Terletak di pesisir barat Pulau Kalimantan, di Provinsi Kalimantan Barat, terdapat sebuah kota yang memancarkan keunikan dan pesona tiada tara: Bengkawang. Bagi sebagian orang, nama ini mungkin lebih dikenal sebagai Singkawang, nama resminya. Namun, 'Bengkawang' tetap menggaung di hati penduduk lokal, merujuk pada identitas sejarah dan keunikan budayanya yang telah terbentuk selama berabad-abad. Kota ini bukan sekadar titik di peta, melainkan sebuah living laboratory di mana berbagai etnis—Tionghoa (khususnya Hakka), Melayu, dan Dayak—hidup berdampingan dalam harmoni yang luar biasa, menjadikannya model toleransi di Indonesia dan bahkan dunia.
Bengkawang dijuluki sebagai "Kota Seribu Kelenteng" atau "Hong Kong van Borneo" karena jumlah kelenteng dan vihara yang tersebar di seluruh penjuru kota, mencerminkan kuatnya akar budaya Tionghoa. Namun, identitasnya jauh lebih kompleks dari sekadar julukan. Ia adalah perpaduan dinamis dari tradisi yang dijaga, inovasi yang merangkul, dan semangat persatuan yang mengikat erat setiap warganya. Dari festival Cap Go Meh yang spektakuler hingga kelezatan kuliner yang memanjakan lidah, Bengkawang menawarkan pengalaman yang tak terlupakan bagi siapa pun yang bersedia menyelami kedalaman budayanya.
Sejarah Bengkawang adalah kisah tentang ketahanan, adaptasi, dan pertemuan budaya. Akar kota ini terentang hingga abad ke-18, ketika gelombang imigran Tionghoa, mayoritas dari suku Hakka, mulai berdatangan ke wilayah ini. Mereka tertarik oleh potensi pertambangan emas yang melimpah di Monterado dan sekitarnya. Seiring waktu, banyak dari mereka yang menetap dan membangun permukiman, salah satunya di daerah yang kini kita kenal sebagai Bengkawang.
Nama "Singkawang" sendiri dipercaya berasal dari bahasa Hakka, "San Kheu Jong" (山口洋) yang berarti "sebuah kota di mulut gunung dan dekat laut". Lokasinya yang strategis, diapit oleh pegunungan dan menghadap Laut Cina Selatan, membuatnya menjadi pusat perdagangan yang penting. Para pedagang Tionghoa menjalin hubungan dengan masyarakat Melayu dan Dayak yang telah lebih dulu menghuni wilayah tersebut, membentuk cikal bakal masyarakat multikultural yang kita lihat saat ini.
Di bawah pemerintahan kolonial Belanda, Bengkawang mengalami perkembangan yang signifikan. Belanda melihat potensi ekonomi dan strategis wilayah ini, menjadikannya salah satu onderafdeling (sub-distrik) di bawah Karesidenan Borneo Barat. Infrastruktur mulai dibangun, seperti jalan raya dan fasilitas umum lainnya, yang semakin mendorong pertumbuhan ekonomi dan kepadatan penduduk.
Pada masa ini pula, keragaman etnis semakin terkonsolidasi. Selain Tionghoa, Melayu, dan Dayak, berbagai suku lain seperti Jawa, Bugis, dan Madura turut berdatangan, membawa serta budaya dan tradisi mereka. Interaksi antar etnis ini, meskipun tidak selalu tanpa friksi, secara umum berjalan damai dan saling melengkapi, meletakkan fondasi bagi toleransi yang menjadi ciri khas Bengkawang.
Setelah Indonesia merdeka, Bengkawang terus berkembang sebagai pusat ekonomi dan kebudayaan di Kalimantan Barat. Pada tahun 2001, statusnya ditingkatkan menjadi kota otonom, terpisah dari Kabupaten Sambas. Pembentukan Kota Singkawang ini menjadi tonggak penting dalam sejarahnya, memberinya otonomi untuk mengatur pembangunan dan pelestarian identitas uniknya.
Melalui perjalanan sejarah yang panjang, Bengkawang tidak hanya berhasil mempertahankan identitasnya, tetapi juga mengukuhkan posisinya sebagai simbol keharmonisan antarumat beragama dan antarsuku bangsa. Setiap jengkal tanah, setiap bangunan tua, dan setiap cerita dari para sesepuh menyimpan jejak-jejak masa lalu yang membentuk Bengkawang menjadi seperti sekarang ini.
Secara geografis, Bengkawang memiliki letak yang sangat menarik. Kota ini berbatasan langsung dengan Laut Natuna di sebelah barat, Kabupaten Sambas di utara, serta Kabupaten Bengkayang dan Landak di timur dan selatan. Topografinya bervariasi, dari dataran rendah di pesisir hingga perbukitan dan pegunungan di bagian timur, dengan Gunung Poteng sebagai salah satu puncaknya yang terkenal. Iklim tropis dengan curah hujan tinggi mendominasi sepanjang tahun, mendukung keanekaragaman hayati dan kesuburan tanahnya.
Demografi Bengkawang adalah cerminan paling jelas dari identitasnya sebagai "Kota Toleransi". Komposisi penduduknya sangat beragam, dengan tiga kelompok etnis mayoritas yang hidup berdampingan: Tionghoa, Melayu, dan Dayak. Setiap kelompok membawa bahasa, adat istiadat, dan kepercayaan mereka sendiri, yang kemudian menyatu dalam sebuah mozaik sosial yang harmonis.
Keberagaman ini bukan sekadar statistik, melainkan sebuah realitas sehari-hari yang terlihat dari interaksi di pasar tradisional, di sekolah, atau di tempat-tempat ibadah yang berdiri berdampingan. Masjid, gereja, vihara, dan kelenteng saling melengkapi pemandangan kota, mencerminkan kebebasan beragama yang dianut teguh oleh masyarakat Bengkawang.
Tidak ada yang lebih menggambarkan Bengkawang selain kekayaan budaya dan tradisinya yang dijaga dengan erat. Ini adalah kota di mana masa lalu berpadu dengan masa kini, dan setiap etnis memiliki ruang untuk mengekspresikan identitasnya sambil tetap menjalin persatuan dengan yang lain. Harmoni ini terwujud dalam berbagai bentuk, mulai dari ritual keagamaan hingga seni pertunjukan.
Jika ada satu acara yang benar-benar membedakan Bengkawang dari kota lain di Indonesia, itu adalah perayaan Cap Go Meh. Festival ini, yang jatuh pada hari ke-15 setelah Tahun Baru Imlek, adalah puncak dari seluruh rangkaian perayaan Imlek dan menjadi magnet bagi wisatawan domestik maupun mancanegara. Cap Go Meh di Bengkawang bukan hanya perayaan Tionghoa, melainkan festival multikultural yang melibatkan seluruh elemen masyarakat.
Inti dari perayaan ini adalah atraksi Tatung. Tatung adalah orang-orang yang dipercaya dirasuki roh dewa atau leluhur, yang kemudian melakukan berbagai aksi ekstrem seperti menusuk pipi dengan benda tajam, menginjak pedang, atau menaiki tangga golok tanpa terluka. Ini adalah ritual penyucian kota dari roh jahat, sekaligus demonstrasi kekuatan spiritual yang memukau dan terkadang mengerikan bagi sebagian orang. Setiap tatung mengenakan kostum tradisional yang khas, merepresentasikan dewa atau pahlawan tertentu.
Parade Cap Go Meh tidak hanya menampilkan Tatung, tetapi juga atraksi Barongsai dan Liang Liong (tarian naga) yang memukau, diiringi tabuhan genderang yang riuh rendah. Ribuan masyarakat tumpah ruah di jalanan, menyaksikan arak-arakan yang panjang dan meriah. Yang paling menakjubkan adalah bagaimana masyarakat non-Tionghoa turut serta aktif, baik sebagai penonton maupun partisipan, menunjukkan betapa kuatnya ikatan sosial di Bengkawang. Para sukarelawan dari berbagai latar belakang etnis bahu-membahu menyukseskan acara ini, menjadikannya simbol nyata dari Bhinneka Tunggal Ika.
Selain Cap Go Meh, Bengkawang juga merayakan berbagai hari raya keagamaan lainnya dengan semarak dan rasa kebersamaan. Idul Fitri dan Idul Adha bagi umat Muslim, Natal dan Paskah bagi umat Kristiani, Waisak bagi umat Buddha, serta Nyepi bagi umat Hindu (meskipun minoritas) dirayakan dengan penuh suka cita. Yang istimewa adalah bagaimana para pemuda dari lintas agama seringkali bekerja sama dalam mengamankan atau membantu jalannya perayaan, menunjukkan tingkat toleransi dan saling pengertian yang tinggi.
Misalnya, saat perayaan Natal, kelenteng-kelenteng atau vihara seringkali ikut dihias dengan ornamen Natal, dan sebaliknya, saat Imlek, masjid-masjid akan mengibarkan bendera merah-kuning khas Imlek sebagai bentuk penghormatan. Ini adalah praktik-praktik kecil namun bermakna yang secara konsisten memperkuat ikatan sosial di Bengkawang.
Kekayaan budaya Bengkawang juga tercermin dalam seni tradisionalnya. Pertunjukan Barongsai dan Liang Liong tidak hanya hadir saat Cap Go Meh, tetapi juga dalam acara-acara penting lainnya. Seni pertunjukan Dayak dengan tarian-tarian ritualnya, serta tarian Melayu yang anggun, juga sering dipentaskan. Ada pula kesenian lokal seperti Reog (meskipun lebih identik dengan Jawa, versi lokalnya menunjukkan adaptasi budaya).
Dari segi arsitektur, Bengkawang adalah museum hidup. Anda dapat menemukan ratusan kelenteng dengan arsitektur Tionghoa yang khas, di samping vihara, masjid dengan kubah megah, dan gereja-gereja kuno. Beberapa kelenteng bahkan berusia ratusan tahun, menjadi saksi bisu perjalanan sejarah kota. Vihara Tri Dharma Bumi Raya dan Kuil Tua Pek Kong adalah contoh ikonik yang wajib dikunjungi. Masjid Raya Singkawang dengan desain modernnya, dan Gereja Katolik Santo Fransiskus Assisi, juga menampilkan keindahan arsitektur masing-masing. Berjalan di jalanan Bengkawang adalah seperti berjalan melintasi berbagai zaman dan budaya.
Bengkawang memiliki potensi pariwisata yang sangat besar, tidak hanya karena budaya uniknya tetapi juga keindahan alamnya. Para pengunjung dapat menikmati berbagai jenis wisata, dari petualangan alam hingga penjelajahan situs-situs bersejarah dan religi.
Petualangan di Bengkawang belum lengkap tanpa menjelajahi kekayaan kulinernya. Perpaduan budaya yang kental menghasilkan hidangan-hidangan unik yang memadukan cita rasa Tionghoa, Melayu, Dayak, dan pengaruh lainnya. Setiap suapan adalah cerita tentang harmoni dan keanekaragaman.
Setiap sudut kota Bengkawang menawarkan petualangan kuliner baru. Dari warung pinggir jalan hingga restoran keluarga, Anda akan menemukan hidangan yang disiapkan dengan cinta dan resep turun-temurun. Jangan ragu untuk mencoba berbagai hidangan ini, karena masing-masing menceritakan bagian dari kisah multikultural Bengkawang.
Selain keindahan budaya dan alamnya, Bengkawang juga memiliki fondasi ekonomi yang kuat, didukung oleh sektor perdagangan, pertanian, dan pariwisata. Lokasinya yang strategis di pesisir barat Kalimantan dan kedekatannya dengan negara tetangga, Malaysia, menjadikannya gerbang ekonomi penting.
Pemerintah kota dan masyarakat terus berupaya untuk mengembangkan potensi-potensi ini, menciptakan iklim investasi yang kondusif, serta memberdayakan UMKM lokal agar dapat bersaing di pasar yang lebih luas. Dengan demikian, Bengkawang tidak hanya menjadi pusat budaya, tetapi juga pusat pertumbuhan ekonomi yang inklusif.
Aspek yang tak kalah penting dari Bengkawang adalah komitmennya terhadap pendidikan dan pemeliharaan harmoni sosial. Kedua hal ini saling terkait dan menjadi fondasi bagi pembangunan berkelanjutan serta kualitas hidup masyarakatnya.
Bengkawang memiliki berbagai jenjang pendidikan, mulai dari taman kanak-kanak, sekolah dasar, menengah, hingga perguruan tinggi. Pendidikan di sini dijalankan dengan semangat inklusivitas, di mana siswa dari berbagai latar belakang etnis dan agama dapat belajar bersama. Sekolah-sekolah negeri dan swasta, termasuk sekolah berbasis keagamaan, berdiri berdampingan dan berkontribusi pada peningkatan kualitas sumber daya manusia.
Ada upaya untuk mengintegrasikan nilai-nilai multikulturalisme dalam kurikulum lokal, mengajarkan siswa tentang pentingnya toleransi, menghargai perbedaan, dan hidup berdampingan. Bahasa daerah seperti Hakka dan Melayu juga diajarkan di beberapa sekolah sebagai bagian dari pelestarian budaya.
Harmoni sosial di Bengkawang adalah hasil dari upaya kolektif yang dilakukan secara terus-menerus. Beberapa elemen kunci dalam menjaga harmoni ini antara lain:
Harmoni ini bukan berarti tanpa tantangan, namun masyarakat Bengkawang memiliki mekanisme dan semangat untuk selalu menyelesaikan perbedaan melalui musyawarah dan saling pengertian, menjadikan kota ini sebagai contoh nyata bagaimana keberagaman dapat menjadi kekuatan.
Meski memiliki banyak potensi dan keunikan, Bengkawang juga menghadapi sejumlah tantangan dalam perjalanannya menuju masa depan yang lebih baik. Namun, dengan semangat kebersamaan dan visi yang jelas, kota ini optimis dapat mengatasinya.
Visi Bengkawang adalah menjadi kota yang maju, mandiri, dan berbudaya, dengan tetap mempertahankan identitasnya sebagai "Kota Toleransi". Beberapa fokus utama untuk masa depan termasuk:
Dengan semangat "Baserakke", yang dalam bahasa setempat berarti "bersatu/berkumpul", masyarakat Bengkawang optimis dapat menghadapi segala tantangan dan mewujudkan visi tersebut, menjadikan kota ini semakin bersinar di kancah nasional maupun internasional.
Bengkawang, atau Singkawang, adalah sebuah permata yang bersinar terang di kepulauan Indonesia. Lebih dari sekadar kota, ia adalah sebuah narasi hidup tentang bagaimana keberagaman bisa menjadi sumber kekuatan, kekayaan, dan keindahan. Dari sejarah panjang yang membentuknya, bentang alam yang memukau, hingga mozaik manusia yang hidup dalam harmoni, Bengkawang menawarkan pelajaran berharga tentang toleransi dan persatuan.
Cap Go Meh, dengan segala kemegahan dan spiritualitasnya, bukan hanya festival, melainkan deklarasi nyata bahwa perbedaan dapat dirayakan bersama. Kuliner khasnya adalah perwujudan dari perpaduan budaya yang menghasilkan cita rasa tak terlupakan. Potensi ekonomi dan pariwisatanya adalah janji akan masa depan yang cerah, sementara komitmennya terhadap pendidikan dan harmoni sosial adalah fondasi yang kokoh bagi generasi mendatang.
Mengunjungi Bengkawang berarti menyelami sebuah pengalaman yang kaya akan warna, rasa, dan makna. Ini adalah undangan untuk melihat langsung bagaimana Indonesia dengan segala Bhinneka Tunggal Ika-nya, dihidupkan dalam skala mikro. Bengkawang adalah bukti bahwa meskipun berbeda, kita dapat hidup berdampingan, saling menghormati, dan bersama-sama membangun masa depan yang lebih baik.
Semoga artikel ini menginspirasi Anda untuk mengeksplorasi lebih jauh keunikan dan pesona Bengkawang, kota yang tak henti-hentinya mengajarkan kita tentang arti sejati dari persatuan dalam keberagaman.