juga berarti tidak pandang bulu dalam menegakkan hukum dan aturan. Jika seorang raja bertitah bahwa pencurian adalah kejahatan yang harus dihukum, maka hukuman itu harus berlaku bagi siapapun yang melanggarnya, termasuk kerabat dekat sang raja sekalipun. Diskriminasi atau keberpihakan akan merusak legitimasi titah dan mengikis kepercayaan publik. Sebaliknya, titah yang secara konsisten mencerminkan keadilan akan memperkuat otoritas pemimpin dan stabilitas kerajaan atau komunitas.
Pilar ketiga adalah visi. Seorang pemimpin yang bertitah tidak hanya menyelesaikan masalah masa kini, tetapi juga menggariskan arah untuk masa depan. Titah seringkali berisi tujuan jangka panjang, cita-cita yang harus dicapai, atau rencana strategis untuk kemajuan. Visi inilah yang memberikan harapan, motivasi, dan arah bagi rakyat untuk bergerak maju. Tanpa visi, sebuah komunitas akan berjalan tanpa tujuan, mudah tersesat dalam ketidakpastian.
Visi yang terkandung dalam titah bisa berupa pembangunan kota baru, ekspansi wilayah, pengembangan ilmu pengetahuan, atau penciptaan masyarakat yang lebih sejahtera. Ketika seorang pemimpin bertitah dengan visi yang jelas, ia bukan hanya memberikan instruksi, tetapi juga membangun narasi tentang masa depan yang lebih baik, yang mampu menyatukan dan menggerakkan seluruh elemen masyarakat. Rakyat akan merasa menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar dari diri mereka sendiri, sebuah warisan yang akan mereka bangun bersama sesuai dengan titah pemimpin.
Konsep bertitah tidak terbatas pada satu bidang saja, melainkan merambah ke berbagai aspek kehidupan sosial, politik, dan budaya. Kekuatan kata-kata yang diucapkan dengan wibawa ini mampu membentuk berbagai ranah eksistensi manusia.
Ini adalah ranah paling gamblang di mana seorang pemimpin bertitah. Raja atau penguasa mengeluarkan titah berupa undang-undang, dekrit, atau peraturan yang menjadi dasar bagi tata kelola negara. Ketika seorang raja bertitah, "Maka hukum pun ditegakkan," ini menunjukkan kekuatan absolut dari ucapannya dalam membentuk sistem yudisial. Titah-titah ini mengatur mulai dari pajak, perdagangan, pertahanan, hingga cara hidup bermasyarakat. Tanpa titah yang jelas dan tegas, sebuah kerajaan akan terjebak dalam anarki dan kekacauan. Para punggawa, hakim, dan prajurit adalah pelaksana dari titah ini, memastikan bahwa setiap kata yang keluar dari mulut pemimpin ditaati dan diimplementasikan dengan benar. Titah dalam ranah ini bukan sekadar alat kontrol, tetapi juga merupakan pernyataan visi tentang bagaimana sebuah masyarakat harus diatur agar mencapai kemakmuran dan ketertiban. Contoh klasik adalah titah pendirian sebuah imperium, di mana sang raja bertitah untuk menyatukan wilayah-wilayah yang berbeda di bawah satu panji, membangun infrastruktur, dan menetapkan sistem administrasi yang efisien.
Dalam konteks modern, meskipun kita tidak lagi menggunakan kata "bertitah" secara harfiah untuk presiden atau perdana menteri, esensi dari pernyataan otoritatif seorang kepala negara yang mengeluarkan kebijakan, undang-undang, atau arahan penting, sesungguhnya masih mencerminkan semangat bertitah. Keputusan strategis yang diumumkan oleh pemimpin tertinggi negara memiliki bobot yang sama dalam membentuk arah bangsa dan kehidupan warga negaranya.
Tidak hanya di ranah politik, para guru, orang tua, dan pemuka agama juga sering bertitah, terutama dalam konteks pendidikan dan pembentukan moral. "Orang tua bertitah tentang adab," adalah ungkapan yang menggambarkan bagaimana nilai-nilai luhur diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Titah di sini bukan berupa perintah keras, melainkan nasihat bijak, petuah, dan ajaran yang membentuk karakter, etika, dan cara pandang seseorang.
Para pendidik yang bertitah mengajarkan ilmu pengetahuan, keterampilan hidup, dan pentingnya budi pekerti. Pemuka agama bertitah tentang ajaran-ajaran spiritual, moralitas, dan jalan menuju kebaikan. Titah-titah ini mungkin tidak memiliki sanksi hukum, tetapi memiliki kekuatan moral yang besar, membentuk kesadaran kolektif tentang apa yang benar dan salah, baik dan buruk. Mereka menanamkan benih-benih kebaikan dan kebijaksanaan dalam jiwa individu, memastikan bahwa nilai-nilai inti sebuah masyarakat tetap terjaga dan berkembang. Banyak kearifan lokal, peribahasa, dan cerita rakyat adalah bentuk-bentuk titah yang disarikan dari pengalaman para leluhur untuk mendidik anak cucu.
Dalam situasi genting seperti perang atau ancaman konflik, seorang panglima atau pemimpin militer harus bertitah dengan tegas untuk memimpin pasukannya. Titah di medan perang adalah perintah yang tidak boleh dibantah, instruksi yang harus dijalankan dengan presisi, seringkali menentukan hidup dan mati ribuan prajurit. Titah sang panglima bisa membakar semangat juang, menyusun strategi yang mematikan, atau bahkan memerintahkan mundur untuk menghindari kehancuran total.
Di sisi lain, ketika perdamaian perlu dicapai, pemimpin juga bertitah untuk mengakhiri perselisihan, menawarkan solusi rekonsiliasi, atau menyerukan gencatan senjata. Titah untuk damai ini membutuhkan keberanian yang sama besarnya, jika tidak lebih, daripada titah untuk perang. Ini adalah momen ketika seorang pemimpin menggunakan wibawanya untuk meredakan ketegangan dan membangun jembatan di atas jurang permusuhan. Titah perdamaian seringkali mengandung janji-janji masa depan yang lebih baik, upaya untuk menyembuhkan luka lama, dan komitmen untuk hidup berdampingan.
Dalam banyak komunitas adat, pemimpin adat atau kepala suku memiliki peran sentral dalam menjaga harmoni dan ketertiban. Mereka bertitah untuk menyelesaikan sengketa antar keluarga, mengatur penggunaan sumber daya alam, atau memimpin upacara adat. Titah mereka adalah penengah, perekat, dan penjaga tradisi. Ini adalah titah yang seringkali tidak tertulis, tetapi diwariskan secara lisan dari generasi ke generasi dan dipegang teguh oleh seluruh anggota komunitas.
Titah dalam ranah sosial ini seringkali mencakup aspek-aspek kehidupan sehari-hari yang sangat personal, seperti pernikahan, warisan, atau pelanggaran etika. Pemimpin adat yang bertitah dalam situasi ini bertindak sebagai hakim, mediator, dan penasihat spiritual, memastikan bahwa keputusan yang diambil sesuai dengan adat istiadat dan membawa kedamaian bagi semua pihak. Kekuatan titah adat terletak pada legitimasi kolektif dan rasa hormat yang mendalam terhadap para leluhur serta nilai-nilai yang mereka wariskan.
Tidak semua ucapan seorang pemimpin dapat dianggap sebagai titah yang abadi. Sebuah titah yang mampu mengukir sejarah dan tetap relevan lintas zaman memiliki karakteristik khusus. Ini adalah anatomi dari sebuah titah yang benar-benar powerful dan berdaya tahan.
Sebuah titah yang abadi haruslah disampaikan dengan kejelasan yang mutlak dan ketegasan yang tak terbantahkan. Tidak ada ruang untuk interpretasi ganda, kebingungan, atau keraguan. Ketika seorang pemimpin bertitah, kata-katanya harus ringkas, lugas, dan mudah dipahami oleh semua lapisan masyarakat. Ketegasan ini bukan berarti otoriter, melainkan mencerminkan keyakinan penuh dari sang pemimpin terhadap apa yang diucapkannya. Sebuah titah yang samar atau berbelit-belit akan kehilangan bobot dan kredibilitasnya, bahkan bisa menimbulkan kesalahpahaman yang berujung pada kekacauan.
Kejelasan dalam titah memastikan bahwa instruksi atau pesan dapat dilaksanakan secara efektif. Ketegasan memberikan otoritas dan menunjukkan bahwa ada konsekuensi serius jika titah tersebut diabaikan. Ini adalah fondasi dari komunikasi kepemimpinan yang efektif, di mana setiap kata memiliki tujuan dan kekuatan untuk menggerakkan.
Meskipun sebuah titah mungkin diucapkan di masa lalu, titah yang abadi adalah yang mampu melampaui batasan waktu dan tetap relevan bagi generasi berikutnya. Ini bukan berarti titah tersebut tidak berubah, tetapi inti dari kebijaksanaan atau nilai yang dikandungnya tetap berlaku dalam berbagai konteks. Misalnya, titah tentang pentingnya kejujuran atau kerja keras akan selalu relevan, meskipun cara penerapannya mungkin berbeda di setiap zaman.
Kesesuaian dengan zaman ini menunjukkan kedalaman visi dari sang pemimpin yang bertitah. Mereka mampu melihat prinsip-prinsip universal yang mendasari tatanan masyarakat dan merumuskannya dalam kata-kata yang timeless. Titah yang hanya relevan untuk sesaat akan segera terlupakan, tetapi titah yang abadi akan terus menjadi sumber inspirasi dan panduan.
Setiap titah memiliki dampak dan konsekuensi. Titah yang abadi adalah yang menciptakan perubahan signifikan, baik itu dalam bentuk kemajuan, perdamaian, atau bahkan tantangan baru. Konsekuensi dari sebuah titah bisa bersifat langsung dan segera terlihat, atau bisa juga meresap secara perlahan dan membentuk tatanan masyarakat dalam jangka panjang. Seorang pemimpin yang bertitah selalu sadar akan potensi dampak dari setiap kata yang keluar dari bibirnya.
Dampak ini bisa positif, seperti titah pembangunan jembatan yang menghubungkan dua daerah terpencil, membuka akses ekonomi dan sosial. Atau bisa juga negatif, jika sebuah titah menimbulkan perpecahan atau ketidakadilan. Namun, terlepas dari sifatnya, sebuah titah yang dikenang adalah yang meninggalkan jejak nyata, bukan hanya dalam sejarah, tetapi juga dalam kehidupan orang banyak. Tanggung jawab untuk mempertimbangkan dampak ini adalah bagian integral dari proses bertitah.
Akhirnya, sebuah titah menjadi abadi karena ia hidup dalam memori kolektif masyarakat. Ia diceritakan ulang, dikutip dalam pidato, diabadikan dalam karya seni, atau menjadi bagian dari pendidikan informal. Proses pewarisan ini penting agar titah tidak hilang ditelan zaman. Kisah-kisah tentang bagaimana seorang pemimpin bertitah, apa yang ia ucapkan, dan bagaimana dampaknya, menjadi bagian dari identitas budaya suatu bangsa.
Memori kolektif ini bukan hanya sekadar ingatan, melainkan juga interpretasi dan rekontekstualisasi titah tersebut oleh generasi-generasi selanjutnya. Melalui proses ini, titah tetap relevan dan terus menginspirasi. Sebuah titah yang dilupakan, betapa pun bijaksananya, akan kehilangan kekuatannya. Oleh karena itu, kemampuan titah untuk melekat dalam kesadaran masyarakat adalah indikator kunci keabadiannya.
Untuk memahami lebih dalam kekuatan "bertitah", mari kita tengok beberapa narasi, baik fiktif maupun semi-fiktif, yang menggambarkan bagaimana titah seorang pemimpin dapat membentuk takdir dan mengukir sejarah di Nusantara Pusaka.
Dikisahkan di masa lampau, ketika gugusan pulau-pulau di Samudera Hindia masih terpecah belah dalam berbagai kerajaan kecil yang sering berperang satu sama lain, seorang Maharaja di tepian Musi, yang kelak dikenal sebagai Dapunta Hyang, bertitah. Titahnya tidak diucapkan dengan pedang di tangan, melainkan dengan kata-kata yang menggemakan visi tentang kemakmuran dan keamanan bersama. Ia bertitah tentang pentingnya persatuan maritim, bahwa kekuatan Nusantara terletak pada jalinan laut yang menghubungkan, bukan memisahkan.
Titahnya berbunyi, "Wahai rakyatku dan para raja-raja sekalian, dengarkanlah. Jika kita ingin gemilang, kita haruslah satu. Laut yang membentang luas ini bukanlah pemisah, melainkan jembatan bagi kita. Mari bersatu dalam perdagangan, bersatu dalam ilmu, bersatu dalam pertahanan. Maka, kekayaan akan mengalir bagai sungai tak berujung, dan kedamaian akan menaungi negeri ini. Barangsiapa yang membangkang titah ini, akan menghadapi kegelapan. Barangsiapa yang mengikuti, akan melihat cahaya baru."
Kata-kata ini, yang kemudian menjadi Titah Sumpah Kedatuan, menginspirasi para pemimpin kecil untuk bergabung, menciptakan kekuatan maritim yang tak tertandingi, dan melahirkan Kerajaan Sriwijaya yang mahsyur. Rakyat merespons titah tersebut dengan semangat bahu-membahu, membangun armada dagang yang kuat, dan menjadikan Sriwijaya pusat peradaban dan perdagangan global. Titah itu tidak hanya menyatukan wilayah, tetapi juga menyatukan mimpi dan asa ribuan jiwa.
Di suatu masa, di puncak kejayaan Majapahit, terjadi kekeringan panjang yang membuat rakyat jelata menderita. Sumber air mengering, panen gagal, dan kelaparan mengancam. Beberapa bangsawan dan pejabat tinggi justru menimbun makanan dan menjualnya dengan harga selangit, memperparah penderitaan rakyat. Mendengar kabar ini, Prabu Hayam Wuruk, sang Raja yang bijaksana, sangat murka. Ia kemudian bertitah di hadapan para pembesar kerajaan.
"Adalah nista dan aib bagi sebuah kerajaan, jika rakyatnya menderita sementara para penguasanya berfoya-foya. Sumber daya alam adalah milik bersama, anugerah dari Yang Maha Kuasa. Siapapun yang menimbun dan mengambil keuntungan dari penderitaan rakyat, tanpa memandang pangkat dan kekayaan, akan dihukum berat. Tanah ini adalah milik kita semua, dan kemakmuran haruslah dirasakan oleh setiap insan. Aku bertitah, segera distribusikanlah bahan pangan yang tersimpan, bukalah gudang-gudang kerajaan, dan carilah solusi air untuk rakyat. Siapapun yang menghalangi titah ini, akan merasakan murkaku."
Titah keadilan ini mengguncang istana. Para bangsawan yang serakah segera menghentikan praktik penimbunan, dan kerajaan mengerahkan segala daya untuk membantu rakyat. Saluran air kuno diperbaiki, bantuan pangan disalurkan, dan upaya pencarian sumber air baru digalakkan. Perlahan tapi pasti, krisis teratasi. Titah Hayam Wuruk tentang keadilan menjadi legenda, menunjukkan bahwa kekuatan sejati seorang raja terletak pada kepeduliannya terhadap rakyat dan keberaniannya untuk menegakkan kebenaran, bahkan di hadapan para kerabatnya sendiri.
Dalam sejarah perjuangan bangsa Batak melawan penjajah, tersebutlah seorang raja spiritual, Sisingamangaraja. Di tengah tekanan dan invasi yang tak henti, terjadi perpecahan di antara suku-suku Batak. Beberapa memilih bersekutu dengan penjajah demi keuntungan sesaat, sementara yang lain teguh melawan. Melihat perpecahan yang melemahkan bangsanya, Sisingamangaraja bertitah dalam sebuah pertemuan besar para raja dan datu.
"Wahai anak-anakku sekalian, para raja dan pemimpin marga. Lihatlah musuh di depan mata kita. Ia ingin memecah belah kita agar mudah ditaklukkan. Janganlah kita saling menghunus pedang antar sesama. Darah yang tumpah dari anak bangsa sendiri adalah air mata para leluhur. Aku bertitah, bersatulah kembali! Lupakanlah perselisihan lama. Fokuslah pada musuh yang ingin merampas tanah dan kebebasan kita. Mari kita berjuang bersama, dalam satu suara, satu hati. Jika kita bersatu, tidak ada kekuatan yang bisa mengalahkan kita. Jika kita terpecah, kita akan lenyap ditelan sejarah."
Titah Sisingamangaraja, yang disampaikan dengan kharisma dan kekuatan spiritual, berhasil menyatukan kembali sebagian besar suku-suku Batak. Meskipun perjuangan tetap panjang dan berat, titah perdamaian dan persatuan itu menjadi fondasi bagi semangat perlawanan yang tak pernah padam. Titah itu tidak hanya menyerukan perdamaian internal, tetapi juga membakar semangat nasionalisme dan keberanian untuk mempertahankan martabat bangsa.
Kisah-kisah ini, dan banyak lagi yang lain dari berbagai penjuru Nusantara, menunjukkan bahwa "bertitah" bukan sekadar tindakan verbal, melainkan sebuah ritual kepemimpinan yang membentuk karakter bangsa, menegakkan keadilan, menyatukan yang terpecah, dan memberikan visi tentang masa depan yang lebih baik. Gema titah-titah ini terus hidup dalam ingatan kolektif, menjadi sumber pelajaran dan inspirasi.
Di era modern yang serba cepat dan demokratis, konsep "raja bertitah" mungkin terdengar usang atau bahkan tidak relevan. Kita hidup di tengah sistem pemerintahan republik, di mana kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat, bukan di tangan satu individu. Namun, esensi dari "bertitah" – yaitu mengeluarkan pernyataan dengan otoritas, kebijaksanaan, dan tanggung jawab – sesungguhnya masih sangat terasa, meskipun dalam bentuk yang berbeda.
Pemimpin negara, seperti presiden atau perdana menteri, ketika menyampaikan pidato kenegaraan, mengeluarkan kebijakan penting, atau mengumumkan keputusan strategis, secara substansial sedang menjalankan peran serupa dengan seorang raja yang bertitah. Meskipun kata-kata mereka diuji oleh parlemen, dikritik oleh oposisi, dan dievaluasi oleh publik, bobot dari pernyataan mereka tetap sangat besar. Sebuah kebijakan ekonomi yang diumumkan oleh presiden dapat memengaruhi jutaan pekerjaan; sebuah pernyataan diplomatik dapat mengubah arah hubungan internasional.
Di ranah korporasi, seorang CEO yang bertitah tentang visi perusahaan untuk lima tahun ke depan, atau seorang manajer yang bertitah tentang strategi baru untuk timnya, juga menunjukkan kemiripan. Kata-kata mereka memiliki otoritas untuk menggerakkan sumber daya, memotivasi karyawan, dan menetapkan arah bisnis. Tentu saja, "titah" mereka tidak bersifat absolut seperti raja, tetapi tetap memerlukan kebijaksanaan, kejelasan, dan visi agar dapat diikuti dan berhasil.
Media dan teknologi telah mengubah cara "titah" disampaikan dan diterima. Jika dulu titah disampaikan dari mimbar istana dan disebarkan oleh utusan, kini sebuah pernyataan dapat menyebar ke seluruh dunia dalam hitungan detik melalui internet dan media sosial. Ini memberikan kekuatan yang luar biasa, namun juga tantangan baru. Kecepatan informasi membuat setiap titah, atau pernyataan penting, harus dipertimbangkan dengan sangat matang, karena dampaknya bisa instan dan global.
Bahkan dalam skala yang lebih kecil, di dalam keluarga atau komunitas, peran kepala keluarga atau tokoh masyarakat yang bertitah tentang nilai-nilai, nasihat, atau arah tetap relevan. Mereka mungkin tidak lagi disebut "raja", tetapi otoritas moral dan kearifan yang mereka tunjukkan saat berbicara memiliki pengaruh yang signifikan dalam membentuk karakter dan pandangan anggota komunitasnya.
Jadi, meskipun bentuk dan konteksnya telah berevolusi, esensi dari bertitah — sebagai tindakan verbal yang penuh wibawa, kebijaksanaan, dan tanggung jawab untuk mengarahkan dan membentuk — tetap menjadi pilar penting dalam setiap masyarakat, baik yang tradisional maupun modern. Ia mengingatkan kita bahwa kata-kata yang diucapkan oleh seorang pemimpin, dengan segala otoritas dan integritas, memiliki kekuatan untuk mengukir sejarah dan memengaruhi nasib banyak orang.
Meskipun esensi "bertitah" tetap relevan, era modern membawa tantangan tersendiri bagi siapapun yang memegang posisi untuk mengeluarkan pernyataan berbobot dan berwibawa. Kompleksitas masyarakat saat ini menuntut pendekatan yang lebih cermat dan adaptif.
Di tengah lautan informasi yang tak terbatas, di mana setiap detik ribuan pesan dan berita baru muncul, bagaimana sebuah "titah" dapat menonjol dan menarik perhatian? Dulu, titah seorang raja adalah satu-satunya sumber informasi penting. Kini, pemimpin harus bersaing dengan jutaan suara lain. Ini menuntut kejelasan yang lebih tinggi, penyampaian yang strategis, dan kemampuan untuk memotong kebisingan informasi agar pesan inti dapat sampai kepada khalayak. Sebuah titah harus dirumuskan dengan sangat presisi dan dikomunikasikan melalui berbagai saluran untuk memastikan jangkauannya maksimal.
Masyarakat modern cenderung lebih skeptis terhadap otoritas. Mereka tidak lagi menerima begitu saja setiap kata yang keluar dari pemimpin, melainkan mempertanyakannya, menganalisisnya, dan mengujinya terhadap fakta. Ini berarti bahwa setiap "titah" harus didukung oleh data, argumen yang kuat, dan yang terpenting, oleh rekam jejak kepercayaan dari sang pemimpin. Legitimasi sebuah titah tidak lagi hanya berasal dari posisi, tetapi juga dari kredibilitas dan integritas personal sang penutur. Jika seorang pemimpin sering bertitah tanpa konsistensi atau dengan janji kosong, maka titah-titah berikutnya akan kehilangan daya dan bobotnya.
Dunia berubah dengan sangat cepat. Teknologi, ekonomi global, dan dinamika sosial bergeser dalam hitungan bulan, bukan lagi tahun. Ini menuntut "titah" yang adaptif dan fleksibel. Sebuah kebijakan yang sempurna hari ini mungkin sudah usang besok. Pemimpin harus mampu bertitah dengan pemahaman bahwa titah mereka mungkin perlu direvisi, diperbarui, atau bahkan diganti jika kondisi berubah drastis. Ini berbeda dengan titah kuno yang seringkali dimaksudkan untuk bertahan selamanya. Kemampuan untuk merespons perubahan tanpa kehilangan inti visi adalah kunci.
Masyarakat modern sangat terfragmentasi. Ada beragam kelompok dengan nilai, kepentingan, dan cara pandang yang berbeda. Seorang pemimpin yang bertitah harus mampu merumuskan pesan yang bisa diterima dan dipahami oleh segmen audiens yang berbeda ini, tanpa mengorbankan konsistensi. Ini seringkali melibatkan seni komunikasi yang canggih, memahami psikologi massa, dan menggunakan bahasa yang inklusif. Titah yang hanya berbicara pada satu kelompok saja akan gagal menyatukan masyarakat yang beragam.
Di era digital, setiap kata yang diucapkan atau ditulis oleh seorang pemimpin dapat direkam, diarsipkan, dan disebarkan secara luas tanpa batas waktu. Sebuah "titah" yang dikeluarkan melalui media sosial atau platform digital lainnya akan meninggalkan jejak yang abadi. Ini menuntut etika dan tanggung jawab yang lebih besar. Pemimpin harus sadar bahwa setiap "titah" mereka akan dianalisis, diperdebatkan, dan menjadi bagian dari catatan publik yang tak terhapuskan. Oleh karena itu, penting untuk bertitah dengan pertimbangan matang, bukan karena impuls sesaat.
Menghadapi tantangan-tantangan ini, peran "bertitah" seorang pemimpin di era modern menjadi semakin kompleks namun juga semakin penting. Ia menuntut tidak hanya kebijaksanaan dan otoritas, tetapi juga kecerdasan komunikasi, kepekaan terhadap perubahan, dan komitmen yang tak tergoyahkan terhadap integritas dan tanggung jawab.
Dari gua-gua prasejarah hingga istana-istana megah, dari tetua suku hingga presiden modern, konsep "bertitah" telah mengukir jejak yang tak terhapuskan dalam sejarah peradaban manusia, khususnya di Nusantara. Ia bukan sekadar tindakan berbicara, melainkan sebuah manifestasi dari kebijaksanaan, otoritas, keadilan, dan visi yang mendalam. Ketika seseorang bertitah, ia tidak hanya mengeluarkan kata-kata, tetapi juga memahat masa depan, membentuk karakter bangsa, dan menegakkan tatanan yang diyakini benar.
Titah yang sejati adalah jembatan antara masa lalu yang dihormati, masa kini yang dihadapi, dan masa depan yang dicita-citakan. Ia membawa pelajaran dari leluhur, memberikan panduan untuk hari ini, dan menginspirasi harapan untuk esok. Kekuatan sebuah titah terletak pada kemampuannya untuk menyatukan hati dan pikiran, untuk menggerakkan ribuan orang menuju tujuan bersama, dan untuk meninggalkan warisan yang tak lekang oleh waktu. Titah yang bijaksana dan adil akan selalu menemukan tempat dalam memori kolektif, menjadi sumber inspirasi dan legitimasi bagi generasi-generasi yang akan datang.
Meskipun bentuk dan konteks "bertitah" telah beradaptasi dengan zaman, esensi intinya tetap abadi: yaitu tanggung jawab besar yang diemban oleh mereka yang memiliki kuasa untuk berbicara, dan dampak mendalam dari setiap kata yang diucapkan dengan wibawa dan integritas. Bagi pemimpin masa kini, memahami makna mendalam dari bertitah adalah pengingat akan pentingnya setiap pernyataan, setiap kebijakan, dan setiap janji yang mereka sampaikan. Semoga gema kebijaksanaan dari titah-titah di masa lalu terus membimbing kita menuju masa depan yang lebih cerah dan harmonis, mengingatkan kita akan kekuatan kata-kata yang diucapkan dengan penuh makna.