Tradisi lisan dan kesusastraan Melayu adalah khazanah tak ternilai yang mencerminkan kebijaksanaan leluhur, pandangan hidup, serta nilai-nilai budaya yang mendalam. Di antara berbagai bentuk puisi lama yang dikenal, seperti pantun, syair, dan gurindam, terdapat satu bentuk yang tak kalah kaya makna dan keindahan: seloka. Namun, tidak hanya bentuk puisinya yang menarik, tetapi juga berseloka—aktivitas melantunkan atau mengutarakan seloka—yang merupakan jantung dari tradisi ini.
Berseloka bukanlah sekadar membaca bait-bait puisi; ia adalah sebuah seni penyampaian, sebuah dialog budaya yang menghubungkan masa lalu dengan masa kini, dan individu dengan komunitasnya. Melalui berseloka, pesan-pesan moral, kritik sosial, humor jenaka, atau bahkan sindiran tajam disampaikan dengan cara yang halus, namun mengena. Artikel ini akan membawa kita menyelami lebih dalam dunia seloka dan seni berseloka, mengupas tuntas definisi, karakteristik, fungsi, perbandingan dengan bentuk puisi lain, hingga relevansinya di era modern.
Istilah "seloka" berasal dari bahasa Sanskerta, yaitu "śloka" atau "sanskrit śloka", yang berarti nyanyian atau puji-pujian. Dalam konteks kesusastraan Melayu, seloka merujuk pada sejenis puisi Melayu klasik yang tidak memiliki bentuk terikat seperti pantun atau syair. Meskipun demikian, seloka memiliki ciri khasnya sendiri yang membedakannya dari bentuk puisi lainnya. Ia seringkali dianggap sebagai puisi bebas, namun kebebasan ini tetap dibatasi oleh kaidah-kaidah tertentu yang membentuk identitasnya.
Seloka pada dasarnya adalah puisi yang berisi ajaran, nasihat, sindiran, kiasan, atau bahkan humor. Ia cenderung lebih fleksibel dalam jumlah baris, rima, dan bait, namun umumnya mengusung satu tema atau pesan yang jelas dalam setiap unit gagasan. Intinya, seloka berfungsi sebagai medium untuk menyampaikan pemikiran atau perasaan dengan gaya bahasa yang indah dan penuh makna, seringkali dengan sentuhan kebijaksanaan yang mendalam.
Meskipun disebut puisi bebas, seloka memiliki karakteristik yang membedakannya:
Kehadiran seloka di Nusantara tidak dapat dilepaskan dari pengaruh kebudayaan India, terutama penyebaran agama Hindu dan Buddha. Sebagaimana disebutkan, kata "seloka" berakar dari Sanskerta. Dengan masuknya kebudayaan ini, berbagai bentuk sastra dan pemikiran ikut meresap dan berasimilasi dengan budaya lokal.
Pada awalnya, seloka mungkin lebih banyak digunakan dalam konteks keagamaan atau puji-pujian terhadap dewa-dewi. Namun, seiring waktu, bentuk ini diadopsi dan diadaptasi oleh masyarakat Melayu untuk menyampaikan berbagai gagasan sehari-hari, moral, dan kritik sosial. Ia menjadi bagian integral dari tradisi lisan, hidup dalam masyarakat melalui cerita rakyat, nasihat orang tua, dan pengajaran di lingkungan istana maupun pedesaan.
Transformasi seloka terus berlanjut seiring masuknya pengaruh Islam. Banyak seloka kemudian diisi dengan ajaran-ajaran Islam, seperti tauhid, akhlak mulia, dan kisah-kisah nabi. Ini menunjukkan fleksibilitas seloka sebagai wadah ekspresi yang mampu menampung berbagai muatan budaya dan agama tanpa kehilangan identitasnya sebagai puisi pengajaran dan sindiran.
Dalam perkembangannya, seloka tidak hanya diucapkan, tetapi juga mulai dicatat dalam manuskrip-manuskrip lama, seperti yang ditemukan dalam Hikayat Raja-raja Pasai atau Sejarah Melayu. Kehadiran seloka dalam karya-karya sastra besar ini menegaskan posisinya sebagai bentuk sastra yang dihormati dan memiliki nilai penting dalam khazanah intelektual dan budaya Melayu.
Seloka bukan sekadar rangkaian kata-kata indah; ia adalah cerminan dari kehidupan masyarakat, alat untuk mendidik, mengkritik, menghibur, dan melestarikan nilai-nilai. Perannya dalam masyarakat Melayu sangat multidimensional.
Salah satu fungsi paling dominan dari seloka adalah sebagai penyampai nasihat dan ajaran moral. Dalam masyarakat tradisional, di mana pendidikan formal belum merata, seloka menjadi salah satu cara efektif untuk menanamkan budi pekerti, etika, dan nilai-nilai keagamaan kepada generasi muda. Pesan disampaikan secara tidak langsung, melalui kiasan dan perumpamaan, sehingga lebih mudah dicerna dan diingat.
Kalau pandai berseloka,
Jangan lupa budi bahasa.
Hidup di dunia cuma sementara,
Akhirat tempat kekal selama-lama.
Seloka ini menasihati agar seseorang yang pandai berbicara atau berseni tidak melupakan etika dan kesopanan. Ia juga mengingatkan tentang sifat sementara kehidupan dunia dan pentingnya mempersiapkan diri untuk kehidupan akhirat, sebuah pesan moral yang mendalam dan universal.
Baik-baik hidup merantau,
Jangan sampai hilang adat.
Jauh berjalan luas pandangan,
Tetap pegang prinsip dan martabat.
Contoh lain ini menyiratkan nasihat bagi perantau. Meski jauh dari kampung halaman dan mendapatkan pengalaman baru, ia tidak boleh melupakan akar budayanya atau kehilangan kehormatan diri. Nasihat semacam ini sangat relevan dalam masyarakat Melayu yang banyak melibatkan mobilitas.
Selain nasihat, seloka juga sering digunakan sebagai media kritik sosial. Kritik disampaikan dengan cara yang halus, tidak langsung, agar tidak menyinggung pihak tertentu secara terang-terangan, namun pesannya tetap sampai. Ini adalah strategi komunikasi yang cerdas dalam masyarakat yang menjunjung tinggi keharmonisan dan tidak suka konfrontasi langsung.
Ada udang di balik batu,
Melihat ayam di kandang orang.
Pura-pura menolong, padahal menunggu,
Kesempatan datang, segera menyerang.
Seloka ini menyindir orang-orang munafik atau yang memiliki niat buruk di balik tindakan baiknya. Ungkapan "ada udang di balik batu" adalah peribahasa populer yang sangat tepat digunakan di sini. Ia mengkritik tanpa menyebut nama, namun gambaran perilakunya sangat jelas.
Katak dalam tempurung melompat,
Mengira dunia hanya selebar itu.
Sombong diri merasa hebat,
Padahal ilmu tak seujung kuku.
Contoh ini adalah sindiran tajam kepada orang yang picik pandangannya namun angkuh dan sombong. Metafora "katak dalam tempurung" secara lugas menggambarkan keterbatasan wawasan. Melalui seloka, perilaku negatif dalam masyarakat diangkat untuk menjadi bahan renungan dan perbaikan.
Tak hanya berisi nasihat dan kritik, seloka juga memiliki fungsi hiburan. Beberapa seloka bersifat jenaka, mengandung unsur humor, atau menceritakan kisah-kisah lucu yang dapat menghibur pendengar. Ini menunjukkan bahwa sastra tidak selalu harus serius; ia juga bisa menjadi sumber kegembiraan dan tawa.
Pak Kaduk naik kuda,
Kudanya lari terlanggar batu.
Kerana gembira dapat harta,
Rupanya harta pinjaman semu.
Seloka ini mengisahkan kekonyolan Pak Kaduk, sebuah tokoh dongeng Melayu yang sering digambarkan bodoh dan malang. Kisahnya lucu karena sifatnya yang senang berkhayal dan mudah ditipu, yang akhirnya berakhir pada kemalangan yang menggelitik. Ini berfungsi sebagai hiburan sekaligus sindiran halus tentang ketamakan atau kebodohan.
Makan pulut di tepi sawah,
Terkejut melihat kera menari.
Puas sudah tertawa terbahak-bahak,
Rupanya kera mirip si tuan putri.
Contoh ini jelas berunsur jenaka. Penggunaan perbandingan yang tak terduga (kera menari mirip tuan putri) menciptakan efek komedi, membuat pendengar terhibur dan tertawa. Seloka jenaka seringkali berfungsi sebagai selingan dalam pertemuan sosial atau untuk meringankan suasana.
Di luar fungsi-fungsi spesifik di atas, seloka secara umum berperan sebagai penyimpan dan penyebar ilmu serta hikmah. Melalui bait-baitnya, berbagai pengetahuan praktis, petuah bijak, pengalaman hidup, bahkan sedikit ilmu pengobatan tradisional atau pertanian bisa disematkan. Ini adalah cara masyarakat pramenulis atau dengan tingkat literasi rendah untuk mewariskan pengetahuan penting dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Sifatnya yang mudah diingat, terutama jika dilantunkan dengan irama tertentu, menjadikan seloka medium yang sangat efektif untuk edukasi komunal. Ia membentuk kesadaran kolektif tentang apa yang baik dan buruk, benar dan salah, penting dan tidak penting dalam suatu masyarakat.
Untuk memahami seloka sepenuhnya, penting untuk membedakannya dari bentuk puisi lama Melayu lainnya yang seringkali memiliki kemiripan namun juga perbedaan mendasar. Perbandingan ini akan menyoroti keunikan seloka.
Pantun adalah bentuk puisi Melayu yang paling populer dan paling terikat. Berikut perbandingannya dengan seloka:
Pantun:
Malam Minggu makan roti,
Roti dibeli di Pasar Baru.
Jaga hati, jaga budi,
Agar kelak disayang ibu.
Seloka:
Adapun manusia itu,
Hidupnya mesti berilmu.
Bila tiada berilmu itu,
Bagai pohon tiada berbuah.
Walau kaya berharta benda,
Jika ilmu tiada di dada,
Hanyalah hina di mata dunia.
Perbedaan paling mencolok adalah pada struktur sampiran dan isi, serta keterikatan rima dan jumlah baris. Pantun lebih ringkas dan punya struktur "teka-teki" atau "pengantar", sementara seloka lebih langsung dalam menyampaikan gagasan inti dari awal hingga akhir bait, seringkali lebih panjang dan naratif.
Syair adalah puisi naratif yang berasal dari pengaruh Arab dan Persia. Berikut perbandingannya:
Syair:
Dengarkan tuan suatu riwayat,
Raja di Aceh raja yang kuat.
Mendirikan istana sangatlah megah,
Tak ada tandingnya di seluruh negeri.
Seloka:
Perbedaan utama adalah pada struktur rima (a-a-a-a untuk syair) dan sifat naratifnya. Syair diciptakan untuk bercerita, sedangkan seloka untuk memberi nasihat atau kritik.
Gurindam adalah bentuk puisi lama yang dikenal karena singkat, padat, dan penuh makna filosofis.
Gurindam:
Barang siapa mengenal Allah,
Dia tahu erti khalifah.
Seloka:
Gurindam sangat terfokus pada hubungan kausalitas dan filosofi dalam dua baris yang padat. Seloka memiliki ruang lingkup yang lebih luas dalam pengembangan ide dan penyampaiannya.
Seperti yang telah disinggung di awal, "berseloka" adalah inti dari tradisi ini. Ia bukan hanya tentang teks, melainkan tentang bagaimana teks itu dihidupkan. Berseloka adalah seni pertunjukan lisan, sebuah proses yang membutuhkan tidak hanya kemampuan verbal tetapi juga pemahaman mendalam akan makna dan konteks.
Berseloka pada hakikatnya adalah melantunkan atau mengucapkan seloka di hadapan khalayak. Proses ini seringkali terjadi dalam konteks:
Saat berseloka, ada beberapa aspek penting yang diperhatikan:
Estetika berseloka terletak pada gabungan keindahan bahasa, melodi vokal, dan kedalaman makna. Ketika seseorang berseloka dengan baik, ia menciptakan sebuah pengalaman yang menyentuh indera pendengaran dan juga hati nurani. Penggunaan bahasa kiasan dan peribahasa dalam seloka menambah nilai artistik, membuat pesan disampaikan dengan cara yang tidak biasa, yang merangsang imajinasi dan pemikiran.
Selain itu, estetika juga muncul dari kebijaksanaan yang terkandung dalam seloka. Kemampuan merangkai kata-kata menjadi ajaran yang relevan, atau sindiran yang tajam namun beradab, menunjukkan keahlian sastrawan lisan dalam mengolah bahasa dan pemikiran. Seloka menjadi bukti bahwa sastra lisan mampu memiliki kedalaman filosofis yang setara, bahkan kadang melebihi, sastra tulis.
Tanpa penghayatan, seloka hanyalah kumpulan kata-kata mati. Penghayatan adalah jembatan antara teks dan audiens. Dengan menghayati, pembaca mampu:
Seloka, sebagai bagian dari warisan budaya, tidak berhenti pada bentuk klasiknya. Ia terus berevolusi dan mencari relevansi di tengah perubahan zaman. Mempelajari contoh-contohnya akan memberikan gambaran yang lebih konkret.
Beberapa seloka klasik telah menjadi bagian dari kesusastraan Melayu yang abadi. Mari kita lihat beberapa di antaranya:
Ini adalah salah satu seloka yang cukup populer karena mengandung ajaran moral yang kuat.
Aduh manira anak orang,
Bertanam biji di atas batu.
Air mata jatuh menetes,
Jatuh di batu hancur luluh.
Manira itu terlalu tamak,
Hati rakus tak pernah cukup.
Akibatnya diri binasa,
Tak dapat apa, tinggal sesal.
Analisis: Seloka ini menggambarkan seseorang yang memiliki sifat tamak dan rakus, digambarkan dengan metafora "bertanam biji di atas batu" yang melambangkan usaha sia-sia atau harapan yang tidak realistis karena didasari keserakahan. "Air mata jatuh menetes, jatuh di batu hancur luluh" adalah gambaran kepedihan dan kehancuran akibat ketamakan yang tidak terobati. Pesan moralnya jelas: sifat tamak hanya akan membawa kehancuran dan penyesalan, tidak akan pernah membawa kebahagiaan atau keuntungan sejati.
Meskipun sudah disinggung sebelumnya, seloka Pak Kaduk seringkali lebih panjang dan kompleks, mengisahkan nasib si malang yang bodoh dan selalu rugi karena keputusan-keputusannya yang konyol.
Aduhai Pak Kaduk,
Ayamnya menang, kampungnya tergadai.
Ada hati hendak berjaya,
Tidak disangka nasib celaka.
Berjalan mundar-mandir,
Mencari untung di tempat rugi.
Sudah untung jadi rugi,
Sudah kaya jadi miskin.
Tersenyum lebar dengan pameran,
Padahal di saku tiada uang.
Duduk termangu di tepi jalan,
Mengharap belas kasihan orang.
Analisis: Seloka ini merupakan kritik sosial sekaligus jenaka tentang kebodohan, ketamakan, dan nasib sial yang menimpa Pak Kaduk. Frasa "Ayamnya menang, kampungnya tergadai" adalah puncak ironi, menunjukkan kemenangan yang justru berujung pada kerugian besar. Ini menyindir orang yang tidak berpikir panjang, mudah tergiur keuntungan sesaat, dan akhirnya kehilangan segalanya. Humornya muncul dari absurditas nasib Pak Kaduk yang terus-menerus merugi meskipun berniat baik atau berusaha. Ia juga menyindir orang yang suka pamer padahal tidak memiliki apa-apa.
Ini adalah seloka umum yang menekankan pentingnya budi bahasa dan etika.
Manusia hidup di muka bumi,
Budi pekerti wajib dihati.
Berbicara santun, bersikap luhur,
Itulah tanda orang berakal.
Jangan cepat mengata orang,
Lihatlah dulu diri sendiri.
Sebab lidah tak bertulang,
Membawa celaka sepanjang hari.
Analisis: Seloka ini lugas dalam menyampaikan nasihat tentang pentingnya budi pekerti. Ia menekankan bahwa ucapan dan sikap yang baik adalah cerminan akal dan kebijaksanaan. Bagian kedua mengingatkan tentang bahaya lisan yang tidak terkontrol ("lidah tak bertulang") dan menganjurkan introspeksi sebelum mengkritik orang lain. Ini adalah pelajaran universal tentang kendali diri dan pentingnya menjaga ucapan agar tidak menyakiti atau mencelakakan.
Meskipun seloka adalah bentuk puisi lama, nilai-nilai dan pesan yang terkandung di dalamnya tetap relevan hingga kini. Di era modern, seloka mengalami berbagai bentuk adaptasi:
Adaptasi ini menunjukkan bahwa seloka bukanlah relik masa lalu yang beku, melainkan bentuk seni yang dinamis, mampu berinteraksi dengan konteks baru tanpa kehilangan esensinya.
Di tengah arus globalisasi dan dominasi budaya pop, seloka menghadapi tantangan besar dalam pelestariannya:
Meskipun tantangan ada, berbagai upaya dilakukan untuk menghidupkan kembali dan melestarikan tradisi berseloka:
Dengan upaya kolektif, diharapkan tradisi berseloka dapat terus hidup, tidak hanya sebagai warisan masa lalu, tetapi sebagai bagian yang relevan dan berharga dari identitas budaya di masa depan.
Seloka seringkali menjadi media yang efektif untuk membahas berbagai tema kehidupan. Kedalamannya memungkinkan pembahasan isu-isu kompleks dengan cara yang sederhana namun kuat. Mari kita telusuri beberapa tema umum yang sering diangkat dalam seloka.
Budi pekerti adalah fondasi moral suatu masyarakat. Seloka banyak menyoroti pentingnya etika, sopan santun, dan perilaku mulia. Ini mencerminkan nilai-nilai yang sangat dijunjung tinggi dalam kebudayaan Melayu.
Jika hendak hidup berkat,
Jaga lisan, jaga tingkah.
Jangan mudah mengumpat,
Kerja baik tak pernah sudah.
Hati bersih tiada dengki,
Itulah tanda insan berbudi.
Bila tamak, bila khianat,
Hancurlah segala martabat.
Analisis: Seloka ini secara langsung menasihati tentang pentingnya menjaga lisan dan perilaku ("jaga lisan, jaga tingkah") untuk mencapai kehidupan yang "berkat" atau penuh keberkahan. Ia melarang perbuatan mengumpat dan mendorong untuk terus berbuat baik. Lebih lanjut, seloka ini menekankan bahwa hati yang bersih dari dengki adalah ciri orang yang berbudi, sementara sifat tamak dan khianat hanya akan merusak harga diri. Ini adalah seloka yang sangat fungsional, memberikan panduan etis yang jelas.
Orang berbudi kita sanjung,
Orang berilmu kita tuntut.
Orang jahat jangan dilindung,
Nanti diri ikut terjerat.
Hormat orang tua, sayang sesama,
Itu ajaran turun-temurun.
Jangan sampai kita terlupa,
Adat resam jadi panduan.
Analisis: Seloka ini membangun dikotomi antara orang berbudi dan berilmu yang patut dihormati, dengan orang jahat yang harus dihindari. Bagian kedua seloka menegaskan kembali nilai-nilai luhur seperti menghormati orang tua dan menyayangi sesama, yang merupakan ajaran turun-temurun dalam adat Melayu. Ia berfungsi sebagai pengingat akan pentingnya menjaga tradisi dan nilai-nilai luhur dalam kehidupan sehari-hari.
Tema eksistensial tentang kehidupan yang fana dan kematian yang pasti juga sering diangkat dalam seloka, seringkali untuk memberikan perspektif tentang bagaimana seharusnya menjalani hidup.
Dunia ini ibarat panggung sandiwara,
Kita semua hanyalah pelakon.
Ada yang kaya, ada yang papa,
Semua akan kembali ke asal.
Usia muda jangan disia-sia,
Amal ibadah teruslah dikejar.
Karena waktu takkan kembali,
Maut menjemput tiada kabar.
Analisis: Seloka ini menggunakan metafora "panggung sandiwara" untuk menggambarkan sifat sementara kehidupan dunia. Ia menegaskan bahwa kekayaan atau kemiskinan hanyalah peran, dan pada akhirnya semua manusia akan kembali kepada Sang Pencipta. Pesan utamanya adalah nasihat untuk tidak menyia-nyiakan masa muda, melainkan mengisinya dengan perbuatan baik dan ibadah, mengingat kematian bisa datang kapan saja tanpa pemberitahuan. Ini adalah seloka yang sangat religius dan introspektif.
Pagi petang siang malam,
Waktu berlalu tak terasa.
Mengejar dunia tak pernah padam,
Melupakan bekal di alam sana.
Harta benda bertimbun-timbun,
Tak dibawa masuk ke liang kubur.
Hanya amal yang jadi penuntun,
Menuju syurga atau terjerembab di dasar jurang.
Analisis: Seloka ini adalah teguran keras bagi mereka yang terlalu terbuai oleh kehidupan duniawi dan melupakan persiapan untuk akhirat. Ia mengingatkan bahwa waktu terus berjalan, dan obsesi terhadap harta duniawi adalah sia-sia karena tidak dapat dibawa mati. Sebaliknya, hanya amal perbuatan baiklah yang akan menemani seseorang di kehidupan setelah kematian. Seloka ini berfungsi sebagai pengingat agar manusia menyeimbangkan kehidupan duniawi dengan persiapan spiritual.
Masyarakat Melayu tradisional memiliki hubungan yang erat dengan alam. Seloka seringkali mencerminkan penghargaan terhadap alam atau menggunakan elemen alam sebagai kiasan.
Lihatlah hutan rimba raya,
Tempat bersarang aneka satwa.
Jagalah alam, jangan disia-sia,
Rezeki melimpah dari padanya.
Air sungai mengalir jernih,
Sumber hidup bagi semua.
Bila dicemari, hati perih,
Sakitlah bumi, meranalah manusia.
Analisis: Seloka ini adalah seruan untuk menjaga kelestarian alam. Hutan digambarkan sebagai tempat kehidupan berbagai makhluk, dan fungsinya sebagai sumber rezeki ditekankan. Sungai sebagai sumber air bersih juga disorot pentingnya. Seloka ini memperingatkan tentang konsekuensi negatif dari pencemaran lingkungan, mengaitkan kesehatan alam dengan kesejahteraan manusia. Ini menunjukkan kearifan lokal dalam menjaga keseimbangan ekologi.
Dalam konteks kerajaan atau masyarakat yang terstruktur, seloka juga digunakan untuk menyampaikan nasihat kepada pemimpin atau mengkritik pemerintahan yang tidak adil.
Raja adil raja disembah,
Raja zalim raja disanggah.
Hukum dan adat jangan diubah,
Agar rakyat hidup tak resah.
Bila pemimpin tak peduli,
Rakyat menderita tak terperi.
Lambat laun akan bangkit,
Menuntut hak yang telah dirampas.
Analisis: Seloka ini adalah cerminan dari filosofi kepemimpinan dalam masyarakat Melayu. Ia menegaskan bahwa seorang raja atau pemimpin yang adil akan dihormati dan ditaati, sementara yang zalim akan ditentang. Penekanan pada hukum dan adat sebagai pegangan penting menunjukkan pentingnya keadilan dan kepastian dalam pemerintahan. Bagian kedua adalah peringatan keras bahwa penderitaan rakyat akibat pemimpin yang tidak peduli dapat memicu pemberontakan. Ini menunjukkan seloka sebagai alat pengawasan sosial terhadap kekuasaan.
Berseloka dan seloka adalah lebih dari sekadar bentuk puisi lama; mereka adalah cerminan kebijaksanaan, nilai-nilai, dan pandangan dunia masyarakat Melayu. Melalui bait-baitnya yang penuh makna, ia telah menyampaikan nasihat, melancarkan kritik, menyebarkan humor, dan mewariskan ilmu dari generasi ke generasi. Fleksibilitasnya dalam bentuk dan kedalamannya dalam isi menjadikannya unik di antara puisi-puisi Melayu lainnya.
Di era yang serba cepat dan modern ini, di mana nilai-nilai tradisional seringkali tergerus, tradisi berseloka menawarkan jangkar yang penting. Ia mengingatkan kita akan pentingnya merenung, berbahasa dengan indah, dan menyampaikan pesan dengan hati-hati. Melestarikan seloka berarti melestarikan sebuah cara berpikir, sebuah cara berkomunikasi, dan sebuah kepingan identitas budaya yang tak ternilai harganya.
Mari kita bersama-sama terus menggali, mempelajari, dan menghidupkan kembali seni berseloka. Dengan demikian, kita tidak hanya menjaga warisan leluhur, tetapi juga memperkaya diri dengan hikmah yang abadi, relevan di setiap zaman, dan selalu mampu mencerahkan jalan hidup kita.