Bertahkim: Solusi Konflik dalam Hukum Islam dan Kehidupan
Dalam setiap tatanan masyarakat, konflik adalah keniscayaan yang tak terhindarkan. Baik itu perselisihan personal, sengketa keluarga, maupun perseteruan bisnis, mekanisme penyelesaian konflik memegang peranan krusial dalam menjaga keharmonisan dan keadilan. Islam, sebagai agama yang komprehensif, menyediakan berbagai jalan untuk mencapai tujuan ini, salah satunya adalah melalui konsep bertahkim. Bertahkim, atau arbitrase dalam istilah modern, adalah proses penyelesaian sengketa di luar jalur pengadilan resmi, dengan menunjuk pihak ketiga yang netral sebagai penengah atau pemutus perkara. Konsep ini berakar kuat dalam ajaran Al-Qur'an dan Sunnah, mencerminkan kebijaksanaan Islam dalam memfasilitasi rekonsiliasi dan keadilan dengan cara yang lebih fleksibel, cepat, dan seringkali lebih personal.
Artikel ini akan mengupas tuntas seluk-beluk bertahkim, mulai dari definisi etimologis dan terminologisnya, dasar hukum yang melandasi, syarat-syarat bagi pihak yang bertikai maupun hakam (arbiter), prosedur pelaksanaannya, hingga hikmah dan keutamaan yang terkandung di dalamnya. Kita juga akan membahas perbandingan bertahkim dengan sistem peradilan formal, tantangan yang mungkin dihadapi, serta relevansinya dalam konteks kehidupan modern. Pemahaman mendalam tentang bertahkim diharapkan dapat membuka cakrawala baru tentang bagaimana prinsip-prinsip Islam menawarkan solusi yang komprehensif dan berkelanjutan bagi berbagai bentuk perselisihan yang muncul dalam masyarakat.
Definisi Bertahkim: Makna dan Implikasinya
Etimologi dan Terminologi
Secara etimologi, kata bertahkim berasal dari bahasa Arab hukm (حُكْمٌ) yang berarti putusan, keputusan, kebijaksanaan, atau arbitrase. Dari akar kata yang sama juga muncul istilah hakam (حَكَمٌ) yang merujuk pada orang yang memberikan putusan atau arbiter, dan tahkim (تحكيم) sebagai proses atau tindakan menunjuk hakam. Dalam konteks syariat Islam, tahkim secara spesifik mengacu pada tindakan para pihak yang bersengketa untuk menyerahkan penyelesaian permasalahan mereka kepada seseorang atau sekelompok orang yang mereka sepakati, agar orang tersebut memutuskan perkara di antara mereka.
Definisi terminologi bertahkim menurut para ulama memiliki nuansa yang beragam namun esensinya tetap sama. Imam Al-Mawardi, seorang ulama terkemuka dalam fiqh Syafi'i, mendefinisikan tahkim sebagai "penyerahan sengketa oleh dua pihak kepada seseorang yang memiliki kualifikasi untuk memberikan fatwa dan keputusan, untuk memutuskan di antara mereka." Definisi ini menyoroti aspek kesepakatan dan kualifikasi arbiter. Sementara itu, ulama lain menekankan bahwa tahkim adalah "menjadikan seseorang sebagai hakam yang akan memutus perselisihan antara dua pihak yang bersengketa, dengan sukarela dan ridha dari kedua belah pihak." Penekanan pada kerelaan adalah kunci fundamental dalam bertahkim, membedakannya dari yudikasi pengadilan formal yang memiliki otoritas memaksa.
Implikasi dari definisi ini sangatlah mendalam. Pertama, bertahkim menempatkan kepercayaan pada individu atau pihak yang ditunjuk untuk berlaku adil dan bijaksana. Kedua, ia menekankan otonomi para pihak dalam memilih jalan penyelesaian sengketa mereka, suatu prinsip yang sangat dihargai dalam Islam selama tidak melanggar syariat. Ketiga, bertahkim secara implisit mengakui bahwa tidak semua sengketa harus diselesaikan melalui birokrasi peradilan yang mungkin kaku dan berlarut-larut. Ia menawarkan jalur alternatif yang lebih efisien dan personal, terutama untuk menjaga hubungan baik di antara para pihak.
Bertahkim dalam Konteks Islam
Bertahkim dalam Islam bukan sekadar metode penyelesaian sengketa, melainkan manifestasi dari nilai-nilai luhur seperti keadilan, rekonsiliasi (islah), persaudaraan (ukhuwah), dan kepatuhan terhadap syariat. Islam mendorong umatnya untuk menjaga keharmonisan dan menghindari perselisihan. Namun, ketika konflik tak terhindarkan, Islam menganjurkan untuk mencari solusi yang paling baik dan paling mendekatkan pada perdamaian. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur'an:
"Jika kamu khawatir ada persengketaan antara keduanya (suami-istri), maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal." (QS. An-Nisa: 35)
Ayat ini adalah dalil fundamental mengenai bertahkim, khususnya dalam konteks sengketa rumah tangga. Namun, para ulama sepakat bahwa prinsip bertahkim dapat diperluas untuk berbagai jenis sengketa lainnya, selama tidak bertentangan dengan prinsip dasar syariat. Ayat ini tidak hanya memerintahkan penunjukan hakam, tetapi juga menekankan niat baik (ishlah) dari para hakam dan janji pertolongan Allah bagi mereka yang mencari perbaikan. Ini menunjukkan bahwa bertahkim dalam Islam bukan hanya tentang mendapatkan putusan, tetapi juga tentang upaya rekonsiliasi dan pembangunan kembali hubungan yang rusak.
Selain ayat di atas, banyak Hadits Nabi Muhammad SAW yang menunjukkan praktik tahkim, baik yang dilakukan oleh beliau sendiri maupun oleh para sahabat. Nabi SAW seringkali menjadi penengah dalam berbagai perselisihan, dan beliau juga mendorong umatnya untuk mencari penyelesaian damai. Misalnya, dalam kasus perselisihan mengenai air, Nabi SAW memerintahkan seorang sahabat untuk memberikan sebagian haknya kepada sahabat lainnya demi perdamaian. Ini menggambarkan bahwa nilai musyawarah dan penyelesaian damai di luar pengadilan formal telah menjadi bagian integral dari tradisi Islam sejak awal.
Dengan demikian, bertahkim adalah sebuah mekanisme yang dianjurkan dalam Islam untuk mencapai keadilan dan perdamaian, dengan melibatkan pihak ketiga yang dipercaya oleh para pihak. Ia menawarkan fleksibilitas yang lebih besar dibandingkan pengadilan formal, serta fokus yang kuat pada rekonsiliasi dan pemeliharaan hubungan baik di antara umat Muslim.
Dasar Hukum Bertahkim dalam Syariat Islam
Legitimasi bertahkim dalam Islam tidak hanya berasal dari kebutuhan praktis masyarakat, tetapi juga berakar kuat pada nash-nash syariat, yaitu Al-Qur'an, Sunnah Nabi Muhammad SAW, serta ijma' (konsensus) para ulama. Memahami dasar hukum ini penting untuk menegaskan posisi bertahkim sebagai sebuah instrumen yang sah dan direkomendasikan dalam penyelesaian sengketa.
Al-Qur'an sebagai Fondasi Utama
Ayat Al-Qur'an yang paling sering dijadikan dalil utama bagi legitimasi bertahkim adalah Surah An-Nisa ayat 35, yang telah disebutkan sebelumnya:
"Jika kamu khawatir ada persengketaan antara keduanya (suami-istri), maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal." (QS. An-Nisa: 35)
Ayat ini secara eksplisit memerintahkan praktik tahkim dalam kasus sengketa rumah tangga. Meskipun konteksnya spesifik pada suami-istri, para ulama telah bersepakat bahwa prinsip yang terkandung di dalamnya bersifat umum dan dapat diterapkan pada sengketa-sengketa lain yang sejenis. Hikmah di balik spesifikasi ini adalah bahwa sengketa rumah tangga seringkali melibatkan emosi yang mendalam dan berpotensi merusak ikatan keluarga yang sakral. Oleh karena itu, penunjukan hakam dari kedua belah pihak keluarga dapat membantu meredakan ketegangan, memahami akar masalah dari perspektif kedua belah pihak, dan mencari solusi yang lebih berorientasi pada rekonsiliasi daripada sekadar vonis hukum yang kaku.
Para mufassir dan fuqaha menjelaskan bahwa perintah dalam ayat ini bukan hanya anjuran, melainkan sebuah solusi yang diberikan Allah untuk menjaga keutuhan rumah tangga. Hakam yang ditunjuk memiliki peran ganda: sebagai penengah dan juga sebagai pemutus. Niat baik (ishlah) dari hakam adalah prasyarat keberhasilan proses ini, dan janji taufik dari Allah menunjukkan betapa pentingnya peran mereka dalam mencapai perdamaian.
Selain An-Nisa: 35, beberapa ulama juga merujuk pada ayat-ayat lain yang mendorong perdamaian dan keadilan, meskipun tidak secara eksplisit menyebutkan tahkim. Contohnya adalah firman Allah SWT:
"Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya." (QS. Al-Hujurat: 9)
Ayat ini menegaskan prinsip fundamental islah (perdamaian) dalam Islam, yang menjadi salah satu tujuan utama dari bertahkim. Bertahkim adalah salah satu metode konkret untuk melaksanakan perintah mendamaikan pihak-pihak yang bersengketa, baik dalam skala kecil maupun lebih besar.
Sunnah Nabi Muhammad SAW dan Praktik Para Sahabat
Praktik bertahkim juga sangat jelas terlihat dalam Sunnah Nabi Muhammad SAW. Rasulullah SAW sendiri seringkali bertindak sebagai hakam dalam berbagai perselisihan yang terjadi di antara para sahabat. Salah satu contoh terkenal adalah ketika terjadi perselisihan antara Zubair bin Awwam dan seorang Anshar mengenai hak pengairan kebun mereka. Keduanya datang kepada Rasulullah SAW untuk bertahkim. Nabi SAW memutuskan agar Zubair mengairi kebunnya terlebih dahulu, kemudian air dialirkan ke kebun tetangganya. Setelah Nabi SAW memberikan putusan, orang Anshar tersebut menunjukkan ketidakpuasannya, yang kemudian ditegur oleh Nabi SAW. Kisah ini menunjukkan bahwa: (1) Nabi SAW bertindak sebagai hakam; (2) putusan hakam harus diterima; dan (3) putusan hakam harus berdasarkan keadilan dan syariat.
Contoh lain yang sering disebut adalah ketika Ka'b bin Malik berselisih dengan Ibnu Abi Hadrad mengenai utang. Mereka datang kepada Nabi SAW, dan Nabi SAW memediasi penyelesaian dengan meminta Ka'b mengurangi sebagian piutangnya dan Ibnu Abi Hadrad segera melunasi sisanya. Ini menunjukkan bahwa tahkim juga bisa berupa mediasi yang berujung pada kompromi yang adil.
Setelah wafatnya Rasulullah SAW, praktik bertahkim terus dilanjutkan oleh para Khulafaur Rasyidin dan para sahabat lainnya. Khalifah Umar bin Khattab RA dikenal sering menunjuk hakam atau bertindak sendiri sebagai hakam untuk menyelesaikan sengketa. Bahkan, dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa para sahabat pernah bertahkim dalam masalah politik dan kepemimpinan, seperti dalam kasus perselisihan antara Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abi Sufyan, meskipun hasil dari tahkim ini menjadi perdebatan historis yang kompleks.
Praktik para sahabat ini menjadi bukti konkret bahwa tahkim bukan hanya teori, melainkan sebuah metode yang secara aktif digunakan dan diakui dalam masyarakat Islam awal untuk menjaga ketertiban dan keadilan.
Ijma' Ulama dan Qiyas
Selain dalil dari Al-Qur'an dan Sunnah, legitimasi bertahkim juga diperkuat oleh ijma' (konsensus) para ulama dari berbagai mazhab. Mayoritas ulama, dari zaman klasik hingga kontemporer, sepakat bahwa tahkim adalah sah dan diperbolehkan dalam syariat Islam. Mereka melihat tahkim sebagai jalan alternatif yang sah untuk mencapai keadilan, terutama dalam kasus-kasus yang tidak melibatkan hak-hak publik atau hukuman syariat (hudud) yang memerlukan otoritas negara.
Landasan qiyas (analogi) juga mendukung tahkim. Tahkim dianalogikan dengan akad-akad lain yang melibatkan kerelaan dan kesepakatan para pihak, seperti akad jual beli, sewa-menyewa, atau pernikahan. Sebagaimana seseorang berhak untuk memilih siapa yang akan menjadi wali nikahnya atau siapa yang akan menjadi saksinya, demikian pula ia berhak memilih siapa yang akan memutuskan sengketa di antara mereka, selama hakam tersebut memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh syariat.
Ijma' ini mengukuhkan bahwa bertahkim bukan hanya sebuah inovasi baru, melainkan bagian integral dari sistem hukum Islam yang kaya dan adaptif. Keberadaan ijma' menghilangkan keraguan tentang keabsahan tahkim dan menempatkannya sebagai salah satu instrumen penting dalam administrasi keadilan Islam.
Dengan demikian, dasar hukum bertahkim sangat kokoh, bersumber dari Al-Qur'an, Sunnah, dan ijma' ulama. Ini menunjukkan bahwa bertahkim bukan sekadar pilihan sekunder, melainkan sebuah mekanisme yang memiliki legitimasi syar'i yang kuat untuk penyelesaian sengketa, terutama dalam kasus-kasus di mana rekonsiliasi dan pemeliharaan hubungan baik menjadi prioritas.
Syarat-Syarat Bertahkim: Membangun Kepercayaan dan Keadilan
Agar proses bertahkim dapat berjalan efektif, adil, dan menghasilkan keputusan yang sah menurut syariat, terdapat serangkaian syarat yang harus dipenuhi, baik oleh para pihak yang bersengketa maupun oleh hakam (arbiter) yang ditunjuk. Syarat-syarat ini dirancang untuk memastikan bahwa keputusan yang diambil benar-benar mewakili keadilan dan diterima oleh semua pihak.
Syarat bagi Pihak yang Bersengketa (Muhakkimain)
Para pihak yang sepakat untuk bertahkim disebut muhakkimain. Ada beberapa syarat yang harus mereka penuhi:
- Kecakapan Hukum (Ahliyah): Para pihak harus memiliki kecakapan hukum penuh, artinya mereka adalah individu yang baligh (dewasa), berakal sehat, dan tidak berada di bawah paksaan atau tekanan. Mereka harus mampu melakukan tindakan hukum secara mandiri dan memahami konsekuensi dari keputusan bertahkim. Anak kecil, orang gila, atau orang yang dipaksa tidak sah untuk bertahkim karena tidak memiliki kehendak bebas yang mutlak.
- Kerelaan dan Kesepakatan (Ridha): Ini adalah syarat paling fundamental. Bertahkim harus dilakukan atas dasar kerelaan penuh dan kesepakatan dari semua pihak yang bersengketa. Tanpa kerelaan, proses tahkim menjadi tidak sah dan putusannya tidak mengikat. Kesepakatan ini mencakup kesepakatan untuk bertahkim, kesepakatan mengenai siapa yang menjadi hakam, dan kesepakatan untuk menerima putusan hakam.
- Hak untuk Bertahkim (Hak Berperkara): Perkara yang disengketakan haruslah perkara yang merupakan hak para pihak untuk menyelesaikannya melalui tahkim. Artinya, bukan perkara yang merupakan hak Allah SWT semata atau hak publik yang memerlukan putusan pengadilan negara. Misalnya, perkara hudud (hukuman cambuk, rajam, potong tangan) atau qisas tidak dapat diselesaikan melalui tahkim karena ia adalah hak negara untuk melaksanakannya demi kemaslahatan umum. Namun, perkara-perkara perdata seperti utang-piutang, sengketa jual beli, warisan, atau sengketa rumah tangga sangat cocok untuk tahkim.
- Tidak Ada Pembatasan Hukum: Para pihak tidak boleh dalam kondisi yang menghalangi mereka untuk melakukan tahkim, misalnya sedang dalam keadaan bangkrut yang menghalangi mereka mengelola harta, atau sedang dalam penjagaan hukum (hawr) yang membatasi tindakan mereka.
Syarat bagi Arbiter (Hakam)
Peran hakam sangat sentral dalam bertahkim, sehingga Islam menetapkan syarat-syarat yang ketat untuk memastikan integritas, keadilan, dan kompetensi mereka. Syarat-syarat ini mirip dengan syarat seorang qadhi (hakim) dalam peradilan formal, meskipun ada beberapa kelonggaran dalam konteks tertentu:
- Muslim: Mayoritas ulama mensyaratkan hakam harus seorang Muslim. Hal ini karena keputusan hakam harus berdasarkan syariat Islam, dan hanya seorang Muslim yang diharapkan memahami dan mampu menerapkannya secara benar.
- Baligh (Dewasa) dan Berakal (Sane): Hakam harus sudah dewasa dan memiliki akal sehat, mampu berpikir jernih, dan membuat keputusan yang rasional.
- Adil (Jujur dan Adil): Hakam haruslah orang yang adil, yaitu memiliki integritas moral yang tinggi, tidak mudah dipengaruhi oleh hawa nafsu, tidak berpihak, dan tidak memiliki kepentingan pribadi dalam sengketa tersebut. Kehilangan sifat adil ini akan meruntuhkan kepercayaan para pihak terhadap putusannya.
- Memahami Hukum (Faqih): Hakam harus memiliki pengetahuan yang cukup tentang hukum-hukum syariat yang relevan dengan sengketa yang ditangani. Ia harus mampu menganalisis fakta, menimbang bukti, dan merumuskan putusan berdasarkan dalil-dalil syariat. Dalam kasus yang kompleks, disarankan memilih hakam yang memang ahli dalam bidang tersebut.
- Mampu Mendengar dan Berbicara: Hakam harus mampu berkomunikasi dengan baik, baik dalam mendengar argumen para pihak maupun menyampaikan putusannya.
- Tidak Buta atau Tuli (dalam kasus khusus): Meskipun ada perbedaan pendapat, idealnya hakam tidak memiliki cacat fisik yang menghalangi kemampuannya untuk mengamati bukti dan kesaksian secara optimal.
- Bukan Pihak yang Bersengketa: Hakam haruslah pihak ketiga yang netral dan tidak termasuk salah satu pihak yang bersengketa atau memiliki hubungan langsung yang bisa menimbulkan bias.
- Diterima oleh Kedua Pihak: Meskipun hakam memiliki kualifikasi yang mumpuni, yang terpenting adalah ia diterima dan disepakati oleh kedua belah pihak yang bersengketa. Jika salah satu pihak tidak menerima, maka tahkim tidak dapat dilanjutkan.
Penting untuk dicatat bahwa dalam praktik modern, terutama di luar kerangka pengadilan syariah formal, beberapa syarat seperti "Muslim" mungkin menjadi fleksibel tergantung pada kesepakatan para pihak, terutama jika sengketa melibatkan non-Muslim atau jika putusan diharapkan berlaku dalam sistem hukum sekuler. Namun, dalam konteks syariat Islam murni, syarat-syarat di atas adalah ideal untuk memastikan keabsahan dan keberkahan putusan tahkim.
Pemenuhan syarat-syarat ini adalah fondasi bagi keberhasilan bertahkim. Ketika para pihak dan hakam memenuhi kualifikasi yang telah ditetapkan, maka proses tahkim memiliki potensi besar untuk mencapai keadilan, rekonsiliasi, dan putusan yang ditaati oleh semua pihak.
Prosedur Pelaksanaan Bertahkim: Langkah Demi Langkah Menuju Keadilan
Prosedur bertahkim dalam Islam, meskipun lebih fleksibel daripada proses pengadilan formal, tetap memiliki tahapan-tahapan yang terstruktur untuk memastikan keadilan, objektivitas, dan penerimaan putusan. Tahapan-tahapan ini mencerminkan prinsip-prinsip syariat dalam mencari kebenaran dan menegakkan hak.
1. Kesepakatan untuk Bertahkim (Akad Tahkim)
Langkah pertama dan paling krusial adalah adanya kesepakatan yang jelas dan sukarela dari semua pihak yang bersengketa untuk menyerahkan penyelesaian masalah mereka kepada seorang hakam atau sekelompok hakam. Kesepakatan ini bisa terjadi secara lisan maupun tertulis, namun sangat dianjurkan untuk dibuat dalam bentuk tertulis (akad tahkim) guna menghindari perselisihan di kemudian hari. Dalam akad tahkim ini, para pihak harus:
- Menyatakan secara eksplisit keinginan mereka untuk bertahkim.
- Menyebutkan identitas lengkap pihak-pihak yang bersengketa.
- Menjelaskan secara ringkas pokok sengketa yang akan ditahkimkan.
- Menyebutkan identitas hakam atau para hakam yang disepakati.
- Menyepakati ruang lingkup kewenangan hakam (apakah hanya sebagai mediator, atau sebagai pemutus yang keputusannya mengikat).
- Menyepakati bahwa mereka akan menerima dan mematuhi putusan hakam.
- Menyepakati batas waktu proses tahkim (jika ada).
Akad tahkim ini merupakan pondasi hukum yang mengikat para pihak dan hakam, memberikan legitimasi bagi proses yang akan berjalan.
2. Penunjukan Hakam (Arbiter)
Setelah kesepakatan, para pihak menunjuk seorang atau lebih hakam yang mereka percaya dan disepakati bersama. Idealnya, hakam yang dipilih memenuhi syarat-syarat yang telah disebutkan sebelumnya (Muslim, adil, faqih, dll.). Dalam konteks sengketa rumah tangga (QS. An-Nisa: 35), Al-Qur'an menyarankan penunjukan seorang hakam dari pihak suami dan seorang hakam dari pihak istri. Ini bertujuan untuk memastikan representasi yang seimbang dan pemahaman yang lebih komprehensif dari sudut pandang kedua belah pihak.
Jika hakam yang ditunjuk lebih dari satu, mereka akan bermusyawarah untuk mencapai putusan. Jika terjadi perbedaan pendapat di antara para hakam, biasanya putusan diambil berdasarkan suara terbanyak, atau mereka bisa menunjuk hakam ketiga sebagai penentu (ketua majelis hakam).
3. Proses Sidang/Musyawarah (Jalasaat al-Tahkim)
Setelah hakam ditunjuk dan menerima tugasnya, ia akan memulai proses dengan mengundang para pihak untuk bertemu. Tahapan ini mirip dengan proses persidangan di pengadilan, namun seringkali dengan suasana yang lebih informal dan berorientasi pada dialog. Langkah-langkahnya meliputi:
- Mendengar Keterangan Para Pihak: Hakam akan memberikan kesempatan yang sama kepada masing-masing pihak untuk menyampaikan duduk perkara dari sudut pandang mereka, argumen, dan tuntutan mereka. Hakam harus mendengarkan dengan seksama dan tidak berpihak.
- Pengajuan Bukti dan Saksi: Para pihak akan diminta untuk mengajukan bukti-bukti yang relevan (dokumen, rekaman, dll.) dan menghadirkan saksi-saksi jika ada. Hakam akan mengevaluasi validitas dan kekuatan bukti serta kesaksian yang diajukan. Hakam juga berhak untuk meminta bukti tambahan jika diperlukan.
- Verifikasi dan Klarifikasi: Hakam dapat mengajukan pertanyaan kepada para pihak dan saksi untuk mengklarifikasi fakta, menghilangkan keraguan, dan mendapatkan pemahaman yang lengkap tentang sengketa.
- Upaya Mediasi dan Rekonsiliasi: Sebelum mencapai putusan akhir, hakam sangat dianjurkan untuk terlebih dahulu mengupayakan islah (perdamaian) atau mediasi di antara para pihak. Hakam dapat memberikan nasihat, menunjukkan titik temu, atau mengusulkan solusi kompromi yang dapat diterima semua pihak. Tujuan utama Islam dalam penyelesaian sengketa adalah tercapainya perdamaian, bukan hanya putusan kalah-menang.
4. Musyawarah Hakam dan Perumusan Putusan
Setelah semua keterangan didengar, bukti diperiksa, dan upaya islah telah dilakukan namun tidak mencapai kesepakatan, hakam akan melakukan musyawarah (jika lebih dari satu) untuk merumuskan putusan. Dalam musyawarah ini, hakam akan:
- Meninjau kembali semua fakta dan bukti.
- Menerapkan prinsip-prinsip syariat Islam yang relevan.
- Mempertimbangkan kemaslahatan (kebaikan umum) dan menghindari mafsadat (kerusakan).
- Mencari putusan yang paling adil dan berimbang.
Putusan hakam harus bersifat final dan mengikat bagi para pihak yang telah bersepakat untuk bertahkim dan menerima putusannya. Putusan ini harus jelas, tidak ambigu, dan menjelaskan dasar-dasar hukum atau pertimbangan syariat yang digunakan.
5. Pembacaan dan Penyerahan Putusan
Putusan yang telah dirumuskan kemudian disampaikan kepada para pihak. Idealnya, putusan ini disampaikan secara tertulis dan ditandatangani oleh hakam atau majelis hakam, serta disaksikan oleh pihak ketiga. Putusan tersebut harus dibacakan di hadapan para pihak, dan mereka harus mengkonfirmasi penerimaannya sesuai dengan akad tahkim di awal.
6. Pelaksanaan Putusan
Pihak-pihak yang telah menyepakati tahkim dan menerima putusannya wajib melaksanakannya. Dalam sistem hukum Islam, putusan hakam yang sah memiliki kekuatan mengikat. Jika salah satu pihak menolak melaksanakan putusan tanpa alasan syar'i, maka pihak lain berhak untuk menuntut pelaksanaannya di pengadilan formal, dan pengadilan dapat memaksa pelaksanaan putusan tersebut asalkan putusan tahkim tidak bertentangan dengan syariat dan aturan negara.
Seluruh proses ini didasarkan pada prinsip keadilan, kejujuran, transparansi, dan niat baik untuk mencapai penyelesaian yang damai dan sesuai dengan ajaran Islam. Fleksibilitas dalam prosedur tidak berarti abai terhadap prinsip-prinsip dasar keadilan.
Lingkup dan Batasan Bertahkim: Kapan dan Bagaimana
Meskipun bertahkim adalah metode penyelesaian sengketa yang dianjurkan dan memiliki dasar hukum yang kuat dalam Islam, ada lingkup dan batasan tertentu mengenai jenis perkara apa yang dapat ditahkimkan dan jenis perkara apa yang tidak. Pemahaman akan batasan ini penting agar tahkim tidak melampaui kewenangan yang seharusnya dan tetap berada dalam koridor syariat.
Perkara yang Dapat Ditahkimkan
Secara umum, perkara-perkara yang dapat ditahkimkan adalah hak-hak individu (hak al-adamiy) yang berkaitan dengan harta atau hubungan pribadi. Ini meliputi:
- Sengketa Perdata (Mu'amalat): Ini adalah kategori paling luas. Meliputi sengketa terkait jual-beli, sewa-menyewa, utang-piutang, kerja sama (syirkah), ganti rugi (dhaman), hibah, wakaf (dalam aspek tertentu), dan berbagai transaksi finansial lainnya. Jika ada perselisihan mengenai validitas akad, pelaksanaan kewajiban, atau penentuan hak dan kewajiban masing-masing pihak, tahkim sangat relevan.
- Sengketa Keluarga (Ahwal Syakhshiyah): Termasuk di dalamnya adalah sengketa antara suami-istri (sebagaimana disebutkan dalam QS. An-Nisa: 35), sengketa warisan di antara ahli waris, hak asuh anak (hadhanah), nafkah, dan masalah-masalah lain yang berkaitan dengan hubungan kekeluargaan. Tahkim sangat dianjurkan dalam ranah ini karena berorientasi pada menjaga keutuhan keluarga dan hubungan baik.
- Sengketa Tanah dan Properti: Perselisihan mengenai kepemilikan tanah, batas-batas properti, hak guna, atau sengketa dalam transaksi properti lainnya dapat diselesaikan melalui tahkim.
- Sengketa Buruh dan Majikan: Perselisihan mengenai upah, kondisi kerja, pemutusan hubungan kerja, atau hak-hak lain yang muncul dari kontrak kerja dapat di-tahkimkan.
- Sengketa Lainnya yang Bersifat Individu: Setiap sengketa yang melibatkan hak-hak individu dan tidak melanggar hak Allah atau hak publik dapat diserahkan kepada hakam.
Karakteristik umum dari perkara-perkara ini adalah bahwa ia melibatkan hak-hak yang dapat digugurkan atau diberikan oleh individu (hak tasarruf) dan tidak ada hubungannya dengan hukum publik atau hukuman yang ditetapkan oleh Allah SWT.
Perkara yang Tidak Dapat Ditahkimkan
Ada beberapa jenis perkara yang tidak dapat diselesaikan melalui tahkim karena melibatkan hak-hak Allah (huququllah) atau hak publik, atau karena memerlukan otoritas pengadilan formal. Ini meliputi:
- Hukuman Pidana (Hudud): Ini adalah hukuman yang telah ditetapkan secara spesifik dalam Al-Qur'an dan Sunnah, seperti zina, pencurian, minum khamar, qadhaf (menuduh zina tanpa bukti), dan hirabah (perampokan/pemberontakan). Hukuman-hukuman ini memerlukan putusan dari pengadilan yang memiliki otoritas negara untuk dilaksanakan, dan tidak dapat diubah, dimaafkan, atau ditahkimkan oleh individu. Alasannya adalah bahwa hudud adalah hak Allah dan bertujuan untuk menjaga ketertiban umum.
- Qisas (Retribusi): Dalam kasus pembunuhan atau penganiayaan berat yang menyebabkan luka permanen, putusan qisas (balas yang setimpal) biasanya menjadi hak ahli waris korban. Namun, pelaksanaan qisas memerlukan persetujuan dari pengadilan dan otoritas negara karena sensitivitas dan dampaknya terhadap kehidupan. Meskipun ahli waris bisa memaafkan (diya' atau pengampunan), putusan akhirnya tetap melalui jalur resmi.
- Sengketa yang Melibatkan Hak Publik (Huquq al-Ammah): Perkara yang secara langsung berkaitan dengan kepentingan umum atau tatanan sosial, seperti kasus korupsi, penipuan besar-besaran yang merugikan banyak pihak, atau pelanggaran hukum yang meresahkan masyarakat luas, biasanya berada di luar lingkup tahkim. Ini karena dampak kasus tersebut melampaui para pihak yang bersengketa dan memerlukan intervensi negara untuk menjaga stabilitas dan keadilan sosial.
- Sumpah (Yamin) dan Tuduhan (Li'an): Dalam beberapa kasus, syariat menetapkan prosedur khusus seperti sumpah atau li'an (saling melaknat suami istri dalam kasus tuduhan zina) yang harus dilakukan di hadapan hakim resmi, bukan hakam.
- Perkara yang Membutuhkan Qadhi (Hakim) untuk Menetapkan Status: Misalnya, perkara penetapan nasab (keturunan), penetapan kematian, atau penetapan status hukum tertentu yang memerlukan pengesahan resmi dari lembaga peradilan.
Pembatasan ini menunjukkan kebijaksanaan syariat. Meskipun Islam mendorong penyelesaian damai dan fleksibel melalui tahkim, ia juga mengakui pentingnya peran negara dalam menjaga ketertiban umum dan menegakkan hukum Allah dalam kasus-kasus yang tidak bisa diserahkan kepada individu semata. Dengan demikian, tahkim menjadi pelengkap, bukan pengganti mutlak, bagi sistem peradilan formal.
Hikmah dan Keutamaan Bertahkim: Manfaat bagi Individu dan Masyarakat
Prinsip bertahkim tidak hanya didasarkan pada legitimasi syar'i, tetapi juga sarat dengan hikmah dan keutamaan yang memberikan manfaat besar bagi individu, keluarga, dan masyarakat secara keseluruhan. Ini adalah cerminan dari tujuan syariat (maqashid syariah) untuk mewujudkan kemaslahatan dan mencegah kerusakan.
1. Menjaga Ukhuwah dan Silaturahim
Salah satu hikmah terbesar bertahkim adalah kemampuannya untuk menjaga dan bahkan memperbaiki hubungan antarpihak yang bersengketa. Berbeda dengan pengadilan formal yang seringkali bersifat antagonistik, bertahkim, terutama dengan penekanan pada islah, berupaya mencari titik temu dan solusi yang dapat diterima kedua belah pihak. Ini sangat penting dalam sengketa keluarga atau komunitas di mana hubungan emosional dan sosial sangat berharga. Putusan pengadilan formal cenderung menghasilkan "pemenang" dan "pecundang," yang dapat memperdalam keretakan hubungan. Tahkim, dengan pendekatan rekonsiliatifnya, bertujuan agar kedua belah pihak merasa dimenangkan oleh keadilan dan hubungan mereka dapat terus terpelihara, bahkan membaik.
2. Lebih Cepat dan Efisien
Proses peradilan formal seringkali memakan waktu yang lama, melibatkan birokrasi yang kompleks, dan tahapan yang panjang. Bertahkim menawarkan jalur yang jauh lebih cepat dan efisien. Para pihak dapat langsung menunjuk hakam, menentukan jadwal pertemuan, dan menyelesaikan masalah tanpa harus menunggu giliran di pengadilan. Ini mengurangi biaya waktu dan tenaga yang harus dikeluarkan oleh para pihak.
3. Lebih Hemat Biaya
Proses litigasi di pengadilan formal biasanya melibatkan biaya yang besar, mulai dari biaya pendaftaran perkara, biaya pengacara, hingga biaya eksekusi. Bertahkim, dalam banyak kasus, jauh lebih hemat biaya. Hakam seringkali adalah individu yang ditunjuk berdasarkan kepercayaan, dan honorariumnya (jika ada) biasanya lebih rendah atau bahkan tidak ada sama sekali, terutama jika hakam adalah anggota keluarga atau tokoh masyarakat yang disegani.
4. Privasi dan Kerahasiaan
Sengketa yang dibawa ke pengadilan formal seringkali menjadi konsumsi publik, terutama dalam masyarakat modern. Bertahkim menawarkan tingkat privasi dan kerahasiaan yang lebih tinggi. Para pihak dapat membahas masalah mereka secara tertutup dengan hakam yang mereka percaya, tanpa harus khawatir detail pribadi mereka tersebar luas. Ini sangat penting untuk sengketa yang sensitif, seperti masalah rumah tangga atau bisnis yang melibatkan informasi rahasia.
5. Fleksibilitas dan Kesesuaian Solusi
Sistem peradilan formal terikat pada undang-undang dan prosedur yang kaku. Hakam, meskipun terikat pada syariat, memiliki fleksibilitas yang lebih besar dalam mencari solusi yang kreatif dan sesuai dengan kekhasan sengketa dan kebutuhan para pihak. Hakam dapat mengusulkan solusi-solusi di luar "menang-kalah" yang mungkin tidak dapat dicapai dalam putusan pengadilan. Fleksibilitas ini memungkinkan putusan yang lebih personal dan relevan.
6. Mengurangi Beban Pengadilan Formal
Dengan banyaknya sengketa yang dapat diselesaikan melalui tahkim, ini secara signifikan mengurangi beban kerja pengadilan formal. Hal ini memungkinkan pengadilan untuk fokus pada kasus-kasus yang memang memerlukan intervensi negara dan putusan hukum yang mengikat secara publik, seperti kasus pidana atau sengketa yang sangat kompleks.
7. Memperkuat Peran Tokoh Masyarakat dan Pemuka Agama
Bertahkim secara tidak langsung memperkuat peran tokoh masyarakat, pemuka agama, atau individu yang bijaksana dalam menyelesaikan konflik di komunitas mereka. Ini mendorong terbentuknya jaringan penyelesaian sengketa berbasis komunitas yang efektif, di mana individu yang dihormati dapat menggunakan pengaruh dan kebijaksanaan mereka untuk menegakkan keadilan dan perdamaian.
8. Mendapatkan Ridha Allah SWT
Sebagaimana disebutkan dalam QS. An-Nisa: 35, jika para hakam bermaksud mengadakan perbaikan (islah), niscaya Allah memberi taufik. Ini menunjukkan bahwa upaya tahkim yang dilandasi niat baik untuk mencari keadilan dan perdamaian adalah amalan yang mendapatkan ridha dan pertolongan dari Allah SWT. Ada keberkahan dalam proses bertahkim yang berorientasi pada islah.
Singkatnya, bertahkim adalah instrumen syar'i yang sangat efektif untuk mencapai keadilan yang lebih cepat, murah, personal, dan rekonsiliatif. Ia adalah manifestasi dari nilai-nilai Islam yang mengutamakan perdamaian, persaudaraan, dan pemeliharaan hubungan baik di antara sesama manusia.
Perbandingan Bertahkim dengan Sistem Peradilan Formal
Untuk memahami posisi dan nilai bertahkim secara lebih mendalam, penting untuk membandingkannya dengan sistem peradilan formal yang diatur oleh negara. Meskipun keduanya memiliki tujuan yang sama—menegakkan keadilan dan menyelesaikan sengketa—ada perbedaan mendasar dalam pendekatan, prosedur, dan kekuatan hukumnya.
Karakteristik Utama Peradilan Formal (Qadha)
- Sifat Wajib dan Mengikat: Pengadilan formal memiliki yurisdiksi yang wajib dan mengikat bagi semua warga negara. Setiap orang yang berperkara di pengadilan harus tunduk pada keputusan hakim, terlepas dari kerelaan awal mereka untuk berada di sana.
- Otoritas Negara: Hakim (qadhi) diangkat oleh negara dan mewakili otoritas negara. Keputusannya memiliki kekuatan eksekutorial yang didukung oleh aparat negara (polisi, jaksa, juru sita).
- Prosedural dan Kaku: Proses peradilan formal sangat terikat pada hukum acara dan prosedur yang ditetapkan dalam undang-undang. Ada tahapan yang jelas (gugatan, jawaban, pembuktian, putusan, banding, kasasi) yang harus dilalui.
- Publik: Persidangan di pengadilan seringkali bersifat terbuka untuk umum (kecuali dalam kasus tertentu), dan putusannya menjadi catatan publik.
- Fokus pada Hukum dan Bukti: Hakim berfokus pada penerapan hukum formal terhadap fakta dan bukti yang diajukan. Orientasinya adalah menemukan "siapa yang benar" secara hukum.
- Biaya dan Waktu: Umumnya mahal dan memakan waktu yang lama.
- Hubungan Para Pihak: Cenderung menghasilkan putusan "menang-kalah" yang dapat merusak hubungan para pihak secara permanen.
Karakteristik Utama Bertahkim (Tahkim)
- Sifat Sukarela dan Kesepakatan: Bertahkim sepenuhnya didasarkan pada kerelaan dan kesepakatan para pihak untuk menyerahkan sengketa mereka kepada hakam yang mereka pilih. Tanpa kesepakatan ini, tahkim tidak dapat dimulai.
- Otoritas Berdasarkan Kepercayaan: Hakam tidak mewakili otoritas negara, melainkan otoritas yang diberikan oleh kepercayaan para pihak. Kekuatan putusannya berasal dari kesepakatan para pihak untuk mematuhinya.
- Fleksibel dan Informal: Prosedur tahkim lebih fleksibel dan dapat disesuaikan dengan kebutuhan para pihak dan jenis sengketa. Suasananya cenderung lebih informal dan dialogis.
- Privat dan Rahasia: Proses tahkim bersifat privat dan kerahasiaannya dapat dijaga oleh para pihak dan hakam.
- Fokus pada Rekonsiliasi dan Keadilan Menyeluruh: Selain menerapkan hukum, hakam sangat dianjurkan untuk mengupayakan islah (perdamaian) dan mencari solusi yang komprehensif, tidak hanya berdasarkan hukum formal tetapi juga mempertimbangkan hubungan, konteks sosial, dan kemaslahatan.
- Biaya dan Waktu: Umumnya lebih hemat biaya dan lebih cepat.
- Hubungan Para Pihak: Berusaha menjaga atau memperbaiki hubungan para pihak, menghasilkan solusi yang lebih berorientasi pada win-win atau kompromi.
Tabel Perbandingan Singkat
| Aspek | Peradilan Formal (Qadha) | Bertahkim (Tahkim) |
|---|---|---|
| Dasar Yurisdiksi | Wajib, Otoritas Negara | Sukarela, Kesepakatan Pihak |
| Kewenangan Pemutus | Hakim yang ditunjuk Negara | Hakam yang dipilih Pihak |
| Prosedur | Kaku, Terikat Hukum Acara | Fleksibel, Sesuai Kesepakatan |
| Sifat | Publik, Formal | Privat, Informal |
| Orientasi | Penerapan Hukum, Menang-Kalah | Rekonsiliasi, Keadilan Menyeluruh |
| Waktu & Biaya | Lama & Mahal | Cepat & Hemat |
| Kekuatan Putusan | Otomatis Mengikat & Dapat Dieksekusi | Mengikat Berdasarkan Kesepakatan, Perlu Pengesahan untuk Eksekusi Paksa |
| Ruang Lingkup | Semua Perkara (kecuali dilarang) | Hak-hak Individual (bukan Hudud/Qisas) |
Integrasi dan Sinergi
Penting untuk dipahami bahwa bertahkim dan peradilan formal bukanlah dua sistem yang saling meniadakan, melainkan dapat saling melengkapi. Dalam banyak kasus, putusan tahkim dapat diajukan ke pengadilan formal untuk mendapatkan pengesahan (ikrar) agar memiliki kekuatan eksekutorial layaknya putusan pengadilan. Hal ini penting jika salah satu pihak kemudian menolak melaksanakan putusan tahkim. Pengadilan akan mengesahkan putusan tahkim selama tidak bertentangan dengan syariat dan undang-undang yang berlaku.
Sinergi ini menunjukkan bahwa Islam menyediakan berbagai jalur untuk mencapai keadilan, masing-masing dengan kelebihan dan kekurangannya. Bertahkim menjadi pilihan yang sangat baik untuk sengketa yang membutuhkan pendekatan yang lebih personal, cepat, dan berorientasi pada pemeliharaan hubungan, sementara peradilan formal tetap esensial untuk kasus-kasus yang memerlukan otoritas negara yang kuat dan penegakan hukum secara publik.
Tantangan dan Solusi dalam Penerapan Bertahkim
Meskipun bertahkim menawarkan banyak keutamaan dan menjadi solusi efektif dalam penyelesaian sengketa, penerapannya tidak lepas dari berbagai tantangan. Memahami tantangan-tantangan ini dan merumuskan solusinya adalah kunci untuk memaksimalkan potensi tahkim dalam masyarakat modern.
Tantangan dalam Bertahkim
- Kekuatan Eksekutorial Putusan: Ini adalah tantangan terbesar. Putusan hakam, meskipun mengikat secara moral dan syar'i bagi pihak yang telah menyepakati, seringkali tidak memiliki kekuatan eksekutorial langsung seperti putusan pengadilan formal. Jika salah satu pihak menolak melaksanakan, pihak lain mungkin harus membawa putusan tersebut ke pengadilan untuk meminta pengesahan dan eksekusi. Proses ini bisa jadi memakan waktu dan biaya, mengurangi efisiensi awal tahkim.
- Kualifikasi dan Kepercayaan Terhadap Hakam: Menemukan hakam yang benar-benar memenuhi syarat (adil, faqih, netral) dan sekaligus dipercaya oleh kedua belah pihak bukanlah perkara mudah. Di masyarakat yang majemuk atau anonim, sulit untuk mengidentifikasi individu yang memiliki kualitas ini. Keterbatasan pengetahuan syariah atau bias pribadi hakam juga dapat mengurangi validitas dan penerimaan putusan.
- Kurangnya Pemahaman dan Kesadaran Masyarakat: Banyak masyarakat modern yang lebih familiar dengan sistem peradilan formal dan kurang memahami konsep, prosedur, serta keunggulan bertahkim. Akibatnya, mereka mungkin ragu untuk memilih jalur ini atau tidak mengetahui bahwa tahkim adalah pilihan yang sah.
- Batasan Ruang Lingkup Perkara: Seperti yang telah dijelaskan, tidak semua perkara dapat ditahkimkan. Perkara-perkara pidana atau yang melibatkan hak publik mutlak harus melalui pengadilan formal. Ini kadang menimbulkan kebingungan bagi masyarakat awam.
- Potensi Tekanan Sosial atau Keluarga: Dalam beberapa konteks, terutama sengketa keluarga atau komunitas kecil, hakam mungkin di bawah tekanan untuk memihak salah satu pihak atau memberikan putusan yang berorientasi pada "menyenangkan semua" daripada "adil berdasarkan syariat". Ini dapat mengikis integritas putusan.
- Tidak Adanya Lembaga Pendukung Formal: Di banyak negara, tidak ada lembaga formal yang secara khusus mengelola atau mendukung praktik tahkim (seperti pusat arbitrase syariah yang terakreditasi), sehingga pelaksanaannya masih sangat bergantung pada inisiatif individu dan komunitas.
- Pembatalan atau Tantangan terhadap Putusan Tahkim: Meskipun jarang, putusan tahkim dapat dibatalkan atau ditantang di pengadilan jika terbukti ada pelanggaran syariat yang mendasar, hakam bertindak di luar kewenangannya, atau ada unsur penipuan/paksaan dalam proses tahkim.
Solusi untuk Mengatasi Tantangan
Untuk memaksimalkan efektivitas bertahkim, beberapa solusi dapat diimplementasikan:
- Penguatan Akad Tahkim: Membuat akad tahkim yang sangat jelas dan komprehensif sejak awal. Akad ini harus secara eksplisit menyatakan bahwa para pihak setuju untuk menerima putusan hakam sebagai final dan mengikat, dan jika perlu, putusan tersebut dapat diajukan ke pengadilan untuk pengesahan eksekutorial. Dalam beberapa yurisdiksi, ada kemungkinan untuk membuat "perjanjian arbitrase" yang dapat memiliki kekuatan hukum yang diakui pengadilan.
- Pendidikan dan Sosialisasi: Lembaga-lembaga Islam, akademisi, dan organisasi masyarakat sipil perlu lebih aktif mensosialisasikan konsep, prosedur, dan manfaat bertahkim kepada masyarakat. Ini dapat dilakukan melalui seminar, lokakarya, publikasi, dan kampanye edukasi.
- Peningkatan Kualifikasi Hakam: Mengadakan pelatihan dan sertifikasi bagi calon hakam, terutama bagi mereka yang memiliki peran strategis di komunitas (tokoh agama, tokoh adat). Pelatihan ini harus mencakup pengetahuan syariat, keterampilan mediasi dan negosiasi, etika arbitrase, serta hukum acara Islam.
- Pembentukan Lembaga Arbitrase Syariah: Mendorong pembentukan pusat-pusat arbitrase syariah yang terakreditasi dan profesional. Lembaga ini dapat menyediakan daftar hakam yang berkualitas, memfasilitasi proses tahkim, dan memberikan dukungan administratif. Ini juga akan memberikan legitimasi dan kepercayaan yang lebih besar terhadap proses tahkim.
- Kerjasama dengan Pengadilan Formal: Membangun mekanisme kerjasama yang jelas antara lembaga tahkim atau hakam dengan pengadilan formal. Ini bisa berupa prosedur penyederhanaan pengesahan putusan tahkim oleh pengadilan atau rujukan kasus-kasus tertentu dari pengadilan ke jalur tahkim.
- Pengembangan Kode Etik Hakam: Menyusun kode etik yang jelas bagi para hakam untuk memastikan mereka bertindak secara adil, transparan, dan tidak memihak. Kode etik ini dapat mencakup aturan tentang penanganan konflik kepentingan dan kerahasiaan.
- Dokumentasi yang Baik: Mendorong hakam untuk mendokumentasikan setiap tahapan proses tahkim, termasuk bukti, kesaksian, argumen, dan musyawarah, untuk memastikan transparansi dan memberikan dasar yang kuat jika putusan perlu ditinjau.
Dengan upaya kolaboratif dari semua pihak—masyarakat, ulama, pemerintah, dan lembaga terkait—tantangan-tantangan ini dapat diatasi, dan bertahkim dapat memainkan peran yang semakin signifikan dalam menegakkan keadilan dan perdamaian di tengah masyarakat.
Penerapan Bertahkim di Era Modern: Relevansi dan Potensi
Di tengah kompleksitas kehidupan modern, di mana sistem hukum seringkali terasa lamban dan mahal, konsep bertahkim semakin menemukan relevansinya. Meskipun berakar pada tradisi Islam klasik, prinsip-prinsip tahkim memiliki potensi besar untuk diterapkan secara adaptif dalam berbagai konteks kontemporer.
1. Dalam Sengketa Keluarga
Sengketa rumah tangga masih menjadi area paling alami dan relevan untuk penerapan bertahkim. Banyak negara mayoritas Muslim, termasuk Indonesia, memiliki Pengadilan Agama yang juga seringkali mendorong mediasi sebelum proses litigasi formal berlanjut. Hakam dari keluarga kedua belah pihak, atau tokoh agama/masyarakat yang dihormati, dapat berperan aktif dalam menyelesaikan perselisihan suami-istri, sengketa hak asuh, atau pembagian warisan, dengan fokus utama pada islah dan pemeliharaan hubungan kekeluargaan. Pendekatan ini lebih humanis dan seringkali lebih efektif dalam menjaga keutuhan keluarga dibandingkan putusan pengadilan yang kaku.
2. Dalam Sengketa Bisnis dan Keuangan Syariah
Industri keuangan syariah global terus berkembang pesat. Dengan pertumbuhannya, sengketa bisnis yang melibatkan prinsip-prinsip syariah juga berpotensi meningkat. Bertahkim adalah mekanisme yang sangat cocok untuk menyelesaikan sengketa dalam transaksi keuangan syariah (misalnya murabahah, mudarabah, musyarakah) atau kontrak bisnis yang berbasis syariah. Lembaga arbitrase syariah, seperti Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) di Indonesia, didirikan untuk menyediakan forum tahkim yang profesional dan terlembaga bagi sengketa-sengketa semacam ini. Keunggulan tahkim dalam konteks ini adalah kemampuannya untuk menerapkan hukum syariah secara langsung, yang mungkin tidak familiar bagi hakim di pengadilan umum.
3. Dalam Sengketa Perdata Umum
Berbagai sengketa perdata, mulai dari sengketa properti, kontrak dagang kecil, hingga ganti rugi, dapat diselesaikan melalui tahkim. Masyarakat dapat menunjuk hakam dari kalangan ulama, ahli hukum, atau tokoh masyarakat yang dipercaya untuk menyelesaikan masalah mereka di luar pengadilan. Ini dapat mengurangi penumpukan kasus di pengadilan dan memberikan solusi yang lebih cepat dan murah bagi masyarakat.
4. Mediasi dan Konsiliasi Komunitas
Di banyak komunitas Muslim, terutama di daerah pedesaan atau masyarakat adat, tahkim seringkali sudah menjadi praktik yang berjalan secara informal melalui tokoh adat atau ulama setempat. Ini adalah bentuk tahkim berbasis komunitas yang sangat efektif dalam menjaga ketertiban sosial dan menyelesaikan perselisihan sebelum membesar. Penguatan peran-peran ini, melalui pelatihan atau pengakuan informal, dapat meningkatkan efektivitasnya.
5. Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS)
Dalam kerangka hukum modern, tahkim dapat diposisikan sebagai salah satu bentuk Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) atau Alternative Dispute Resolution (ADR), di samping mediasi, konsiliasi, atau negosiasi. Pengakuan tahkim sebagai bagian dari APS dalam undang-undang dapat memberikan landasan hukum yang lebih kuat dan memfasilitasi eksekusi putusannya melalui pengadilan. Banyak undang-undang arbitrase di berbagai negara telah memasukkan klausul yang mengakui arbitrase berdasarkan hukum agama atau adat, yang membuka jalan bagi tahkim.
Potensi Pengembangan di Masa Depan
Potensi bertahkim di era modern sangat besar, terutama dengan adanya:
- Digitalisasi Tahkim: Penggunaan platform daring untuk memfasilitasi pertemuan hakam dan pihak, pengiriman dokumen, dan bahkan putusan. Ini akan membuat tahkim lebih mudah diakses dan efisien.
- Spesialisasi Hakam: Pembentukan hakam yang memiliki spesialisasi di bidang-bidang tertentu (misalnya, hakam keuangan syariah, hakam sengketa konstruksi, hakam sengketa teknologi) untuk meningkatkan kualitas putusan.
- Harmonisasi Hukum: Upaya harmonisasi antara hukum syariah dan hukum positif nasional untuk memastikan putusan tahkim syariah dapat dengan mudah diakui dan dieksekusi oleh sistem peradilan negara.
Dengan terus mengembangkan kerangka hukum, meningkatkan kualitas sumber daya manusia (hakam), dan meningkatkan kesadaran masyarakat, bertahkim dapat menjadi pilar penting dalam sistem penyelesaian sengketa di masyarakat Muslim, menawarkan jalan menuju keadilan yang efektif, humanis, dan sesuai dengan tuntunan syariat.
Peran Pemerintah dan Lembaga Islam dalam Mendukung Bertahkim
Meskipun bertahkim secara esensial adalah inisiatif dari para pihak yang bersengketa, peran pemerintah dan lembaga-lembaga Islam sangat vital dalam menciptakan lingkungan yang kondusif bagi penerapannya, memastikan integritas proses, dan mendukung keberlanjutan mekanisme ini di tengah masyarakat.
Peran Pemerintah
- Pengakuan Hukum: Pemerintah dapat memberikan pengakuan hukum terhadap putusan tahkim syariah. Ini bisa dilakukan melalui undang-undang yang mengakui arbitrase agama atau melalui mekanisme khusus di pengadilan (misalnya, Pengadilan Agama di Indonesia) yang memfasilitasi pengesahan dan eksekusi putusan tahkim. Pengakuan ini sangat penting untuk memberikan kepastian hukum dan kekuatan eksekutorial bagi putusan hakam.
- Fasilitasi Pembentukan Lembaga Arbitrase Syariah: Pemerintah dapat memfasilitasi pembentukan dan operasionalisasi lembaga-lembaga arbitrase syariah yang profesional dan kredibel, seperti BASYARNAS di Indonesia. Ini termasuk dukungan regulasi, infrastruktur, dan mungkin juga dukungan finansial awal. Lembaga-lembaga ini menjadi wadah formal bagi pelaksanaan tahkim.
- Harmonisasi Regulasi: Melakukan harmonisasi antara hukum positif nasional dan prinsip-prinsip syariah terkait penyelesaian sengketa. Hal ini penting agar putusan tahkim tidak bertentangan dengan hukum negara dan dapat diintegrasikan ke dalam sistem peradilan yang ada.
- Pendidikan dan Pelatihan: Mendukung program pendidikan dan pelatihan bagi calon hakam, baik melalui institusi pendidikan formal maupun kerjasama dengan lembaga Islam. Ini akan memastikan ketersediaan hakam yang berkualitas dan kompeten.
- Mendorong Mediasi dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS): Pemerintah dapat secara aktif mendorong penggunaan tahkim sebagai salah satu bentuk APS dalam berbagai jenis sengketa, terutama yang bersifat perdata dan keluarga, untuk mengurangi beban pengadilan.
- Perlindungan Hukum: Memastikan adanya mekanisme perlindungan hukum bagi para pihak dan hakam, serta mencegah penyalahgunaan proses tahkim.
Peran Lembaga Islam (Majelis Ulama, Organisasi Masyarakat, dll.)
- Penyusunan Pedoman Syariah: Majelis ulama dan para ahli fiqih memiliki peran krusial dalam menyusun pedoman (fatwa) atau standar syariah yang jelas mengenai bertahkim, termasuk syarat-syarat hakam, prosedur, dan lingkup perkara yang dapat ditahkimkan. Pedoman ini akan menjadi rujukan utama bagi hakam dan para pihak.
- Edukasi dan Sosialisasi Masyarakat: Lembaga-lembaga Islam bertanggung jawab untuk mengedukasi masyarakat luas tentang konsep, keutamaan, dan prosedur bertahkim. Ini dapat dilakukan melalui ceramah, khutbah, publikasi, dan program-program di komunitas.
- Pelatihan dan Pengembangan Hakam: Mengadakan program pelatihan berkelanjutan bagi individu-individu yang memiliki potensi menjadi hakam. Pelatihan ini harus mencakup pendalaman fiqih muamalat, akhlak hakam, teknik mediasi, dan keterampilan mengambil keputusan.
- Pembentukan Pusat Pelayanan Tahkim Komunitas: Mendorong pembentukan pusat-pusat tahkim di tingkat komunitas (misalnya, di bawah naungan masjid, yayasan Islam, atau organisasi kemasyarakatan). Pusat-pusat ini dapat berfungsi sebagai forum pertama bagi penyelesaian sengketa kecil dan menyediakan daftar hakam lokal yang tepercaya.
- Pengawasan dan Penjaminan Kualitas: Lembaga Islam dapat berperan dalam mengawasi pelaksanaan tahkim untuk memastikan prosesnya berjalan sesuai syariat dan etika. Mereka juga bisa memberikan akreditasi atau rekomendasi bagi hakam yang memenuhi standar kualitas tertentu.
- Penelitian dan Pengembangan: Melakukan penelitian tentang tantangan dan peluang tahkim di era modern, serta mengembangkan model-model tahkim yang inovatif dan adaptif dengan perkembangan zaman, misalnya tahkim daring (online arbitration).
Sinergi antara pemerintah yang menyediakan kerangka hukum dan dukungan infrastruktur, serta lembaga-lembaga Islam yang menyediakan landasan syariah, pendidikan, dan sumber daya manusia, akan menjadikan bertahkim sebagai sebuah mekanisme penyelesaian sengketa yang kuat, relevan, dan berkelanjutan dalam masyarakat Muslim kontemporer. Kolaborasi ini tidak hanya akan meringankan beban pengadilan, tetapi juga memperkuat kohesi sosial dan menegakkan keadilan dengan cara yang lebih merakyat dan sesuai dengan nilai-nilai agama.
Studi Kasus Fiktif: Ilustrasi Penerapan Bertahkim
Untuk memberikan gambaran yang lebih konkret mengenai bagaimana bertahkim bekerja dalam praktik, mari kita lihat beberapa studi kasus fiktif yang menggambarkan penerapannya dalam berbagai jenis sengketa.
Studi Kasus 1: Sengketa Warisan Keluarga
Latar Belakang
Setelah wafatnya Bapak Hadi, ahli warisnya (tiga anak laki-laki dan dua anak perempuan) berselisih mengenai pembagian harta warisan. Secara syariah, pembagian sudah jelas, namun ada perbedaan penafsiran mengenai nilai aset tertentu (sebidang tanah yang belum bersertifikat dan sebuah rumah tua yang ingin direnovasi salah satu anak). Selain itu, salah satu anak laki-laki merasa ia telah banyak berkontribusi dalam merawat orang tua, sehingga ia merasa berhak mendapatkan bagian lebih, meskipun secara fiqih waris tidak demikian.
Penyelesaian Melalui Bertahkim
Daripada membawa ke Pengadilan Agama yang akan memakan waktu dan berpotensi merusak hubungan keluarga, kelima ahli waris sepakat untuk bertahkim. Mereka menunjuk Ustadz Karim, seorang ulama lokal yang dihormati dan juga memiliki pemahaman yang baik tentang fiqih waris dan masalah properti, sebagai hakam.
Proses:
- Akad Tahkim: Kelima ahli waris menandatangani kesepakatan tertulis yang menyatakan mereka menyerahkan sengketa warisan kepada Ustadz Karim dan akan menerima putusannya.
- Pengumpulan Informasi: Ustadz Karim mengundang semua ahli waris satu per satu untuk menyampaikan argumen, bukti kepemilikan aset, dan pandangan mereka tentang nilai aset. Ia juga meminta dokumen pendukung seperti sertifikat tanah (jika ada) dan estimasi harga pasar.
- Verifikasi: Ustadz Karim menugaskan dua orang saksi tepercaya untuk melakukan survei nilai pasar tanah dan rumah tua secara independen, untuk mendapatkan data yang objektif.
- Mediasi dan Nasihat: Setelah mendapatkan gambaran lengkap, Ustadz Karim mengumpulkan semua ahli waris. Ia menjelaskan hukum waris Islam secara rinci, termasuk hak-hak setiap ahli waris. Ia juga memberikan nasihat tentang pentingnya menjaga silaturahim dan ukhuwah keluarga. Ia menjelaskan bahwa klaim salah satu anak yang merasa berhak lebih karena merawat orang tua bisa diselesaikan melalui hibah atau wasiat (jika ada), namun tidak mempengaruhi bagian waris yang telah ditetapkan syariah. Namun, ia juga membuka ruang bagi anak-anak lain untuk bersepakat memberikan "tali asih" dari bagian mereka jika mereka menginginkannya sebagai bentuk penghargaan.
- Putusan: Setelah beberapa kali pertemuan dan musyawarah, Ustadz Karim memberikan putusan. Ia menetapkan nilai pasar tanah dan rumah berdasarkan survei yang dilakukan. Ia kemudian memerintahkan pembagian warisan sesuai syariat Islam (2:1 antara laki-laki dan perempuan). Mengenai klaim anak yang merasa berhak lebih, ia menyarankan agar anak-anak lain secara sukarela memberikan sejumlah uang sebagai bentuk penghargaan atas jerih payah saudaranya, namun itu adalah keputusan sukarela mereka, bukan kewajiban hukum waris. Putusan ini diterima oleh semua ahli waris.
Hasil
Sengketa dapat diselesaikan dalam waktu kurang dari satu bulan. Hubungan keluarga tetap terjaga, bahkan diperkuat karena adanya proses musyawarah dan pemahaman bersama. Biaya yang dikeluarkan sangat minimal. Semua pihak merasa keadilan telah ditegakkan sesuai syariat dan suasana kekeluargaan tetap harmonis.
Studi Kasus 2: Sengketa Bisnis (Musyarakah)
Latar Belakang
Pak Ahmad dan Pak Budi adalah mitra dalam sebuah usaha toko kelontong dengan akad musyarakah (usaha patungan). Mereka menyepakati pembagian keuntungan 50:50. Namun, setelah setahun berjalan, Pak Budi merasa Pak Ahmad tidak jujur dalam melaporkan pemasukan dan pengeluaran, sehingga keuntungan yang dilaporkan lebih kecil dari seharusnya. Pak Ahmad merasa sudah transparan dan menuduh Pak Budi tidak bekerja maksimal.
Penyelesaian Melalui Bertahkim
Untuk menghindari kerugian lebih besar dan rusaknya hubungan baik, mereka sepakat untuk bertahkim. Mereka menunjuk seorang akuntan syariah yang juga merupakan anggota dewan masjid, Bapak Hasan, sebagai hakam.
Proses:
- Akad Tahkim: Keduanya menandatangani perjanjian tahkim yang mengikat, merinci objek sengketa dan menunjuk Bapak Hasan sebagai hakam.
- Analisis Keuangan: Bapak Hasan meminta semua catatan keuangan, laporan pembelian, penjualan, dan bukti transfer dari kedua belah pihak. Sebagai akuntan syariah, ia mampu menganalisis catatan tersebut dengan cermat.
- Klarifikasi dan Pembuktian: Bapak Hasan mengadakan pertemuan terpisah dan bersama dengan Pak Ahmad dan Pak Budi. Ia mengidentifikasi beberapa ketidaksesuaian dalam pencatatan yang dilakukan Pak Ahmad, bukan karena niat curang, melainkan karena kurangnya pemahaman akuntansi yang baik. Ia juga mendapati bahwa Pak Budi memang beberapa kali tidak maksimal dalam promosi, namun tidak sampai melanggar akad.
- Mediasi dan Saran Perbaikan: Bapak Hasan menjelaskan temuan-temuannya kepada kedua pihak. Ia menyarankan perbaikan sistem pencatatan keuangan, termasuk penggunaan software akuntansi sederhana. Ia juga menasihati keduanya tentang pentingnya amanah dalam bermitra dan saling mendukung. Ia mengusulkan penyesuaian kecil dalam pembagian keuntungan untuk periode sebelumnya untuk menutupi selisih yang ditemukan, serta komitmen baru untuk evaluasi berkala.
- Putusan: Berdasarkan analisis keuangan dan semangat islah, Bapak Hasan memutuskan bahwa Pak Ahmad harus mengembalikan sejumlah kecil keuntungan yang kurang dibayarkan kepada Pak Budi. Ia juga merekomendasikan keduanya untuk melanjutkan kemitraan dengan sistem pencatatan yang lebih transparan dan kesepakatan kerja yang lebih jelas, serta melakukan audit internal setiap tiga bulan. Kedua pihak menerima putusan dan berkomitmen untuk memperbaiki kemitraan mereka.
Hasil
Sengketa diselesaikan tanpa perlu litigasi, dalam waktu dua minggu. Keuangan usaha menjadi lebih transparan, dan hubungan kemitraan dapat diselamatkan. Kedua pihak mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang prinsip musyarakah dan manajemen keuangan.
Studi kasus fiktif ini menunjukkan bagaimana bertahkim dapat menjadi solusi yang efektif, cepat, dan berorientasi pada pemeliharaan hubungan, sekaligus tetap menjunjung tinggi prinsip keadilan sesuai syariat Islam.
Kesimpulan: Bertahkim sebagai Pilar Keadilan dan Perdamaian
Sepanjang pembahasan yang telah kita jalani, terlihat jelas bahwa bertahkim bukanlah sekadar sebuah alternatif, melainkan sebuah pilar yang kokoh dalam sistem hukum Islam untuk mencapai keadilan dan perdamaian. Berakar kuat pada Al-Qur'an dan Sunnah, serta diperkuat oleh konsensus ulama, tahkim menawarkan sebuah mekanisme penyelesaian sengketa yang bersifat humanis, efisien, dan berorientasi pada rekonsiliasi. Ia merupakan manifestasi nyata dari nilai-nilai luhur Islam yang mengedepankan ukhuwah, silaturahim, dan kemaslahatan umat.
Keunggulan bertahkim terletak pada sifatnya yang sukarela, fleksibilitas prosedur, hemat biaya dan waktu, serta kemampuannya untuk menjaga privasi dan keharmonisan hubungan antarpihak. Berbeda dengan rigiditas peradilan formal yang seringkali menghasilkan putusan "menang-kalah" dan berpotensi merusak hubungan, bertahkim berusaha mencari titik temu, memediasi, dan menghasilkan solusi yang dapat diterima oleh semua pihak, dengan fokus pada perbaikan (islah) dan bukan sekadar vonis hukum.
Meskipun demikian, penerapan bertahkim tidak lepas dari tantangan, terutama terkait kekuatan eksekutorial putusan, kualifikasi hakam, dan kurangnya pemahaman masyarakat. Namun, tantangan-tantangan ini dapat diatasi melalui upaya kolektif dari pemerintah, lembaga-lembaga Islam, dan masyarakat itu sendiri. Penguatan regulasi, pembentukan lembaga arbitrase syariah yang profesional, peningkatan kualitas hakam melalui pelatihan dan sertifikasi, serta edukasi publik yang masif adalah langkah-langkah esensial untuk memaksimalkan potensi tahkim di era modern.
Dalam konteks kehidupan kontemporer yang semakin kompleks, di mana sengketa dapat muncul dalam berbagai bentuk—mulai dari masalah keluarga, bisnis syariah, hingga perdata umum—bertahkim menawarkan solusi yang relevan dan adaptif. Ia dapat menjadi komponen penting dalam sistem Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS), meringankan beban pengadilan, dan memberdayakan komunitas untuk menyelesaikan masalah mereka sendiri dengan cara yang lebih mandiri dan bermartabat.
Dengan memahami dan menerapkan prinsip-prinsip bertahkim secara benar dan bertanggung jawab, umat Islam dapat terus menegakkan keadilan, memelihara persaudaraan, dan menciptakan masyarakat yang lebih harmonis dan damai, sesuai dengan tuntunan ajaran agama yang penuh hikmah.