Seni Berhidang: Menguak Makna di Balik Tradisi Penyajian

Lebih dari Sekadar Makanan: Sebuah Perjalanan Melintasi Budaya, Etiket, dan Jiwa

Aktivitas berhidang, atau menyajikan makanan, sering kali dianggap remeh, sekadar rutinitas fungsional untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia. Namun, jika kita menyelami lebih dalam, berhidang adalah sebuah seni, sebuah ritual, dan bahkan sebuah filosofi yang sarat makna. Dari meja makan sederhana di rumah hingga perjamuan megah kerajaan, dari warung pinggir jalan hingga restoran bintang Michelin, praktik berhidang telah membentuk peradaban, merefleksikan identitas budaya, serta menjadi jembatan bagi interaksi sosial dan spiritual. Artikel ini akan membawa kita menelusuri seluk-beluk seni berhidang, mengungkap lapis-lapis maknanya dari berbagai perspektif: sejarah, budaya, estetika, etiket, hingga relevansinya di era modern.

Di setiap sendok nasi yang dihidangkan, setiap piring lauk yang tertata rapi, atau setiap cangkir teh yang disuguhkan, terkandung narasi panjang tentang kehangatan keluarga, keramahan tuan rumah, penghormatan kepada tamu, atau bahkan persembahan kepada yang Maha Kuasa. Berhidang bukan hanya tentang meletakkan makanan di atas meja; ini adalah tentang mempersiapkan, menata, mempersembahkan, dan pada akhirnya, berbagi esensi kehidupan itu sendiri. Ini adalah tindakan universal yang melampaui batasan geografis dan linguistik, menghubungkan manusia melalui pengalaman sensorik yang mendalam dan ikatan sosial yang tak terucapkan.

Sejarah dan Evolusi Praktik Berhidang

Sejak zaman prasejarah, manusia telah menemukan cara untuk menyajikan makanan. Awalnya, mungkin hanya sesederhana menempatkan hasil buruan atau panen di atas daun lebar atau batu datar. Namun, seiring dengan perkembangan peradaban, praktik berhidang mulai mengalami evolusi. Di Mesopotamia kuno dan Mesir Kuno, perjamuan kerajaan digambarkan dengan hidangan yang melimpah, disajikan di atas meja rendah, dengan para pelayan yang menuangkan minuman dan menghidangkan makanan secara individual kepada para bangsawan. Hieroglif dan artefak menunjukkan bahwa penyajian makanan telah menjadi bagian integral dari upacara keagamaan dan perayaan sosial.

Romawi Kuno terkenal dengan pesta poranya yang mewah, di mana makanan disajikan dalam urutan yang rumit (disebut *fercula*), seringkali di atas nampan perak atau emas. Para tamu berbaring di *triclinium* (kursi panjang) dan makanan dihidangkan oleh budak. Di Timur, Kekaisaran Tiongkok juga mengembangkan tradisi perjamuan yang sangat formal, dengan ratusan hidangan yang disajikan dalam pola yang harmonis, melambangkan kemewahan dan status kekuasaan. Teh, misalnya, disajikan dengan upacara khusus yang menekankan keanggunan dan penghormatan.

Abad Pertengahan di Eropa melihat perkembangan meja panjang komunal, di mana semua orang, dari bangsawan hingga rakyat jelata (dalam tingkatan yang berbeda), makan dari hidangan yang sama yang dihidangkan di tengah. Pergeseran ke piring individu dan peralatan makan pribadi adalah inovasi yang relatif baru, muncul perlahan selama Renaisans dan menjadi standar di era Victoria. Sebelumnya, berbagi piring dan makan dengan tangan adalah hal yang umum. Inovasi seperti garpu, yang awalnya dianggap aneh dan tidak perlu, akhirnya mengubah cara makan dan berhidang secara fundamental.

Era modern membawa revolusi dalam industri makanan dan perhotelan. Konsep restoran, seperti yang kita kenal sekarang, berasal dari Prancis pada abad ke-18, dengan koki profesional yang menyiapkan dan menyajikan hidangan dalam suasana yang lebih formal. Dari sini, muncul berbagai gaya berhidang: *service à la russe* (di mana hidangan disajikan satu per satu dari dapur), *service à la française* (di mana semua hidangan diletakkan di meja sekaligus), hingga prasmanan atau *buffet* yang populer di era kontemporer. Masing-masing gaya ini memiliki implikasi tersendiri terhadap pengalaman bersantap dan interaksi sosial.

Perkembangan teknologi juga turut mengubah wajah berhidang. Pendingin, oven modern, dan alat masak canggih memungkinkan persiapan makanan yang lebih efisien dan presentasi yang lebih rumit. Konsep "fast food" dan "food delivery" adalah manifestasi ekstrem dari evolusi ini, di mana kecepatan dan kenyamanan menjadi prioritas, meskipun kadang mengorbankan aspek ritualistik dan sosial dari berhidang tradisional. Namun, di sisi lain, gerakan "slow food" dan kesadaran akan "farm-to-table" menunjukkan adanya kerinduan untuk kembali pada esensi berhidang yang lebih otentik dan bermakna.

Berhidang dalam Konteks Budaya Nusantara

Di Indonesia, atau yang lebih dikenal sebagai Nusantara, seni berhidang adalah cerminan kekayaan budaya yang tak terhingga. Setiap suku bangsa memiliki tradisi penyajian makanan yang unik, sarat akan filosofi dan nilai-nilai luhur. Ini bukan sekadar cara makan, melainkan ekspresi identitas, solidaritas, dan spiritualitas. Dari Sabang sampai Merauke, kita bisa menemukan beragam tradisi berhidang yang patut untuk dielaborasi.

Minangkabau: Makan Bajamba dan Tradisi Randai

Salah satu contoh paling ikonik adalah tradisi "makan bajamba" dari Minangkabau, Sumatera Barat. Ini adalah cara makan bersama di mana beberapa orang (biasanya 3-7 orang) duduk melingkar dan menyantap hidangan yang dihidangkan dalam wadah besar secara komunal. Makanan yang disajikan biasanya terdiri dari nasi dengan berbagai lauk pauk khas Minang, seperti rendang, gulai, ayam pop, dan aneka sambal. Makan bajamba bukan hanya tentang mengisi perut, tetapi tentang kebersamaan, kesetaraan, dan rasa hormat. Sebelum makan, biasanya ada doa bersama, dan selama makan, etiket yang ketat harus dipatuhi, seperti tidak boleh berbicara terlalu keras atau memilih-milih lauk.

Tradisi lain yang sangat khas dalam proses berhidang masakan Minang adalah "randai" penyajian nasi Padang di rumah makan. Pelayan akan membawa puluhan piring berisi aneka lauk pauk dan menumpuknya di lengan mereka, lalu meletakkannya di meja tamu dalam sekejap mata. Ini adalah pertunjukan keahlian dan efisiensi yang memukau, di mana setiap piring yang dihidangkan adalah sebuah undangan untuk merasakan kekayaan rasa masakan Minang. Filosofi di baliknya adalah kemudahan bagi tamu untuk memilih, serta menunjukkan kemewahan pilihan yang ditawarkan. Tamu hanya membayar lauk yang mereka sentuh atau makan, sebuah sistem yang unik dan adil.

Jawa: Kenduri, Tumpeng, dan Ingkung

Masyarakat Jawa memiliki tradisi "kenduri" atau "slametan", sebuah ritual makan bersama untuk merayakan peristiwa penting seperti kelahiran, pernikahan, kematian, atau sebagai ungkapan syukur. Dalam kenduri, hidangan utama adalah "tumpeng", nasi berbentuk kerucut yang dikelilingi oleh aneka lauk pauk seperti ayam ingkung, urap sayuran, perkedel, telur, dan irisan tempe. Nasi tumpeng ini memiliki makna simbolis yang mendalam; bentuk kerucut melambangkan gunung sebagai tempat bersemayamnya para dewa atau simbol hubungan vertikal manusia dengan Tuhan, sementara lauk-pauk di sekelilingnya melambangkan kemakmuran dan berbagai aspek kehidupan. Proses berhidang tumpeng selalu diawali dengan doa, dan pemotongan puncak tumpeng oleh pemimpin upacara adalah momen puncak yang penuh makna, disusul dengan berbagi hidangan kepada seluruh peserta.

Ayam ingkung, ayam utuh yang dimasak dan disajikan dalam posisi menyembah, adalah hidangan penting lainnya dalam kenduri Jawa. Ingkung sering dihidangkan sebagai bentuk persembahan dan simbol kesempurnaan. Setiap bagian dari ayam memiliki makna filosofis, mengajarkan tentang kesederhanaan, penyerahan diri, dan keikhlasan. Penyajian ingkung dalam kenduri adalah bentuk penghormatan kepada leluhur dan permohonan berkah dari Tuhan Yang Maha Esa.

Sunda: Botram, Ngeliwet, dan Nasi Timbel

Dari tanah Pasundan, kita mengenal tradisi "botram" atau "ngeliwet", yaitu makan bersama di mana hidangan dihidangkan di atas daun pisang yang digelar memanjang. Nasi liwet yang gurih dengan aroma daun salam dan serai, ikan asin, ayam goreng atau bakar, tahu, tempe, lalapan segar, dan sambal, semua disajikan langsung di atas daun pisang. Para peserta duduk lesehan mengelilingi hidangan dan makan bersama menggunakan tangan. Botram adalah perwujudan kebersamaan, kesederhanaan, dan keakraban. Tidak ada sekat sosial; semua makan dari wadah yang sama, menciptakan suasana kekeluargaan yang erat.

Nasi timbel, nasi yang dibungkus daun pisang dan dikepal padat, juga merupakan salah satu cara berhidang khas Sunda yang praktis dan menjaga kehangatan serta aroma nasi. Meskipun lebih individual, penyajian nasi timbel seringkali disertai dengan lauk pauk yang berlimpah dan dimakan bersama di balai-balai atau saung, tetap menekankan aspek kebersamaan.

Bali: Gebogan, Banten, dan Mebat

Di Bali, seni berhidang terkait erat dengan ritual keagamaan dan persembahan. "Gebogan" adalah persembahan berupa susunan buah-buahan, jajanan, dan bunga yang menjulang tinggi, diusung di atas kepala oleh wanita Bali menuju pura. Meskipun bukan hidangan untuk dimakan langsung dalam upacara, gebogan adalah bentuk penyajian yang sangat artistik dan sakral, melambangkan kemakmuran dan rasa syukur. Setelah upacara, gebogan biasanya dibagikan kepada masyarakat sebagai "lungsuran" atau berkat.

"Banten" adalah berbagai jenis persembahan yang dihidangkan kepada dewa-dewi, leluhur, atau roh-roh. Banten bisa berupa nasi, lauk pauk, kue, buah, bunga, dan daun janur yang ditata sedemikian rupa dengan makna filosofis mendalam. Proses penataan dan penyajian banten adalah bentuk meditasi dan persembahan tulus yang membutuhkan ketelitian dan keheningan.

Tradisi "Mebat" adalah proses persiapan makanan besar secara gotong royong untuk upacara atau acara komunal. Kaum pria berkumpul untuk memotong, mengolah, dan menghidangkan bahan makanan. Ini adalah bentuk kerja sama yang kuat, di mana makanan yang akan disantap atau dipersembahkan dipersiapkan dengan penuh semangat kebersamaan.

Tradisi Berhidang Lainnya di Nusantara

Dari contoh-contoh di atas, terlihat jelas bahwa praktik berhidang di Nusantara adalah sebuah tapestry yang kaya akan warna, rasa, dan makna. Ia bukan hanya tentang makanan, melainkan tentang identitas, spiritualitas, kebersamaan, dan penghormatan.

Estetika dalam Penyajian: Indahnya Makanan yang Dihidangkan

Selain rasa, daya tarik visual makanan yang dihidangkan memegang peranan krusial. Konsep "makan dengan mata" bukanlah pepatah kosong. Penyajian yang estetis dapat meningkatkan pengalaman bersantap secara signifikan, bahkan sebelum suapan pertama masuk ke mulut. Estetika dalam berhidang melibatkan berbagai elemen, mulai dari pemilihan wadah, penataan warna, tekstur, hingga garnishing yang detail.

Komposisi dan Warna

Seorang koki atau ibu rumah tangga yang piawai dalam berhidang akan memperhatikan komposisi visual dari setiap hidangan. Penempatan elemen makanan di piring harus seimbang dan harmonis. Misalnya, daging sebagai fokus utama, dikelilingi oleh sayuran dengan warna kontras, dan saus yang menonjolkan tekstur. Warna adalah salah satu elemen paling kuat. Makanan yang dihidangkan dengan palet warna yang cerah dan beragam (hijau dari sayuran, merah dari tomat atau cabai, kuning dari jagung atau kunyit) tidak hanya terlihat lebih menarik, tetapi juga mengindikasikan keberagaman nutrisi.

Tekstur dan Ketinggian

Permainan tekstur juga penting. Perpaduan renyah, lembut, kenyal, dan garing dalam satu piring menciptakan pengalaman sensorik yang lebih kaya. Dalam hal penyajian, membangun ketinggian pada hidangan dapat menambah dimensi dan kesan mewah. Tumpukan nasi yang rapi, susunan sayuran yang menjulang, atau hiasan yang berdiri tegak dapat membuat hidangan yang dihidangkan terlihat lebih profesional dan mengundang selera.

Wadah dan Alat Saji

Pemilihan piring, mangkuk, nampan, atau wadah saji lainnya juga merupakan bagian dari seni berhidang. Wadah yang sesuai dapat menonjolkan hidangan. Piring putih polos sering dipilih agar warna makanan lebih menonjol, sementara piring bermotif atau berwarna dapat menambah karakter pada sajian sederhana. Material wadah, seperti keramik, kayu, atau bambu, juga memberikan sentuhan budaya dan estetika tersendiri.

Garnishing dan Sentuhan Akhir

Garnishing adalah sentuhan akhir yang bisa mengubah hidangan biasa menjadi luar biasa. Daun peterseli, irisan cabai, bunga edible, parutan keju, atau taburan rempah dapat menambah warna, aroma, dan tekstur. Namun, garnishing harus relevan dengan hidangan dan tidak berlebihan. Tujuannya adalah mempercantik, bukan menutupi atau mengalihkan perhatian dari hidangan utama yang dihidangkan.

Dalam konteks modern, dengan maraknya media sosial visual, estetika berhidang menjadi semakin penting. Makanan yang "instagrammable" tidak hanya memuaskan perut, tetapi juga mata dan keinginan untuk berbagi pengalaman. Ini mendorong para koki dan pegiat kuliner untuk semakin kreatif dalam presentasi, menjadikan setiap piring yang dihidangkan sebagai sebuah karya seni.

Etiket Berhidang: Norma Kesopanan di Meja Makan

Setiap kebudayaan memiliki etiket atau tata krama tersendiri dalam praktik berhidang dan bersantap. Etiket ini bukan sekadar aturan formalitas, melainkan cerminan nilai-nilai sosial seperti rasa hormat, kerendahan hati, dan kebersamaan. Memahami etiket berhidang adalah kunci untuk menunjukkan penghargaan kepada tuan rumah dan sesama tamu.

Peran Tuan Rumah dan Tamu

Dalam banyak budaya, peran tuan rumah sangat penting dalam proses berhidang. Tuan rumah bertanggung jawab untuk memastikan hidangan tersedia dengan baik, tamu merasa nyaman, dan kebutuhan mereka terpenuhi. Ini bisa berarti memastikan hidangan disajikan dalam porsi yang cukup, menawarkannya terlebih dahulu kepada tamu, atau bahkan membantu tamu mengambil makanan. Di sisi lain, tamu juga memiliki etiket yang harus dipatuhi: tidak rakus, mengambil makanan secukupnya, menunggu tuan rumah memulai, dan menunjukkan apresiasi terhadap hidangan yang dihidangkan.

Urutan Penyajian dan Prioritas

Dalam jamuan formal, seringkali ada urutan penyajian yang ditetapkan. Hidangan pembuka (appetizer) dihidangkan terlebih dahulu, diikuti oleh hidangan utama, dan diakhiri dengan hidangan penutup (dessert). Prioritas dalam penyajian juga penting; orang yang lebih tua atau tamu kehormatan biasanya dilayani terlebih dahulu sebagai bentuk penghormatan. Di beberapa budaya, seperti di Jepang, ada urutan khusus dalam menyajikan hidangan berdasarkan jenis dan teksturnya.

Penggunaan Peralatan Makan

Etiket penggunaan peralatan makan bervariasi. Di Barat, ada aturan ketat tentang penggunaan garpu, pisau, dan sendok yang berbeda untuk setiap hidangan. Di banyak budaya Asia, makan dengan sumpit adalah norma, dengan aturan khusus tentang cara memegang dan menggunakannya. Sementara di beberapa budaya, makan dengan tangan adalah cara yang paling tepat, seperti di India dan beberapa daerah di Indonesia, di mana kebersihan tangan sebelum makan menjadi sangat penting.

Komunikasi di Meja Makan

Selain tindakan fisik, komunikasi juga merupakan bagian dari etiket berhidang. Berbicara dengan nada sopan, tidak berbicara saat mulut penuh, dan menghindari topik yang memicu perdebatan adalah hal yang penting. Pujian terhadap hidangan yang dihidangkan, ucapan terima kasih kepada tuan rumah, dan percakapan yang menyenangkan adalah bagian dari etiket yang membangun suasana hangat dan akrab.

"Berhidang bukan sekadar seni menyajikan makanan, melainkan seni menyajikan hati. Di dalamnya terkandung kerendahan hati pemberi dan penghargaan penerima, mengikat jiwa dalam kebersamaan."

Filosofi di Balik Berhidang: Lebih dari Sekadar Memuaskan Lapar

Di balik setiap tindakan berhidang, terdapat lapisan filosofi yang dalam, melampaui kebutuhan fisik akan nutrisi. Ini adalah ekspresi nilai-nilai kemanusiaan yang universal, seperti kemurahan hati, kerendahan hati, syukur, dan koneksi sosial.

Kemurahan Hati dan Memberi

Tindakan berhidang, terutama kepada tamu, adalah manifestasi kemurahan hati. Tuan rumah atau penyaji memberikan sebagian dari apa yang mereka miliki, baik waktu, tenaga, maupun sumber daya, untuk menyenangkan orang lain. Dalam banyak tradisi, menolak hidangan yang dihidangkan dianggap tidak sopan, karena itu berarti menolak kemurahan hati pemberi. Ini adalah siklus memberi dan menerima yang membangun ikatan sosial yang kuat.

Kerendahan Hati dan Penghormatan

Proses persiapan dan penyajian makanan seringkali melibatkan kerendahan hati. Seorang koki menghabiskan berjam-jam di dapur, seorang ibu dengan sabar menyiapkan hidangan favorit keluarga, semua dengan tujuan melayani. Ketika makanan dihidangkan dengan penuh perhatian, itu adalah bentuk penghormatan kepada orang yang akan menyantapnya. Sebaliknya, penerima menunjukkan kerendahan hati dengan menerima dan menikmati hidangan tersebut dengan rasa syukur.

Syukur dan Persembahan

Di banyak budaya, makanan yang dihidangkan memiliki dimensi spiritual. Baik dalam bentuk persembahan kepada dewa-dewi, leluhur, atau sebagai bagian dari ritual keagamaan, makanan menjadi simbol rasa syukur atas anugerah alam dan rezeki. Memulai makan dengan doa, seperti di banyak keluarga Muslim atau Kristen, adalah bentuk pengakuan bahwa makanan ini adalah berkah yang harus dihargai.

Koneksi Sosial dan Kebersamaan

Meja makan adalah tempat di mana cerita dibagi, tawa berderai, dan ikatan diperkuat. Tindakan berhidang makanan secara komunal, seperti makan bajamba atau botram, secara eksplisit menekankan pentingnya kebersamaan dan kesetaraan. Bahkan dalam jamuan formal, makanan berfungsi sebagai katalisator untuk interaksi sosial, memungkinkan orang untuk berkumpul, berinteraksi, dan mempererat hubungan.

Dalam masyarakat yang semakin individualistis, praktik berhidang komunal menjadi pengingat penting akan nilai-nilai kolektif. Ia mengajarkan kita bahwa makanan bukan hanya tentang pemuasan individu, tetapi juga tentang berbagi dan membangun komunitas.

Berhidang di Era Modern: Tantangan dan Inovasi

Di tengah gelombang modernisasi dan globalisasi, seni berhidang menghadapi tantangan sekaligus peluang. Perubahan gaya hidup, tuntutan efisiensi, dan kesadaran akan keberlanjutan telah membentuk ulang cara kita memandang dan mempraktikkan penyajian makanan.

Pengaruh Teknologi dan Digitalisasi

Munculnya platform pengiriman makanan online telah mengubah cara makanan dihidangkan dari restoran ke rumah. Kemasan yang praktis, higienis, dan menarik menjadi bagian dari pengalaman berhidang modern. Meskipun sentuhan personal dari pelayan mungkin hilang, kecepatan dan kenyamanan menjadi daya tarik utama. Namun, ini juga memunculkan tantangan baru dalam menjaga kualitas dan presentasi makanan saat tiba di tujuan.

Gastronomi Molekuler dan Seni Kontemporer

Dunia kuliner modern juga menyaksikan inovasi ekstrem, seperti gastronomi molekuler, di mana koki menggunakan teknik ilmiah untuk mengubah tekstur dan bentuk makanan. Penyajian hidangan ini seringkali sangat artistik dan minimalis, dengan porsi kecil namun kaya rasa dan pengalaman sensorik. Setiap elemen yang dihidangkan di piring memiliki tujuan yang jelas, baik dari segi rasa maupun visual.

Keberlanjutan dan Zero Waste

Kesadaran akan lingkungan juga memengaruhi praktik berhidang. Konsep "zero waste" atau minim sampah dalam penyajian makanan semakin populer. Ini berarti menggunakan semua bagian dari bahan makanan, mengurangi sisa makanan, dan memilih wadah saji yang ramah lingkungan. Beberapa restoran bahkan menyajikan hidangan dalam wadah yang dapat dimakan atau menggunakan bahan-bahan lokal dan musiman untuk mengurangi jejak karbon.

Fusi Kuliner dan Globalisasi

Globalisasi telah memicu tren fusi kuliner, di mana masakan dari berbagai budaya digabungkan. Ini menciptakan peluang untuk bereksperimen dengan cara-cara baru dalam berhidang, memadukan etiket dan estetika dari tradisi yang berbeda. Misalnya, hidangan Asia disajikan dengan teknik ala Eropa, atau sebaliknya, menciptakan pengalaman bersantap yang unik dan multikultural.

Meskipun terjadi banyak perubahan, esensi dari berhidang tetap tidak tergoyahkan. Baik itu penyajian dengan gaya tradisional yang sarat makna atau presentasi modern yang inovatif, tujuan utamanya adalah sama: untuk mempersembahkan makanan dengan cara yang paling menarik, menghormati bahan, dan memperkaya pengalaman orang yang menyantapnya. Ini adalah jembatan antara kebutuhan biologis dan keinginan manusia akan keindahan, koneksi, dan makna.

Kesimpulan: Berhidang sebagai Jantung Peradaban

Dari uraian panjang ini, jelaslah bahwa berhidang adalah sebuah praktik yang jauh melampaui sekadar meletakkan makanan di atas meja. Ini adalah refleksi mendalam dari sejarah manusia, identitas budaya, ekspresi artistik, norma sosial, dan nilai-nilai filosofis yang mengikat kita semua. Di setiap sajian, tersimpan cerita tentang tanah tempat makanan tumbuh, tangan yang mengolah, dan hati yang menyajikan.

Di Nusantara, seni berhidang adalah perwujudan konkret dari kearifan lokal, mengajarkan kita tentang kebersamaan, rasa hormat, dan rasa syukur. Tradisi seperti makan bajamba, tumpeng, atau botram bukan hanya metode makan, melainkan ritual yang memperkuat ikatan sosial dan spiritual, menegaskan kembali identitas kolektif di tengah hiruk pikuk kehidupan modern.

Secara global, estetika dalam penyajian telah berkembang menjadi bentuk seni tersendiri, di mana setiap piring yang dihidangkan adalah kanvas bagi koki untuk mengekspresikan kreativitas. Etiket berhidang, meskipun bervariasi antarbudaya, secara universal menekankan pentingnya kesopanan dan penghargaan terhadap sesama.

Pada akhirnya, filosofi di balik berhidang mengingatkan kita bahwa makanan adalah lebih dari sekadar nutrisi. Ia adalah media untuk menunjukkan kemurahan hati, kerendahan hati, dan rasa syukur. Ia adalah alat untuk membangun koneksi, berbagi cerita, dan merayakan kehidupan.

Di era yang terus berubah ini, praktik berhidang mungkin terus berevolusi, beradaptasi dengan teknologi dan tren baru. Namun, esensi intinya akan tetap abadi: tindakan mempersiapkan dan mempersembahkan makanan dengan niat baik, untuk memuaskan tidak hanya perut tetapi juga jiwa, akan selalu menjadi jantung peradaban manusia. Mari kita terus menghargai dan melestarikan seni berhidang ini, karena di dalamnya terkandung kekayaan tak ternilai yang menghubungkan kita dengan masa lalu, merayakan masa kini, dan membentuk masa depan kita bersama.