Di Indonesia, pernikahan bukan hanya menyatukan dua insan, melainkan juga dua keluarga besar. Dari sinilah lahir sebuah istilah yang sangat penting dalam kebudayaan kita: berbesan. Hubungan berbesan adalah jalinan kekeluargaan yang terwujud antara orang tua dari pihak suami dengan orang tua dari pihak istri. Ini bukan sekadar formalitas, melainkan sebuah ikatan suci yang mengikat dua garis keturunan, membentuk jaring kekerabatan yang lebih luas, dan seringkali membawa implikasi sosial, budaya, bahkan ekonomi yang mendalam. Artikel ini akan mengupas tuntas seluk-beluk berbesan, dari akar budayanya yang kaya, peran dan tanggung jawab yang menyertainya, hingga tantangan serta cara membangun harmoni yang abadi dalam hubungan mulia ini.
Istilah "besan" berasal dari bahasa Jawa yang secara harfiah merujuk pada orang tua dari menantu kita. Ketika kita memiliki anak yang menikah, maka orang tua dari pasangan anak kita itulah yang disebut besan. Kata "berbesan" kemudian menggambarkan proses atau status menjalin hubungan sebagai besan. Di balik kesederhanaan definisi ini, terkandung kekayaan filosofi dan kearifan lokal yang luar biasa. Konsep berbesan adalah manifestasi konkret dari nilai-nilai kekeluargaan, gotong royong, dan silaturahmi yang sangat dijunjung tinggi di Nusantara.
Dalam banyak tradisi di Indonesia, pernikahan adalah titik balik yang fundamental. Ia bukan hanya mengenai cinta sepasang kekasih, tetapi juga tentang pembentukan aliansi sosial antara dua keluarga. Ikatan berbesan menjadi jembatan yang menghubungkan dua "dunia" yang sebelumnya terpisah, dengan adat, kebiasaan, dan bahkan mungkin latar belakang sosial-ekonomi yang berbeda. Harmonisasi kedua "dunia" ini adalah esensi dari hubungan berbesan yang sukses. Para besan memiliki peran krusial dalam menciptakan suasana penerimaan, saling pengertian, dan dukungan bagi pasangan baru.
Indonesia adalah mozaik budaya, dan cara berbesan pun bervariasi dari satu daerah ke daerah lain, masing-masing dengan keunikan dan nilai-nilai luhurnya. Memahami perbedaan ini adalah kunci untuk menghargai kekayaan budaya kita dan juga untuk membangun jembatan komunikasi yang lebih baik.
Dalam budaya Jawa, hubungan berbesan sangat ditekankan pada nilai-nilai unggah-ungguh (tata krama), subasita (sopan santun), dan rukun (kerukunan). Prosesi pernikahan Jawa melibatkan banyak tahapan di mana kedua keluarga besan saling berinteraksi dan menunjukkan rasa hormat. Contohnya, saat upacara `Panggih`, kedua orang tua dari mempelai wanita akan menyambut kedatangan orang tua dari mempelai pria dengan penuh kehormatan. Selanjutnya, ada tradisi `Ngunduh Mantu` yang merupakan resepsi pernikahan di kediaman mempelai pria, di mana keluarga besan perempuan akan datang mengunjungi dan dijamu layaknya tamu agung. Saling mengunjungi, bertukar oleh-oleh, dan menjaga komunikasi yang santun adalah praktik umum. Bahasa yang digunakan pun seringkali disesuaikan dengan tingkatan kesopanan (krama inggil) untuk menunjukkan rasa hormat yang tinggi.
Masyarakat Sunda juga memiliki tradisi berbesan yang hangat dan erat. Mirip dengan Jawa, ada prosesi `Mapag Besan` (menyambut besan) yang penuh suka cita. Dalam adat Sunda, kehangatan dan kekeluargaan sangat ditekankan. Para besan seringkali digambarkan sebagai 'dulur anyar' atau saudara baru. Saling membantu dalam hajatan keluarga, bergotong royong, dan menjaga silaturahmi melalui kunjungan ke rumah (silih anjang) adalah hal yang sangat dihargai. Mereka percaya bahwa semakin erat hubungan besan, semakin kuat pula pondasi rumah tangga anak-anak mereka.
Di masyarakat Batak, hubungan berbesan dikenal dengan istilah `hula-hula` (pihak marga istri) dan `boru` (pihak marga suami). Struktur kekerabatan ini sangat kompleks dan memiliki hierarki yang jelas. `Hula-hula` adalah pihak yang sangat dihormati dan dimuliakan. Dalam setiap acara adat, peran `hula-hula` sangat sentral, mulai dari memberikan restu hingga doa. Hubungan ini bersifat timbal balik; pihak `boru` akan selalu menghormati `hula-hula`, dan `hula-hula` akan memberikan dukungan serta restu. Pemberian ulos (kain tenun tradisional) adalah simbol persatuan dan berkat dalam hubungan ini, menandakan ikatan yang tak terpisahkan.
Adat Minangkabau yang matrilineal memiliki sistem kekerabatan yang unik. Meskipun begitu, hubungan antara keluarga mempelai pria dan wanita tetap penting. Setelah pernikahan, keluarga mempelai wanita (pihak Bundo Kanduang) akan menerima keluarga mempelai pria. Meskipun fokusnya lebih pada garis keturunan ibu, ikatan berbesan tetap dijaga melalui silaturahmi, saling mengunjungi, dan hadir dalam acara-acara penting keluarga. Prinsip "Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah" (Adat bersendi Syariat, Syariat bersendi Kitabullah) juga memandu hubungan ini, menekankan pentingnya moral dan etika agama dalam menjaga keharmonisan.
Masyarakat Betawi terkenal dengan sifatnya yang terbuka dan humoris. Hubungan berbesan di Betawi juga dijalin dengan hangat dan penuh kekeluargaan. Setelah pernikahan, tradisi `ngarak pengantin` dan `palang pintu` seringkali menjadi ajang bagi kedua keluarga untuk saling mengenal dan berinteraksi. Kunjungan rutin, saling mengirimkan makanan atau 'rantangan', serta terlibat dalam acara-acara keluarga adalah hal biasa. Mereka percaya bahwa berbesan yang rukun akan membawa kebahagiaan bagi anak-anak mereka dan memperkuat tali persaudaraan.
Di Sulawesi Selatan, tradisi berbesan juga sangat kuat. Pernikahan (assijancing) dianggap sebagai pengikat dua keluarga besar. Tradisi `Mappettu Ada` (pemutusan kata) dan `Mappanre Temme` (pesta pernikahan) melibatkan interaksi erat antar kedua belah pihak. Setelah pernikahan, ada kebiasaan saling mengunjungi, terutama saat hari raya atau acara keluarga lainnya. Rasa hormat dan tolong-menolong antar besan sangat dijunjung tinggi, demi menjaga kehormatan keluarga (siri’) dan menciptakan kerukunan.
Dari berbagai contoh di atas, dapat dilihat benang merahnya: meskipun dengan ritual dan sebutan yang berbeda, inti dari hubungan berbesan adalah upaya untuk menyatukan, menghormati, dan mendukung satu sama lain, demi kebahagiaan anak-anak mereka dan kelangsungan garis keturunan yang harmonis.
Hubungan berbesan bukanlah ikatan yang pasif. Ia menuntut peran aktif dan pemahaman akan tanggung jawab dari kedua belah pihak. Dengan memahami dan menjalankan peran ini, fondasi keharmonisan dapat terbangun kokoh.
Orang tua dari kedua belah pihak memiliki tanggung jawab besar sebagai "nakhoda" dalam membangun jembatan antara dua keluarga. Mereka adalah contoh dan panutan bagi anak-anak mereka dalam menjalin silaturahmi.
Ayah, sebagai kepala keluarga, seringkali memegang peran sebagai penentu arah dan pelindung. Dalam konteks berbesan:
Ibu seringkali menjadi poros emosional keluarga. Dalam hubungan berbesan, peran ibu sangat sentral:
Bukan hanya orang tua, menantu juga memiliki peran besar dalam menjaga keharmonisan. Mereka adalah penghubung langsung antara kedua keluarga.
Semua peran ini saling melengkapi. Ketika setiap pihak memahami dan menjalankan tanggung jawabnya dengan baik, hubungan berbesan akan menjadi sumber kekuatan dan kebahagiaan, bukan sebaliknya.
Tidak ada hubungan yang bebas dari tantangan, termasuk hubungan berbesan. Perbedaan latar belakang, ekspektasi, dan kepribadian bisa menjadi pemicu konflik. Namun, setiap tantangan selalu datang dengan solusinya.
Memahami akar masalah adalah langkah pertama untuk menyelesaikannya.
Setiap keluarga memiliki kebiasaan, tradisi, dan cara pandang yang berbeda. Misalnya, cara merayakan hari raya, mengurus anak, atau bahkan kebiasaan makan bisa sangat bervariasi. Jika tidak ada toleransi, perbedaan ini bisa menjadi sumber kesalahpahaman.
Contoh: Keluarga A terbiasa sarapan dengan bubur, sementara Keluarga B selalu dengan nasi. Ketika berkumpul, masing-masing bisa merasa kebiasaannya tidak diakui.
Terkadang, para besan memiliki ekspektasi tertentu terhadap menantu atau besan lainnya yang mungkin tidak realistis atau tidak terkomunikasikan dengan baik. Misalnya, ekspektasi tentang seberapa sering harus berkunjung, bantuan finansial, atau cara mendidik cucu.
Contoh: Seorang besan mungkin berharap menantunya selalu pulang ke rumahnya setiap akhir pekan, sementara menantu juga punya tanggung jawab kepada orang tua kandungnya atau ingin waktu untuk keluarga intinya.
Salah satu tantangan paling umum adalah campur tangan orang tua dalam urusan rumah tangga anak-menantu. Ini bisa berupa kritik terhadap cara mengurus rumah, mendidik anak, atau bahkan keuangan. Niatnya mungkin baik, tetapi bisa terasa mengganggu dan merusak kemandirian pasangan.
Contoh: Besan perempuan terus-menerus memberikan saran tentang cara menantu memasak atau merawat anak, meskipun menantu sudah memiliki caranya sendiri.
Kurangnya komunikasi atau komunikasi yang tidak efektif sering menjadi biang keladi. Kesalahpahaman dapat timbul dari pesan yang tidak jelas, asumsi, atau enggan berbicara secara terbuka tentang masalah.
Contoh: Sebuah masalah kecil dibiarkan menumpuk karena tidak ada yang berani membicarakannya, hingga akhirnya meledak menjadi konflik besar.
Kadang kala, salah satu pihak besan bisa merasa anak atau menantu lebih dekat dengan keluarga besan yang lain, atau merasa perhatiannya kurang. Ini bisa menimbulkan kecemburuan yang tidak sehat.
Contoh: Seorang ibu merasa sedih karena anak perempuannya lebih sering mengunjungi mertuanya daripada dirinya.
Ketika cucu lahir, seringkali muncul perbedaan pandangan antara kakek-nenek dari kedua belah pihak tentang cara terbaik mengasuh atau mendidik anak. Ini bisa menjadi sumber ketegangan jika tidak disikapi dengan bijak.
Contoh: Besan dari pihak ibu sangat ketat dengan jam tidur cucu, sementara besan dari pihak ayah lebih santai dan sering membiarkan cucu begadang.
Ekspektasi atau bantuan finansial dari besan kepada anak-menantu, atau sebaliknya, bisa menjadi area sensitif. Kesalahpahaman atau perbedaan pandangan tentang uang dapat merusak hubungan.
Contoh: Satu pihak besan merasa harus selalu membantu finansial, sementara pihak lain tidak bisa, menimbulkan rasa tidak adil atau kesenjangan.
Meskipun tantangan ada, ada banyak cara untuk mengatasi dan membangun hubungan berbesan yang kuat dan harmonis.
Ini adalah fondasi utama. Jangan biarkan asumsi berkembang. Berbicaralah secara jujur, namun tetap dengan bahasa yang sopan dan penuh hormat. Jika ada hal yang mengganjal, sampaikan dengan kepala dingin dan mencari solusi bersama.
Contoh: Daripada mendiamkan rasa tidak nyaman, katakan, "Bunda/Ayah, kami sangat menghargai saran Anda, namun kami ingin mencoba cara kami sendiri terlebih dahulu untuk mendidik anak. Kami pasti akan meminta saran jika kami kesulitan."
Cobalah melihat dari sudut pandang besan Anda. Pahami bahwa mereka memiliki latar belakang dan pengalaman hidup yang berbeda. Toleransi terhadap perbedaan adalah kunci. Tidak semua hal harus sama.
Contoh: Jika besan memiliki kebiasaan yang berbeda, cobalah menghormatinya daripada mengkritik. Sesekali, ikuti kebiasaan mereka untuk menunjukkan penghargaan.
Penting bagi pasangan suami istri untuk menetapkan batasan yang sehat dengan kedua keluarga besan. Batasan ini harus dikomunikasikan dengan jelas, tetapi secara halus dan penuh rasa hormat. Ini bukan berarti menjauh, melainkan mengatur sejauh mana campur tangan bisa diterima dan sejauh mana pasangan ingin mandiri.
Contoh: Menjelaskan bahwa keputusan tentang pengasuhan anak akan diambil oleh pasangan sebagai orang tua utama, namun tetap terbuka untuk mendengarkan nasihat.
Para besan perlu menyadari bahwa anak-anak mereka kini memiliki keluarga intinya sendiri. Berikan ruang bagi mereka untuk tumbuh dan membuat keputusan. Kebebasan ini penting untuk kemandirian dan kebahagiaan pasangan.
Ingatkan diri sendiri bahwa tujuan utama hubungan berbesan adalah untuk mendukung kebahagiaan dan keharmonisan rumah tangga anak-anak. Jika ada perselisihan, tanyakan pada diri sendiri: "Apakah ini akan membuat anak-anak saya lebih bahagia atau justru sebaliknya?"
Aktif memberikan bantuan dan dukungan, baik dalam bentuk materi maupun non-materi, saat dibutuhkan. Misalnya, membantu saat ada hajatan keluarga, merawat cucu saat anak-menantu sibuk, atau memberikan nasehat yang konstruktif.
Dalam perbedaan, selalu ada titik temu. Carilah hal-hal yang disukai bersama atau nilai-nilai yang sama. Misalnya, kecintaan pada cucu, atau hobi tertentu.
Jangan menunggu diundang. Seringlah berinisiatif untuk mengunjungi, menelepon, atau mengadakan acara kumpul keluarga. Ini menunjukkan ketulusan dan keinginan untuk menjaga hubungan.
Sama pentingnya dengan menghargai besan. Menantu adalah bagian dari keluarga. Perlakukan menantu layaknya anak kandung, dengan segala kasih sayang dan pengertian. Ini akan sangat membantu menantu merasa diterima sepenuhnya.
Dunia terus berubah, dan begitu pula dinamika keluarga. Bersikaplah fleksibel dan mau beradaptasi dengan perubahan. Mungkin dulu tradisinya harus begini, tapi kini ada cara baru yang lebih relevan.
Dalam setiap hubungan, ketulusan hati dan doa adalah fondasi yang tak tergantikan. Niat baik akan terpancar dan seringkali membuahkan hasil yang baik pula.
Dengan menerapkan solusi-solusi ini, hubungan berbesan dapat berubah dari potensi sumber konflik menjadi sumber kekuatan, dukungan, dan kebahagiaan yang tak ternilai bagi semua pihak yang terlibat.
Membangun hubungan berbesan yang harmonis membutuhkan usaha, kesabaran, dan strategi yang tepat. Berikut adalah praktik-praktik terbaik yang bisa diterapkan oleh kedua belah pihak:
Peran orang tua sangat sentral dalam membentuk dinamika awal dan keberlanjutan hubungan berbesan.
Pasangan adalah poros utama yang menghubungkan kedua keluarga besan. Peran mereka sangat krusial dalam memediasi dan menjaga keseimbangan.
Dengan menerapkan praktik-praktik terbaik ini, semua pihak dapat berkontribusi pada terciptanya hubungan berbesan yang tidak hanya rukun, tetapi juga saling memperkaya, mendukung, dan menjadi sumber kebahagiaan bagi seluruh keluarga besar.
Hubungan berbesan yang sehat dan harmonis memiliki dampak yang jauh lebih luas daripada sekadar kebahagiaan para orang tua. Dampaknya meresap ke dalam seluruh struktur keluarga, mempengaruhi pasangan yang menikah, cucu-cucu, bahkan komunitas yang lebih luas.
Pasangan yang menikah adalah pihak yang paling merasakan langsung atmosfer hubungan antar besan.
Cucu-cucu adalah generasi penerus yang juga sangat diuntungkan dari hubungan berbesan yang baik.
Secara lebih luas, hubungan berbesan yang harmonis juga memberikan kontribusi positif bagi tatanan sosial.
Dengan demikian, berbesan bukanlah sekadar hubungan antar individu, melainkan sebuah pilar penting dalam struktur sosial dan budaya Indonesia. Keharmonisan dalam berbesan adalah investasi jangka panjang untuk kebahagiaan keluarga dan keberlangsungan nilai-nilai luhur bangsa.
Meskipun berakar kuat pada tradisi, konsep berbesan tidak imun terhadap perubahan zaman. Globalisasi, modernisasi, urbanisasi, dan perkembangan teknologi telah membawa dinamika baru dalam menjalin dan mempertahankan hubungan ini.
Era modern membawa beberapa tantangan unik bagi hubungan berbesan:
Namun, era modern juga menawarkan peluang untuk memperkuat hubungan berbesan dengan cara-cara baru:
Meskipun memisahkan secara fisik, teknologi justru bisa menjadi jembatan. Panggilan video (video call) secara rutin, grup chat keluarga di aplikasi pesan, atau berbagi foto dan video di media sosial dapat membantu menjaga kedekatan emosional meskipun terpisah jarak.
Contoh: Sebuah keluarga besan yang terpisah benua masih bisa merayakan ulang tahun cucu bersama melalui video call, bernyanyi bersama, dan berbagi tawa.
Kini, ada lebih banyak fleksibilitas dalam menjalankan tradisi. Mungkin tidak semua ritual bisa dilakukan persis seperti leluhur, tetapi esensi dan nilai-nilainya tetap bisa dijaga. Misalnya, tradisi `ngunduh mantu` bisa dilakukan dalam skala lebih kecil atau disesuaikan dengan kondisi modern.
Contoh: Alih-alih melakukan upacara adat yang panjang, besan mungkin sepakat untuk mengadakan makan malam keluarga yang intim untuk merayakan sebuah momen penting.
Di tengah berbagai perbedaan, fokuslah pada nilai-nilai inti yang universal: kasih sayang, hormat, dukungan, dan saling pengertian. Ini lebih penting daripada kesamaan dalam tradisi atau kebiasaan. Pasangan dan besan bisa menemukan kesamaan dalam komitmen untuk saling menyayangi dan mendukung.
Untuk pernikahan lintas budaya, ada peluang emas untuk belajar dan merayakan keberagaman. Para besan bisa saling berbagi cerita, makanan, atau tradisi dari masing-masing budaya, memperkaya pengalaman seluruh keluarga.
Contoh: Besan dari suku A bisa mengajari besan dari suku B cara membuat masakan khasnya, dan sebaliknya.
Meskipun jarang bertemu, merencanakan liburan atau pertemuan keluarga besar sesekali bisa menjadi cara yang efektif untuk mempererat ikatan. Momen kebersamaan jauh dari rutinitas sehari-hari bisa menciptakan kenangan indah dan memperkuat hubungan.
Semakin banyak orang yang sadar akan pentingnya pendidikan tentang hubungan keluarga. Buku, seminar, atau artikel seperti ini dapat membantu keluarga modern memahami dinamika berbesan dan cara mengelolanya dengan baik.
Di era modern, peran pasangan suami istri sebagai mediator antara kedua keluarga besan menjadi semakin krusial. Mereka harus bisa menyelaraskan ekspektasi, menjelaskan perbedaan, dan menjaga batas yang sehat.
Hubungan berbesan di era modern adalah tentang keseimbangan antara melestarikan esensi nilai-nilai luhur dan beradaptasi dengan realitas kontemporer. Dengan keterbukaan, komunikasi, dan kasih sayang, ikatan ini akan terus relevan dan menjadi sumber kekuatan bagi keluarga Indonesia.
Berbesan adalah sebuah anugerah, sebuah ekstensi dari ikatan suci pernikahan yang meluas menjadi jalinan kekeluargaan yang lebih besar. Di tengah berbagai perbedaan latar belakang, tradisi, dan pandangan, inti dari hubungan berbesan tetaplah sama: membangun harmoni, saling menghormati, dan memberikan dukungan tak terbatas bagi kebahagiaan anak-anak serta cucu-cucu.
Perjalanan berbesan mungkin tidak selalu mulus, namun dengan niat baik, komunikasi yang jujur, empati, dan kemauan untuk saling memahami, setiap tantangan dapat diubah menjadi peluang untuk memperkuat ikatan. Ingatlah bahwa setiap tindakan kecil yang dilandasi kasih sayang dan rasa hormat akan membangun jembatan kokoh yang menghubungkan dua keluarga menjadi satu kesatuan yang utuh. Hubungan berbesan yang harmonis adalah warisan tak ternilai yang akan terus mengalir dari satu generasi ke generasi berikutnya, menjadi sumber kebahagiaan dan kekuatan dalam bingkai kehidupan keluarga Indonesia yang kaya.